Tampilkan postingan dengan label Arie Yanwar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Arie Yanwar. Tampilkan semua postingan

Ketika Perang Mencapai Puncaknya: Ironi dari transportasi online



Terus terang saya lagi malas nulis, tapi daripada ada sesuatu yang bikin ganjal di kepala ya lebih baik dibuang dulu lah ganjalannya ke baskom.
Fenomena transportasi daring sudah menjadi hal yang biasa di masyarakat, bahkan dapat dikatakan moda transportasi seperti ini sudah menjadi kebutuhan. Kita bisa lihat di stasiun, mal, apartemen, perumahan bahkan pinggiran jalan, selalu saja ada orang yang mengeluarkan gadget terus ketal ketul, sesudah itu menerima telepon, lihat kiri-kanan dan jemputan pun datang. Semakin maraknya penggunaan transportasi daring tidak terlepas dari keamanan dan kenyaman yang diperoleh konsumen dan tentu saja harga yang relative murah, tanpa tawar menawar dan mudah. Sehingga tidak heran jika transportasi daring ini semakin populer terutama di daerah perkotaan.

Pada awalnya moda ini dipelopori oleh Uber di Amerika Serikat dimana sang pendiri perusahaan tersebut hanya bermaksud untuk membuat aplikasi Shared ride dimana orang yang membutuhkan tumpangan untuk pergi ke suatu tujuan dapat bertemu dengan pengendara mobil yang kebetulan memiliki tujuan yang sama, dengan si penumpang tersebut membayar dengan harga wajar kepada si pengendara. Hal inilah yang beberapa ahli mengkategorikan fenomena ini sebagai sharing economy dimana tujuannya adalah mengoptimalkan asset yang dimiliki oleh setiap individu supaya lebih produktif.

Fenomena ini akhirnya menyebar ke seluruh dunia. Di Indonesia, fenomena tranportasi daring ini beradaptasi dengan kondisi lokal dimana transportasi roda dua terlihat sangat efektif untuk bisa menembus kemacetan di perkotaan sehingga dapat menghemat waktu tempuh. Munculah Gojek sebagai pionir dari transportasi daring roda dua dimana tidak lama munculah para penirunya yah sebutlah blue-jek, lady jek, ojek syari, dan lain-lain. Dari negeri jiran, datanglah Grab, tetapi perusahaan Grab ini pada awalnya hanya memiliki pelayanan untuk memangil taxi atau grabtaxi dimana yang dipanggil adalah para pengemudi taxi yang memilik aplikasi grab di smartphone mereka.

Gojek muncul dengan konsep sebagai penghubung antara tukang ojek dengan konsumennya. Dari sinilah mulai terjadi standarisasi pelayanan ojek dari yang mulai mengenakan tariff semena-mena menjadi tariff pasti dan transparan, dari penampilan tukang ojek yang kumel dan gak pernah bawa helm untuk penumpang menjadi tukang ojek yang berseragam rapi dan selalu membawa helm untuk penumpang bahkan masker dan penutup rambut juga disediakan. Tetapi diantara sekian banyak perubahan tersebut adalah metode promosi gojek yang memang fantastis, dimana kita cukup unduh aplikasi gojek, daftar email dan kita bisa naik ojek gratis beberapa kali. Hal ini jelas membuat Gojek semakin populer dan peminatnya pun semakin banyak.

Apakah pengemudi di rugikan? Tentu tidak. Gojek menerapkan standar tariff kepada penumpang dimana pengemudi juga tahu berapa yang harus dibayar penumpang. Ini jugalah yang menjadi kelebihan Gojek yaitu system pembayaran yang cashless terutama kepada pengemudi. Walaupun penumpang gak bayar se rupiah pun, pengemudi tetap mendapat bayaran sesuai tariff yang berlaku dari Gojek yang di transfer ke rekening bank mereka. Sebuah system yang win-win, penumpang untung, pengemudi untung, Gojek pun untung karena pangsa pasar mereka membesar.

Bagaimana dengan perusahaan ojek daring yang lain? Yah, inilah yang disebut sebagai kompetisi pasar atau mungkin lebih tepatnya seleksi alam. Persaingan di dunia bisnis sangat ketat, kalau tidak sanggup bersaing sudah pasti tergilas. Perlahan tapi pasti para ‘jek’ yang lain tersingkir. Aplikasi mereka mungkin masih ada di playstore tapi jangan harap ketika kita memakai layanannya terus ada yang datang. Dengan metode promosi Gojek yang jor-joran tentu saja, operator tranportasi daring yang lain pun berguguran, kalah terhadap hagemoni Gojek.

Anda pasti pernah mendengar istilah ‘melawan api dengan api’ kalau ingin melawan Gojek yang bermodal kuat, maka lawannyapun harus bermodal kuat juga. Dan inilah yang terjadi ketika Grab masuk ke pangsa roda dua dengan layanan grabbike nya. Dalam sekejap terjadilah perang tariff yang dahsyat antar kedua perusahaan apps ini. Sebagai pengguna layanan transportasi online tentu kita sebagai konsumen yang di untungkan. Baik Gojek maupun Grab menyodorkan diskon yang luar biasa kepada konsumen seperti diskon Rp10 ribu, gratis 5x perjalanan dan lain-lain.

Masuknya Uber ke Indonesia pada awalnya hanya memberi layanan taxi daring dan otomatis pesaing mereka adalah taxi konvensional dan angkot yang huru-haranya kerap terjadi dalam 3 tahun terakhir. Semua berubah ketika Grab membuka layanan grabcar dan grabbike. Dalam hal ini, Grab seakan ingin menantang hagemoni Gojek di roda dua sekaligus menyingkirkan Uber di roda empat. Mulailah perang tariff di kumandangkan untuk sektor transportasi daring. Perang ini pun semakin seru ketika Uber membuka layanan ubermotor dan Gojek membuka layanan gocar. Ibarat api ungun di siram bensin, nyala perang tariff pun semakin besar, wow banged.

Tentu saja, kita sebagai konsumen semakin diuntungkan. Pilihan transportasi banyak, tinggal lihat saja mana yang mau kasih diskon paling gede, itulah yang kita pilih. Bagaimana dengan pengemudi? Tentu saja mereka juga tidak dirugikan. Perang tariff yang terjadi justru direspon positif baik oleh operator maupun pengemudi. Para operator pun paham bahwa tidak ada gunanya bagi mereka menawarkan diskon kepada penumpang apabila tidak ada pengemudi yang datang, makanya mereka berani memberi bonus kepada pengemudi, seperti bonus Rp50 ribu untuk jarak dekat atau bonus Rp100 ribu apabila menyelesaikan sekian order. Hal ini untuk memastikan para pengemudi online ini akan menjawab panggilan konsumen sehingga dapat menjaga tingkat keandalan si operator sendiri.

Pengemudi pun juga di untungkan dengan perang tariff ini, karena mereka bisa bermain di aplikasi manapun. Dari beberapa kali saya berbicara dengan supir transportasi online, banyak dari mereka yang memang bermain di setidaknya dua kaki, walaupun ada juga yang setia hanya kepada satu aplikasi. Tapi sayangnya kemewahan untuk bermain di beberapa aplikasi ini tidak dapat dinikmati oleh pengemudi roda dua, mungkin karena factor jaket dan helm yang menjadi identitas mereka. Walaupun ada juga yang berpindah aplikasi, mereka cenderung loyal terhadap aplikasi mereka. Selain itu jumlah pengemudi roda dua juga sangat banyak dan mereka cenderung berkumpul dengan kelompoknya sendiri sesama pengemudi daring roda dua tanpa melihat jaket apa yang mereka kenakan.

Dari beberapa kali interview sama pengemudi daring roda dua, mereka memang harus bekerja keras supaya bisa mendapat bonus mereka. Semakin lama, system bonus merekapun semakin di persulit dengan memberikan sanksi pembatalan bonus dimana sanksi tersebut diberikan apabila target tidak tercapai atau pengemudi dengan sengaja membatalkan order yang diterima. Bahkan semakin lama, pemberian sanksi pun semakin dipermudah yaitu ketika konsumen membatalkan order yang diterima pengemudi maka bonus pun batal.

Semakin lama, fenomena perang tariff antar tiga raksasa ini seakan menjauhkan mereka dari filosofi awal berdirinya ride sharing ini yaitu share economy untuk mengoptimalkan asset yang dimiliki setiap individu. Selain menjauh dari filosofi tersebut, justru yang terjadi adalah fenomena kapitalisme abad 19 dimana buruh dieksploitasi sedemikian rupa demi keuntungan kaum menengah dan aristocrat. Dalam kasus transportasi daring ini, buruhnya adalah para pengemudi, kaum menengahnya adalah konsumen dan aristokratnya adalah si tiga besar tersebut.

Tapi tidak ada perang yang terjadi selamanya, perang dunia berakhir, perang dingin berakhir, perang teluk berakhir, perang tariff pun pasti berakhir. Uber akhirnya lempar handuk di bulan Maret 2018 dan memberikan mahkota kerajaannya di Indonesia (dan Asia Tenggara) kepada Grab dengan kata lain akuisisi Uber oleh Grab membuat Grab memiliki valuasi lebih besar daripada Gojek.

Tetapi seperti perang yang lain yang menghabiskan sumber daya ketika perang berlangsung, perang ini pun menghasilkan hal yang serupa. Ketika perang sudah mencapai titik jenuh tapi masih belum kelihatan siapa pemenangnya, maka yang bisa dikorbankan adalah yang paling lemah posisinya. Ibaratnya kalau perang beneran yang dikorbankan mungkin daerah yang tidak signifikan atau prajurit-prajurit kroco yang bisa direkrut lagi di lain tempat. Ya, kalau perang tariff ini, yang bisa dikorbankan paling awal ketika sumber daya sudah mulai habis ya para pengemudi lah. Pengetatan sanksi pembatalan bonus merupakan tanda-tanda awal dan sekarang diikuti dengan turunnya tariff per kilometre yang akhirnya diikuti dengan turunnya penghasilan pengemudi.

Saya tidak heran ketika para pengemudi online ini berdemo besar-besaran bahkan menuntut kenaikan tariff per kilometre sampai pembatalan bonus. Untuk apa di sediakan bonus apabila untuk mendapatkannya sangat sulit bahkan harus berkorban kesehatan diri sendiri (saya beberapa kali naik ojek daring dimana pengemudinya belum makan apapun sejak siang, padahal itu sudah jam 10 malam, bahkan pernah pengemudinya ngantuk-ngantuk sampai harus saya ajak ngobrol terus sepanjang jalan).

Sangat ironis bahwa ketika niat untuk memulai adalah niat yang mulia untuk membantu meningkatkan taraf hidup para pengemudi tapi pada akhirnya keserakahan pula yang mengorbankan mereka yang sebenarnya ingin dibantu.

Sangat ironis nasib pengemudi daring, di gemari konsumen tapi di musuhi pesaing konvensional, di cari konsumen tapi di anggap illegal oleh pemerintah dan di butuhkan konsumen tapi di tekan oleh sang operatornya sendiri.

Konvensional Bin Syariah: Perbankan di UK


Konvensional Bin Syariah: Perbankan di UK

Judul tulisannya sedikit provokatif, namun memang inilah yang saya alami saat ini pada saat kuliah di UK. Sebenarnya waktu dulu kuliah di Jepang, saya menggunakan akun bank lokal yang sama sistemnya dengan di UK yaitu konvensional bin syariah.

Kenapa saya sebut konvensional bin syariah?

