Tampilkan postingan dengan label Indra Koerba. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Indra Koerba. Tampilkan semua postingan

LELAKI INI DAN PEREMPUAN ITU DAN HUJAN HARI ITU

Hujan. Lelaki Ini selalu suka hujan. Baginya, titik pertama air hujan bagaikan satu ketukan metronome. Mengorkestrasi titik-titik berikutnya. Dua, tiga, lima, tujuh, seribu sampai tak hingga ketukan. Lelaki Ini memejamkan mata, menajamkan telinga. Mencoba menangkap ketukan demi ketukan yang mencipta kata. Ketukan yang menciptakan jeda, hingga terangkai kalimat indah. Lelaki ini tersenyum. Sedikit pongah, sebagai indu - ra, sang penguasa hujan. Sampai akhirnya cambuk Zeus menyadarkannya. Dirinya tak lebih curahan awan yang lelah menahan gelisah. Menjadi genangan, lalu buyar oleh riak roda kereta besi. Hujan masih menyampaikan pesan. Satu satu lamat tersamar. Lelaki Ini mengumpulkan asa yang tersisa. Lalu kecewa. Ketika hujan tidak menyampaikan apa-apa. Hanya hening panjang penuh prasangka. Lelaki Ini terluka, laksana tanah dicecar pasukan tirta.

***

Hari itu harusnya mudah. Tidak beda dengan hari-hari lainnya. Semua tugas bisa tuntas. Hanya beberapa rapat ini itu. Mudah saja. Kemampuannya bahkan masih berlebih untuk sekedar menyempatkan membaca buku favoritnya, mendengarkan lagu atau sekedar menulis cerpen atau puisi. Just a daily routines. Tapi, terkadang dunia ini seperti bercanda. Hal-hal indah bisa berubah jadi air mata. Hati yang berbunga seketika layu meranggas mati tanpa sempat mengecap madu. Begitupun hari itu. Distance does matter. Lelaki Ini bagai kehilangan jiwanya. Tubuh tanpa rasa. Berbagai rasa tercampur, dan semua pikiran menyatu, meletupkan bara cemburu. Posesif. Terabaikan. Apakah ini akibat terlalu cinta?. Dimana rasa percaya?. Mereka sama-sama rapuh. Jangankan badai tsunami, gelombang biasa saja sudah mampu meluluhlantakkan. Lelaki Ini memang tak pernah berkisah, tentang luka dan dukanya. Perempuan Itu berprasangka, semua baik-baik saja. Lelaki Ini hanya tak ingin disangka alasan cintanya. Itu saja. Karena, baginya tak perlu ada alasan, tak butuh pelampiasan atau sekedar mengimpaskan. Semua terjadi begitu saja, dan bertahan sekian lama. Perempuan Itu pergi. Melukai diri sendiri dan tertatih. Perempuan Itu hanya butuh satu alasan untuk menurunkannya dari tahta. Tanpa tahu, betapa pamitnya sudah menghancurkan Lelaki Ini. Merenggut jiwa yang baru ada. Memberangus asa bagai semburan lava gunung purba. 

***

Hari itu harusnya mudah. Lelaki Ini tergugu. Bagaimana dia menjalani hari setelah hari itu?. Hidup tanpa jiwa, mencinta tanpa rasa. Bumi basah oleh hujan sejak semalam. Indu-ra tak merasakan apa-apa. Tidak menangkap rasa yang selama ini dititipkan di setiap tetesannya. Hanya satu alasan, dan dia terlupakan. Hanya satu alasan, lalu ketukan rintik air hanya membentuk spasi panjang. Kosong. Alih-alih kalimat indah, bahkan ketukannya tidak mampu mencipta kata. Lelaki Ini sengaja berlama-lama. Menyesap petrikor yang menyergap. Menenangkan, namun perih. Hari itu menyadarkannya, mungkin dia memang tak pantas dipertahankan. Lelaki Ini tersenyum. 

***

Hari itu memang tak mudah. Tapi, Lelaki Ini tahu dia hanya butuh satu alasan untuk tetap bertahan. Karena, cintanya tak seumur seikat mawar putih. 

...

Jujur, aku tak sanggup, aku tak bisaAku tak mampu dan aku tertatihSemua yang pernah kita lewatiTak mungkin dapat kudustaiMeskipun harus tertatih*

...


Jakarta, 24022023

*Tertatih - Kerispatih

Lebih Baik Aku

Lebih baik aku bungkus saja rindu ini, 

dengan bekas bungkus nasi padang.

Ku buang.

Pemulung datang. Berharap dapat rendang. 

Kecewa, 

karena hanya bungkusan asa.

Kucing mengendus, kaget. 

Ada rindu di bungkus nasi padang.

Mengeong. 

Kembali ke pangkuan tuannya.

Yang sedang sibuk menulis rindu:

pada awan, berharap terkirim lewat hujan

pada angin, agar menyelinap dari kisi-kisi yang tak rapat

pada air, supaya menggenang di setiap cerukan

dan pada sebungkus nasi padang, siapa tau kekasihnya lapar.


Jakarta, 17012023


LELAKI INI DAN PEREMPUAN ITU, DAN JEDA YANG MENYIKSA

"Aku tidak suka sore ini!" rajuk Perempuan Itu. 
"Hujan, senja, dan kita akan berjeda" lanjutnya dengan mata yang mulai basah. 
Suaranya parau. Putus asa. Seketika hampa menerpa. Hanya jemari bertaut mengungkapkan rasa.
"Hei, sayang....ini hanya jeda, bukan pisah" bujuk Lelaki Ini. Ada ragu yang coba dikuatkan disana. 
"Lagian, kita kan bukan Agnes Monica", Lelaki Ini tiba-tiba bergaya menirukan Agnes Monica. Menyanyikan Tak Ada Logika. Perempuan Itu tertawa. Lelaki Ini selalu bisa mengubah lara jadi ceria. Mungkin itu yang membuatnya tergila-gila. Membuatnya gundah, meski hanya berjeda. 
"Hanya berjeda ya?" yakin Perempuan Itu lagi. Lelaki Ini hanya mengangguk sambil membentuk mulut Badtz-Maru. Minta digigit banget gak sih?. Lucu tauk!

***
Pagi masih muda. Perempuan Itu memarkir mobilnya di halaman kafe itu. A simple hidden favourite place.  Langkahnya terhenti ketika titik air menyentuh lengannya. Perempuan Itu menengadah. Hujan. Gerimis terjun bebas tanpa sayap. Menyergap embun yang masih menggeliat. Menitiki pori-porinya. Menyentak saraf, mengingatkannya akan jeda yang sudah terlalu lama. Menyiksa. Sejenak dinikmatinya pesan rindu dari langit ini. Setengah berlari segera masuk. Pengunjung pertama pagi itu.
... 
But I know this, we got a love that is hopeless
Why can't I hold you in the street?Why can't I kiss you on the dance floor?I wish that it could be like thatWhy can't it be like that?'Cause I'm yoursWhy can't I say that I'm in love?I wanna shout it from the rooftopsI wish that it could be like thatWhy can't it be like that?'Cause I'm yours
...

Bait lagu yang dinyanyikan Little Mix ft Jason Derulo menyergap hatinya. 

"Harus banget ya pagi-pagi lo muter lagu ini Sa?" tegur Perempuan Itu ke Raisa, barista cantik cafe itu. Setengah kaget, Raisa terbahak. 

"Harus banget ya Kak pagi-pagi lo dah bawa gembolan ke sini?" balasnya. Perempuan Itu memang berencana kerja di sana hari ini. Makanya semua "peralatan tempur" terpaksa dibawanya.

"WFH lagi?" tanyanya. Perempuan Itu hanya mengangguk sambil menuju pojok favoritnya. Tempat dia bisa terlindung, tapi tetap leluasa melihat seisi kafe. Dia juga tidak perlu bilang lagi ke Raisa. Raisa sudah tahu harus menyeduh pepermint tea favoritnya. Plus, cheese toast bread tentunya.

