Cita-cita Yang Tercapai

Malam beranjak menyepi ketika ditemani hujan yang terlihat sabar dengan rintik-rintiknya. Suara syahdu tetesan airnya membuaiku untuk tetap bermalas-malasan merebahkan punggung di tempat yang biasa aku menghabiskan malam istirahatku. Ini memang waktu yang ideal untuk segera melepaskan segala kepenatan dari hiruk pikuknya beban di sepanjang hari tadi.

Belum juga sempat mengawali petualangan 'hibernasi'-ku malam ini, kudengar rintihan kesakitan dari istriku. Rupanya sakit gigi yang dikeluhkan sejak pagi tadi, mencapai puncak sakitnya di saat orang-orang berangkat ke tempat peraduannya.

Baru kali ini aku tahu betapa sebegitunya orang mengeluh karena sakit gigi. Aku menjadi tidak heran beberapa tahun yang lalu ada seorang teman yang protes keras gara-gara mendengar lagu yang liriknya kurang lebih bermakna "lebih baik sakit gigi daripada sakit hati". Kata temanku itu, "penyanyinya tidak pernah sakit gigi sih, kalau aku ya mending sakit hati daripada sakit gigi". Aku pikir pernyataan temanku ini juga penuh spekulasi, mungkin karena belum merasakan betapa sakitnya kalau lagi sakit hati. Tapi bolehlah, sekali-kali protes terhadap lagu yang tadinya dimaksud untuk menghibur, tapi malah dirasa kontradiktif terhadap yang sedang dirasakan temanku. Wajah protesnya tidak bisa disembunyikan, sambil pegang pipi sebelah kirinya yang keliatan bengkak. Sabar ya friend :D

Malam ini mungkin menjadi malam yang akan dikenang istriku dengan rasa sakitnya yang tak kunjung berujung. Rintihannya cukup mewakili betapa sangat sakitnya yang sedang dirasakan. Aku tidak boleh tidur, harus berbuat sesuatu. Toh suami siaga tidak hanya dimonopoli oleh para istri yang hamil saja. Mendapat perhatian suami adalah hak segala bangsa, termasuk para istri yang sedang sakit gigi.

Tak berlama-lama lagi, aku tawarkan untuk aku bawa ke rumah sakit terdekat, tapi istri tidak mau. Cukup minta dibeliin obat sakit gigi saja untuk mengurangi rasa sakitnya. Segera aku ganti baju, aku ambil kaos sekenanya, warna putih berkerah dan tak lupa pakai jaket untuk melindungi diri dari udara yang tidak terlalu bersahabat karena dingin yang menyengat tulang.

Waktu sudah menjelang tengah malam ditambah hujan rintik, membuat jalanan begitu lengang. Tidak butuh waktu lama untuk sampai pada rumah sakit terdekat. Alhamdulillah tempat parkir juga tidak penuh, memudahkan aku memilih di mana aku memarkir kendaraanku dan segera ke apotek dan beli obat sakit gigi sesuai pesanan istri. Aku tidak boleh lama meninggalkan rumah, khawatir tetangga kiri kanan terbangun gara-gara istri sakit gigi.

Setelah antri beberapa saat, obat pereda nyeri sakit gigi itu sudah siap aku bawa pulang dengan sejuta harapan. Seperti biasa aku siapkan uang parkir, dan sebelum beranjak pergi, aku serahkan uang ke petugas parkir. Tapi anehnya tukang parkir memberi isyarat tidak mau menerima uang parkir tersebut. "Wah baik banget tukang parkirnya, bisa memahami cobaan yang sedang menimpa kami," pikirku. Tapi aku tidak boleh kalah, aku agak memaksa sedikit, "sudah, tidak apa-apa pak, ini ya", sambil aku sodorkan lagi uangnya. Dengan sopan dan hormat diterimalah uangku sambil berkata, "makasih dok..."

Langsung saja aku menyadari kenapa tadi tukang parkir tidak mau menerima pemberianku. Sambil berusaha mencari penyebabnya, aku perhatikan lagi apa yang ada pada diriku. Mungkin karena pakaian yang aku kenakan ditambah kacamata minus yang sudah lama menemani kemanapun aku pergi.