Sebelum menjawab pertanyaan ini mari kita lihat dulu system perbankan di Indonesia terutama yang konvensional dan terus terang saya hanya punya akun bank yang bukan syariah. Di akun ini terdapat biaya administrasi bulanan untuk rekening dan administrasi kartu yang kalau di jumlah totalnya Rp13.000. Terdapat buku tabungan yang kalau kita ganti buku kena biaya Rp10.000. Terdapat biaya transfer antar bank sejumlah Rp6.500. Kalau mau menggunakan layanan SMS banking kena charge sebesar biaya SMS antar operator (biasanya Rp500) per SMS. Ngambil uang sendiri di ATM yang berbeda banknya kena biaya. Kalau mau layanan e-banking, kita selaku nasabah kudu daftar dulu di KCP terdekat. Kalau ingin print rekening koran harus ke KCP itupun untuk transaksi 3 bulan terakhir, lewat dari itu sudah tidak bisa atau bisa tapi ada biaya tambahan. Mau transaksi sama ritel pake mesin EDC kena fee, walau sudah makin banyak yang gratis, itu juga gak semua kartu debit bank bisa dan mayoritas ada S&K supaya gratis.

Sekilas terlihat bahwa biaya-biaya ini adalah biaya yang dikeluarkan oleh bank untuk memberi layanan maksimum kepada nasabah. Tentu saja beberapa nasabah ada yang menganggap biaya segitu ya wajar dan gak seberapa walaupun ada juga mungkin yang ngegerutu tapi suka gak suka ya kudu nerimo.

Selain biaya tersebut, rekening konvensional juga mendapat tambahan bunga dan tentu saja bunga tersebut terkena pajak 20%. Walaupun banyak orang berpendapat bahwa menerima bunga itu riba (dan saya juga setuju), cuma kalau dipikir-pikir kalau tidak ada bunga ya sebagai nasabah saya cuma nyawer doank dong ke bank, lha tiap bulan minimal kena Rp13.000. Kalau gaji diatas Rp10 juta sih masih OK karena bunga minus pajak masih menutupi biaya admin bulanan, lha kalau gaji cuma UMR lebih dikit ya bisa BEP aja sukur, gimana yang cuma UMR, paling cuma bisa ngelus dada doank.

Bagaimana dengan akun bank syariah?

Berhubung saya bukan nasabah bank syariah, saya cuma bisa dapat informasi dari ibu saya yang kebetulan nasabah bank syariah. Dan memang bank syariah menggunakan system bagi hasil untuk rekening kita. Walaupun namanya bukan bunga tapi bau-bau ribanya masih bisa kecium karena logikanya apabila ada investasi bank yang merugi maka si nasabah ikut nanggung juga kerugiannya yang berakibat pada rekeningnya yang dipotong. Tapi pada prakteknya saya belum pernah dengar ibu saya mengeluh rekeningnya di potong atau mungkin juga bank gak pernah rugi dalam berinvestasi?? Tentu saja terdapat biaya administrasi dan kawan-kawannya. Dalam hal ini 11/12 lah sama akun bank konvensional.

Bank syariah juga mengenal akun yang gak dapat imbal hasil alias gak akan ‘berbunga’ dan tentu saja tidak kepotong biaya juga. Nah, ini baru fair, namanya nasabah nyimpen uang di bank ya cukup uangnya aman tersimpan saja, gak usah ada embel-embel nambah atau kena biaya admin. Tapi tentu saja biaya ‘persaudaraan’ masih ada seperti biaya terbit buku (rekening koran), biaya transfer antar ATM, biaya mobile bankingnya, biaya ngambil duit di ATM yang bukan banknya serta biaya transaksi pakai mesin EDC (walau tidak semua).

Bagaimana dengan di UK?

Sebenarnya hampir sama dengan akun bank saya waktu kuliah di Jepang yaitu sama-sama akun bank konvensional, sama-sama tidak berbunga, sama-sama tidak ada biaya admin dan tentu saja sama-sama tidak ada biaya ‘persaudaraan’. Weleh ternyata akun bank konvensional di negeri yang penduduknya mayoritas gak kenal Tuhan malah lebih syariah daripada akun bank yang syariah di kampung halaman yang hanya manusia aneh lah yang gak ber Tuhan.

Tentu saja untuk kasus di UK, akun bank yang berbunga juga ada, tapi disebutnya business account dan setiap orang bebas memilih untuk memiliki business account atau hanya personal account seperti yang saya punya.  Ngambil duit di ATM masih ada yang kena biaya tapi so far susah saya nyari ATM yang masih mungut biaya karena hampir semua free walaupun bukan ATM bank saya. Setiap buka rekening, nasabah otomatis mendapat kartu debit (dan berlogo visa) yang bisa dipakai untuk transaksi online kapan saja, dimana saja tanpa biaya kartu dan dapat bonus berupa card reader.
Terus koq bisa begitu?

Hanya 1 kesimpulan saya, yaitu perbankan di UK jauh lebih efisien daripada perbankan di Indonesia. Gimana gak efisien, saya gak punya buku tabungan, kalau butuh rekening koran ya silakan print sendiri pakai akun e-banking saya.

Bagaimana daftar e-banking nya?

Ya namanya e-banking ya cukup modal komputer sama akses internet. Gak perlu datang ke KCP, malah datang kesana disuruh ngerjain sendiri dan di kasih tau bahwa buatnya sangat mudah dan memang sangat mudah. Bahkan untuk mobile banking, tinggal pakai apps nya saja yang bisa di unduh di playstore dan dengan apps ini saya bisa cek rekening sekaligus transfer ke rekening mana saja, gratis..tis..tis..

Bagaimana dengan system keamanan?

Di sini system perbankannya sudah sangat efisien, sebagai contoh untuk transaksi seperti rental mobil atau nginep di hotel dimana kita butuh deposit, maka dengan kartu debit bank kita bisa langsung ditahan sejumlah uang dalam rekening sebagai deposit. Dan jika seandainya deposit kita berkurang dan terjadi perselisihan antara kita dengan si vendor, maka bank akan ada dipihak kita dengan mengembalikan uang deposit tersebut karena tergolong sebagai 'unauthorised transaction'. Bahkan apabila kita salah melakukan transfer saja, apabila masih dalam hari yang sama bisa kita anulir, tentu saja prosedur agak ribet untuk kasus ini.

Dalam hal ini nasabah sebagai customer benar-benar di perlakukan seperti raja.

Tentu saja untuk kasus-kasus luar biasa seperti kena hipnotis atau kartu di tuker sama copet di ATM, yaah ini sih walahualam ya. Kalau disini semua bentuk kejahatan urusannya ya dengan polisi bukan sama bank lagi. Tapi kembali lagi bank ada di pihak kita bukan malah balik nyalahin customer kalau kejahatan terjadi sama mereka, karena jika kita curcol sama petugas 'CS' nya biasanya dia akan kasi solusi ke nasabah

Tentu saja efek dari efisiensi ini berujung kepada hal lain, yaitu penutupan KCP dan mungkin pengurangan jumlah pegawai. Saya baru saja dapat surat pemberitahuan kalau KCP bank yang di kampus akan tutup pertengahan tahun depan. Tentu saja dengan kemudahan dalam melakukan transaksi perbankan, saya juga tidak terlalu ambil pusing dengan penutupan tersebut. Dengan penutupan ini pun maka bank juga telah melakukan efisiensi dengan berkurangnya biaya sewa tempat dan tentu saja biaya gaji pegawai (dengan asumsi adanya pengurangan jumlah pegawai).

Menjadi pertanyaan buat saya. Mungkinkah model perbankan seperti ini di tiru di Indonesia? Sehingga tidak perlu ada lagi dikotomi syariah ataupun konvensional karena toh sistemnya sudah tidak mengandung riba dan kawan-kawannya. Sehingga nasabah bebas memilih mau buka akun yang berbunga atau tidak di semua bank dan bebas biaya ‘persaudaraan’ juga.

Tentu saja jika ada pertanyaan ‘bagaimana dengan munculnya pengangguran sebagai akibat efisiensi tersebut?’ Ya sama dengan jawaban saya apabila ada kejahatan terjadi terhadap rekening nasabah dimana kejahatan adalah urusan polisi bukan bank, sama seperti munculnya pengangguran ya.. itu urusannya pemerintah, bukan urusan bank.

 

Sekedar intermezzo, teller di sini tidak menghitung uang kertas gepokan dengan menggunakan jari jemari atau alat penghitung melainkan pakai timbangan dan akurat. Kira-kira mata uang rupiah bisa gak ya pakai timbangan untuk dihitung?

Aplikasi Nudge Theory: Usulan bagi yang galau pada saat kendurian kantor


Sebenarnya saya lagi males nulis karena kerjaan masih banyak, tapi begitu baca tulisan seorang tokoh feminist yang saya kagumi di forum ini, saya rasa gak ada salahnya sedikit meluangkan waktu buat ngetik-ngetik. Tokoh tersebut buat puisi (walaupun bentuk tulisan gak kaya puisi) yang bernada curcol tentang kelakuan pegawai di kantor tercinta yang datang ke acara pertemuan tapi begitu melihat bos besar angkat kaki, seakan mendapat komando untuk ‘bubar grak’. Belum lagi kelakuan para pegawai tersebut yang kalau datang ke acara selalu ngaret alias lelet alias gak pernah on time. Tentu saja, puisi tersebut mendatangkan kontroversi terutama bagi para cendikiawan WAG mengenai siapa yang salah dan berujung pada ……

Anyway, untuk masalah sederhana ini, saya jadi teringat satu teori dalam behavioural economics yang disebut ‘nudge’, kebetulan pakar teori ini baru dapat nobel bulan lalu. Nudge theory pada intinya adalah bagaimana sebuah aturan/system dapat mengubah perilaku seseorang/masyarakat tanpa menyebabkan konflik dalam diri orang/masyarakat tersebut. Sebagai contoh ketika dibuat garis antrian untuk mereka yang ingin masuk busway secara tidak langsung para penumpang telah di biasakan untuk antri tertib untuk masuk busway. Walaupun terus terang antriannya mengular, tapi lebih baik dari pada berkerubun kayak tawon kan. Contoh lain nudge adalah penggunaan nomor antrian di bank, nasabah bisa duduk nyantai sambil kepo in WAG tanpa kawatir antriannya di selak orang lain. Pun dalam hal ini, para nasabah sudah dipaksa tanpa merasa terpaksa untuk mengantri.

Untuk kantor tercinta/tersayang/terkaya (dalam hal angka nominal rupiah tanpa melihat fisiknya), nudge pun telah di praktekkan. Contohnya handkey, sudah menjadi perilaku pegawai untuk mendatangi handkey terlebih dahulu di pagi hari sebelum nongkrong di kantin atau bocipi (bobo cantik pagi hari) di sudut tertentu kantor. Uniknya lagi perilaku yang pada awalnya di paksakan melalui SE Dirjen ini sudah menjadi bagian dari rutinitas setiap pegawai tanpa ada satupun yang protes bahkan saling mengingatkan kalau ada yang kelupaan. Begitupun pada saat pulang, tanpa disuruh para pegawai memiliki inisiatif untuk mengantri di depan handkey dengan antrian yang tertib, jauh lebih tertib dari pada antrian penumpang masuk busway, padahal gak ada yang nyuruh atau ngasi komando.

