Tampilkan postingan dengan label Arie Yanwar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Arie Yanwar. Tampilkan semua postingan

Begal Jakarta vs Begal Sumatera Utara

Sebagai seorang anggota roker (rombongan kereta) adalah hal lumrah jika pagi hari saya selalu turun di stasiun gondangdia  untuk kemudian lanjut naik kopaja P20 sampai kantor. Suatu hari datanglah saat apes saya, dimana di P20 tersebut saya dapat tempat duduk dan menaruh tas di depan. Entah kenapa (mungkin karena sudah merasa aman), kewaspadaan saya berkurang sehingga ada orang yang berdirinya mepet-mepet ke saya pun saya tidak curiga. Malah saya bingung karena orang yang duduk di sebelah kiri saya koq resek banged, kaki nya selalu menyentak kaki saya.

Saya berpikir “dasar bapak-bapak pagi-pagi uda mau ngajak ribut aja” beruntung saya ngejar absen jadi biarkan saja lah, sebentar lagi juga sampai tujuan. Begitu lewat lapangan banteng, banyak penumpang yang turun termasuk laki-laki yang berdirinya mepet-mepet saya.

Kemudian bapak yang disebelah kiri saya celoteh “copet tuh”.

Saya sempat terhenyak, tapi dasar insting absen, saya mengabaikan saja. Begitu saya turun dan on the way ke mesin absen, baru deh saya rogoh isi tas ternyata dompet dan HP raib….WTF gw kecopetan nih DGLMND(maki-maki sambil grusa-grusu).

Terus terang isi dompet saya cuma ada Rp20 ribu dan HP yang hilang pun merk nokia yang bukan qwerty, gak bisa internet dan berbalut seloptip di keypadnya.

Bahkan saking buluknya HP tersebut  teman saya pun berkata “copet juga gak napsu ama henpon lo mas”.

Kawan-kawan saya pun banyak yang prihatin terutama sama copetnya, mereka sudah hati-hati membuka, mengambil dan menutup tas saya dengan rapi, dapetnya cuma Rp20 ribu + HP buluk.

Tapi bukan nominal uang yang saya permasalahkan, bukan pula HP buluk, melainkan surat-surat kayak KTP, KK, ATM, SIM, bahkan STNK mobil juga ada disana. Benar-benar kerjaan berat buat saya nelponin berbagai bank untuk memblokir KK saya (walaupun saya memang sudah gerah juga punya koleksi KK kebanyakan padahal gak pernah dipakai).

Kemudian ada teman saya yang berkata “ udah  rie, paling dalam 3 hari ada yang nelpon lo, bilang kalo mereka nemuin dompet lo”.

Kebetulan di dompet ada kartu nama dan nomer telepon kantor, tapi tetap saja saya mesti ke kantor polisi untuk urus surat kehilangan.

Sesuai prediksi teman ku yang plontos itu, selang 3 hari ada yang nelpon ke kantor. Dia mengaku satpam di lapangan banteng (baru tahu saya kalau ada satpam di lapangan banteng) dan mengatakan kalau ada tukang sapu yang menemukan dompet saya di tong sampah di lapangan banteng.

Wow, dejavu banged nih, dan saya pun bertemu dengan orang yang ngaku satpam tersebut dan terus terang penampilan si satpam lebih mirip tukang pukul daripada satpam (mungkin karena membandingkannya sama satpam Kemenkeu yang lebih rapi ya). Anyway, dia mengenalkan saya dengan si tukang sapu yang notabene bapak-bapak udah tua n keriput.

Saya pun menduga bahwa dompet dan surat-surat tak ada artinya buat para pencopet semprul tersebut. Lagian yang dicopet ternyata kere (isi dompetnya) + HP nya pun buluk (kalau Samsung masih mending lah) jadinya dengan jaringan kartel begal se-Jakarta dan lintas generasi, skenario kedua pun di jalankan yaitu skenario pengembalian dompet lengkap dengan isi-isinya kecuali duit dengan harapan dapat imbalan dari si korban.