Tuhan Maha Adil, setiap kebaikan yang kita tanam, terkadang tanpa harus menunggu lama, kebaikan yang berikutnya akan dikaruniakan kepada kita. Jadi jangan ragu untuk berbuat baik kepada orang lain, terutama kepada istri dan orang-orang yang kita sayangi. Bersusah payahnya aku memberikan yang terbaik buat istri yang sedang menahan rasa sakitnya, dibayar lunas oleh Tuhan, cita-citaku sejak kecil tercapai : ingin menjadi dokter. Alhamdulillah.

Perang Kembang

Perang terberat adalah perang melawan hawa nafsu. Pernyataan ini tentu sudah sangat sering kita dengar. Bahkan ini merupakan salah satu hadits shahih yang diriwayatkan oleh  Ibnu An-Najjar dari Abu Dzarr Radhiyallahu anhu bahwa “Jihad yang paling utama adalah seseorang berjihad (berjuang) melawan dirinya dan hawa nafsunya”.


Dalam falsafah Jawa, perang terberat ini digambarkan dalam “perang kembang”. Falsafah ini disampaikan oleh dalang pada pagelaran wayang. Pagelaran wayang memang sebuah hiburan, namun sarat dengan pesan-pesan yang sejatinya merupakan pelajaran untuk diterapkan oleh pemirsanya. Dalam pagelaran pewayangan, perang kembang adalah suatu episode dimana seorang ksatria dipersiapkan oleh seorang guru sebelum ditugaskan untuk mengemban tugas yang berat. Disinilah, seorang dalang menyampaikan sebuah falsafah kepada pemirsa mengenai pengendalian diri melalui sebuah hiburan.


Cerita diawali dengan ditugaskannya seorang ksatria untuk menumpas kejahatan, makar, atau bisa jadi perang besar untuk menaklukkan kerajaan lain yang akan memusuhi kerajaannya. Seorang ksatria yang ditunjuk ini kemudian didampingi oleh empat orang “batur” (pengasuh) yang biasanya disebut panakawan. Tugas panakawan sejatinya adalah menyiapkan sang ksatria agar memiliki jiwa yang tangguh sebelum melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya.


Sebuah babak dimulai untuk menyiapkan sang ksatria. Babak ini digambarkan dalam sebuah episode yang biasa disebut dengan istilah “goro-goro”. Dalam babak ini, para panakawan mendampingi sang ksatria untuk pergi menjalankan tugasnya. Di tengah perjalanan, sang ksatria kemudian bertemu dengan beberapa raksasa dengan warna yang berbeda. Sang ksatria harus bisa menaklukkan mereka terlebih dahulu sebelum melanjutkan tugasnya. Raksasa dengan warna berbeda beda ini sebenarnya menggambarkan hawa nafsu yang ada pada dirinya, yaitu amarah, aluamah, muthmainnah, dan supiah. Oleh karena itulah raksasa-raksasa ini harus ditaklukkan terlebih dahulu oleh sang ksatria.

Ceritanya tidak habis disitu. Setelah menaklukkan mereka, masih ada satu lagi raksasa yang harus ditaklukkan. Raksasa ini bernama Gendir Penjalin, atau lebih terkenal dengan nama Buto Cakil. Tokoh ini adalah gambaran dari kesombongan. Berbeda dengan raksasa yang lain, tokoh ini akhirnya mati oleh senjatanya sendiri. Satu lagi pesan kuat yang disampaikan melalui tokoh ini, yaitu kesombongan akan membunuh pelakunya dari dirinya sendiri


Dengan menaklukkan mereka, sang ksatria telah lulus ujian pengendalian dirinya sehingga layak untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya. Dengan bekal itu, diharapkan sang ksatria memiliki bekal utama untuk menghadapi lawan selanjutnya. 