Contoh lain dari nudge di kantor adalah penggunaan seragam. Cukup dengan modal tandatangan dari bos besar di selembar kertas, para pegawai sudah terprogram dalam pikiran mereka bahwa senin pakai baju putih, selasa & jumat batik, rabu & kamis seragam blue bird. Pada awalnya memang ada yang ndumel, tapi setelah berlangsung sebulan, hal tersebut berubah jadi perilaku pegawai. Entah kenapa kalau ada yang pakai seragam blue bird hari selasa, pasti merasa jadi aneh sendiri serasa saltum (lha emang iya).

Saya rasa alangkah baiknya jika nudge juga di terapkan pada acara-acara resmi di ‘great hall’ lantai dasar. Bagaimana penerapannya? Ya paling gampang pakai SE Dirjen, tapi menjadi masalah kalau sang pemberi tandatangan menganggap hal ini sebagai ‘no problemo’. Tanggung jawab otomatis turun ke tangan kanan beliau (secara structural) yaitu sekretaris (Sekditjen). Sang sekretaris dalam hal ini harus memberi komando utama pada saat acara di ‘great hall’ tentang posisi duduk berdasarkan jabatan masing-masing.

Dalam hal ini pemimpin harus berada di depan karena merekalah role model yang dipimpin, kalau pemimpin memilih berbaur sama krucil ya silakan lakukan di kantin, bukan di acara resmi. Sehingga dalam hal ini eselon 1 ya duduk sebaris sama eselon 2 diikuti eselon 3 dan 4 serta jabfung dan paling akhir krucil. Kalau krucil melihat bangku pimpinan masih kosong ya mau gimana lagi, teladannya hilang. Kecuali pimpinan mau bertukar jabatan dengan krucil ya silakan (tapi mana ada yang mau kehilangan tunjangan ya).

Eselon 4 adalah krucilnya eselon 3, pun eselon 3 merupakan krucilnya eselon 2. Nah kalau eselon 2 ya mau gak mau harus jadi teladan dengan datang ontime.

Gimana kalau ada krucil yang telat? Apabila bangku pimpinan krucil tersebut sudah penuh berarti nudge telah berhasil. Si krucil yang telat akan malu sendiri, di level apapun dia.

Tapi kalau bangku pimpinan masih kosong? Ya jangan harap nudge akan berhasil, lha wong teladannya aja gak ada. Dalam hal ini pimpinan itu ibaratnya garis antrian atau nomer antrian yang membuat orang menjadi berubah perilakunya.

Tapi bagaimana jika krucil masih gak disiplin sementara pimpinan sudah beri contoh? Ya itulah bukti statement saya bahwa tandatangan bos besar lebih sakti untuk mengubah perilaku pegawai daripada cuma puisi dari tokoh feminist kita.
Mau bukti? Silakan dilaksanakan.

Lika-Liku Kehidupan Kuliah S3


Menjadi mahasiswa PhD bukan hanya sibuk ngurusi tesis sendiri saja, tapi juga banyak kesempatan melakukan hal yang lain terkait dunia akademis, salah satunya jadi PTA (postgraduate teaching assistant) atau populer disebut asdos. Di jurusan saya (Geografi) banyak sekali lowongan untuk jadi asdos dan namanya asisten maka tugasnya juga cuma membantu mengajar anak2 undergrad atau S1 dengan berbagai jenis tugas yang bisa kita pilih seperti marking assistant (ngasi nilai ujian), tutorial (bantu dosen mengajar kelas tertentu), workshop supporter (mimpin grup discussion pas workshop), field trip assistant (bantu ngajar pas studi lapangan), help desk support (semacam private tutorial), dll.

Saya sudah pernah jadi marking assistant dan kerjaannya lumayan berat. Di UK memberi nilai ke mahasiswa gak cuma ngasi ponten dalam lingkaran aja. Tapi kerjaannya mahasiswa harus dibaca dengan teliti. Kalau ujiannya cuma PG mah gampang ngasi nilainya dan itu biasanya gak butuh PTA, sedang PTA dibutuhkan untuk ujian esay, nah itu lah yang bikin kerjaannya lumayan berat. Ujian esaay disini harus dibaca setiap kalimat dan paragraph nya, memastikan bahwa yang di tulis masuk akal, sesuai dengan bacaan modul dan yang paling penting menjawab pertanyaan ujian. Kalau ada yang ngawur harus di highlight mana-mana saja bagian yang ngaco, berikan komentar yang konstruktif dan tidak boleh menjatuhkan.

Kalau mahasiswanya cuma 10 orang si gak masalah, tapi mahasiswa 1 angkatan bisa 200-300 orang dan 1 PTA bisa kebagian 70 essay buat dinilai. Permasalahan utama adalah esaay ini ditulis tangan, jadi kalau kebagian mahasiswa yang tulisan tangannya bagus sudah seperti dapet rejeki nomplok, karena mayoritas tulisannya mirip2 dengan ane hehehehe. Seacakadul apapun tulisan, kalau masih pakai Bahasa ibu mah masih gampang bacanya (atau nebaknya?) lha ini pake Bahasa inggris, OMG lah, sampai mata kriyep-kriyep ngerjainnya.

Saya pernah ngasi nilai 78 ke mahasiswa tapi sama dosennya di bilang ngaco karena mahasiswanya cuma bikin tulisan dalam Bahasa inggris doank (kalo untuk level IELTS mungkin skor nya 7.0), tapi dia sama sekali gak menjawab pertanyaan dan argument nya sama sekali bukan berasal dari bacaannya jadi seharusnya dapet 45. Ada juga mahasiswa saya kasi 48 tapi kata dosen argumennya bagus, sesuai bacaan, konsisten, walau gramatikal eror banyak jadi layak dapat 68. Saya butuh 20 esaay buat latihan ngasi nilai sebelum akhirnya opini saya bisa sama dengan dosen dan akhirnya dilepas untuk ngerjain sisa 50 dan bener2 kerjaan yang cukup melelahkan.
Nilai essay disini berkisar 0-100, tapi paling tinggi saya cuma ngasi 70an dan mayoritas di kisaran 50-60an. Standar nilai di kampus ini memang tinggi banged dan semua PTA di kasi panduan standar ngasi nilai. Dan dosen2 pun mengakui kalau PTA lebih kejam dalam hal memberi nilai tapi selama tidak ada yang gagal alias dibawah 40 ya masih OK lah. Dan walau saya banyak ngasi nilai 40an tapi lebih banyak yang dikisaran 50-60an jadi yah masih standar lah (gimana mau kasi lebih kalau emang layaknya dapet segitu, padahal sendirinya kalau bikin esaay juga masih ngono ya hehehehe)

Tapi alhamdulilah kerjaan marking ini sudah terlewati. Yang sekarang dikerjakan adalah jadi supporting workshop, dalam hal ini saya berinteraksi langsung sama mahasiswa. Ada 10 workshop yang harus dikerjakan dan sudah selesai 5, dari pengalaman ini saya menarik sebuah kesimpulan bahwa karakteristik mahasiswa dimana-mana sama baik di kampung halaman maupun UK (gak peduli orang Indonesia maupun bule) yaitu kalau di biarin malah asik sendiri ama temen atau gadgetnya, kalau dideketin asdos baru mulai sibuk (atau pura2 sibuk?), kalau ditanya ada kesulitan atau tidak jawabnya 'no problem' tapi kertas kerja kosong, kalau mulai diskusi pada diem semua dan gak berani mulai kalau belum di tanya, ujug2 diskusi berubah jadi sesi tanya jawab.
Rata-rata mahasiswa/i pada malu2 kucing untuk mengekspresikan pendapat mereka. Yah, masih bisa saya maklumi karena mereka adalah mahasiswa/i tahun pertama (jadi inget dulu waktu muda ooops). Dan terlihat disini mahasiswi lebih berani untuk bersuara, mungkin karena populasi mahasiswa yang cukup langka di kelas (bahkan untuk 1 angkatan). Ya cukup terkejut juga saya karena anak geografi tahun pertama ini lebih banyak cewe nya daripada cowonya baik yang sosial maupun eksaknya. Tercermin juga dari PTA nya yang ada 3, cowonya cuma saya aja. Tapi lumayan lah bisa liat yang seger-seger daripada baca jurnal yang bikin mata butek. maklum dari 5 grup yang sudah saya pandu, cowo nya paling banyak cuma 3 dalam 1 grup, malah ada yang gak ada sama sekali. Jadi grogi juga yah di kelilingi bule kinyis-kinyis hehehehe.   
Semoga aja untuk kerjaan berikutnya bisa dapet posisi jadi field trip assistant, karena tahun kemaren field trip untuk jurusan geografi bisa ke Iceland, Germany, Spain dan USA. Tentu saja ongkos dibayari kampus + dapet gaji pula. Tapi ya saat ini masih tahap berharap saja heheheheeh, lha wong dapet kerjaan PTA juga udah alhamdulilah koq.

Pertemuan dengan Kang Abik


 
Kamis, 15 September 2017, saya bertemu dengan Kang Abik yang nama panjangnya adalah Habiburrahman El Shirazy. Terus terang saya sendiri gak kenal sama beliau, tapi bagi mereka yang suka baca novel seperti “ayat-ayat cinta” serta sequelnya, “ketika cinta bertasbih” serta sequelnya, dan lain-lain maka nama beliau pasti sudah tidak asing lagi. Saya pun bukan penggemar novel Kang Abik, nonton film dari adaptasi novelnya pun tidak pernah, cuma kebetulan istri saya yang suka nonton film adaptasi dari novel beliau.

Singkat cerita, Kang Abiq ke UK dalam rangka syuting film Ayat-Ayat Cinta 2. Sayangnya lokasi syuting di Edinburgh, coba di Exeter, saya bisa jadi figuran deh (ngarep). Kebetulan durasi syuting cuma 2 minggu dan beliau berkesempatan untuk mengunjungi beberapa kota di UK pasca syuting sebelum pulang ke tanah air.

Mendengar Kang Abiq datang ke UK, beberapa komunitas muslim di beberapa kota meminta beliau untuk mengisi pengajian di komunitas tersebut. Sehingga beliau pun jadi bersafari ke beberapa kota tersebut seperti York, Bristol dan Cardiff. Tapi khusus Exeter, tidak ada yang meminta beliau datang karena memang komunitas muslim Indonesia di kota ini sangat sedikit (masih hitungan jari) dibandingkan kota-kota lain di UK. Selain itu posisi Exeter yang terletak di pojok barat daya UK yang membuatnya agak jauh kalau mau kemana-mana. Dan fansnya pun udah pada pulang kampung semua alias udah pada lulus.

Tapi jangan salah, kedatangan beliau ke UK selain untuk mengawasi jalannya syuting supaya gak menyimpang dari novelnya, juga untuk mencari kampus yang cocok untuk beliau menempuh S3 dibidang kajian islam dan kampus saya memiliki Institute of Arab and Islamic Studies yang memang merupakan salah satu pusat kajian islam terbaik di UK. Tentu saja, beliau juga sekalian mau silaturahmi dengan saya.. eh.. maksud saya temen saya disini yang merupakan kawan seperjuangan beliau waktu kuliah di Kairo dulu.

Yang membuat saya salut sama beliau adalah keinginan beliau untuk kuliah S3. Bayangkan, seorang yang sudah membuat belasan novel yang selalu nge hits bahkan beberapa di adaptasi menjadi film layar lebar, masih mau untuk kuliah S3. Saya melihat satu novel beliau yaitu Ayat-Ayat Cinta 2 saja sudah males bacanya, gimana beliau nulisnya yang notabene novel tersebut setebal yellow pages. Dan beliau menulis novel setebal itu hanya dalam 1 tahun, nge hits pula, di adaptasi ke film pula. Jadi geleng-geleng saya, untuk apa seorang novelis, yang ibaratnya dalam tidur pun inspirasi bisa muncul dan langsung moncer buat di tulis, masih mau kuliah S3.