"Woi bengong aja" kaget Raisa. Perempuan Itu tak sadar kalo dari tadi Raisa sudah duduk di depannya. Harum pepermint tea menyergap inderanya. 

"Gue temenin ya Kak" sambung Raisa. Perempuan Itu tersenyum. Raisa sudah dikenalnya sejak pertama kali ke kafe itu. Bertahun yang lalu. Gadis cantik ini dulu hanya magang. Mengisi waktu luang sambil mencari tambahan uang jajan. Keluarganya kurang beruntung. Sehingga Raisa harus sambil kerja untuk menyelesaikan sekolahnya. Perempuan Itu langsung cocok dengannya ketika pertama bertemu. Kepolosan dan kebaikan hati Raisa membuatnya jatuh sayang. Itu juga yang membuatnya meminta kepada pemilik kafe untuk mengangkat Raisa menjadi pegawai tetap. Pemilik kafe itu setuju. Selain kerjanya yang bagus dan cekatan, kehadiran Raisa membuat tamu-tamu kafe itu merasa nyaman.

"Emang kenapa sih Kak lo baper banget kalo gue nyetel lagu tadi?" tanya Raisa. 

"Eh lo gak sibuk kan?"

"Dari tadi gue liat lo bengong doang depan laptop" cerocosnya. Anak ini memang. 

Perempuan Itu mendelik. "Eh anak kecil kepo aja deh" jawabnya. Berusaha menyamarkan rasa yang tiba-tiba menyeruak hatinya. Jeda ini sudah terlalu lama. Akhirnya pagi itu dihabiskannya dengan ngobrol ngalor ngidul dengan Raisa. Lebih banyak mendengar tepatnya. Dari mulai cita-citanya pengen ke Korea sampai tidak sengaja ketemu cowok mirip Hyun Bin di Jaklingko. Random banget hahaha. 

***

Pagi ini, awal minggu ke sekian. Perempuan Itu kembali duduk di pojok favoritnya. Tempat yang sama, jam yang sama, hujan yang sama. Entah. Dunia ini seperti bercanda. Perempuan Itu tersenyum. Getir. Dibiarkannya sedikit tempias hujan mengusap pipinya. Teringat akan Lelaki Ini. Lelaki yang suka tiba-tiba mengirimkan voice note Yang membuat pipinya bersemu merah di tengah-tengah rapat yang serius. Lelaki yang bisa tiba-tiba mencipta puisi saat sedang serius nyetir.  Menerbangkannya. Kutuliskan rindu di laut biru. Berharap awan menjadikannya hujan, yang membasahi tubuhmu dengan rinduku. Perempuan Itu mendesah. Tak terhitung sudah berapa awal minggu. Berapa banyak hujan yang lelah, berlalu karena rindu yang tak kunjung berlabuh. Cinta itu masih ada, sayang itu kuat terasa. Tak terasa matanya basah. Tiba-tiba Raisa datang membawa secangkir kopi susu di mejanya. Perempuan Itu bingung.

"Eh, siapa yang pesen Sa?" bingung Perempuan Itu. 

"Kan gue gak ngopi, ngadi-ngadi lo" omelnya. 

Raisa hanya mengedikkan bahu. Lalu berbisik, "Jason Derulo". Lalu sesosok tubuh muncul.

"Nggak bilang-bilang Bun mau kerja di sini" tiba-tiba suara itu menyapa. Perempuan Itu terkesiap. Lalu cepat berpura-pura. 

"Ayaaahh..." teriaknya sambil merentangkan tangan. Memberi tanda agar suaminya masuk ke pelukannya.

"Iya, iseng aja. Bunda bosen di kantor, jadinya melipir kemari. Maaf ya lupa ngasih tau" Perempuan Itu melanjutkan dramanya.

***

Hujan. Secangkir kopi susu harusnya teman yang sempurna. Lelaki Ini memilih  menahan langkah. Jeda ini memang sungguh menyiksa. Entah harus berapa lama lagi. Entah harus berapa banyak rasa yang ditumpahkannya ke laut biru. Sambil berharap, pesan itu tersampaikan. Rindu.


Jakarta, 26122022




LELAKI INI DAN PEREMPUAN ITU, DAN LELAKI ITU

"Melasi Ndhuk"* lirih Lelaki ini, dengan logat non Jawa-nya. Perempuan itu tidak peduli. Hangatnya pelukan Lelaki ini sudah cukup. Paling tidak, dia bisa berlabuh sesaat. Meluruhkan lelah, menumpahkan air mata. Perempuan itu juga tidak peduli, sudah berapa perempuan bersandar di sana. Baginya, saat ini Lelaki ini miliknya. Pemenang hatinya. Perempuan itu sadar, jalan hidupnya tidak sederhana. Apalagi cerita cintanya. Dia bukanlah puteri raja ataupun Cinderella. Tapi, apa tak pantas, sekali saja dalam hidupnya, menyerahkan hati kepada pemenangnya?. 

***

Di sudut lain dunia. Lelaki itu gelisah. Perempuan itu mulai tidak biasa. Telpon tak dijawab, pesan singkat tak berbalas. Arogansinya terganggu. Apa kekangnya sudah tak mempan?. Tapi ego-nya segera berbisik "sudahlah, bagaimanapun kamu tetap penakluknya, kamu pemiliknya". Bisikan yang menenangkannya. Menerbitkan sesungging senyum. Senyum kemenangan semu.

***

Ibarat syair lagu. Cinta Lelaki ini dan Perempuan itu bukan sekedar cinta biasa, yang sesaat dan trus hilang**. Tak terhitung hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Tahun-tahun berganti. Ada masa dimana setangkai mawar putih dan sepotong coklat  menerbangkan diri. Ada saat diri hilang kendali. Lalu, asing. Namun, akarnya begitu kuat. Tak mati terpanggang panas timur matahari. Pun beku dalam salju abadi. Cinta mereka terhubung. Pesan rindu tersampaikan melalui mendung kelabu. Dahaga nafsu terpenuhi dalam deru hujan yang memburu. Mereka tak mencari akhir, karena memang tak perlu. Tak ada yang tahu.

***

Lelaki ini terus memeluk Perempuan itu. Erat. Hangat. Kemejanya sudah bersimbah air mata. Biar saja. Jika itu bisa mengurangi beban di dada. Andai bisa, jangankan kemeja, seluruh hatinya akan menampung semua air mata. Perempuan itu kesayangannya. Sosok sederhana namun sempurna. Meski ikhlasnya di luar nalar manusia, namun dia tempat sempurna untuk menghambakan cinta. Malam semakin tua. Gawai menjerit menyela romansa. "Mas, nyanyi dong" bisik Perempuan itu. Sedu reda goda menjelma. "Suara Mas sexy" rayunya. Lelaki ini hanya tergelak. Si gembil ini memang pintar merayu. Satu dua jangkrik mulai mengerik. Anak-anak muda bersantai di trotoar, menyesap kopi murahan dengan bahagia. Lelaki ini dan Perempuan itu tetap berpelukan, hingga masa tak kuasa lagi menunda. 


Jakarta, 25112022

* kasihan 

** Rasa Yang Tertinggal (ST-12)

LELAKI INI DAN PEREMPUAN ITU DAN BUNCAHAN RINDU

Lelaki ini rindu. Perempuan itu juga. Membuncah. Hujan mengalir tanpa spasi. Layaknya skripsi yang tak kunjung jadi. "Pakkkk....!", jengah Perempuan itu. Mata bulat indahnya melotot penuh. Alih-alih seram, malah menggemaskan. Lelaki ini tertawa. Jahil. "Whaaat...!?, balasnya. "Gak usah usaha deh", rajuk Perempuan itu. Lelaki ini tergelak lagi. Lelaki ini tau pasti. Dalam situasi yang berbeda, tatapannya tadi akan menciptakan medan magnet yang kuat. Perempuan itu akan menjadi seganas kobra memangsa korbannya. Tanpa dikomando Lelaki ini dan Perempuan itu terbahak. Mengundang tatap heran dari sekitar. Mereka tak peduli. Pipi Perempuan itu memerah. Bersungut-sungut menuntaskan gelato terakhirnya. Lelaki ini masih menahan tawa. Sungguh, rasanya sudah bukan ratusan purnama lagi mereka tak jumpa. 