Falsafah ini sudah sangat dipahami oleh masyarakat secara umum. Perang kembang merupakan salah satu sarana untuk memudahkan masyarakat, khususnya di Jawa (atau lebih spesifik, di kampung saya) untuk memahami pelajaran hidup mengenai pengendalian diri. Falsafah ini secara nyata dilaksanakan dalam praktek kehidupan sehari-hari. Memang perang kembang bukan satu-satunya yang mengajarkan mengenai hal ini, tapi salah satunya.

Berebut “Benar”

Tidak ada satu individu pun yang dapat terlepas dari sebuah relasi di masyarakat. Sependiam apapun individu tersebut, sekutu buku apapun dia, pasti akan memiliki sebuah relasi. Ntah itu dalam sebuah komunitas kecil maupun besar. Bentuk relasi ini pun semakin berkembang seiring kemajuan teknologi informasi yang menghadirkan relasi dunia maya. Bahkan relasi dunia maya lebih mendominasi, karena tidak perlu saling bertatap muka atau mengenal, relasi ini terlihat seperti tanpa beban. Orang lebih berani dan responsif dalam bereaksi. 
 Secara alamiah, sebuah relasi selalu berhadapan dengan interaksi yang akan memunculkan sebuah pilihan harus berpihak pada siapa atau justru bertahan pada keberpihakan terhadap diri sendiri. Dan, ukuran memilih posisi sebelah mana sangat bergantung pada “anggapan’ kebenaran yang dimiliki masing-masing individu. Pada tahap inilah biasanya, konflik akan mulai muncul. Dari yang paling sederhana, yaitu perbedaan pandangan akan sebuah kebenaran, hingga berakibat pada permusuhan. Bukan karena pertarungan benar-salah, lebih sering karena mempertahankan kebenaran masing-masing.
Lalu pertanyaannya, apa mungkin kebenaran itu bersifat jamak bukan tunggal? Ilustrasi Amartya Sen, peraih nobel, berikut mungkin bisa membantu menjelaskan fenomena ini. Sen dengan sangat sederhana menggambarkan bagaimana kebenaran tersebut bersifat plural, bukan monolistik. Bagaimana konflik bisa terjadi, meski sama-sama benar. Sen bercerita tentang Anne, Bob dan Carla yang bersahabat baik dan saling memahami kondisi masing-masing. Ketiga anak ini mulai menghadapi konflik saat menemukan sebuah seruling. Dan, mereka berdebat siapa yang paling berhak memiliki seruling tersebut berdasarkan kebenaran yang dipahami masing-masing.
Anne berpendapat dialah yang berhak memiliki benda tersebut. Dasar pemikiran Anne adalah karena hanya dia satu-satunya orang yang dapat memainkan seruling. Sehingga seruling tersebut akan lebih bermanfaat daripada diberikan pada Bob atau Carla yang tidak tahu cara menggunakannya.
Sementara Bob adalah anak termiskin diantara mereka bertiga dan tidak memiliki satu pun mainan. Sehingga, Bob berkeras bahwa dialah yang seharusnya mendapatkan seruling tersebut. Bob membangun argumentasi bahwa tanpa seruling tersebut, Anne dan Carla tetap dapat menikmati mainan lain yang banyak mereka miliki. 
Sedangkan Carla merasa paling berhak terhadap seruling tersebut karena dia telah menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk membuat seruling tersebut. Dengan demikian, kebenaran akan wujud jika dia yang memiliki seruling tersebut.
Tergambar bahwa ketiga anak memiliki basis argumentasi dan justifikasi yang benar. Anne menggunakan pendekatan utilitarian (sesuatu dilihat dari kebermanfaatannya), Bob, menyorot dari sisi keadilan/egalitarian dan Carla berpegang teguh pada paham libertarian. Yang pasti, ketiga paham tersebut ada dan benar secara keilmuan. Ilustrasi Sen ini menjelaskan bahwa munculnya konflik tidak terbatas pada benar-salah saja, bahkan mungkin lebih karena pertarungan kebenaran antar individu.
Pertanyaan lanjutan yang muncul adalah bagaimana menyikapinya agar terhindar dari konflik? Pemikiran filsuf Jalaluddin Rumi mungkin dapat jadi rujukan. Rumi bilang bahwa kebenaran hakiki itu ibarat sebuah cermin besar dari Tuhan. Lalu jatuh berkeping-keping ke bumi, dan setiap kita mengambil kepingan tersebut, kemudian berteriak bahwa kitalah pemilik kebenaran.