Beliau menyatakan ada 2 motivasi yaitu personal dan religious. Secara personal, beliau menyukai tantangan dan melakukan S3 bagi beliau merupakan tantangan yang berbeda dengan menulis novel. That, I agree. Saya pun kuliah S3 karena untuk mencari tantangan baru atau mungkin karena agak jenuh juga dengan rutinitas kantor. Tapi intinya melakukan riset akademis pasti berbeda dengan rutinitas harian kita yang biasanya bukan akademis. Saya sendiri tidak tahu apakah beliau akan memilih Exeter sebagai kampus beliau karena jika Ya dan beliau hijrah ke Exeter ya Alhamdulilah sudah ada ustad buat mengisi pengajian di Exeter hehehehe.

Tapi motivasi Kang Abik yang kedua yang membuat saya takjub. Beliau mengatakan bahwa ulama-ulama jaman dulu yang pemahaman Al-Quran dan Al-Hadistnya sudah khatam bahkan hafal sampai semua tanda bacanya, masih mencari ilmu. Beliau mengatakan bahwa mereka yang terus belajar mencari ilmu akan didoakan oleh semua mahluk ciptaan Allah SWT di lautan. Jadi bayangkan semua mahluk di lautan mendoakan kita apabila kita terus belajar mencari ilmu. Agaknya itulah motivasi utama beliau untuk menempuh S3 untuk terus mencari ilmu agar dapat didoakan oleh seluruh mahluk di lautan. Dan kami yang sedang kuliah S3 pun dikatakan sebagai manusia yang beruntung karena didoakan oleh mahluk seisi lautan.

Nasehat beliau yang terakhir adalah “Sebaik-baiknya mahasiswa S3 adalah mahasiswa yang lulus dan sebaik-baiknya tesis S3 adalah tesis yang selesai”. Kedengarannya standar banged ya, tapi memang benar, kita bisa publikasi sampai puluhan, seminar berkali-kali, tapi kalau tesis tidak selesai yang jangan harap kamu jadi Doktor. Agaknya beliau bermaksud agar, kami bisa fokus untuk sekolah mengingat argonya cuma 4 tahun dan tak terasa saya pun sudah menjalani setengah dari argo tersebut. Kalau sampai argo terlewat ya bisa barabe, gak ada yang sponsori, ST habis, sukur-sukur gak di jewer sama bos besar hehehehe.

Jadi bagi teman-teman yang belum lanjut kuliah, tolong kurangi makan ikan laut supaya doa bagi kami tidak berkurang eh… maksud saya segeralah kalian lanjutkan untuk menuntut ilmu dimana pun juga (kampusnya) karena ya keutamaan bagi mereka yang menuntut ilmu. Masa yang sudah bikin novel belasan saja masih pengen kuliah, kita yang cuma level blogger koq gak mau kuliah, malu donk sama ikan dilaut eh…nganu…. Yah gitulah.

Perlukah Anggaran Pendidikan 20% Terhadap APBN?


Tulisan ini dimaksudkan untuk menjawab tulisan rekan saya disini. Pengkavlingan anggaran dalam APBN memang menjadi masalah bagi pengganggaran kita. Apalagi jika pengkavlingan itu merupakan mandat dari sebuah undang-undang bahkan dalam konstitusi kita. Saya yakin apabila kita ingin mereview kebijakan ini, akan ada pembahasan yang sangat-sangat alot di senayan, mungkin di ikuti dengan beberapa demo sampai kepada penandatangan petisi online. Tapi sebelum saya jelaskan lebih panjang mari kita lihat dulu hak dan kewajiban warga negara terkait pendidikan yang tertera dalam UU 20/2003 tentang Sisdiknas yaitu “setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu” (Pasal 5 (1)) serta prinsip pendidikan di Indonesia yaitu “pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa” (Pasal 4 (1)). Oleh karena itu, daripada kita bergelut untuk memikirkan apa perlu kebijakan 20% anggaran pendidikan ini di revisi atau tidak, akan lebih baik jika kita melihat kedepan dan menilai perlukah anggaran pendidikan 20% terhadap APBN untuk bisa memenuhi hak setiap warga negara dengan menganut prinsip tersebut.

Tapi sebelum saya menjawab pertanyaan tersebut, saya akan membuat perbandingan potret pendidikan dasar di negara tempat saya belajar saat ini (UK) dengan di Indonesia. Di UK pendidikan dasar adalah untuk semua anak berusia 3 tahun s.d 18 tahun. Bagi Pemerintah UK, pendidikan merupakan hak setiap anak tanpa memandang gender, ras, agama, status sosial bahkan kewarganegaraan. Sehingga jelas bagi semua anak dalam range usia tersebut wajib untuk sekolah, bahkan kalau sampai ada anak dalam usia tersebut tidak sekolah, orang tua dari si anak tersebut dapat di polisikan karena telah bertindak zolim dengan tidak memberikan hak si anak berupa pendidikan. Tentu saja, Pemerintah UK juga konsekwen bahwa anak-anak wajib sekolah bukan berarti mereka harus bayar uang sekolah karena kalau itu terjadi berarti pemerintahnya yang zolim. Sehingga pendidikan anak dari mulai PAUD (3 tahun), TK (4 tahun), kelas 1-12 adalah GRATIS. Tugas orang tua cukup antar jemput anaknya ke sekolah saja. Segala keperluan anak, baik fasilitas pendidikan sampai makan siang semua di tanggung negara. Tentu saja orang tua juga diberi pilihan apakah anak mereka ingin makan makanan yang disediakan sekolah atau bawa bekal sendiri.

Hal yang tidak ditanggung negara adalah peralatan sekolah berupa baju, celana, sepatu dan kaos kaki, yang mana orang tua anak dapat membeli di toko yang telah ditunjuk oleh sekolah atau membeli sendiri di luar tapi dengan standar yang telah ditentukan sekolah. Standar yang ditentukan tersebut hanya mencakup masalah warna, seperti warna sepatu yang harus hitam polos, celana yang berwarna gelap dan baju yang warnanya tergantung masing-masing sekolah lengkap dengan emblem sebagai identitas sekolah. Ketentuan warna hitam polos pun dimaksudkan supaya semua anak berpenampilan sama sehingga tidak ada yang iri melihat temannya ada yang ngejreng sendiri.

Penampilan berpakaian juga di tentukan oleh sekolah perihal apa yang boleh dipakai dan apa yang tidak, pun dengan maksud yang sama untuk menghilangkan kecemburuan social diantara anak karena masing-masing anak memiliki orang tua yang berbeda latar belakang, sehingga penampilan seorang anak direktur bergaji mentereng ya harus sama dengan penampilan anak cleaning service bergaji UMR, supaya anak tidak minder untuk bergaul dengan teman-temannya. Dalam hal, orang tua anak kesulitan untuk membeli perlengkapan anak pun bukan merupakan masalah serius karena pihak sekolah selalu mengadakan charity day yaitu semacam bazar diskon gede-gedean untuk pakaian sekolah bekas yang masih layak pakai dan barangnya memang masih sangat layak pakai.

Bagaimana dengan sekolah swasta? Di UK memang ada sekolah swasta dan sekolah ini berbayar. Tapi jangan salah yang dibayar disini adalah fasilitas extra di luar fasilitas minimum sebuah sekolah yang ditentukan oleh pemerintah. Jadi pemerintah membuat standar fasilitas minimum sebuah sekolah seperti luas sekolah, rasio anak dan guru, ketersediaan tempat bermain, adanya pagar pengaman, adanya computer, alat bermain anak, buku, ruang kelas yang nyaman, toilet yang bersih dan ramah anak dan lain-lain. Kalau ingin dibandingkan fasilitas sekolah di UK, kira-kira kaya Al-Azhar lah cuma minus PR yang sejiblug.

Yup, di sini anak-anak gak dikasi PR dan pelajaran yang diajarkanpun sederhana gak serumit di Indonesia bahkan buku tulispun mereka gak harus bawa (ini menurut anak teman saya yang sudah SMP di Jakarta dan saat ini masuk kelas 10 di UK). Dan ini adalah standar minimum sekolah yang ditentukan pemerintah dan dibiayai pemerintah 100% tanpa mandang status negeri atau swasta. Nah, untuk sekolah swasta yang memiliki fasilitas esktra untuk pendidikan anak seperti pelajaran berkuda, memanah, kemping, berenang dan mendayung maka orang tua yang harus membayar fasilitas ekstra ini (and believe me it’s ridiculously expensive).

Nah begitulah sekilas tentang pendidikan dasar di UK, bagaimana dengan di Indonesia? Setau saya pemerintah baru menjalankan wajib belajar 9 tahun yaitu SD dan SMP. TK dan PAUD gak masuk hitungan, bahkan SMU pun sependek pengetahuan saya belum di wajibkan. Pendidikan dasar wajib tanpa memandang SARA kecuali anak expatriate. Pemerintah juga membagi para peserta didik (anak-anak) kedalam 3 kasta (walau tidak diakui oleh pemerintah) yaitu kasta paria bagi anak orang miskin, kasta sudra bagi mereka yang berasal dari keluarga yang penghasilan orang tuanya pas-pasan tapi gak masuk kategori miskin, serta kasta satria bagi mereka yang orang tuanya dianggap berkantong tebal (walau masih belum jelas yang dikantongi uang atau surat utang).

Nah, mereka yang dari kasta paria menerima kartu Indonesia pintar yaitu bantuan full dari pemerintah berupa duit dengan nominal tertentu langsung kepada si anak untuk membayar keperluan sekolah mereka dari mulai buku, baju, sepatu, aksesoris, henpon, pulsa oops… setau saya 2 item terakhir dilarang dibeli pakai dana KIP walaupun …. ya gitu deh. Untuk mereka yang dari kasta sudra, orang tua dari kasta ini selalu sibuk setiap tahun ajaran baru terutama untuk bikin surat pernyataan BP7 (Bapak Pergi Pagi Pulang Petang Penghasilan Pas-Pasan) supaya dapat diskon SPP si anak, yah nasib jadi orang yang gak dianggap kaya maupun miskin. Nah, bersyukurlah anak-anak yang dari kasta satria karena pihak sekolah biasanya memberi karpet merah buat mereka dengan privilege tertentu seperti gak ada larangan bawa Galaxy S7 atau Iphone keluaran paling anyar bahkan fasilitas ujian pun disediakan dari mulai kisi-kisi sampai jaminan nilai OK. Padahal orang tua dari anak kasta satria inipun sebenarnya ada 3 golongan yaitu OKB (orang kaya beneran), BPJS (bergaji pas-pasan jiwa sosialita), dan debt collector (alias tukang ngutang sana sini dari mulai BNI, BRI sampai kantin nawilis).

Bagaimana dengan fasilitas pendidikan yang disediakan sekolah? Hal ini sangat bergantung dengan lokasi terutama lokasi peserta didik dari kasta satria. Makin mudah sekolah di akses oleh banyak peserta didik dari kasta satria, fasilitas sekolah pun makin wow (UK mah kalah dah). Makin banyak sekolah di akses oleh peserta didik dari kasta paria dan sudra, biasanya gurunya yang jadi selebritis dadakan karena dipolisikan orang tua akibat mengibas anak mereka supaya disiplin. Padahal saya dulu di sentil dan di cubit sama guru sampai nangis gara-gara gak ngerjain PR, ngelapor sama orang tua malah nambah gamparan (oops.. numpang curcol).

