Di Mana Tuhan?

Tetiba saya disergap pertanyaan itu oleh seseorang menjelang masuk elevator menuju ruang kerja. Kami hanya bertiga waktu itu, tapi pertanyaan tiba-tiba itu cukup membuat saya sangat kikuk dan kaget. Ehh … serius atau bercanda nih? Berseloroh hal mendasar di lift?

Untuk meyakinkan, saya beri ‘umpan’, “Wahh buat apa bertanya begitu, Pak? Maqom saya belum sampe, kayaknya,” tidak lupa menebar senyum.”Lho … bukan soal maqom-maqoman, mbak. Supaya ibadah kita lebih khusyuk kalau kita tahu di mana Tuhan.” Nampaknya serius, tapi perjalanan lift kan tidak lebih cepat dari (sekitar) 5 kedipan mata.

Saya tidak bisa bermain voli, tapi saat itu saya merasa menjadi seorang tosser dadakan, melempar pertanyaan kepada muslimah anggun berhijab di sebelahnya, “Mungkin mbak Anggun bisa jawab, Pak … hehehe.” Si bapak menatap mbak Anggun sambil tetap melibatkan saya dan berujar, ”Pakai jilbab kan biasanya sudah punya ilmunya.” Ehmm… rasanya seperti kena smash. “Wah, jadi kita mau bicara di level apa nih? Syariat, tarikat, atau makrifat?” Saya berseloroh sok ‘punya ilmu’nya.

“Kita bicara di level PNS aja, lah yaa. Kita kan PNS.” Dan, saya merasa terselamatkan ketika pintu lift terbuka, bapak & mbak Anggun keluar di lantai yang berbeda dengan saya. Itu saja, dan saya lega.

Saya baru terfikir kira-kira jawab apa, justru saat pulang kantor, ‘terjebak’ menunggu hujan berhenti di musala Bxchange dari waktu maghrib sampai isya, sesekali melirik kedai ‘Marugame Udon’, berharap antrian mengularnya jadi pendek supaya saya bisa duduk di salah satu kursinya sembari menyesap ocha panasss. Alhamdulillah … enaknya jadi ibu bekerja kekinian, bisa menunggu hujan reda tanpa meninggalkan sholat, sambil cuci mata di mal. Eh...he...he...he.

Tapi saya kan bukan sufi, lagian, bacaan tentang tauhid sulit menarik minat saya (haddeuuhh… sambil tertunduk lemas).

Berkali-kali order ojek on line dengan gonta ganti provider gagal, membuat memori saya belasan tahun yang lalu tentang pertanyaan “di mana Tuhan” datang lagi lamat-lamat. Tepatnya, 2 minggu sebelum pernikahan saya. Mantan calon suami datang selepas pulang kerja mengantar kelengkapan dokumen nikah, diantar mas-mas yang katanya teman baiknya.

Mungkin supaya cair, si mas ‘teman baik’ mulai berbincang masalah agama. Karena saya berjilbab, kali yeee. Eh, ujungnya dia tanya,”Mbak tahu ga di mana Allah?” Pertanyaan macam apa itu? Saya membatin. “Wah, terus terang saya tidak pernah berfikir begitu.”

“Lho … gimana sih? Ini penting, menyangkut tauhid! Buat apa sholat kalau di mana Allah ga tahu?”

Ehm, jiwa muda saya terpancing. Siape elu menyepelekan sholat gue, “Saya sholat untuk ingat Allah, supaya saya tenang.”

“Emang ga belajar tauhid?” mantan calon suami saya diam, tidak berusaha menjawab sekedar membantu saya. Gue dites nih?? “Di atas langit, kalo berdasar al Baqarah 255. Toh, kita berdoa juga menengadahkan tangan ke atas.” Ahh…jangan tanya saya tentang dalil yang saya kutip. “Jauh amat. Padahal Allah jawab di ayat berikutnya,’Jika hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka jawablah Aku dekat’. Jadi, di mana Allah?” It was getting me frustrated, tapi belum menemukan cara yang sopan untuk mengusir.