Senja sudah semakin tua. Udara dingin mulai menyergap. Sisa-sisa hujan masih menyisakan genangan. Satu dua jangkrik sudah menuju pos jaga. Lelaki ini dan Perempuan itu masih di sana. Saling menatap tanpa kuasa menerjemahkan makna. Dua cup gelato dan secangkir americano tandas tak bersisa. Lalu mereka berebut bicara. "Bapak dulu aja", Perempuan itu mengalah. Menyebalkan memang. Perempuan itu selalu memanggil "Bapak". Kalau diprotes selalu jawabnya "kan emang Bapak sudah tua". Arrggh. "Bagaimana kalau .. Bagaimana kalau Bapak tidak baik-baik sajaaaaa?* Perempuan itu memotong kata-kata Lelaki ini dengan potongan sebait lagu. Lalu tergelak. Menggemaskan. 

Malam merangkak lelah. Menyaksikan polah manusia. Ada yang terkantuk-kantuk mencari nafkah. Banyak yang sudah lelap berselimut mimpi. Tak sedikit yang menikmati surga dunia. Lelaki ini dan Perempuan itu enggan beranjak. Tidak banyak kata malam itu. Resonansi rasa tercipta. Mereka tidak terpisah jarak ribuan kilo jauhnya. Pun, tidak pula tak saling berkabar. Tapi entah mengapa, jarak semakin membentang rasa. "Kamu tak rindu?" tanya Lelaki ini. "Hmm, ini perlu banget dijawab ya Pak?", Perempuan itu balik bertanya. Lalu kata-kata bertebaran di udara. Memenuhi ruang hampa dengan asa. 

"Kita mau seperti ini terus Pak?", tanya Perempuan itu sendu. Dingin mulai menelisik tulang. Malam ini mungkin menjadi malam terpanjang. Setan pun sudah enggan menggoda. Hanya duduk-duduk saja menatap rindu yang membuncah. Lelaki ini dan Perempuan itu tak lebih dari rekan kerja, mereka bicara tentang negara. Tapi, getaran rasa itu tak pernah sirna. Tidak oleh jarak. Tidak oleh waktu. Bahkan oleh diam yang membeku. Lelaki ini hanya diam. Percuma dijawab. Hanya berputar kata berakhir air mata. Hubungan ini ibarat jalan panjang tak berujung. Mereka tak butuh bertemu untuk bahagia. Tapi , mereka lebih bahagia jika bertemu. Tidak pula butuh kata-kata cinta. Karena, mereka bahkan bisa menuliskan kata cinta tanpa sedikitpun rasa. Jika begini saja bahagia, lalu untuk apa harus berubah? Jika rasa masih teresonansi dengan sempurna, lalu untuk apa hangatnya rasa?.

Lelaki ini dan Perempuan itu berdiam dalam khayalan rasa. Pengamen lusuh berjalan lesu. Menghitung receh entah berapa. "Bang, bisa pesan lagu?", iseng Lelaki ini kambuh. Pengamen sejenak kaget lalu mengangguk kuyu. Sekilas seperti mimpi melihat Perempuan itu bagai bidadari. Lalu mulai dengan suara serak basahnya memenuhi udara:

Bila asmaraku telah tibaMerenggut nafas dijiwaItu dia yang datang hadirkan cintaMenyebar ke dalam rasa
Dapatkah ku mengatakannyaPerasaan yang ku punyaUntuk dia mestinya ku ungkapkan sajaTuk dapat jawaban darinya
Dapatkah aku memeluknyaMenjadikan bintang di SurgaMemberikan warna yang bisaMenjadikan indahAku tak mampu mengatakanAku tak mampu tuk mengungkapkanHingga sampai saat iniPerasaan tlah tertinggal
Dapatkah dia merasakanSatu nafas yang tersimpanItu bukan cintaSekedar cinta biasaYang sesaat dan trus hilang
Dapatkah aku memeluknyaMenjadikan bintang di SurgaMemberikan warna yang bisaMenjadikan indahAku tak mampu mengatakanAku tak mampu tuk mengungkapkanHingga sampai saat iniPerasaan tlah tertinggal**

...

Jakarta, 08092022


*Bagaimana kalau aku tidak baik-baik saja, Judika

** Rasa yang tertinggal, ST12


LELAKI INI DAN PEREMPUAN ITU DAN HUNJAMAN RINDU

Hujan. Lelaki ini suka hujan. Tak peduli di bulan Juni, November atau Januari. Seperti sore ini. Beberapa hari menjelang pergantian musim. Langit menumpahkan triliunan tirta. Berbaris rapi menuju bumi. Mendarat dengan tertib di atap-atap rumah, pohon, daun, dan tanah. Meluruhkan debu bagai sang ibu memandikan bayinya. Tidak tergesa, tidak pula terlena. Titik-titiknya terorkestrasi dengan indah. Menghadirkan rindu. Hujan yang awet, ujar Perempuan itu di suatu waktu. Lelaki ini teringat kembali waktu itu. Hujan yang sama. Lelaki ini dan Perempuan itu duduk di teras rumah. Secangkir kopi sachet dan semangkok mie, cukup sudah. Perempuan itu juga suka hujan. Tapi di bulan Juni. Aku selalu ingat saat pertama kita jumpa, jawab Perempuan itu ketika Lelaki ini bertanya kenapa. Saat itu bulan Juni, hari hampir berganti. Tapi hujannya tidak seperti ini. Bagaimana kalau tidak ada hujan di bulan Juni? Apakah lalu kamu tak ingat aku? kejar Lelaki ini. Perempuan itu merajuk. Bahkan saat hujan tak turun sepanjang tahun, Perempuan itu tetap tak bisa lupa. Betapa indah dicinta Lelaki ini. Betapa sakitnya saatnya harus berpisah.  

Lelaki ini tergagap. Petrikor menyerang seluruh indra-nya. Hujan sudah berhenti. Lama. Sekujur tubuh Lelaki ini basah. Tak hirau tatap heran orang yang lalu lalang. Lelaki ini berlama-lama di tengah taman. Mematung layaknya arca penjaga. Entah apa yang mengganggu jiwanya. Benteng kokoh yang tegar mulai rapuh. Serangan rindu tak kenal waktu. Entah kenapa, alam pun seolah membantu.

Perempuan itu tergugu. Fragmen itu ternyata ilusi. Bunga tidur yang mekar mewangi. Menarik namun tak bisa dipetik. Sekarang bukan bulan Juni. Meski hujan turun sepanjang hari. Hujan tak pernah sadar, dirinya tidak hanya membasahi bumi. Menyuburkan tanah, merimbunkan ilalang. Perempuan itu tidak menyalahkan hujan. Karena, ingatan itu tak meranggas walau kemarau. Perempuan itu menyalahkan takdir yang tak juga berpihak. Alih-alih berlayar ke barat, angin bertiup kencang ke selatan. Perempuan itu tahu, dia hanya perlu membuang sauh. Menunggu suar memancarkan rindu. Suar yang tak kunjung ketemu.

Lelaki ini dan Perempuan itu terpisah waktu. Sama merindu. Sama menunggu. Jalan takdir membawa mereka bertemu. Lelaki ini beranjak lunglai. Hujan mengering di badan. Lelaki ini tak hirau. Hujan tadi menggenangi segenap arteri-nya. Memenuhi ruang hatinya. Terkunci.  

...