Bagaimana dengan mutu pendidikan antara 2 negara ini? Kalau kita ingin membandingkan mutu pendidikan antara UK dan Indonesia, maka tergantung parameter yang digunakan. Kalau parameter yang digunakan matematika, jelas Indonesia lebih unggul karena matematika yang diajarkan di UK hanya kali, bagi, jumlah dan selisih sedangkan anak-anak di Indonesia sudah diajari diferensial, integral dan trigometri sejak SMP bahkan SD pun sudah belajar aljabar dan geometri.

Kalau parameternya olah raga saya yakin anak UK pasti kalah sama anak Indonesia, karena anak UK selalu diajarkan untuk minta maaf kalau berperilaku agak keras terhadap temannya apalagi kalau sampai menjurus kepada bully, berbeda dengan anak Indonesia yang pantang kalah (bukan pantang menyerah) dan kalau kalah mereka akan mewek atau tawuran.

Tapi kalau parameternya berperilaku sportif, legowo, menyadari kelebihan lawan dan kekurangan diri sendiri, saya yakin anak UK masih bisa lebih unggul dari anak Indonesia karena memang hal-hal inilah yang diajarkan buat anak-anak. Saya pun yakin bahwa sekolah yang peserta didiknya dari kasta satria juga pasti mengajarkan hal-hal yang diajarkan kepada anak-anak di UK tapi sekali lagi hanya untuk kasta satria.

Nah, disinilah pentingnya anggaran pendidikan itu. Untuk bisa menghilangkan pengkastaan di sector pendidikan dibutuhkan anggaran yang luar biasa besar. Kemendikdas harus menyediakan aturan standarisasi sekolah yang mengatur jenis fasilitas yang wajib dimiliki sekolah tanpa membedakan status negeri atau swasta dan tentu saja biaya untuk bisa memiliki fasilitas tersebut di tanggung oleh pemerintah bukan orang tua siswa. Tidak boleh ada sekolah berstandar khusus seperti SBI atau RSBI atau RUPS (ehh…) atau apapun namanya yang hanya anak kasta satria yang bisa akses, sehingga dengan penyamaan standar untuk semua sekolah maka pengkastaan pun akan hilang.

Ditambah juga dengan aturan apa yang boleh dan yang tidak boleh dibawa siswa supaya semua anak berpenampilan sama, sehingga anak tukang bakso gak akan minder main sama anak dirjen. Tentu saja hal ini harus di barengi dengan gratis biaya sekolah tanpa memandang SARA dan status social, bahkan kewarganegaraan kayak di negara-negara EU (kalau yang ini cukup mimpi dulu). Tentu saja jika ada sekolah yang ingin memiliki kegiatan ekstrakurikuler berupa memanah, berkuda, balapan atau lainnya ya silakan dimana biaya eskul ini akan ditanggung oleh orang tua murid. Dan gak usah kawatir ada perbedaan kasta disana, karena sudah pasti cuma anak kasta satria saja yang sanggup dan tentu saja orang tuanya juga mau anaknya sekolah disana.   

Begitupun dengan mutu pendidikan. Mengajari anak matematika memang penting, tapi tidak lebih penting dari pada mengajari mereka sejarah, melukis, menari, memahat termasuk juga mengajari mereka untuk menghargai mahluk hidup lain ciptaan Tuhan. Agar jangan sampai anak-anak melihat satwa liar sebagai komoditas untuk diperjual belikan atau melihat kucing sebagai pelepas stress setelah ujian dengan cara di gebukin sampai mejret. Fasilitas olahraga harus menjadi fasilitas utama yang dimiliki sekolah agar anak-anak dapat berolahraga, belajar untuk pantang menyerah dan sportif dalam artian mau menerima kekalahan dan mengakui kelebihan lawan, bukan diajari untuk pantang kalah, menang bangga, kalah sedih, dicurangin mewek abis itu walk out.

Nah, kembali kepada pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini. Untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut harus dibarengi dengan komitmen untuk mencapai output yang diinginkan yaitu pendidikan yang merata untuk semua warga negara tanpa pengkastaan alias tidak diskriminatif. Apabila untuk dapat mencapai output tersebut diperlukan anggaran yang besar maka jawaban judul tersebut adalah YA.

Sehingga pertanyaan berikutnya adalah “apakah anggaran tersebut cukup?” Jika Ya, bagus donk, jika tidak berarti anggaran pendidikan dalam APBD pun harus wajib 20% dan pemerintah pusat harus bisa memaksa daerah untuk mengikutinya. Hal ini tentu juga dibarengi dengan pemahaman terhadap kearifan local contohnya untuk daerah Papua maka ekstrakurikuler berburu dan memanah bisa menjadi hal yang wajib dan sekolah harus mempunyai fasilitas tersebut. Sedangkan untuk anak-anak di darah pesisir mungkin perlu fasiltas untuk belajar aqua marine sehingga perlu alat-alat diving. Tentu saja anggarannya dapat berasal dari APBN dan APBD. Intinya adalah bagaimana pemerintah pusat harus bisa memberikan panduan kepada pemerintah daerah tanpa mengabaikan kearifan local di setiap daerah.

Hal ini tentu membutuhkan komitmen yang sangat kuat di level pusat dan tentu saja anggaran yang mumpuni juga (bukan naik turun kayak denyut jantung). Lantas bagaimana apabila anggaran 20% tersebut ternyata berlebih? Lha wong untuk mencapai output tersebut saja belum bisa koq sudah bisa bilang berlebih, kalau kurang mungkin dan tentu saja 20% justru akan menjadi pembatas agar pemerintah tidak sembrono untuk dapat mencapai output yang diinginkan, mengingat belanja pemerintah juga kan bukan cuma di sector pendidikan saja.

Saya yakin komponen biaya paling mahal adalah pemberian subsidi kepada anak-anak tersebut. Sebagai ilustrasi anggap saja anak yang harus di subsidi ada 50 juta (dalam APBN 2017 penerima KIP sebanyak 19,7 juta dengan besaran yang berbeda untuk SD, SMP dan SMA dimana paling besar untuk SMA sebesar Rp 1juta/orang/tahun), anggap saja biaya untuk mendidik 1 orang anak dipukul rata Rp2 juta/tahun maka dibutuhkan setidaknya Rp100 triliun/tahun untuk memberikan pendidikan gratis yang inklusif untuk semua anak di Indonesia, di mana anggaran pendidikan dalam APBN 2017 sebesar Rp400 triliun. Lebih dari cukup donk.

Lantas bagaimana dengan gaji para pendidik? Biaya maintenance dan infrastruktur sekolah? Apalagi kalau ada standarisasi infrastrutur sekolah oleh pemerintah, cukupkah duit Rp400 triliun itu? Nah inilah yang paling tricky dan yang selalu menjadi bahan debat kusir para elit. Karena kebanyakan orang hanya berpikir linear bahwa diperlukan dana sebesar sekian untuk memberi subsidi pendidikan buat seluruh anak Indonesia plus gaji guru plus infrastruktur sekolah plus lain-lain. Sehingga munculah angka fantastis yang menganggap pemberian subsidi buat seluruh anak Indonesia adalah hal mustahil. Seharusnya kita berpikir bahwa biaya yang dikeluarkan oleh orang tua anak merupakan uang yang digunakan untuk membayar gaji guru, pembangunan fasilitas sekolah, maintenance dan pembelian alat sekolah karena sekolah selalu memungut uang dari orang tua siswa dengan alasan ini. Logikanya, apabila biaya tersebut ditanggung oleh negara, orang tua siswa sudah gak perlu ngeluarin duit lagi buat bayar SPP sama uang pangkal sekolah bahkan termasuk juga uang jajan si anak.

Dengan kata lain, pemberian dana tunai untuk membeli alat sekolah yang disalurkan untuk kasta paria (melalui KIP) adalah kebijakan yang keliru dan bersifat pemborosan, karena hal ini justru menciptakan diskriminasi dan pengkastaan diantara para siswa dan bahkan tidak menutup kemungkinan untuk menciptakan bully serta perbuatan-perbuatan amoral yang dilakukan ABG alay yang kerap viral di media social. Hal ini justru mencederai prinsip pendidikan itu sendiri yang berkeadilan serta tidak diskriminatif bahkan output yang diharapkan pun malah kerap menyimpang dari tujuan pendidikan nasional yaitu untuk mengembangkan potensi anak agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Yang harus dipikirkan adalah berapa gaji layak seorang guru di setiap daerah dengan memperhatikan indeks kemahalan dari masing-masing daerah, berapa biaya maintenance yang diperlukan, dan berapa biaya untuk pembangunan fasilitas sekolah agar mencapai standar yang ditentukan. Sehingga anak-anak tinggal melangkah doank ke sekolah duduk manis dan belajar yang bener, orang tuanya cukup nganterin saja gak usah pusing dengan SPP dan uang pangkal karena komponen itu sudah di bayar pemerintah.

Bagaimana dengan pembelian alat sekolah, itulah sebabnya kenapa kurikulum sekolah juga harus diperhatikan (silakan lihat argument saya soal mutu pendidikan). Karena kurikulum mempengaruhi alat sekolah apa yang harus dibeli, semakin sederhana kurikulum semakin sedikit pernak-pernik yang harus dibeli dan itulah yang seharusnya dicapai. Toh, UU Sisdiknas juga tidak bertujuan untuk menciptakan semua anak jadi professor kan.

Dalam praktek saat ini memang beberapa sekolah ada yang benar-benar tidak memungut bayaran kepada orang tua siswa tapi syarat dan ketentuan berlaku, sehingga tetap saja masih ada diskriminasi disini. Belum lagi ketimpangan mutu pendidikan untuk setiap sekolah bahkan untuk sekolah yang berstatus negeri sekalipun, dalam daerah yang sama baik level provinsi, kabupaten maupun kota.

Kesimpulannya, tujuan yang kita tentukan dalam UU Sisdiknas memang masih jauh dari standar pendidikan di negara maju. Tapi untuk dapat mencapai tujuan tersebut saja, jauh panggang dari api. Oleh karena itu daripada memikirkan atau bahkan memperdebatkan perlu tidaknya anggaran pendidikan 20% dari APBN, lebih baik waktu dan tenaga kita fokuskan untuk bagaimana agar anggaran yang sudah 20% tersebut dapat mencapai tujuan yang dicita-citakan dalam UU Sisdiknas tersebut. Bahkan kalau perlu bagaimana agar anggaran yang 20% tersebut dapat mencapai standar pendidikan yang setara dengan negara-negara maju tersebut seperti di UK.


* Tulisan ini hanya mengulas pendidikan dasar saja, dimana pendidikan tersebut adalah hak bagi semua warga negara dan selayaknya di subsidi full oleh pemerintah. Di UK, dari mulai PAUD sampai College (periode setelah kelas 12 dan sebelum masuk universitas dan mencakup vokasi) merupakan kategori pendidikan yang di subsidi full oleh pemerintah baik pusat maupun daerah. Apakah pendidikan tinggi juga perlu di subsidi full layaknya pendidikan dasar? Akan saya bahas lain waktu.

Penggunaan Motor di Ibukota: Solusi atau Penyebab Kemacetankah?


Kondisi kemacetan di Ibukota yang kian hari semakin parah membuat masyarakat semakin gerah. Boleh dibilang banyak wacana yang dikeluarkan sebagai solusi untuk mengatasi kemacetan yang semakin parah ini. Tentu saja solusi yang diberikan juga mengandung pro dan kontra dikalangan masyarakat sendiri. Salah satu wacana yang sedang hangat-hangatnya dan tentu saja sarat pro dan kontra adalah larangan bagi sepeda motor untuk tidak melintas di sepanjang Jalan Sudirman dan Rasuna Said pada hari Senin s.d Jumat antara pukul 6 pagi s.d 11 malam.