Ya sudah saya ikuti aja skenario mereka dengan imbalan 1 foto pahlawan nasional. Sebenarnya sih pengen kasi foto Ki Hajar Dewantara tapi berhubung cuma punya foto pahlawan proklamator ya sudah lah, toh semua surat kembali.

Selidik punya selidik, copet di P20 termasuk kategori berbahaya. Mereka beroperasi berkelompok dan mereka bersenjata juga, jadi pastikan teman-teman pas naik P20 jangan bawa uang lebih dari Rp10 ribu biar lebih pahit lagi buat para copet mendapat korban lebih kere dari saya.

Nah, pada waktu saya penelitian di Medan on the way ke Sei Mangke saya perhatikan bahwa jalan raya Medan-Sei Mangke minim bahkan nyaris tak ada penerangan. Dengan kata lain, sangat rawan di malam hari. Perjalanan Medan-Sei Mangke di tempuh dalam 4 jam dan berhubung banyak hal menarik yang saya dapat ketika di Sei Mangke, waktupun berlalu sampai sudah lewat ashar. Saya pun bergegas untuk kembali ke Medan karena driver juga mengiyakan kalau malam memang rawan begal.

Tapi dalam perjalanan pulang sang driver mengatakan “tenang aja pak. Kita kan naik Avanza jadi gak akan mungkin jadi korban begal”.

“Loh, koq bisa” saya menimpali.

“Iya pak, begal disini sasarannya truk tangki (BBM) sama truk pengangkut kelapa sawit” kata pak sopir.

Rupanya begal disana persis dengan copet di P20. Mereka akan menstop truk target kemudian drivernya disuruh turun, kalau melawan nyawa melayang kalau tidak melawan cuma di tinggal sama si begal. Selang berapa haripun truk akan kembali dalam keadaan terparkir di pinggir jalan dengan muatan kosong.

Ternyata modus para begal sama semua. Ambil cukup isinya saja, sisanya kembalikan. Tapi tentu saja gak ada satpam atau tukang sapu yang menelepon pemilik truk dan mengklaim sebagai penemu truk yang dibegal. Dan tentu saja profitabilitas membegal truk lebih pasti ketimbang nyopet dompet yang bisa jadi isinya cuma zonk aja.

Yah, setidaknya saya tahu persamaan dan perbedaan begal di 2 provinsi ini.  

Naik Bentor Keliling Dumai

Ini adalah sekelumit catatan perjalan riset saya. Salah satu kota yang saya datangi untuk melakukan penelitian adalah Kota Dumai dan ini juga pertama kalinya saya ke sana. Saya naik travel dari Pekanbaru ke Dumai dan ketika sampai saya sendiri baru sadar kalau Kota Dumai itu luas banged saking luasnya kelihatan sepiiii banget. Maklum aja, jalan-jalan di kota ini cenderung lebar-lebar tapi kendaraan yang lewat sedikit banged. Mall gak ada dan terus terang kalo malam saya males jalan-jalan keluar. Lha kotanya sepi begini apa yang mau di lihat.

Hari kedua saya di Dumai saya isi dengan jalan-jalan naik bentor atau becak motor sejenis motor yang dimodifikasi pake sespan sehingga penumpang sedikit lebih nyaman daripada duduk di boncengan motor. Berhubung baru pertama kali ke Dumai maka saya juga gak tau tempat wisatanya dimana aja jadi memutuskan datang ke pantai. Ternyata pantai di Dumai indahhhhh banged penuh dengan kapal-kapal kargo yang nyandar di laut dan yahh sedikit polusi walau gak semerbak kayak Muara Angke di Jakarta. Dengan kata lain, pantai di Dumai memang pantai secara harafiah yaitu batas antara darat dan laut, bukan pantai dalam artian tempat rekreasi kayak di Anyer atau Kuta, apalagi sama Pelabuhan Ratu mohon agar jangan dibandingkan tapi silakan dibayangkan. Agaknya kalau menjadikan Dumai sebagai destinasi wisata will be your greatest mistake in your life.