And you can't fight the tears that ain't coming

Or the moment of truth in your lies
When everything feels like the movies
Yeah, you bleed just to know, you're alive*

Jakarta, 9 Desember 2021


*Iris, Goo Goo Dolls

LELAKI INI DAN PEREMPUAN ITU DAN DUA HATI YANG TAK LAGI SATU

Perempuan itu menuliskan hidupnya. Tintanya air mata, jeluangnya serpihan hati. Merangkai diksi dengan hati-hati. Penuh arti namun tetap tersembunyi. Perempuan itu tahu, tak mungkin bebas dari terungku. Tidak saat ini, disaat masih memperjuangkan buah hati. Entah nanti, meski dia tahu mungkin itu artinya mati. Perempuan itu lelah. Perjalanan melelahkan ini tak pernah terangan-angan olehnya. Namun semua  sudah tertulis, tiada daya kecuali berprasangka baik bahwa inilah yang terbaik. Perempuan itu juga sadar, dirinya tangguh, harus begitu. Tak boleh luluh. Tidak saat ini, saat cita-cita hampir diraih.

***

Di sudut lain kota, hanya berjarak sekian depa, lelaki ini terlucuti. Membaca cerita yang penuh drama. Seolah tak nyata namun penuh fakta. Ada tawa di sana, banyak juga air mata. Bagai piala, berpindah-pindah di tangan sang jawara. Lelaki ini terkadang bahagia, dirinya bukan satu-satunya. Tapi kisah-kisah itu memaksa untuk percaya bahwa dia-lah penyebab semua malapetaka.

***

"Kamu tahu gak?" rajuk perempuan itu. Lelaki ini hanya menunggu, sambil tetap menjaga kehangatan tubuh. Perempuan itu bercerita tentang sang ayah kebanggaannya. Ayahnya pernah berkata dia akan kaya dan bahagia. Lelaki ini hanya tertawa. Indeed, I always remember that your ambition is to be a shopisticated woman. Perempuan merengut dan membelalakkan mata. Dia bahkan sudah lupa, apakah dia pernah punya cita-cita.

***

Hidup memang tidak semakin mudah. Jiwa-jiwa dewasa yang menentukannya. Perempuan itu terus berkutat dengan air mata, yang mungkin hanya tinggal nama, karena telah mengering sekian lama. Cinta pertama ternyata tak menjanjikan bahagia, hanya cerca dan kata-kata hina. Apakah dia salah? Cinta tak pernah salah, hati manusia yang mudah berubah.

***

Lelaki ini sudah tak mau membuka kisah lama. Dulu, dia pernah bercerita tentang hari ini. Hari ini, dia bahkan tak ingin dulu itu ada. Sudah terlalu banyak babak. Tak mungkin mengulang roman lama. Lelaki ini tetap peduli, tapi tak mungkin untuk mengasihi. Hidup harus terus bergerak, entah di persimpangan ke berapa cinta kembali bersua, atau, mungkin tidak akan pernah. Menyerah bukanlah pilihan, tapi tak bijak memperjuangkan hati yang sudah lama merdeka.

Jakarta, 30S2021

LELAKI INI DAN PEREMPUAN ITU DAN ILUSI RASA

Lelaki ini sadar, mustahil melupakan masa lalu. Tidak yang satu ini. Yang dapat dilakukannya hanya mencoba untuk tidak mengingatnya. Tapi, lelaki ini juga tahu, tak mungkin dia mampu mengontrol ingatannya. Ingatan itu begitu membekas. Selalu datang, terang benderang bagai rekaman yang diputar ulang. Seberapa kuat lelaki ini bertahan, sekuat itu pula kenangan datang menyerang. Jelas dengan pernik rupa, kata dan rasa. Mewujud semudah pesulap mencipta bunga dari selampai. Dalam hati, mimpi bahkan deja vu. Lelaki ini merasa mungkin dia kurang berusaha, tapi mungkin juga karena sadar hal tersebut akan sia-sia.

***

Perempuan itu juga sama. Hatinya sudah terendam getirnya air mata. Berlumur cinta tanpa asa. Kalaulah ada pujangga menuliskan hati tersayat, terkoyak, luka atau apalah, mungkin harus terlahir kembali untuk mencari madah yang menggambarkan hati perempuan itu. Perempuan itu sadar, pertahanannya lemah. Hatinya tidak terjaga. Entah karena lelah, atau karena lelaki ini yang luar biasa. Perempuan itu juga sudah tak peduli, tak mau mencari tahu atau sekedar menyunting cerita. Semua tak sama lagi. Hidup harus dijalani  meski tak seindah mimpi dan semanis janji-janji, atau baiknya dia tak terjaga saja?. Perempuan menyimpan rasa dalam kotak pandora. Mengunci dan membuang anaknya, agar tidak merusak segalanya.

***

Hidup manusia layaknya 2 hari yang berbeda. Satu hari memihak kita, hari yang lainnya menentang kita. Di saat masa berpihak, semua terlihat baik-baik saja, indah bahkan luar biasa. Tidak ada yang salah, semua berjalan sesuai keinginan rasa. Tak terbayang akan ada hari lainnya, saat menyapa saja menjadi dosa apalagi bertatap muka. Merindu dalam hati tak ubah menitiki nadi dengan belati. Lelaki ini dan perempuan itu bukan tak tahu hal ini. Segala cara dicoba agar tak bertikas. Lelaki ini dan perempuan itu lupa, manusia bukanlah pembuat rencana yang sempurna. Lelaki ini dan perempuan itu lupa, semua sudah tertulis oleh-NYA. Alih-alih dilawan, bergeser satu mili pun hanya tinggal rencana.

***

Lelaki ini masih disini. Terlihat utuh dan bahagia. Petualang tangguh yang sangat pongah. Perempuan itu masih disana. Bahagia dalam sangkar emas sang raja. Seolah tak pernah luka, terhina. Anggun layaknya Tamina. Lelaki ini dan perempuan itu tak mungkin membalik waktu ataupun punabbhava. Lelaki ini dan perempuan itu mungkin hanya bisa saling mendoakan, doa yang pastinya melukai hati. Apakah bahagiamu menjadi bahagiaku? Apakah bahagiaku menjadi bahagiamu? 

***

Entahlah. Lelaki ini tetap percaya, dirinya saat ini adalah akibat dirinya di masa lalu. Masa depan tak terlihat namun pasti di depan mata. Masa lalu selalu mengusik, tak ubah iringan rebana. Terkadang lembut mengayun, seringnya berderak-derak di dinding jiwa. Perempuan itu juga percaya, sebait kata sepenggal cerita mampu jadi pengobat luka. Penat akan selalu terasa, namun mungkin tak terlalu menyiksa.


Jakarta, 17092021  


Bangkai Rasa

 

                Terkadang,

                kita sibuk menggali  bangkai rasa.

                Tak hirau,

                akan rasa baru yang meranggas layu. 



                 Jakarta, 08092021

                 

DUA HURUF

Dua huruf saja,

lalu semua beban berpindah

dari atas ke bawah

Dua huruf saja,

lalu berkerut kening

di hamparan tombol huruf dan angka

Dua huruf saja,

lalu berbalas berlembar kata dan data

dari bawah ke atas

Dua huruf saja,

atau cukup centang kolom isian

agar tak terlalu merepotkan dan buang tenaga

Dua huruf saja,

TP, atau

"Teliti Pendapat "



Jakarta, 31082021

CATUR

Kasus Dadang Subur alias Dewa Kipas versus Levy Rozman alias GothamChess serta dwi tarung Dewa Kipas melawan GM Irene di podcast Deddy Corbuzier, ternyata mengembalikan lagi kebiasaan saya bermain catur. Saya malas bermain catur daring, karena menurut saya salah satu seni permainan catur adalah permainan emosi pemain yang saling berhadapan. Ketika akhirnya saya mengunduh aplikasi catur, pertama lebih karena anak saya yang bungsu ternyata selama ini bermain catur daring; kedua, ya terdorong rasa penasaran, kok bisa Pak Dadang bisa dapat rating 2000+ dalam waktu 2 minggu?.