Wacana ini tentu mengandung pro dan kontra dan dapat ditebak mana masyarakat yang kontra dengan aturan tersebut dan mana yang pro dengan aturan tersebut. Masyarakat yang kontra dengan aturan baru tersebut dapat dipastikan hampir 100% adalah pengguna motor di Ibukota. Terlebih lagi alasan munculnya pengaturan ini adalah dengan mengatakan motor adalah penyebab kemacetan di Ibukota. Lagi-lagi masyarakat pengguna motor memprotes dengan mengatakan hal yang sebaliknya. 1001 argumen muncul dari mulai kemampuan motor yang dapat menembus kemacetan dengan lincah sampai argument bahwa ukuran dimensi 1 mobil setara dengan 4 motor dimana 4 motor minimal membawa 4 orang sedangkan 1 mobil hanya membawa minimal 1 orang. Saya menggunakan ukuran minimal karena daya tampung maksimal 4 motor dan 1 mobil bisa merupakan ranah perdebatan yang tak kunjung usai.

Tapi benarkah bahwa motor merupakan penyebab kemacetan di jalan-jalan Ibukota? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut mari kita lihat secara lebih fair dari sudut pandang pengguna jalan yang lain baik itu sesama kendaraan bermotor maupun pejalan kaki. Sudah hal yang umum untuk melihat pemotor naik ke pedestrian ketika jalanan macet. Dengan kata lain hanya untuk menghindari kemacetan maka hak pejalan kaki harus dirampas demi kepentingan pengguna motor. Merupakan hal yang lazim pula melihat pengguna motor masuk ke jalur busway dan menghambat busway yang sudah melaju dimana busway tersebut membawa ratusan penumpang yang harus terhambat ketempat tujuan demi kepentingan para pengguna motor. Sudah hal yang lazim pula melihat pengguna motor yang berjalan di jalur yang berlawanan karena jalur yang searah sedang macet, sehingga pengguna jalan yang lain diwajibkan mengalah seolah hak mereka lebih inferior dibandingkan pengguna motor. Bahkan dalam kemacetan pun banyak sekali motor yang menggunakan celah antar kendaraan roda 4 atau lebih untuk melintas tanpa mempedulikan sisi sebelah mana dan sebesar apa celah tersebut.

Mungkin dalam pikiran para pengguna motor bahwa inilah kelincahan motor, padahal menurut saya inilah kezaliman para pengguna motor yang dengan egoisnya seolah ingin mengatakan bahwa “kepentingan ku lebih penting dari diri mu, jadi minggirlah”. Para pengguna motor banyak atau mungkin nyaris semua tidak paham bahwa perilaku mereka inilah yang menyebabkan pengguna kendaraan yang lain tidak dapat optimal menggunakan ruang gerak mereka karena terganggu oleh motor. Bagaimana mungkin pejalan kaki menyeberang jika zebra cross diisi motor dimana ketika lampu lalin hijau dan motor-motor dapat melaju dengan cepatnya dan tiba-tiba pejalan kaki gantian menyeberang mengganggu mobil sampai lampu lalin merah kembali. Bahkan untuk kejadian melawan arus, para pengguna motor akan beramai-ramai untuk melawan arus sampai akhirnya pengguna jalan yang berada di jalur yang benar harus berjalan pelan dan menyebabkan kemacetan di jalur tersebut sehingga munculah kemacetan yang diakibatkan para pengguna motor tersebut.

Jadi apabila ada argument bahwa motor adalah penyebab macet di jalanan ibukota, maka berdasarkan fakta tersebut, jawabannya adalah YA.

Bagaimana dengan argument bahwa justru motor merupakan solusi untuk kemacetan parah di jalan ibukota? Sekilas memang inilah jawabannya, terutama bagi mereka yang kesehariannya menggunakan motor. Tetapi sebelum pertanyaan ini dijawab maka biarlah para pemotor yang menganggap bahwa motor adalah solusi kemacetan menjawab pertanyaan ini terlebih dahulu.

1.      Apakah anda pernah memacu motor di pedestrian?

2.       Apakah anda pernah memacu motor di jalur busway?

3.      Apakah anda pernah memacu motor dengan melawan arus?

4.      Apakah anda pernah memacu motor sambil memotong jalan kendaraan lain?

5.      Apakah anda pernah memacu motor di antara celah antar kendaraan pada saat terjadi kemacetan?

6.      Untuk pertanyaan dengan jawaban “Ya”, apakah anda akan mengulangi perbuatan ini lagi?

Saya yakin apabila pertanyaan ini dijadikan survey kepada para pengguna motor, maka lebih dari 90% akan menjawab “Ya” minimal salah satu dari pertanyaan nomor 1 s.d 5. Bahkan untuk pertanyaan ke 6 pun saya yakin sebagian besar dari mereka yang menjawab “Ya” pada pertanyaan sebelumnya juga akan menjawab “Ya” untuk pertanyaan ini, sedangkan sisanya akan menjawab “Tidak dengan catatan” yang bagi saya adalah justifikasi mereka untuk kembali melakukannya lagi. Bahkan untuk pertanyaan nomer 1 s.d 5 pun banyak yang akan menjawab "Tidak" tapi dengan catatan yang notabene adalah merupakan pembenaran mereka untuk menjawab "Ya".  Oleh karena itu adalah suatu fakta, bahwa yang mereka anggap sebagai solusi memang merupakan solusi bagi mereka tapi kezaliman bagi pengguna jalan yang lain yaitu pejalan kaki dan kendaraan bermotor roda 4 atau lebih.

Seandainya saja para pengguna motor yang dapat menjawab pertanyaan 1 s.d 5 dengan kata “Tidak” yang unconditional berjumlah 90% dari para pengguna motor yang ada di Ibukota, maka saya yakin bahwa para pengguna motor tidak akan menganggap motor sebagai solusi untuk mengatasi kemacetan. Hal ini karena baik motor maupun kendaraan lain yang menggunakan jalanan Ibukota memiliki kontribusi yang sama dalam menyebabkan kemacetan di jalanan Jakarta.

Saya pun termasuk pengguna motor, walaupun tidak punya motor karena hanya sebagai pengguna jasa ojek online. Saya termasuk yang tidak setuju dengan aturan pelarangan motor tersebut, tapi saya lebih tidak setuju lagi dengan argument yang digunakan para pemotor tersebut. Dimana argument mereka pada dasarnya adalah pembenaran untuk perbuatan zalim mereka kepada pengguna jalan yang lain. Bahkan tidak jarang dalam menggunakan jasa ojek online saya selalu melakukan permintaan khusus yaitu “Mas, santai saja, yang penting nyampe dan gak usah ngelangar rambu” baru deh abang ojeknya mau disiplin. Tapi masa iya saya harus mengucapkan kalimat itu terus menerus.

Debat Kusir Inklusi Keuangan Ala Pegawai Yang Gak Buat Nota Dinas

Baru-baru ini terjadi perdebatan dahsyat di sebuah grup WA dari para pegawai sebuah institusi keuangan yang sedang tidak membuat nota dinas. Penyebab debatnya sederhana, yaitu gara-gara ada salah satu member grup yang ngiklanin ini untuk kemudian ditanya kembali oleh saya “Apasih inklusi keuangan?” pertanyaan yang simple karena emang saya tidak tahu apa itu artinya inklusi keuangan walaupun punya background ekonomi. Awalnya memang ada yang menjawab, walaupun alakadarnya tapi cukup lah buat saya yang gak tahunya banyak. Tapi mungkin karena pengaruh energy pagi hari yang memang luar biasa, apalagi kalau habis isi BBM di kantin parkir favorit, ada aja oknum grup yang tiba-tiba mengkaitkan inklusi keuangan dengan RIBA. Ya saya tulis pakai capital semua karena memang 4 huruf ini emang jadi momok bagi sebagian orang tertentu yang mengusik sebagian orang lainnya.
Tapi mari kita kembali dulu ke laptop apa sih itu inklusi keuangan? Supaya mendapat informasi yang jelas dan berimbang, saya pun memutuskan untuk bertanya pada sahabat saya yaitu mas gugel, dan diperolehlah informasi yaitu ”Definisi inklusi keuangan berdasarkan Strategi Nasional Keuangan Inklusif dari Bank Indonesia memiliki pengertian yaitu hak setiap orang untuk memiliki akses dan layanan penuh dari lembaga keuangan secara tepat waktu, nyaman, informatif, dan terjangkau biayanya dengan penghormatan penuh kepada harkat dan martabatnya”. Hmmmm…. Apa hubungannya sama riba ya? Dan jika ditelaah lagi dengan seksama, inklusi keuangan bertujuan untuk:
1.Meningkatkan efisiensi ekonomi.
2.Mendukung stabilitas sistem keuangan.
3.Mengurangi shadow banking atau irresponsible finance.
4.Mendukung pendalaman pasar keuangan.
5.Memberikan potensi pasar baru bagi perbankan.
6.Mendukung peningkatan Human Development Index (HDI) Indonesia.
7.Berkontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi lokal dan nasional yang sustain dan berkelanjutan.
8.Mengurangi kesenjangan (inequality) dan rigiditas low income trap sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang pada akhirnya berujung pada penurunan tingkat kemiskinan.
Bukankah ini sangat positif sekali, riba nya dimana? Tapi ya sudahlah, saya gak mau menciptakan polemik baru dengan membahas masalah riba yang ujung-ujung nya OOT.
Intinya adalah daripada menyalurkan energy untuk membahas sesuatu yang berujung pada sebuah topik baru alias OOT lebih baik focus kepada topik tersebut yaitu apakah yang dimaksud dengan kompetisi inklusi keuangan KOINKU 2017? Nah sebaiknya di baca aja disini. Jangan tergiur oleh besarnya hadiah karena toh banyak dari kita yang memang tidak eligible untuk ikut serta termasuk saya. Dan berhubung kerjaan saya lagi banyak yowes lah tak sudahi dulu breaknya. Tapi sekedar saran mungkin ada baiknya acara coffee morning diadakan setiap hari mengingat energy para sohib saya yang tidak membuat nota dinas yang sangat besar di pagi hari tapi kendor pasca lunch break (mungkin karena mereka membuat nota dinas di siang hari). Apakah kegiatan ini akan mengurangi debat di pagi hari di grup WA? Tentu saja tidak. Lagian debat kusir di grup WA juga kan bagus untuk olahraga jari hehehe.   

Industrialisasi Garam sebagai solusi krisis garam, Mungkinkah?

Baru-baru ini kita mendapati harga garam yang semakin melambung yang berimbas pada keluhan semua pihak yang merupakan konsumen garam, dari mulai kalangan industri sampai ibu-ibu rumah tangga. Sebenarnya permasalahan garam ini merupakan merupakan masalah klasik karena selalu terjadi dan pasti akan terus terjadi. Akhirnya banyak pihak yang mengeluh bagaimana mungkin negara maritime yang 2/3 wilayahnya lautan tapi mengalami krisis garam.

Pemerintah pun menangani masalah ini dengan metode business as usual yaitu menggenjot produksi garam dalam negeri yang menurut saya sudah berada di tingkat jenuh. Usaha ini pun pada akhirnya kembali lagi pada masalah klasik yaitu tehnik produksi yang masih tradisional, kondisi cuaca yang terlalu basah dan luas lahan yang tidak pernah bertambah (bahkan berkurang).