Tapi tujuan saya datang ke Dumai memang bukan untuk berwisata, melainkan untuk penelitian. Nah, kalo anda datang ke Dumai untuk penelitian apapun bidang penelitiannya, maka dumai adalah kota yang paling tepat. Kenapa? Karena di Dumai banyak perusahaan baik perusahaan kelapa sawit maupun migas. Kota ini juga kabarnya merupakan kota terluas di Indonesia di tambah juga dengan sistem transportasi yang belum tertata dimana angkot tidak ada nomor dan jurusannya. Yup, kita tahu bahwa itu angkot karena Suzuki carry warna biru, tipikal angkot-angkot di berbagai kota besar yang lain. Taksi di Dumai merupakan pemandangan langka, karena memang tidak ada taxi di sini, mungkin kalau taxi online masuk tidak ada yang demo kayaknya. Selain absennya taxi, angkot yang tak berjurusan nan jarang, ojek pun tidak ada. Nah, yang ada dan jumlahnya banyak di Dumai cuma bentor, jadilah saya coba berjalan-jalan keliling Kota Dumai menggunakan jasa bentor.

Tapi bentor pun punya kekurangan yaitu mereka engan untuk berjalan-jalan dengan radius lebih dari 5 KM. Ini jadi masalah besar buat saya, karena hotel tempat saya tinggal berada di pusat kota, dekat dengan pelabuhan, sedangkan tempat yang ingin saya datangi adalah kantor pemda yang berada jauh ke arah selatan (masuk ke inland) dan bentor dari tempat saya menginap tidak bersedia mengantar sampai kesana karena kejauhan. Hal yang sama juga terjadi dengan kawasan industri di Dumai. Dimana ada 2 kawasan industri yaitu Pelintung dan Lubuk Gaung yang terletak berjauhan satu dengan lainnya. Pelintung di tenggara dan Lubuk Gaung di barat laut. Bentorpun menolak ketika saya minta untuk pergi kesana dengan alasan yang sama.

Ketika, perjalanan dengan bentor di mulai baru saya paham kenapa mereka menolak untuk bepergian jauh. Selain karena kecepatan mereka yang cukup lambat, juga karena sespan yang terbuka sehingga untuk penumpang disarankan naik dalam kondisi yang fit, karena terpaan angin yang cukup kencang plus sensasi getaran kayak bajaj merah di Jakarta berpotensi untuk membuat mereka yang kurang fit masuk angin. Belum lagi, sepanjang perjalanan bentor saya hanya berhenti di tempat tujuan, tidak pernah berhenti di lampu merah walaupun lampu lalinnya sudah merah, bahkan ada truk atau mobil berhenti di depan pun, bentor tetap melaju dengan berusaha menghindari halangan yang ada di depan. Hal ini membuat saya bersyukur tidak bisa ke tempat yang saya ingin tuju dengan bentor.

Akhir perjalanan, tibalah transaksi antar pengguna dan pemberi jasa. Uniknya sopir bentor ini meminta saya untuk mengajukan harga bukannya memberi harga untuk saya tawar. Alasannya biar sama-sama enak, dan benar, ketika saya buka harga di angka Rp100 ribu, sang supir pun langsung mendehem sambil berkata Rp150 ribu. Well, untuk jalan-jalan keliling pusat kota yang boleh dibilang lack of point of interest dengan durasi lebih dari satu jam plus sensasi mau masuk angin dan keleyengan, saya anggap masih worth it lah. Jadi bagi kalian yang ingin ke Dumai, selalu ingat untuk punya teman disana yang punya mobil dan punya waktu untuk mengantar kalian wara-wiri di sana karena bentor bukan pilihan untuk moda transportasi umum. Terus terang dengan tarif Rp150 ribu tinggal dikali 3, kita sudah bisa nyewa avanza plus supir selama 12 jam (BBM exclude) yang saya lakukan di hari berikutnya.