Bermain catur daring ternyata menyenangkan. Pertama, kita bisa bermain 24 jam dan dengan lawan dari seluruh penjuru dunia. Kedua, ternyata unsur emosi juga tetap terlibat, baik secara pribadi maupun melalui chat room yang difasilitasi aplikasi. Ketiga, fitur aplikasi yang saya gunakan ternyata cukup lengkap, sehingga saya bisa sekalian belajar dari permainan-permainan yang sudah saya lakukan. Yang terakhir, ada semacam motivasi untuk mencapai rating tinggi, siapa tahu dapat kesempatan dwi tarung dengan GM Irene juga he he he.

Tidak banyak yang tahu kalau saya sangat hobi catur. Saat belum duduk bangku sekolah dasar, saya bahkan sudah mampu mengalahkan orang-orang dewasa dan diikutkan lomba catur 17 Agustus-an, alih-alih lomba makan kerupuk atau balap karung lazimnya untuk anak seusia saya. Meskipun sangat hobi, saya tidak diarahkan untuk menjadi seorang pecatur (baca: https://www.bukannotadinas.com/2017/05/kutukan-akuntansi.html). Saya sendiri pun tidak ada keinginan untuk menjadi pecatur, meskipun ada masa-masa dimana hampir 24 jam saya hanya bermain catur dengan tetangga ataupun dengan teman kost saat kuliah.  Saya juga tidak tahu kenapa akhirnya vakum, hingga anak-anak saya pun tidak tahu kalau papinya jago main catur, sampai akhirnya ramai-ramai berita Dewa Kipas tadi.

Setelah kurang lebih 6 bulan bermain catur daring, banyak pelajaran yang saya dapat. Terkait kemampuan bermain catur, bagaimanapun, seorang pecatur sedikit banyak harus tahu mengenai teori catur, paling kurang teori tentang opening, middle game, dan ending game. Sebagai pecatur otodidak, saya sama sekali buta tentang teori-teori tersebut, dan tak jarang saya dituduh curang menggunakan chess machine saat saya bisa mengalahkan pecatur-pecatur dengan rating 2000 ke atas. Meskipun ada sedikit rasa penasaran tentang chess machine tapi saya tidak akan menggunakannya, bagaimanapun sportivitas harus saya jaga. Kemenangan dan kekalahan adalah hal biasa dalam permainan. Bagaimana kita menyikapi keduanya yang menjadi nilai tambah seseorang.

Selain pelajaran catur, banyak hal lain dari permainan catur yang dapat diadopsi dalam kehidupan sehari-hari. Langkah pertama dan 10 langkah berikutnya dalam permainan catur ternyata sangat menentukan kemungkinan kemenangan atau kekalahan. Dari salah satu sumber disebutkan bahwa terdapat 170.000.000.000.000.000.000.000.000 cara untuk memainkan 10 langkah pertama dalam permainan catur. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dihadapkan kondisi "harus mengambil langkah pertama". Sering juga kita mendengar jokes tentang seseorang yang selalu berpikir 10 langkah ke depan, namun langkah pertamanya salah. Berangkat dari permainan catur, dengan banyaknya kemungkinan dari satu langkah pertama, tentunya kita harus berpikir keras bagaimana langkah pertama kita mendapatkan respon yang kita harapkan dan bagaimana langkah selanjutnya apabila tidak sesuai respon yang kita harapkan. Seorang pemain catur harus siap dengan segala kemungkinan respon dari lawan, yang tentunya juga mempunyai pemikiran 10 langkah ke depan untuk masuk ke dalam middle game. Hal ini menjadi menarik, karena tentunya setiap orang akan berusaha mengambil kendali. Ada hal menarik dari opening game ini. Saya cenderung kesulitan ketika berhadapan dengan lawan dari Indonesia. Mengapa? karena kebanyakan memiliki tipikal yang sama dengan saya, pecatur otodidak. Sampai ada seorang lawan dari Inggris yang berkomentar "Is this a random sh*t opening?". Pecatur dari Indonesia kebanyakan tidak bisa ditebak langkah-langkahnya, tidak sesuai pakem yang umumnya digunakan saat seseorang menggunakan opening move tertentu. Hal ini ternyata sangat mengesalkan bagi pecatur-pecatur yang banyak menghabiskan waktunya untuk mempelajari teori-teori catur. 

Membuat langkah pertama ternyata tidak semudah melangkahkan bidak. Perlu rencana, perlu pemikiran what next?. Perlu keberanian dan keyakinan juga, karena kita tidak tahu siapa dan bagaimana lawan yang kita hadapi. Ketika bidak sudah melangkah, tidak ada waktu untuk menyesal. Yang perlu dilakukan hanya berpikir bagaimana langkah selanjutnya akan lebih menguntungkan atau meminimalisir kesalahan yang mungkin terjadi saat langkah pertama.

Middle game merupakan bagian yang menguras pemikiran. Komposisi yang sudah dibangun di awal permainan bisa hancur dalam hitungan detik. Dalam middle game ini pula permainan catur dapat menjadi komplikasi, pelik dan tidak memberi peluang untuk melakukan kesalahan. Dalam kondisi emosi normal, saya biasanya akan lebih sabar dan mengalokasikan lebih banyak waktu untuk berpikir disini. Disini posisi akhir permainan akan ditentukan. Meskipun bukan jaminan kemenangan, namun berdasarkan statistik, menguasai middle game  akan memperbesar peluang untuk menang di end game. Saya seringkali membayangkan middle game ini adalah kondisi dimana tiba-tiba hidup bisa terlihat sangat ruwet, ribet dan serba salah. Ada saat-saat dimana pilihan yang tersedia hanya terus melangkah atau menyerah. Saya jarang sekali menyerah, meskipun pada akhirnya saya akan kalah, namun dari ribuan games yang telah saya mainkan, selalu ada peluang untuk menang karena selalu ada peluang lawan melakukan kesalahan. Middle game memberikan adrenalin yang berbeda, melebihi perasaan yang dirasakan ketika kita bisa melakukan check mate. Pelajaran pentingnya adalah kita harus siap dengan segala konsekuensi langkah-langkah kita, apapun itu. Disaat langkah-langkah kita ternyata memudahkan hidup kita tentunya patut kita syukuri. Ketika langkah-langkah kita ternyata menimbulkan kerumitan, kita harus kuat. We are what we did, tidak ada yang hadir tanpa sebab akibat, sebagai umat beragama tentunya kita bisa menyikapi kondisi tersebut dengan baik. Tidak menyerah, karena alam tentunya akan selalu menghargai usaha kita.

Bagian akhir permainan catur atau End game, bisa merupakan klimaks atau bahkan anti-klimaks dari keseluruhan permainan. Posisi nyaris kalah menjadi menang atau nyaris menang menjadi kalah kerap terjadi disini. Euforia memenangkan middle game tidak boleh menjadikan kita lengah, karena satu langkah salah bisa membalikkan keadaan. Kita harus bisa mengontrol emosi, mengendalikan permainan sampai permainan berakhir. Hal serupa tentunya  sering kita hadapi sehari-hari, semua persoalan yang tadinya menghimpit bisa tiba-tiba hilang karena kita melakukan langkah yang tepat, atau sebaliknya. Hal yang tadinya bukan masalah, tiba-tiba menjadi masalah hanya karena kita melakukan kesalahan.  Begitulah hidup, terus berulang sampai nafas terakhir terhembus dari badan.

