Tampilkan postingan dengan label SuamiSiaga. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SuamiSiaga. Tampilkan semua postingan

Sudah Efektifkah Defisit APBN?

Utang Pemerintah Pusat sampai dengan Februari 2017 mencapai sebesar Rp3.589,12 triliun, angka ini meningkat sebesar 12,28% dari periode yang sama tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp3.196,61 triliun. Alasan pemerintah melakukan utang karena diperlukan untuk menutup defisit anggaran, yang kemudian akan digunakan sebagai stimulus bagi perekonomian.


Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, penjelasan dalam Pasal 12 disebutkan bahwa defisit anggaran dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Melihat defisit APBN terhadap PDB selama tahun 2012 sampai dengan 2016, kecenderungannya terus mengalami peningkatan tetapi masih dibawah angka 3%. Khusus untuk tahun 2016, defisit APBN terhadap PDB turun sebesar 0,03% menjadi 2,20%.

Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku
Menurut Pengeluaran Tahun 2012-2016



Sumber : Kementerian Keuangan dan Badan Pusat Statistik diolah

Penerapan defisit anggaran bukan merupakan suatu hal yang terlarang untuk dilakukan, bahkan negara maju pun menerapkan hal ini. Awal mula defisit anggaran diterapkan ketika terjadi peristiwa Great Depression dimana teori Klasik mapun Neo-Klasik tidak mampu menyelesaikan masalah ini. Atas peristiwa tersebut kemudian muncul teori Keynes yang memberikan solusi ketika terjadi resesi, anggaran berimbang atau surplus tidak dapat diterapkan sehingga pemerintah harus menerapkan defisit anggaran. Kebijakan defisit anggaran hingga saat ini banyak diterapkan hampir disetiap negara untuk menggairahkan perekonomian. Menurut Mankiw (2003), ada tiga alasan mengapa defisit dibutuhkan, pertama untuk stabilisasi, kedua untuk tax smoothing, ketiga untuk redistribusi intergenerasi.


Defisit anggaran juga diterapkan di Indonesia, tetapi apakah sudah efektif defisit yang diterapkan?

Perbandingan Sisa Pagu Dengan Defisit
Tahun 2012-2016

 

 Sumber : Kementerian Keuangan diolah

Apabila melihat data Pagu, Realisasi Pagu, Sisa Pagu, dan Defisit Anggaran, maka akan terlihat seberapa besar defisit yang diterapkan oleh pemerintah dibandingkan terhadap sisa anggarannya. Melihat data anggaran selama tahun 2012-2016, terlihat bahwa sisa anggaran pada akhir tahun ternyata masih cukup besar terutama tahun 2012-2015 dengan rata-rata penyerapan sebesar 88,62%.

Membandingkan antara sisa anggaran dengan defisit anggaran, terlihat bahwa besaran defisit yang dipenuhi melalui utang, tidak mampu terserap secara maksimal. Penerapan defisit anggaran masih belum efektif, untuk tahun 2012 sampai dengan 2015, inefektifitas defisit anggaran secara rata-rata sebesar 44,47%. Sedangkan untuk tahun 2016, inefektifitas defisit anggaran hanya sebesar 19,57%, anggaran mampu terserap dengan baik dan utang dapat digunakan secara lebih maksimal.

Mencermati kondisi tahun 2016, terdapat penerapan kebijakan pemotongan dan penghematan anggaran yang dampaknya mampu memaksimalkan realisasi anggaran sehingga defisit anggaran dapat lebih efektif. Pemerintah harus dapat memperkirakan kemampuannya untuk menyerap anggaran dan disesuaikan dengan perencanaan anggaran, sehingga kebijakan utang bisa saja tidak perlu diterapkan apabila memang tidak terlalu diperlukan. ^_^



