Jadi, setiap individu memang berhak dan harus menyuarakan kebenaran. Namun, kita harus sadar bahwa kebenaran tidak hanya milik kita sendiri. Dan, konflik dapat dihindari dengan tidak berfikir bahwa kitalah yang paling benar. Atau bahkan lebih buruk, bersikukuh menyuarakan pembenaran.   

Me Rame - Lupa

Di tengah keramaian dalam sebuah pusat perbelanjaan menjelang tengah malam, banyak pengunjung yang menggunakan jasa transportasi daring (online) untuk kembali ke rumah atau menuju tempat lain. Ada seorang calon penumpang lelaki, kebetulan dia memesan ojek daring untuk kembali ke tempat tinggalnya, sehingga terjadi percapakan berikut. 

Penumpang
:
“Saya sekarang berada di dekat pintu masuk di pusat perbelanjaan ya mas. Posisi ada dimana ?”
Ojek daring
:
Penumpang
:
“Mas, kalau saya lihat dari posisi motornya di aplikasi,   terlihat cukup dekat dengan posisi saya. Saya nanti ke arah trotoar deh mas, kalau mas agak susah.” Begitu si calon penumpang memberi pesan di aplikasi ojek daring itu.

Setelah lama berselang, ternyata ada jawaban pesan dari pengemudi ojek daring

Ojek daring
:
“Iya, saya posisinya dekat pos sekuriti mba. Mba pakai   baju apa? Saya sudah di depan pusat perbelanjaan yang mba maksud.”
Penumpang
:
(Sambil bergumam dalam hati, mba? Gak salah neh? Perasaan di profil ojek daring sudah jelas wajah gue) Mas sekarang posisinya masih dekat pos sekuriti? (tanpa menghiraukan si pengemudi menyebut dirinya “mba”). Saya pakai baju warna abu-abu ya mas, sekarang saya lagi jalan ke arah pos sekuriti. (Apa pula yang dibayangkan di pengemudi dengan warna baju si penumpang)
Ojek daring
:
“Mba sekarang dimana? Sekarang saya juga sudah jalan ke arah dalam menuju pusat perbelanjaan yang mba maksud, tapi kok mba belum kelihatan?”

Masih berpesan-pesanan melalui aplikasi dengan si pengemudi, akhirnya si pengemudi mulai menelpon ke penumpang. Saat bersamaan, si penumpang sudah melihat wajah si pengemudi yang berjalandi profil aplikasi saat berpapasan melintas di trotoar. Ketika saat menerima telpon dari si pengemudi…

Penumpang
:
“Mas Rojak kan ? dari ojek daring?”

Wajah si pengemudi yang terkejut, seakan-akan habis melihat hantu kuntilanak dan berubah 180 derajat bahwa calon penumpangnya ternyata seorang pria. Si pengemudi tak bisa berkata-kata dan bahkan sempat mengucapkan kata “maaf” meski salah sebut saat berpesanan melalui aplikasi. Selain kaget dan tidak menyangka bahwa si penumpangnya adalah lelaki, tingginya si penumpang itu hampir dua kali lipat dari si pengemudi. Dan kemudian si penumpang bertanya sambil mengikuti si pengemudi untuk ambil motornya.

Penumpang
:
“Masih jauh mas parkir motornya?”
Ojek daring
:
(Diam dan tetap berjalan)
Penumpang
:
“Mas, masih jauh? Atau mas lupa ya? Atau gara-gara lihat saya bukan perempuan, masa gagal fokus dan kecewa ya?”
Ojek daring
:
“Iya mas, saya terkejut dan sekarang lupa saya parkir dimana…he…he… (sambil garuk kepala). Saya gak nyangka kalau mba yang saya maksud itu adalah mas (sambil dingat-ingat dimana parkir motornya). Sebentar ya mas, akibat tadi, saya jadi gagal fokus. Nah ini sudah ketemu motornya. Maaf ya agak lama (sekitar 5 menit mencari motornya).”
Penumpang
:
Gakpapa mas, ada helm kan? Ayo kita jalan mas.”