Meskipun banyak pemikiran-pemikiran yang saya dapatkan dari bermain catur, namun tetap saja saya hanya bermain untuk kesenangan, bukan sesuatu yang serius. Sekarang saya justru menggunakan permainan ini untuk mengukur kadar stres saya. Biasanya saat stres, permainan saya akan kacau, banyak melakukan kesalahan dan terlalu mudah dikalahkan. Demikian sebaliknya, dalam kondisi terbaik, saya adalah lawan yang tangguh bagi siapapun. Kalaupun lawan bisa menang, mereka harus bekerja dan berpikir keras dan biasanya penghormatan tersebut disampaikan melalui chat room. Dari aplikasi catur daring ini pula saya tahu bahwa mendapatkan gelar Master dengan rating 2200 ke atas adalah hal yang mustahil dilakukan dalam waktu singkat. Hal ini memberikan rasa hormat kepada para atlet catur yang berlatih siang malam, menguasai ribuan kombinasi langkah dan terutama dengan kecerdasan otak mereka yang mampu membayangkan langkah-langkah jauh didepannya.


Jakarta, 30082021


Lelaki ini dan Topengnya

Sepi. Lelaki ini selalu suka sepi. Suasana yang membuatnya bebas melepaskan topeng. Topeng yang selama ini menjadi wajahnya. Topeng yang selalu dilihat teman-temannya. Menjadi puja-puji sanak saudara. Topeng yang menghadirkan keamanan dan kenyamanan keluarga. 

Saat sepi, saat sendiri, semua topeng itu ditanggalkannya. Mengistirahatkan kelelahan jiwa. Mengembalikan kesadaran yang hampir hilang entah kemana. Manusia hina, penuh aib dan dosa. Selalu penuh tipu daya dan pura-pura.

Sepi ini selalu dirindunya. Saat-saat dimana dia berteriak, menjerit, menangis, menyesali semua kebajingannya. Atau, dia malah tertawa terbahak, mengenang betapa panggung hidup mengelu-elukannya. Tertipu oleh ciamiknya topeng dan peran yang dibawakannya. 

Tidak, lelaki ini tidak merasa bersalah. Hanya lelah. Itupun tidak selalu mengganggu pikirannya. Bukankah menurut Ahmad Albar, hidup ini memang panggung sandiwara? Tiap manusia punya peran, entah wajar entah pura-pura.

Manusia selalu punya topeng. Minimal tiga. Satu topeng selalu dipakai saat di masyarakat, bertemu teman dan kolega. Satu topeng yang dilihat oleh handai taulan dan keluarga. Satu lagi yang mungkin hanya dia sendiri mampu melihat dan menyadarinya.

Lelaki ini terus menikmati kesepiannya. Tak hirau sesekali terdengar gonggong anjing tetangga atau teriakan paket yang diantarkan kurir ke tetangga ujung rumah. Lelaki ini diam, duduk memutar ingatan. Lalu sadar, "aku ini ternyata manusia yang punya lebih banyak masa lalu, daripada masa depan", atau, "bahkan aku tidak punya masa depan?"

Sayup azan berkumandang. Dari TOA Masjid yang sudah menyesuaikan himbauan pemerintah. Sudah saatnya, menunaikan kewajiban, lalu kembali memakai topeng yang lama.


Jakarta, 02062021

#saujana

#nulislagi

#tantangBnD

Lelaki Ini dan Perempuan Itu dan Kenangan Tersisa Abu

Perempuan itu berdiri, gelisah. Sejuknya pusat perbelanjaan mewah ini tak juga menenangkan hatinya. Terlihat sekali usaha kerasnya terlihat biasa. Mondar-mandir tak tentu arah. Membuang senyum menjawab sapa pramuniaga. Lelaki ini menatapinya dari jauh. Sudah 5 menit berlalu dari janji temu, tapi dia berusaha memastikan dulu. Pahatan memori bertahun lalu masih lengkap liku ukirnya. Perempuan itu dengan kuncir kuda dan ransel biru muda, kikuk menapaki dunia dewasa penuh serakah. Kasat mata tak banyak yang berubah. Tapi lelaki ini terlalu perasa untuk tak menduga. Perlahan didatanginya perempuan itu. "Assalamu'alaikum", salamnya lirih. Hanya sejengkal di belakang telinga. Perempuan itu terlonjak, menoleh untuk memastikan. "Wa'alaikumussalaam..." jawabnya setengah tercekat. Sedetik jeda sebelum lelaki ini memeluknya, diantara tatap praduga. Perempuan itu membalasnya. Sejenak tersengat karena ini kali pertama sepanjang persahabatan mereka. "Gaya bener lu ngajak ketemuan disini" seloroh perempuan itu menutupi jengah. Lelaki ini terbahak. "Kan elu masih jetlag kebanyakan keju, kalo gue ajak di warung indomie ntar mules lagi" balas lelaki ini tangkas. Lalu mereka tergelak. Ingat masa-masa dimana warung indomie adalah kemewahan yang hakiki. "Cari makan  yuk" lelaki ini memecah suasana. "Masakan itali doyan kan lu? gue punya resto itali favorit disini" lanjut lelaki ini sambil sedikit menarik tangan perempuan itu. Perempuan itu menatap aneh lelaki ini. Sekilat cemburu membersit di matanya. "Gue cewek ke berapa yang lu ajak kesini?" selidiknya. Gelak lelaki ini kembali pecah. Memalingkan beberapa kepala yang ingin tahu kenapa.

***

"Hidup gue hancur" perempuan itu memulai ceritanya. Sisa-sisa salad di piringnya diaduk tak tentu arah. Lelaki ini terkesiap. Tak tahu bagaimana meresponnya. Perlahan disodorkannya tisu untuk menahan titik-titik yang mulai tumpah. Perempuan itu dan lelaki ini sudah bersahabat lama. Persahabatan yang hampir sama tuanya dengan separoh hidup mereka. Tidak ada rahasia di antara mereka, kecuali mungkin rahasia hati yang tak jua mau jujur dibuka. Masih terbayang acara pernikahan yang mewah di gedung yang megah. Wajah-wajah sumringah, penuh cinta dan suka cita. Tak dinyana, bahkan sebelum hari H, sang suami sudah mendua. Lelaki ini bahkan sudah merasa, ada yang tak biasa di pemandangan mata. Tapi suka cita dan bahagia perempuan itu lebih bermakna dibanding rasa yang disangka cemburu semata.

***

Hentakan irama musik menghanyutkan segala lara. Melupakan sejenak duka dan luka. Perempuan itu meluapkan segalanya. Menikmati menit-menit terbebas dari segala nestapa. Merayakan rasa yang dulu dianggap salah. Pun, lelaki ini. Semua tertumpah. Lupa sudah masa-masa yang terjaga. Yang ada hanya sir panas membakar semua etika.


***

"I miss you", lelaki ini mengadu khilaf. Lama. "I don't", balas perempuan itu. Lelaki ini tersenyum. November ini hujan lagi. Setahun? dua tahun? entah sudah berapa lama. Tidak ada tanda-tanda dimana perempuan itu berada. Lelaki ini pun tak memaksa. Ikatan itu sudah cerai berai, tak mungkin dipintal ulang atau sekedar direntang. Benar adanya, semua datang dan pergi, memberi arti yang mungkin sulit untuk dipahami. Tidak ada yang menetap pasti, kecuali takdir yang berjanji.


Jakarta, 06112020


Rindu Yang Lelah Bertamu

Ini sudah kali ketiga, 
tepat di akhir prahar kelima,
rindu tak jua mengetuk pintu;

Entah dia lelah 
dengan kudapan yang itu-itu saja:
sepiring asa dan secangkir dusta;

Entah dia lelah
duduk menunggu tanpa kata,
lalu berlalu tanpa cinta; 

Entah dia lelah
menyingkat waktu, 
lalu kembali jadi rindu.


Jakarta, 07072020

LELAKI INI DAN PEREMPUAN ITU DAN GUGATAN MASA LALU


Lelaki ini terperenyak. Sederet aksara bersungkup rahasia menggugat bayangannya. Menyeret paksa luka-luka lama, menggenangi diri dengan darah basi. Menggurati hati yang bahkan sudah tidak ada spasi. Lelaki ini tak tahu lagi. Harus tertawa geli atau menangis sedih. Cinta coba-coba, mencumbu nafsu di sudut-sudut kota adalah masa lalu yang sudah terbingkai rapi. Terpajang di bilik-bilik sunyi patala[1]. Menggugahnya tak ubah memicu daiwi astra[2], akan menghancurkan bahkan yang tak berdosa. 