Beban APBN Untuk Pemindahan Ibu Kota Negara

Wacana pemindahan Ibu Kota Negara yaitu DKI Jakarta mulai didengungkan kembali, hal ini pertama kali didengungkan pada saat pemerintahan Presiden Soekarno yang ingin memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke Palangka Raya, tetapi sebelum hal ini terealisasi, Presiden Soekarno sudah lengser terlebih dahulu. Kemudian wacana pemindahan Ibu kota Negara kembali digulirkan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, diusulkan pemindahan ibu kota negara ke Jonggol, tetapi lagi-lagi hal ini tidak terealisasi kembali hingga berakhirnya masa pemerintahan Presiden Soeharto. Kemudian masa pemerintahan Presiden SBY juga mewacanakan isu pemindahan ibu kota negara hingga masa pemerintahan Presiden Jokowi saat ini. Wacana pemindahan ibu kota negara pada pemerintahan Presiden Jokowi saat ini, sedang dalam tahap kajian di Bappenas. Lokasi ibu kota masih belum ditetapkan, ada yang menyebutkan Jonggol hingga Palangka Raya atau kota lain di Kalimantan.
Tulisan ini bukan merupakan kajian yang komprehensif mengenai pemindahan ibu kota negara, tidak mengkaji kota mana yang tepat menjadi ibu kota negara baru, tidak mengkaji perlu atau tidaknya pemindahan ibu kota negara, tetapi melihat secara sederhana dampak anggaran yang ditimbulkan dari pemindahan ibu kota negara. Karena, pemindahan ibu kota negara mau tidak mau, besar maupun kecil, pasti akan membebani APBN. Sebesar apa beban APBN kita? saya akan coba uraikan satu-satu dengan asumsi ibu kota negara pindah ke Palangka Raya.

Pertama, apa yang paling dibutuhkan suatu pemerintahan? tentu saja adalah gedung pemerintahannya. Hingga tahun 2017 ini, terdapat 88 Kementerian Negara/Lembaga dan apabila benar-benar terjadi pemindahan ibu kota negara, maka kemungkinan besar 88 Kementerian Negara/Lembaga (K/L) tersebut juga akan dipindahkan (tentu saja kalo saat pemindahan nanti jumlahnya masih 88, semoga saya juga tidak salah ngitung jumlah K/L). Dengan jumlah 88 K/L, maka perlu 88 ruangan untuk Menteri dan Pimpinan Lembaga serta jajarannya. Dengan menggunakan standar ruangan dari Kementerian PU-PR dan jumlah PNS Pemerintah Pusat dari BPS, maka perhitungan kebutuhan gedung adalah sebagai berikut:
Sumber : Kementerian PUPR
(Keterangan : standar rata-rata ruang kantor tingkat Direktorat (Unit Eselon II) adalah 10 m2/pegawai (angka rata2 termasuk Direktur dan Kasubdit))

Sumber : Pemerintah Kota Palangka Raya


Jumlah PNS Menurut Jenis Kepegawaian dan Jenis Kelamin, Desember 2013 dan Desember 2014
Sumber : Badan Pusat Statistik

Apabila melihat dari data harga satuan tertinggi gedung negara untuk kota Palangka Raya dan data jumlah PNS Pemerintah Pusat, maka didapat angka kebutuhan anggaran gedung kantor dengan perhitungan sebagai berikut:

Total Menteri                 = 406 m2 x 89
(Pimpinan Lembaga)      = 36.134 m2
Biaya Total Menteri       = 36.134 x 4.172.000
                                    = 150.751.048.000                           
Total Eselon I                = 197 m2 x 306
                                    = 60.282 m2
Biaya Total Eselon I       = 60.282 x 4.172.000
                                     = 251.496.504.000
Total Direktorat              = 10 m2 x 909.426
                                     = 9.094.260 m2
Biaya Total Direktorat     = 9.094.260 x 4.172.000
                                     = 37.941.252.720.000
Total Biaya                     = 150.751.048.000 + 251.496.504.000 + 37.941.252.720.000
                                     = 38.343.500.272.000