Cerita ini dapat juga dibaca pada link berikut 

Jika Bulan Bisa Bicara

           Terkadang ada hal di dunia ini yang tak dapat kita mengerti sama sekali. Ada hal yang tak dapat diterima secara langsung oleh logika. Bukan karena bodoh ataupun tak mampu bermain logika dengan cermat, akan tetapi karena memang akal fikiran atau logika kita memang diciptakan dengan penuh keterbatasan sehingga tak bisa sampai pada titik yang diinginkan untuk dapat mencermati apa yang sesungguhnya terjadi.
            Aku tak mengerti sama sekali dengan jalan takdir Tuhan. Apa sebenarnya yang diinginkanNya dariku. Namun, dengan semua keterbatasan yang ada, aku hanyalah manusia biasa yang tak mampu berbuat apa-apa. Yang hanya bisa menuruti saja semua kemauan Tuhan. Sampai pada akhirnya aku harus menelan pil kekecewaan yang teramat pahit. Yah mau bagaimana lagi yang terjadi itulah yang terbaik untukku.
            Sore itu, sepulang sekolah aku sedang makan siang. Tiba-tiba saja Mama menghampiriku dan menyodorkankan secarik kertas. setelah aku lihat ternyata isinya sebuah nomor handphone. Aku tanya, “Mama ini nomor telepon siapa?”.  Mama bilang itu nomor telepon anaknya Bu Shindy. Perlu diketahui, Bu Shindy itu teman arisan Mama. Mama meminta tolong padaku untuk mengirim pesan singkat pada Bu Shindy lewat nomor handphone anaknya, yang isinya Mama tidak bisa datang arisan besok karena sedang tidak sehat, ya memang aku lihat Mama sedang flu berat. Setelah makan ku ambil handphone  lalu ku kirim sebuah pesan singkat seperti pesan Mama tadi “Assalamualaikum, Bu Shindy ini saya Bu Ani maaf sepertinya saya tidak bisa datang arisan besok saya sedang kurang sehat, trims”, kurang lebih isi pesannya seperti itu lalu aku kirim ke nomor yang tadi Mama kasih, tak berapa lama handphone ku berbunyi ada pesan masuk rupanya seseorang membalas pesanku tadi lalu kubaca pesannya “Wa’alaikum salam, nanti saya sampaikan pesannya sama Mama maaf ini nomor siapa ya setahu saya nomor Bu Ani bukan ini?”.  upz aku lupa memberitahu kalau ini nomor aku “Oh iya  maaf ini Purnama anaknya Bu Ani, Mama lagi ga ada pulsa jadi pakai nomor aku”, sesingkat-singkatnya aku balas pesannya lagi pula aku fikir buat apa juga dijawab panjang lebar toh kami tidak kenal satu sama lain, aku kira tak akan dibalas lagi pesanku ternyata dugaanku salah seseorang disana membalas pesanku “Ohh Purnama ya saya Bulan anaknya Bu Shindy salam kenal ya”, “Oh iya salam kenal juga” singkat padat dan jelas pikirku mudah-mudahan saja dia tidak membalas lagi. Sepuluh menit berlalu kupandangi handphoneku dan ternyata kali ini dia tidak membalasnya syukurlah.