Memang benar teknologi yang digunakan untuk memproduksi garam adalah dengan menggeringkan air laut didalam tambak garam. Teknologi ini merupakan hal yang lumrah dilakukan di negara-negara yang memiliki wilayah laut yang luas sekaligus juga memiliki kelemahan sebagaimana disebut sebelumnya.

Selain dengan tehnik pengeringan laut di tambak garam, ada metode lagi yang digunakan untuk memproduksi garam yaitu dengan cara menambangnya di dalam bumi. Tetapi hal ini hanya bisa dilakukan oleh negara-negara yang wilayahnya merupakan wilayah yang dahulunya adalah lautan purba. Sehingga endapan garam yang terakumulasi di perut bumi merupakan endapan sisa-sisa dari lautan purba tersebut. Indonesia tidak memiliki berkah ini sehingga tidak mungkin untuk melakukan penambangan garam di Indonesia seperti yang dilakukan di Australia, Canada, USA dan beberapa negara Eropa Tengah dan Asia Barat.

Tapi ada satu teknologi yang dapat digunakan dan belum pernah dicoba untuk industri garam walaupun teknologi ini sudah lumrah digunakan untuk industri yang lain. Untuk menggunakan tenologi ini dibutuhkan industrialisasi dua komoditas yaitu air bersih dan garam. Teknologi ini disebut Vacuum Evaporation.

Teknologi vacuum evaporation ini menggunakan metode pemanasan air di dalam ruang hampa. Sesuai dengan hukum termodinamika maka titik didih air akan turun berbanding lurus dengan tekanan didalam ruangan. Teknologi ini memiliki beberapa kelebihan yaitu

1)        Tidak tergantung cuaca karena proses dilakukan di dalam tabung vakum yang tertutup rapat. Dalam proses vakum ini semakin rendah tekanan yang diberikan, semakin rendah titik didih air. Bahkan air dapat menguap pada suhu 00 celcius tergantung tekanan di ruang vacuumnya. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan produksi karena produk jadi dapat dipanen setiap hari bahkan setiap jam.

2)        Teknologi ini tidak memerlukan lahan yang luas bahkan dapat menggunakan lahan yang sudah ada. Hal ini karena air laut di olah di dalam tabung tertutup berukuran 1 M3. Sebagai ilustrasi lihat saja toren air yang berukuran 1000 liter. Luas lahan yang digunakan untuk membuat tower toren tersebut itulah kira-kira luas lahan yang diperlukan untuk 1 unit evaporator berkapasitas 1000 liter.

Bagaimana dengan jumlah produksi garamnya? Hal ini tergantung dengan tingkat salinitas air laut. Salinitas air laut di Indonesia adalah sekitar 3,3% per 1000. Artinya setiap 1 liter air laut terdapat kandungan garam 33 gram. Jadi kalau 1 unit evaporator berkapasitas 1000 liter diisi penuh dengan air laut, berarti ada kandungan garam seberat 33 Kg disitu. Jika di asumsikan 1 unit evaporator dapat menguapkan air sampai habis dalam waktu 1 jam, maka dalam 12 jam terdapat 396 kg garam. Dengan asumsi bahwa produksi berjalan setiap hari, maka dalam setahun 1 unit evaporator akan menghasilkan 142,6 ton garam. Jika sebuah pabrik memiliki 1000 unit evaporator produksi akan mencapai 142.560 ton per tahun.

Sekedar informasi, produksi PT Garam tahun 2015 adalah 340.000 ton itu pun dengan lahan 5.340 hektar. Dengan asumsi 1 evaporator memakan lahan seluas 2,25 M2, maka 1000 evaporator hanya butuh lahan seluas 22.500 M2 atau 0,225 Hektar. Bayangkan hanya dengan lahan 1 hektar saja bisa memproduksi sampai 1/3 dari produksi PT Garam tahun 2015.

Tetapi teknologi ini memiliki kekurangan yaitu membutuhkan energy listrik yang tinggi. Untuk mengolah 1 M3 air laut diperlukan daya sampai 170 KWh. Hal ini tentu saja ditentukan oleh tehnik vakum yang digunakan sehingga konsumsi listriknya berada di kisaran 50 - 170 KWh/M3. Sehingga jika diasumsikan harga listrik adalah USD10 cent/KWh dan nilai tukar yang digunakan adalah Rp13.400/USD, maka 1 unit evaporator akan menelan biaya operasional dari listrik saja sekitar Rp984 juta/tahun.

Hal ini menyebabkan industri garam saja menjadi tidak kompetitif jika menggunakan teknologi vakum ini. Karena jika kita menggunakan harga garam normal Rp1000/kg, maka revenue dari penjualan garam dari 1 unit evaporator hanya Rp142,5 juta/tahun. Ya jelas gak ada yang mau pakai teknologi ini buat industri garam.

Oleh karena itu, industri garam harus digabungkan dengan industri air bersih, karena memang teknologi vakum banyak digunakan untuk pengolahan air bersih di luar negeri seperti desalinasi maupun pengolahan air limbah. Nah, jika dengan menggunakan teknologi yang dipakai saat ini dalam produksi garam, air laut dibiarkan menguap di alam bebas. Sedangkan dengan teknologi vakum, air yang menguap dapat dikondensasikan dan menjadi air bersih yang bisa langsung diminum atau dengan kata lain air dari hasil distilasi. Jika diasumsikan harga airnya adalah Rp200/liter maka nilai yang didapat dari penjualan air tersebut per unit evaporator adalah Rp864 milyar/tahun. Sehingga jika diasumsikan sebuah pabrik memiliki 1000 unit evaporator dan menjual produk utama berupa garam dan air bersih dimana garam dijual seharga Rp1000/kg dan air Rp200/liter serta mengeluarkan biaya lain-lain berupa gaji pegawai dan overhead sekitar Rp10 milyar/tahun. Maka profit dari industri ini bisa mencapai Rp12,6 milyar/tahun dengan lahan tidak sampai 1 hektar.

Ide ini memang sangat radikal karena terus terang saya belum pernah dengar ada industri garam yang menggunakan teknologi vakum. Tetapi industri lain yang menggunakan teknologi vakum sudah ada seperti industri gula, industri pengolahan limbah cair dan industri pengolahan air bersih di luar negeri ya. Kalau di Indonesia satupun belum ada. Teknologi ini selain mengunakan lahan yang tidak banyak, juga low maintenance dan low labor cost dalam artian padat modal bukan padat karya. Industri yang menggunakan teknologi ini juga akan menimbulkan dampak bagi industri yang sudah existing yaitu industri garam yang pengolahannya oleh petani garam dan industri AMDK (air minum dalam kemasan). Dengan kata lain, jika industri ini muncul maka akan menimbulkan efek disruptif kepada industri lain yang sudah besar dan mapan.

Terkait dengan efek disruptive, saya tidak kawatir dengan industri garam karena petani garam dapat menggunakan tambak mereka untuk melakukan budidaya udang atau ikan yang memiliki nilai tambah lebih tinggi dari garam. Bahkan mereka dapat lebih fokus untuk di usaha tersebut tanpa pusing mikirin cuaca. Sedangkan PT Garam malah bisa menggunakan lahannya untuk industri lain berbasis maritime yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi seperti budidaya udang, rumput laut dan lain-lain.

Industri AMDK lah yang akan benar-benar terdampak oleh industri baru ini karena dengan adanya pabrik yang memiliki 1000 evaporator maka produksi air bersihnya dapat mencapai 4.300 M3 atau 4,3 milyar liter air bersih per tahun. Jika dibandingkan dengan produksi total AMDK tahun 2015 sebesar 21 milyar liter, maka industri baru ini akan menjadi musuh baru bagi industri AMDK lain yang sudah mapan. Apalagi jika industri baru ini malah menjadi pemasok air minum langsung ke konsumen melalui pipa sehingga bisa langsung minum air dari keran. Di sisi lain, kita juga bisa lihat tempat dimana air minum tersebut diperoleh, daerahnya menjadi kekurangan air, penduduk setempat kesulitan mengakses air bersih bahkan daerah yang dulu banyak lahan pertanian malah jadi alih fungsi karena banyak mata air yang hilang. Sehingga apabila industri baru ini menyebabkan beberapa pabrik AMDK gulung tikar setidaknya akan berdampak positif terhadap penduduk yang lingkungannya di rusak oleh industri AMDK.  

Satu lagi yang akan terimbas adalah para importir garam, karena jika ada 40.000 unit evaporator maka produksi garam kita menjadi 5,7 juta ton/tahun, cukup untuk memenuhi kebutuhan domestic bahkan surplus karena kebutuhan domestik kita adalah 4,2 juta ton/tahun dan hanya butuh 40 hektar lahan dan berkurangnya eksploitasi air tanah. Tetapi, sekali lagi adanya 40.000 unit evaporator justru akan menciptakan 17,2 miliar liter air minum sehingga dapat dipastikan pasar AMDK akan semakin terdistorsi oleh air hasil distilasi. Sehingga dampak lain yang muncul akibat dihajarnya industri begal garam (baca: importir) dan AMDK yang kemungkinan ada yang akan gulung tikar, adalah munculnya penganguran, tapi akan dibahas di tulisan yang lain. Hitungan-hitungan yang saya buat pun merupakan hitungan kasar terutama dari besaran lahan. Walaupun saya yakin 40 ribu unit evaporator tidak akan memakan lahan sampai ribuan hektar, mungkin bisa mencapai 100 hektar mengingat diperlukannya lahan untuk storage dan lain-lain. Tapi yang pasti investasi yang saya bicarakan untuk industri ini adalah milyaran dan semoga saja tidak mencapai trilyun.

So, tertarik untuk mencoba usulan saya?  

Tulisan ini juga tayang di http://www.kompasiana.com/aycorn/59833bdba71c8359d822b872/industrialisasi-garam-sebagai-solusi-krisis-garam-mungkinkah
lengkap dengan referensinya

ACL


Anterior Cruciate Ligament atau ACL. Ya, ini adalah arti dari judul tulisan ini. Mungkin banyak yang tidak tahu apa ACL itu dan ini adalah pengalaman saya yang tidak sadar punya cedera selama hampir 20 tahun. Jadi ACL adalah jaringan otot dibalik tempurung lutut yang memberikan kestabilan pada kaki kita. Tanpa ACL bisa dipastikan kita akan keseleo terus dalam melakukan setiap aktivitas.

Jadi kejadiannya waktu saya masih sekolah dan unyu-unyu (mau bilang SMU takut umur ketauan), pada saat pendidikan jasmani, sama pak guru di ajarin tehnik lompat tinggi, bagaimana supaya bisa loncatin mistar dan jatuh di matras empuk yang bener (khusus untuk posisi mistar yang pendek, bisa langsung mendarat dengan posisi berdiri). Berhubung pelajaran Penjas cuma 2 jam seminggu ya kurang donk, jadinya sekelompok anak (termasuk saya) memutuskan untuk menjajal tehnik ini untuk ngelompatin tembok dan alasnya beton (tentu saja kita tidak menjatuhkan diri di beton karena pagarnya juga gak terlalu tinggi). Dasar apes, pas saya loncat kaki ini malah menyentuh pagar, makanya lompatan tidak sempurna dan …… (tepat jatuh di lutut). Sejak saat itulah saya selalu merasakan gangguan di lutut kanan berupa gampang keseleo pas olah raga.