*
"Ini kupat tahu paling enak se-Asia Tenggara" bual Perempuan itu lucu. Lelaki ini hanya tertawa. Mana ada kupat tahu diperingkat layaknya sekolah. Kupat tahu itu mungkin bukan yang terenak seperti bualannya, tapi menikmatinya akan selalu dirindui bertahun-tahun setelahnya. "Coba lihat tumpukan bunga-bunga ungu itu!" Perempuan itu sudah berpindah lagi. Cepat sekali layaknya gonta ganti kanal televisi. Dilihat sekilas, tak suka lalu ganti. Lelaki ini cuma geleng-geleng kepala. Cekrek...cekrek...We keep this love in photograph, we made these memories four ourselves[3]. Bagai puzzle yang saling melengkapi. Tuhan menciptakan keindahan Perempuan itu bagai tumbu ketemu tutup dengan hamparan ungu guguran bunga yang jatuh. Lelaki ini membeku, terhipnotis pantulan prisma yang tak terduga. Jalanan kota perjuangan ini memang selalu hangat. Meski tak sehangat dulu saat wedhus gembel masih nyaman berkubang lava. "Keretamu nanti jam berapa?" tanya Perempuan itu, entah yang ke berapa. Lelaki ini hanya membalas dengan tawa, "nanti juga jumpa" sambungnya. Perempuan itu terlihat mempesona, dalam balutan cardigan abu. Kontras dengan rambutnya yang berwarna ungu. "Dingin ya?" tegur Perempuan itu sambil mengurangi suhu pendingin udara. Lelaki ini cuma tersenyum. Kecanggungan merayapi ruangan sempit itu. Seminggu terasa cepat sekali berlalu, menyisakan deru nafas memburu siang malam tak kenal waktu.

*
Lelaki ini masih menatapi gugatan aksara itu. Tidak lupa tapi tidak benar-benar ingat yang mana. Waktu adalah senjata yang ampuh, menggilas angkuh makhluk-makhluk fana. Tak terkecuali rasa. Dibukanya sebuah layar baru, lalu mulai menuliskan kata "Aku adalah sekarang, laluku mungkin sama dengan lalumu, tapi tidak kemana aku akan menuju".


Jakarta, 27062020




[1] Alam bawah
[2] Senjata para dewa
[3] Photograph, Ed Sheeran

Untukmu dan Bagiku

Untukmu, ini biasa saja,
       melepas sapa, 
       tersenyum renyah,
       lalu berlalu begitu saja.

Bagiku, ini artinya:
       terjaga lebih dini,
       mandi lebih bersih,
       berkumur mouthwash kering di gigi,
       menata rambut bagai Om Rudy
       mengacak-acak isi lemari,
       memadu padan flanel dan warna khaki,
       memilih boot  atau sepatu sporty,
       menjaga sandar agar tak kusut lipatan,
       menata kata sambil merapal doa,
       agar tenang dan terlihat biasa,
       menghitung langkah agar tepat bersua.

Lalu kau lewat, 
       menyapa dengan senyum biasa,
       aku cuma bisa menyeringai kuda,
       lalu tersiksa bagai pajangan sampai purnama.


Jakarta, 27052020




Lelaki Ini Dan Perempuan Itu Dan Waktu Yang Tak Mau Berhenti


Hujan. Lagi. Namun tak seramai tadi. Pasukan tirta terjun lembut bagai prajurit berparasut. Mendarat lalu berebut mencari lubang semut. Lelaki ini memejamkan matanya. Menangkap hening, mencoba menyerap hembusan nafas-nafas yang mendengkur halus. Mendengarkan derap kaki kelabang yang tergopoh menghindar tenggelam.

Layar monitor itu masih kosong. Hanya tertulis Document1-Word. Dan kursor yang tak lelah berkedip menggoda. Sesekali terlihat mencela “ayooo…mana tintamu? Hentakkan jemarimu…tidakkah kau lihat aku sudah menunggu lama?”. Lelaki ini tak acuh. Diraihnya cangkir kopi, sial tinggal tetesan terakhir. Cangkir ketiga dalam 3 jam 25 menit ini. Bercak coklat kehitaman membekas. Lelaki ini sedetik tergidik, membayangkan bercak yang sama di lambungnya.

Lelaki ini masih terdiam di kelengangan. Tak ada angin, hujan pun sudah sudah lelah turun. Menyisakan gigil dan petrichor. Tadinya lelaki ini ingin membuat puisi. Menyamarkan rasa dalam kata-kata berima. Mengisyaratkan cinta dibalik kata-kata penuh makna. Makin dicoba makin buntu rasanya. Saat diam kata-kata indah menyeruak kepala. Saat tertumpah yang keluar sumpah serapah. 4 jam 5 menit. Malam sudah 2/3. Satu dua suara mulai terdengar. Lelaki ini sungguh berharap waktu berhenti. Agar dapat menyelesaikan puisi ini sebelum pagi. Dilemaskannya jemari, dikerutkan kening memicing mata. Harus selesai sebelum pagi. Layaknya janji Bandung Bondowoso kepada Rara Jonggrang. Tepat sebelum ayam tetangga berbunyi, puisi itu jadi. Lelaki ini menghembus nafas lega. Diregangkan punggungnya, rebah seadanya mengusir lelah.

***
Disudut lain kota. Perempuan itu terjaga denting lembut gawai di atas meja. Jam 04.12. Setengah kantuk dibacanya pesan masuk : Aku Rindu. Selarik senyum tipis, lalu kembali menyuruk ke balik selimut. Menghangatkan diri menenangkan hati di sela dengkur kekasih hati.

Jakarta, 06052020


Tentang Kita Dan Mereka


Ini bukan tentang Aku, Kamu ataupun Dia.

Ini tentang Kita dan Mereka. Yang setiap hari berpindah tempat, lewat jalan yang sama atau berbeda. Dengan alat yang sama atau berbeda. Dengan orang yang sama atau berbeda.

Ini tentang Kita dan Mereka, yang setiap hari nyaris di waktu yang sama, harus mematikan rasa. Membuang jauh-jauh akal sehat, melupakan semua ajaran dan pelajaran.

Ini tentang Kita dan Mereka yang selalu berasumsi dengan diri sendiri.

Ini tentang Kita dan Mereka, yang lupa atau bahkan tak pernah ingat bahwa kita akan kembali di hari-jam-menit yang tepat: tidak akan lebih cepat atau lebih lambat. Tidak akan tertunda.

Ini tentang Kita dan Mereka, yang selalu merasa diri paling berhak cepat sampai di rumah. Yang merasa paling ditunggu kehadirannya.

Ini tentang Kita dan Mereka, yang tak pernah abai nyawa. Berbalas pesan saat berkendara. Salip di kiri lambat di kanan.

Ini tentang Kita dan Mereka, yang hanya menunggu waktu saja hembuskan nafas di jalan raya.

Jakarta, 06032020

Aku Memang Sudah Gila

Aku mungkin memang sudah hilang akal sehat, bodoh atau mungkin sedikit gila. Ya, sedikit saja. Supaya tetap ada kontrol diri. Seperti orang yang menanti mentari pagi, berjemur lalu mandi. Aku tidak. Aku memang menanti, tapi lalu tidur lagi. Memainkan ilusi, berbicara pada alam. Dengan keyakinan, kamu berteleportasi, mengikuti inginku. Hadir di sini, muncul di situ. Menguatkan pikiran, ketika pintu terbuka yang keluar adalah kamu. Dengan baju kunyit capuccino. Berkali salah. Tetap kucoba. Sekalinya benar, aku gemetar. Sibuk mengejar kata yang berlarian kesana kemari. Hei, kalian sudah kususun sejak lama. Tak rumit bahkan terlalu sederhana. Sapa salam tak lebih. Sedikit senyum kalau bisa. Bubar, tak cukup hitungan sepuluh, terkadang cuma sampai tiga. Rumit sekali rasa ini. Mungkin tak cukup sekali reinkarnasi, untuk dapat tepat disisi. Entah kanan, entah kiri. Atau tak cukup rusuk hilang satu, supaya pasti menjelma jadi kamu. Ugh, kuproklamirkan saja nanti: aku lelah, menyimpanmu dalam manah. Sebentar saja. Diamlah disana. Apa kau pun tak lelah?. Berlari sana-sini tapi tak pergi-pergi.