            Keesokan harinya pulang sekolah sesampainya aku di rumah handphone ku berbunyi lagi, aku lihat satu pesan masuk setelah ku buka ternyata pesan dari Bulan. mau apalagi ini orang, gerutuku akupun membaca pesannya “Selamat sore Purnama ,maaf mengganggu langit begitu cerahnya Purnama bersinar dengan gagahnya dan Bulan pun terang dengan cahaya sang Purnama.  Menjadi temanmu adalah indah”, tersipu malu aku membaca pesannya. Kalimat terakhir ‘menjadi temanmu adalah indah’ menunjukan kalau Bulan ingin berteman denganku, baiklah kali ini aku welcome dengan niat baiknya. Entah bagaimana awal dan tengahnya kami menjadi sangat akrab, di luar dugaanku ternyata Bulan sangat pandai sekali. selain dia baik dan gampang akrab dengan orang yang baru dikenalnya, ternyata pengetahuannya juga luas, dia banyak membantuku dalam mengerjakan tugas sekolahku. dia juga penasehat yang baik berdiskusi dengannya sungguh sangat menyenangkan. Tapi ada satu keanehan setiap kali aku menelepon dia tak pernah diangkat, jika aku meminta dia untuk meneleponku dia selalu saja mencari-cari alasan untuk tidak meneleponku. Aku bertanya pada Mama tentang sikap dia yang seperti itu. Dan wow sungguh tidak pernah ku duga, Mama bilang kalau Bulan itu seorang tuna wicara, itu artinya dia tidak dapat bicara. Oh God!! andaikan aku tahu dari awal, tidak akan aku bersikap seperti itu padanya. Ttapi Mama bilang Bulan itu anaknya baik tidak seperti anak yang lain, maka dari itu Mama merespon baik ketika aku bilang berteman dengan Bulan. Tak kusangka malam itu Bulan mengirim pesan singkat yang isinya mengajakku bertemu besok di masjid dekat rumahnya, dia bilang ingin menjelaskan sesuatu padaku. aku menebak sepertinya dia akan menjelaskan kalau dia seorang tuna wicara. apapun itu yang pasti tak sabar aku menunggu esok tiba. Sesuai janjinya keesokan harinya aku datang lebih awal, aku menunggu dia di teras masjid, aku lihat jam dinding menunjukan pukul 14.00 WIB. sudah tiga puluh menit berlalu, dia berjanji akan datang pukul 13.30 WIB.”sepertinya macet.” Pikirku.  Tapi setelah dua jam berlalu aku tunggu-tunggu Bulan tak kunjung datang. kecewa sekali aku hari ini, sampai malampun Bulan tak ada, nomor handphonenya tak dapat dihubungi. Tapi sekitar pukul sepuluh malam, telepon rumahku berbunyi. Mama mengangkatnya dan ternyata dari Mamanya Bulan. Shock sekali aku mendengar kabarnya. Mamanya Bulan bilang Bulan kecelakaan siang tadi, motornya ditabrak bus ugal-ugalan dan Bulan tewas, oh God sedih sekali aku mengapa aku harus bertemu dengannya dalam keadaan dia tak bernyawa, tangisku mengiringi kepergiannya akupun ikut mengantarkannya ke pemakaman, setelah proses pemakaman selesai semua orang berdoa dan menaburkan bunga diatas pusaranya, sebelum aku pergi meninggalkan kuburannya dalam hati aku berkata menjadi temanmu adalah indah Bulan andai Bulan bisa bicara takkan dia bersusah payah menemuiku sehingga harus kehilangan nyawanya.