Berdasarkan hasil perhitungan, maka anggaran yang dibutuhkan untuk membangun gedung Pemerintah Pusat adalah sebesar Rp38.343.500.272.000,00. Angka tersebut merupakan perhitungan paling minimal yang harus dipenuhi karena menggunakan angka untuk pembangunan gedung bertingkat sederhana.
Pembangunan gedung juga memerlukan pengadaan tanah terlebih dahulu, dengan menggunakan luas minimal yaitu untuk total gedung Menteri (dan pimpinan lembaga), Eselon I, dan Direktorat, maka luas keseluruhan dalam m2 adalah 36.134 m2 + 60.282 m2 + 9.094.260 m2 = 9.190.676 m2 dan NJOP Kota Palangka Raya sebesar Rp400.000,00 per m2 (sesuai dengan Perda Kota Palangka Raya), maka kebutuhan anggaran untuk pengadaan tanah adalah sebesar 9.190.676 x 400.000 = Rp3.676.270.400.000,00.
        Selain kebutuhan anggaran untuk pembangunan gedung dan pengadaan tanah, perlu anggaran untuk belanja barang operasional. Mengambil data dari BI Anggaran untuk tahun anggaran 2017, belanja barang operasional untuk seluruh Kementerian Negara/Lembaga di Kantor Pusat adalah sebesar Rp26.564.170.166.000,00.
(Keterangan: data diambil dengan memfilter untuk seluruh belanja barang operasional dan seluruh K/L yang berlokasi di DKI Jakarta, Satker yang berlokasi di DKI Jakarta masuk kedalam penghitungan).
        Dengan melakukan penghitungan untuk biaya pembangunan gedung dan kebutuhan belanja barang oprasional, maka suatu gedung pemerintahan agar dapat digunakan memerlukan biaya total untuk seluruh Kementerian Negara/Lembaga adalah sebesar :
Rp38.343.500.272.000,00+Rp3.676.270.400.000,00+Rp26.564.170.166.000,00=Rp68.583.940.838.000,00. Hasil perhitungan tersebut merupakan angka minimal, dan kemungkinan besar bisa 2 kali lipat kebutuhan yang perlu dianggarkan.

           Kedua, perlunya perumahan bagi PNS. Penyediaan perumahan bagi PNS yang ikut pindah, hal ini dapat diberikan berupa subsidi, pembiayaan dengan bunga rendah, atau membangun rumah dinas untuk seluruh PNS. Apakah akan membebani APBN? Apabila bentuknya adalah keringanan pembiayaan, tidak akan membebani APBN, tapi apabila harus diberikan subsidi dan memberikan seluruh PNS rumah dinas, maka ini akan sangat membebani APBN. Apabila  seluruh PNS diberikan rumah dinas, dengan anggaran per rumah Rp200.000.000,00, maka untuk memenuhi kebutuhan 909.426 PNS adalah sebesar Rp181.885.200.000.000,00.

            Ketiga, pemindahan Ibu Kota Negara juga perlu memikirkan penambahan pembangunan untuk pengelolaan air bersih, pemenuhan energi, transportasi, jalan, ruang terbuka hijau, sanitasi, drainase, penambahan rumah sakit, penambahan sekolah, dan lain sebagainya. Kebutuhan tersebut dapat dibebankan oleh APBD karena nantinya akan dikelola oleh Pemerintah Daerah itu sendiri. Perlu ada kesepakatan antara Pemerintah Pusat dengan pemerintah Daerah, bahwa untuk penyediaan transportasi dan infrastruktur dasar, dapat dibebankan melalui APBD, BUMD, maupun BUMN.

                Keempat, sesuai hasil penghitungan sederhana yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa kebutuhan anggaran yang akan dibebankan oleh APBN, seminimalnya adalah untuk pembangunan gedung pemerintahan beserta pengadaan tanah dan apabila dimungkinkan adalah membangun perumahan bagi seluruh PNS. Berdasarkan dua hal itu saja, maka anggaran yang akan dibebankan pada APBN adalah sebesar Rp68.583.940.838.000 + Rp181.885.200.000.000,00 = Rp250.469.140.838.000,00 (250,5 triliun). Kebutuhan 250,5 triliun dapat dibebankan selama beberapa tahun anggaran dan untuk kebutuhan rumah bagi PNS dapat bekerjasama dengan BUMN, BUMD maupun Swasta agar memperoleh skema yang lebih meringankan terhadap beban APBN.

(tulisan ini dibuat dalam rangka iseng-iseng belaka, apabila ada yang tidak berkenan, dapat didiskusikan secara santai dan mungkin bisa sambil ngopi-ngopi..hehehe)