Aku memang sudah gila.


Jakarta, 05032020

SANG PREMAN


Jalanan ini nyaris masih sama saat terakhir kali aku lewati puluhan tahun silam. Belum juga dilapis aspal, hanya paving block yang sudah rompal sana-sini. Menyisakan genangan air sisa hujan entah kapan. Pohon yang dulu juga masih ada, hanya lebih tua. Renta namun kokoh menjadi saksi bisu lalu lalang bibit-bibit petinggi negeri. Beberapa bangunan baru berdiri megah, menyesuaikan kebutuhan masa. Tanpa peduli tiap masa tetap butuh tanah lapang, rerumputan bahkan empang sebagai tempat resapan. Aku berjalan lambat-lambat. Berusaha menyesap rasa yang menyeruak di dada. Entah apa, namun yang jelas mataku sedikit berkaca. Kisah demi kisah berkelebat bagai film usang yang diputar ulang.

***

1994
Plaaak…” tiba-tiba preman itu melepaskan pukulan tangan kirinya ke mukaku. Aku kaget. Seketika dahiku terasa panas. Meskipun sudah bersiap, aku tak menyangka serangan pertama datang dari sisi kananku. Walau tak sempat kuhindari, pukulan itu tak cukup keras untuk merobohkanku. Sekejap kemudian keadaan sudah berbalik. Secara beruntun aku membalas dengan combo dollio chagi[1] dan dwi chagi[2] menyasar perut dan ulu hati. “bak buk bak buk” tendanganku mendarat telak dan berhasil membuat preman itu terdorong ke belakang. Melihat itu aku langsung mengejar dengan balchagi[3] andalanku. Preman itu berusaha menghindar, tapi terlambat. Kepalanya terhindar tapi bahu kanannya tidak cukup kuat menahan tenaga 'cangkulanku'. Bruuukkk…. Preman itu pun terkapar. Naluri sebagai petarung jalanan mendorongku melompat untuk melepaskan serangan akhir yang mematikan. Niatku tertahan oleh beberapa tangan yang menarik tubuhku. “Sudah…sudah…cukup..!!” beberapa orang berteriak setengah menghardik, melerai perkelahian sore itu. Sekilas kulihat preman itu pun dipegangi dan dibantu berdiri oleh orang-orang yang dari tadi hanya menonton kejadian tersebut. Mataku mencari-cari sosok perempuan itu. Ketemu. Kulihat dia berdiri pucat dekat pohon di tengah trotoar. Tangannya gemetar. “ayok pulang” ajakku sambil mengambil ransel yang kutitipkan padanya saat kami dihadang preman tadi. Dia cuma mengangguk. Lalu berjalan cepat menjajari langkahku. Masih terguncang dengan kejadian tadi. Orang-orang masih berkerumun. Satu dua bertanya ada apa. “Anak kampung dipukuli mahasiswa” ada yang menjawab. Samar kudengar teriakan preman itu “awas lo ye…!! urusan kita belum selesai…!!”. Aku tak acuh. Toh dia juga tidak berusaha mengejar atau menyerangku lagi. Bagiku, urusan kami sudah selesai disitu.

***

Kampus yang berdiri megah dipinggiran selatan ibukota ini sungguh ironi. Mahasiswanya 100% pendatang dari berbagai daerah di Indonesia. Seleksi masuk yang ketat mematikan harapan penduduk lokal sekitaran untuk menyekolahkan anaknya disitu. Sekolah gratis dengan jaminan langsung kerja, siapa yang tak ingin?. Ekonomi yang bertumbuh bagi masyarakat sekitar tetap saja menyisakan friksi; mahasiswa versus anak kampung. Dari versi paling sederhana dalam permainan sepak bola sampai versi paling rumit dalam hidup manusia: cinta. Manalah mungkin anak kampung memikat hati mahasiswi, sementara mahasiswa dengan mudahnya memetik bunga kampung, bahkan tak sedikit yang ditawari jadi menantu pak haji pemilik rumah kost. Aku termasuk salah satu anak negeri yang beruntung berhasil mencicipi pendidikan disini. Masa kecil dan remaja kuhabiskan di sumatera, tanah kelahiranku. Sekolah disini adalah perantauan pertamaku. Berat, karena baru pertama kali aku berpisah dengan keluarga. Berat karena hatiku tertinggal di sana. Friksi antara penduduk asli dan pendatang di lingkungan kampus ini memang bukan cerita baru. Cerita tentang mahasiswa yang dipalak anak kampung sudah jadi bumbu sehari-hari. Sore itu akhirnya aku yang mengalami sendiri.

***

Plak, tiba-tiba bahuku ditepuk dari belakang. Membuyarkan lamunanku. Aku menoleh, mendapati seorang lelaki berperawakan tegap yang senyum-senyum memandangku. Aku berusaha mengingat-ngingat, tapi tetap tak teringat. Menyadari kebingunganku, lelaki itu tergelak “lupa lo ya ama gue?” tanyanya dengan logat kampung yang khas. Aku tetap tidak ingat. Menggeleng. Masih sambil tertawa lelaki itu menunjuk pohon tua di tengah trotoar. “Gak inget lo mukulin gue disitu dulu?” tanyanya, berusaha mengembalikan ingatanku. Aku menatapinya tak percaya. Atas bawah. “Busyeeet…beneran nih lo” tanyaku setengah tak percaya. Betapa tidak. Puluhan tahun lalu lelaki ini adalah sosok preman kampung yang tak jelas kerjaannya. Nongkrong sana-sini malakin mahasiswa atau menggoda-goda mahasiswi. Tapi sekarang, penampilannya berubah 180 derajat. Bersih dan tampak gagah dengan seragam aparat potongan pas di badan. Aku masih tak percaya. Dia lalu bercerita bahwa perkelahian denganku dulu adalah titik balik hidupnya. Kesombongan dan harga dirinya runtuh saat itu. Dihajar habis-habisan oleh mahasiswa kurus ceking adalah aib. Sejak itu dia berubah. Apalagi bapaknya tak lama meninggal, menyisakan tanah dan rumah petak yang satu persatu habis terjual. Dia berubah. Belajar keras melatih diri. Dia pun mendaftar jadi polisi dan alhamdulillah diterima, sampai dengan hari ini. “Masak preman dipukulin anak sekolahan? pensiun aja dah gue..” selorohnya menutup cerita.

***

Nasib manusia memang gaib. Tidak ada yang tahu kecuali Sang Khaliq. Sejatinya semua insan ingin berakhir baik, namun tak sedikit yang akhirnya tergelincir godaan dunia. Kita tidak pernah tahu manusia mana yang akan membawa kita kebaikan, sama tidak tahunya siapa yang akan menjerumuskan kita dalam kenistaan. Pertemuan kembali dengan mantan preman tadi seketika menyadarkanku, dalam hidup kawan bisa jadi lawan, lawan bisa jadi kawan. Dari semuanya, selalu ada pelajaran yang bisa diambil, pengalaman yang bisa dikenang. 


Jakarta, 05032020  



[1] Tendangan dari samping dengan menggunakan punggung kaki
[2] Tendangan berputar dengan menggunakan tumit (horse kick)
[3] Tendangan dari atas ke bawah, seperti mencangkul