Waktu itu sudah cek up ke dokter orthopedi terus di rontgen dan hasilnya tulang dalam keadaan Ok. Dokter menduga ada jaringan yang putus dibalik lutut (ACL ada di balik lutut). Saran dari dokter di operasi aja di Singapura. Weleh, itu tahun 1999 gak ada BPJS ato KIS atau kartu-kartu yang lain (kalau operasinya di Singaparna sih masih ok dah). Dan saya putuskan gak perlu pake operasi-operasian cukup pake decker lutut aja. Apalagi deckernya ada besi penyangganya jadi gak masalah setidaknya untuk aktifitas kayak naik gunung masih Ok lah. Padahal itu decker untuk orang cedera supaya bisa istirahat jadi lututnya bisa cepet sembuh, tapi sama saya malah saya pakai untuk naik gunung, gowes, rafting, trekking, jogging termasuk juga skiing dan snowboarding waktu di Jepang.

Walhasil, cidera tersebut kambuh dan mumpun waktu itu masih di jepang, saya cek aja ke RS toh di cover asuransi kan. Ternyata dokter menyarankan saya untuk di MRI. Setelah MRI terlihat ada masalah di lutut dan berhubung si dokter cuma bisa ngomong Nihongo alias Bahasa Jepun tanpa sedikitpun English ya bingunglah saya akan masalahnya (lha wong gak ngerti dia ngomong apa dan intepreterpun gak bisa jelasin dengan baik). Dokterpun menawarkan operasi, dan berhubung semua dicover asuransi yowes kenapa tidak (gratis ini pikirku tanpa tahu si dokter mau berbuat apa sama lutut ini). Jadilah lutut ini di operasi tahun 2008, 2 bulan sebelum kelulusan. Operasi saat itu meninggalkan 2 titik luka di lutut. Saya di opname selama 3 hari tanpa sanak keluarga mendampingi, beruntung mantan-mantan saya eh maksudnya teman-teman saya pada rajin besuk.

Sepertinya operasi tersebut berhasil, walaupun saya juga bingung apa langkah selanjutnya pasca operasi. Karena saya sudah pulang dan tidak mungkin kontrol ke dokter ya sudah saya biarkan. Sampai suatu hari di tahun 2009 tiba-tiba tempurung lutut kanan bergeser sendiri dan yang harus saya lakukan untuk mengembalikannya ke tempat semula adalah cukup dengan membuat gerakan menendang sampai bunyi ‘klik’. Sejak saat itu saya curiga bahwa saya mengalami CLBK (cedera lama berulang kembali). Tapi saya juga bingung mesti konsultasi ke siapa, karena saya masih meragukan kualitas dokter ortopedi di Indonesia.

Akhirnya atas paksaan ibunda tercinta, saya memutuskan untuk ke poli orthopedi di RS Pasar Rebo Jaktim. Begitu ketemu dokter, saya ceritakanlah semuanya dari A sampai Z dan dokter pun memberi saya saran yang luar biasa.

“Bapak punya cedera di lutut, mulai sekarang bapak udah gak boleh lagi aktifitas yang memberi beban extra ke lutut kayak jogging apalagi naik gunung. Trus kalo naik turun tangga juga satu-satu pakai kakinya. Pokoknya untuk olahraga yang pakai kaki stop dulu deh” Saran si dokter.

“(WTF, ini dokter atau koas sih!! Emangnya orang disuruh cepet tua apa ya)” gumam saya dalam hati sambil bertanya “gak ada alternative lain dok?”.

Dokterpun menjawab dengan simple “sebenernya harus di MRI sih, tapi kita (RS Pasar Rebo) gak punya alatnya. Kalau mau coba aja di (RS) Fatmawati”. Udah gitu saja, sembari diam sambil bergaya mikir kayak orang keblinger. Saya hanya menghela nafas panjang, dasar dokter semelekete masa iya saya disuruh stop olahraga, gowes, lari dll. Eta mah yang ada penyakitnya numpuk n cepet tua. Sambil geleng-geleng, gak lagi-lagi deh ke Pasar Rebo untuk urusan lutut. Dan masalah pun berlanjut dan semakin parah karena saat-saat tertentu mulai kerasa cenat-cenut di lutut kanan selama beberapa hari sampai hilang sendiri.

Tahun 2013, masalah ini semakin mengganggu dan istri pun menyuruh alias maksa saya untuk cek ke RS (udah gak nyaranin lagi karena saya selalu menolak cek ke RS). Pilihanpun jatuh ke RSPAD karena dekat kantor walaupun ada beberapa teman yang nyarani saya supaya cek up ke RS Persahabatan ada juga yang bilang ke RS Jakarta. Yah sudahlah, saya ambil aja yang terdekat toh RSPAD kan RS tentara dan ada alat MRI juga jadi setidaknya gak disuruh pergi ke RS lain lah.

Ternyata dokter orthopedi RSPAD lebih ‘jenius’ lagi daripada yang di pasar rebo. Sesudah saya ceritakan semua permasalahan termasuk histori dari lutut (bahkan lebih jelas dari tulisan ini), pak dokter pun berkata “hmm… kira-kira apa ya” di timpali sama suster “nah gimana tuh dok?”. Kata dokter lagi “ya sudah rontgen dulu deh”. “nah bener tu dok di rontgen” timpal susternya.

Waladalah, serasa masuk OVJ apa ya. Dokternya planga-plongo kebingungan mau ngasi tindakan apa dan susternya juga latah-latahan pengen ikut campur. Dokternya juga sudah tahu kalau tidak ada masalah sama tulang tetap saja tidak mau melanjutkan langsung ke MRI. Padahal dulu di Jepang dokternya langsung ke MRI gak pake rontgen. Yah, prihatin saya sama personel TNI kita, dirawat nya sama dokter lulusan Haji Naim. Sejak saat itu skeptis lah saya sama dokter kita untuk konsultasi masalah lutut. Nyari dokter yang tahu masalah saya sulit banged kayaknya.

Akhirnya saya pun melanjutkan studi S3 di UK. Pikir ku, yah semoga lutut tidak memberi masalah disini. Tapi ternyata salah, masalah lutut ini semakin menjadi-jadi. Sampai akhirnya istri saya maksa saya untuk ke poliklinik kampus. Di UK kita gak bisa langsung ke RS semua harus melalui dokter umum atau General Practitioner itupun harus pakai appointment dulu yang kadang bisa sampai 1 minggu. Sewaktu bertemu dokter, apa yang dilakukan oleh dokter itu pun sama dengan yang dilakukan oleh dokter di RSPAD dan pasar rebo. Saya pun menceritakan semua histori dari lutut ini yang langsung di cut sama si dokter seakan dia gak mau denger cerita saya dan langsung ngecek lutut saya. Dokter pun menyatakan bahwa saya perlu di athroskopi yaitu di masukin alat kedalam lutut untuk memperbaiki ACL saya, karena dia curiga bahwa masalah saya disebabkan oleh ACL yang rusak.

Wow sebuah statement yang tidak saya harapkan dari seorang dokter di klinik kampus. Bahkan saya menimpali dengan bertanya apa itu ACL dan bagaimana bisa cedera ACL terjadi. Dokter pun menyatakan itu cedera yang umum terjadi sama atlet dan anak kuliahan biasanya sering mengalami cedera ACL terutama mereka yang sering olahraga atletik seperti main sepakbola karena cedera ACL biasa terjadi akibat di tackle pas main bola. Bahkan dokterpun bertanya apa saya dapat cedera ini waktu main bola (jadi malu ngasi jawabannya). Ia pun menambahkan bahwa cedera ACL bisa sembuh dan biaya operasi ACL di UK di tanggung asuransi jadi gratis deh. Setidaknya gak sia-sia bayar 3000 pound buat bayar asuransi di UK hehehe.

Singkat kata saya pun dibuatkan appointment untuk konsultasi di klinik orthopedi di RD&E (Royal Devon & Exeter) hospital. Dokter orthopedi pun bertanya-tanya dan kali ini saya jelaskan semua histori dari lutut ini. Metode yang dilakukanpun sama dengan dokter-dokter sebelumnya dan langsung memutuskan bahwa saya harus di scan MRI dulu untuk tahu pokok permasalahannya. Saya juga dibuatkan appointment untuk melakukan fisioterapi yang saya harus rutin melakukannya selama 6 kali (ini juga gratis J).

Di UK pasien tidak bisa melihat hasil MRI, berbeda dengan di Jepang dimana dokter memperlihatkan hasil MRI dan mengobrol langsung dengan pasien apa masalahnya. Itu pulalah yang membuat saya terkejut, selang beberapa bulan setelah MRI tanpa ada kabar berita pasca MRI, tiba-tiba menerima surat bahwa ada cedera serius berupa ACL rupture (putus) sama meniscus (walah apalagi ini) dan pihak RS menawarkan operasi untuk memperbaiki cedera tersebut. Weleh, ujug-ujug koq operasi, tanpa konsultasi dulu sama pasiennya.

Akhirnya saya putuskan konsultasi lagi sama dokter di klinik kampus. Dokter klinik menjelaskan bahwa ACL saya putus dan berhubung selama ini didiamkan cederanya, meniscusnya pun ikut rusak. Meniscus adalah tulang rawan diantara tulang atas dan bawah lutut (lihat gambar). Jadi dapat dikatakan cedera yang saya alami ini sangat parah, sampai dokter pun heran koq bisa-bisanya saya hidup normal dengan ACL putus. Ia pun mengatakan supaya gak perlu kawatir karena ACL surgery bukanlah suatu hal yang perlu di takuti karena sudah biasa dan banyak atlet yang pulih kembali pasca operasi ACL dan dia ngasi contoh salah seorang pemain MU (lupa namanya) yang bisa main bola lagi sesudah cedera ACL. Apalagi dia juga menambahkan bahwa operasi ACL itu sangat mahal, di Amrik biayanya bisa mencapai $10 ribu (wow banged kan), sedangkan di UK operasi ini gratis di cover asuransi sampai si pasien bener-bener sembuh, dengan kata lain post surgerynya pun juga di tanggung jadi pasien gak langsung dilepas begitu saja (lebih wow lagi nih). Ok, kalau begitu saya putuskan untuk menerima tawaran operasi ACL ini.

Singkat kata, saya pun menemukan kembali perbedaan antara operasi ACL yang dilakukan di UK dengan di Jepang. Saya tidak tahu apakah ada perbedaan teknologi untuk operasi ACL tahun 2008 dengan tahun 2017, yang jelas kalau dulu saya di opname 3 hari, untuk yang sekarang operasi pagi sorenya langsung pulang. Kalau dulu cuma ada 2 luka kecil di lutut, sekarang ada 4 dan yang satu gede banged, karena operasi sekarang menggunakan jaringan yang diambil dari otot paha untuk menggantikan ACL yang putus (yang dulu gak tahu). Kalau dulu saya mulai fisio di hari kedua opname, sekarang fisio dimulai segera setelah saya sadar dan sudah makan.

Dokter juga memberitahu bahwa recovery untuk operasi ini sekitar 1 tahun tapi itu juga tergantung dari tekad saya untuk terus fisioterapi. Karena operasi ACL hanya 50% dari ikhtiar kesembuhan sisanya adalah fisioterapi again and again. Well, saya masih punya 2 tahun di UK semoga saja lutut ini bisa sembuh permanen, dan bisa bebas buat gowes, jogging dan olah raga yang lain tanpa pusing mikirin lutut bergeser lagi.


PS: saya dengar di RSCM juga ada klinik khusus yang menangani cedera ACL namanya klinik sport injury dan katanya bisa pakai BPJS walaupun sepertinya tidak di cover 100%. Tapi sekali lagi, ini cuma denger-denger doank ya.