Konflik Pengelolaan Transfer Daerah : Principal-Agent Approach

Bicara tentang principal-agent problem akan terbayang hubungan yang terjadi di sektor swasta seperti relasi antara majikan dan pekerja atau pemilik perusahaan dengan para profesional pengelola perusahaan. Dimana pemilik perusahaan bertindak sebagai principal, sedangkan manajer sebagai agent. Pemilik mempercayakan kepada manajer untuk menjalankan usahanya. Pemilik menggaji sang manajer dengan layak untuk satu tujuan, yakni memaksimalkan laba perusahaan. Masalahnya pemilik tidak dapat memonitor prilaku atau tindakan sang manajer sehari-hari. Dia mengukur kinerja manajer hanya berdasarkan laba yang diperoleh perusahaan. Padahal perolehan laba tidak serta merta terjadi karena kinerja dari manajer. Bisa saja hal tersebut disebabkan oleh faktor lain seperti kondisi pasar atau perekonomian yang memang mendukung sehingga tanpa upaya maksimal sang manajer, perusahaan tetap akan untung (Grossmann dan  Hart, 1983).

Penerapan pendekatan ini dalam sektor publik dilakukan untuk melihat pengaruh faktor non-ekonomi dari federal grants pada prilaku pemerintahan lokal (Chubb, 1985). Studi Chubb bertujuan untuk menunjukkan bahwa berbagai outcomes berbeda yang dihasilkan oleh sistem federal dapat dispesifikasikan dan dianalisis secara kuantitatif. Dengan menggunakan ekonometrika sebagai alat uji dengan menganalisis kinerja dua program utama federal grants pada 50 negara bagian di Amerika selama kurun waktu 1965-1979.  Chubb menganggap Kongres dan Presiden sebagai principal yang menyediakan alokasi kepada negara bagian dan pemerintah lokal untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu.

Sementara bertindak sebagai agent adalah federal grants agencies yang bertanggungjawab dalam distribusi anggaran, menyusun regulasi dan aturan terkait penggunaan dana tersebut. Permasalahan disini adalah birokrasi yang ditunjuk sebagai agen memiliki kepentingan yang berbeda dengan para anggota senat dan presiden. Agen berkepentingan untuk memberikan pelayanan maksimal kepada mitra kerjanya, dalam hal ini negara bagian dan pemerintah lokal. Sementara para politisi berkepentingan untuk menjaga tingkat keterpilihannya di daerah.

Di sisi lain, kinerja dari agen juga sulit diukur karena sangat bergantung kepada prilaku daerah penerima alokasi anggaran. Dan sering terjadi birokrasi lebih mengenal daerah daripada anggota kongres dan presiden. Sehingga jika tidak dilakukan monitoring dan pengawasan yang efektif maka meningkatkan potensi penggunaan anggaran yang salah sasaran. Bahkan cenderung berdasarkan keinginan masing-masing negara bagian atau pemerintah lokal. Namun, kendalanya untuk melakukan monitoring dan pengawasan dibutuhkan biaya yang sangat besar. Hal ini karena luasnya wilayah dan banyaknya jumlah daerah yang harus dikunjungi.

Penelitian lain dalam penerapan principal-agent problem sektor publik dilakukan untuk menganalisis desentralisasi fiskal dan dana perimbangan pada multiregional model of endogenous growth ( Ogawa dan Yakita, 2009). Studi diarahkan untuk melihat karakteristik dari hubungan antara pertumbuhan dan desentralisasi fiskal. Kemudian menunjukkan secara teori tingkat optimal dari desentralisasi fiskal bagi maksimisasi pertumbuhan.

Model yang dibangun memiliki asumsi bahwa terdapat dua tingkatan pemerintahan dengan tujuan yang berbeda. Pemerintah lokal ingin memaksimalkan utilitas dari penduduk di wilayahnya. Sementara pemerintah pusat menerapkan perimbangan keuangan untuk menutup celah kapasitas fiskal antar daerah dan pada tingkat pertumbuhan.

Ogawa dan Yakita menyimpulkan bahwa preferensi tarif pajak yang dipilih oleh pemerintah daerah secara positif berdampak pada besaran desentralisasi fiskal, yaitu mendorong pemerintah lokal untuk menaikkan tarif pajak pendapatan. Dengan sudut pandang berbeda, hal ini memberi makna bahwa dana perimbangan yang besar membuat daerah tidak berkeinginan untuk meningkatkan  sumber pendapatan asli daerahnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa transfer daerah menciptakan disinsentif efek.

Selain itu, Ogawa dan Yakita juga menemukan bahwa perimbangan fiskal yang diberikan oleh pemerintah pusat tidak memberi pengaruh terhadap percepatan konvergensi pertumbuhan antar daerah. Hasil ini terlihat kontra-intuisi , karena peneliti berfikir bahwa transfer dari pemerintah pusat akan menjadi stimulus bagi pengentasan disparitas antar daerah. Lebih lanjut kedua peneliti ini berpendapat bahwa tingkat desentralisasi fiskal yang optimal diarahkan untuk mencapai tujuan pemerintah pusat. Namun, pilihan yang diambil pemerintah pusat justru berlebihan dari ekspektasi daerah.

Lalu bagaimana dengan sistem perimbangan keuangan pusat-daerah di Indonesia? Apakah konsep desentralisasi fiskal yang berlangsung saat ini identik dengan konsep fiscal federalism yang diterapkan negara-negara maju? Sebelum sampai pada analisa komparasi tersebut, perbandingan filosofis dari kedua konsep ini, dibutuhkan pemahaman perbedaan filosofis kedua konsep tersebut serta kondisi antar daerah yang ada secara utuh . Agar para perumus kebijakan tidak terjebak pada tren copy-paste atau sekedar melakukan adopsi tanpa memperhatikan perbedaan mendasar dari masing-masing konsep dimaksud. Penting untuk dipahami bahwa terdapat tiga tingkatan pemerintahan, pusat, propinsi dan kabupaten/kota di Indonesia dengan jumlah yang sangat banyak dan sangat bervariasi kondisinya. Hingga 2013 terdapat 33 Propinsi dengan 497 Kabupaten/Kota (BPS, 2013). Pemerintahan tersebut tersebar dalam rentang geografi yang begitu luas dengan kekayaan dan keunikan budaya masing-masing.

Sistem desentralisasi fiskal di Indonesia berbeda dengan konsep fiscal federalism negara-negara lain. Dengan bentuk negara kesatuan, maka otonomi daerah di Indonesia dilakukan untuk mempercepat pemerataan pembangunan di daerah. Sementara pada negara-negara maju penganut fiscal federalism kondisi antar negara bagian dan pemerintah lokal lebih bersifat simetris, sehingga tujuan yang ingin dicapai bukan lagi pemerataan pembangunan tapi lebih kepada harmonisasi fiskal dan minimalisir dampak dari fiscal competition antar daerah.

Dengan demikian fiscal federalism diartikan sebagai pembagian kewenangan dalam memperoleh pendapatan dan tanggungjawab pengeluaran diantara berbagai tingkat pemerintahan. Sedangkan desentralisasi fiskal Indonesia, diarahkan sebagai perimbangan keuangan yang diartikan sebagai sebuah sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan efisien dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentraliasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan dengan mempertimbangkan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah.

Lebih jauh, pola kepemimpinan di daerah juga sangat bervariasi dan sangat bergantung pada asal partai politik pemimpinnya dan suara mayoritas partai yang ada di DPRD. Sehingga tidaklah mudah membuat program yang standar dan berlaku sama untuk setiap daerah. Hal ini menjadi potensi konflik kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah. Bagaimana merumuskan sebuah desain transfer daerah (perimbangan keuangan) yang dapat optimal bagi kedua belah pihak.

Jika melihat fenomena ketokohan pemimpin daerah di beberapa tempat seperti Jakarta, Bogor, Banyuwangi dan Surabaya. Secara nyata berhasil merubah kondisi pelayanan publik di daerahnya menjadi lebih baik, transparan dan mendekati ekspektasi masyarakat. Maka dapat diduga faktor prilaku pemimpin daerah memiliki pengaruh penting dalam pemanfaatan transfer daerah bagi peningkatan pelayanan sektor publik di daerah.

Dengan demikian, prilaku pemimpin daerah dan relasi politik pusat-daerah memiliki peran penting dalam keberhasilan tujuan desentralisasi fiskal. Kedua variabel ini perlu mendapat perhatian pemerintah dalam membangun kebijakan transfer daerah, sehingga tidak hanya fokus pada faktor ekonomi, namun juga memperhitungkan faktor non-ekonomi dalam melakukan evaluasi dan pengukuran keberhasilan pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia.

Kombinasi pendekatan ekonomi dan non-ekonomi ini diarahkan mampu menjadi solusi optimal desain dana perimbangan pusat ke daerah. Sehingga diperoleh titik optimum antara kepentingan pemerintah pusat melalui konsep desentralisasi fiskal dan kepentingan daerah dalam mengelola dana perimbangan yang diterima.