“Berarti di bawah? Kata Rasulullah, saat terdekat seorang hamba dengan Rabb-nya kan saat sujud,” saya masih berusaha sopan.

“Itu lah kalo pemahaman masih tingkatan syariat. Allah itu sesungguhnya dekaaat, lebih dekat dari urat leher sendiri. Lihat surat Qaf ayat 16. Itu pemahaman kalau orang sudah mencapai tingkatan makrifat. Keberadaan Allah itu dekat sekali, bahkan menyatu dengan kita. Kalau sudah makrifat, orang ga perlu lagi amalan-amalan syariat seperti sholat.”

“Lho? Jadi engga sholat? Rasulullah saja yang begitu dicintai Allah tetap sholat!” Intonasi saya mulai naik. Alamak, sudah ngantuk nih jangan pula diajak diskusi berat.

“Rasulullah itu teladan, dia tidak bisa melakukan sesuatu yang bisa-bisa ditiru umatnya. Tidak sembarang orang ada di tingkatan makrifat,” kilah si mas.

“Tapi Rasulullah tidak pernah menyampaikan juga bahwa kalau sudah sampai tingkatan tertentu, orang boleh tidak sholat.”

“Ada buktinya. Tahu konsep mukjizat, karomah, maunah?” Entahlah, ilmu saya kali ya, yang belum sampai. Selebihnya, saya jadi ikutan diam dan mengangguk sesekali sekedar menghormati. Menjelang tengah malam, saya semakin shock, penat, dan merasa indoktrinasi ini tak berujung, saya tegas menyela,”Maaf mas-mas. Saya mau istirahat!” Mereka pulang meninggalkan saya yang panik. Kenapa gue baru tahu temennya sekarang ya? Dia juga ikut faham itu? Siapa imam gue kalo dia sudah merasa di tingkatan makrifat?

Keesokan harinya, sekejap dari salam terakhir sholat shubuh, saya marah-marah di telepon,”Mas menganut faham seperti itu? Kenapa teman dekat mas seperti ingin mendoktrin aku?” Berkali-kali mantan calon saya itu bilang, dia tidak terafiliasi dengan faham fanatik apa pun. Sholat tetap kewajiban buatnya, sampai maut menjemput!!! Dia hanya hendak mengenalkan lingkungan macam apa yang ada di dekatnya, supaya saya tidak kaget. Maklum, masih asing dengan plularisme (nahh kan.. menuliskannya saja salah). Sampai berkali-kali meyakinkan saya dengan sumpah, akhirnya jadi juga dia suami saya.

Setelah memutuskan menarik sauh untuk berlayar, mengarungi samudera kehidupan bersama suami, saya lalai lagi dengan esensi mencari di mana Tuhan? Buat saya, hidup itu macam menembus gelombang tinggi menuju badai, dari satu ke yang lainnya. Saya disibukkan dengan bagaimana mempertahankan bahtera agar tidak tenggelam saat ombak menghempas. Panik menjaga supaya tidak oleng meski digoyang riak-riak kecil. Yahhh … sering juga sih perjalanan seindah laut yang tenang di malam hari berhias gemintang.

Tapi, coba bayangkan! Pekerjaan beres, anak keluar masuk rumah sakit. Keluarga sehat, ekonomi terasa jauh dari pas-pasan. Keuangan mulai stabil, keluarga dekat minta perhatian. Pekerjaan dan keluarga terkendali, eh… mantan minta balikan (ha ha ha … bohong banget nihhh).

Saya benar-benar tidak ingat pentingnya mencari di mana Allah. Kalaupun kemudian saya sering-sering memanggil nama-Nya, hanya karena saya benar-benar perlu meyakinkan diri bahwa Dia bersama saya melewati gelombang dahsyat kehidupan. Kalau saya lantas banyak-banyak memohon ampun, hanya semata supaya Dia memaafkan khilaf saya saat salah bermanuver melintasi badai cobaan. Lalu, kalau pun harus bersujud dalam-dalam, lebih karena memohon bimbingan-Nya supaya saya tidak sesat mengambil haluan. Tapi, kalau ditanya di mana Allah, di mana Tuhan, saya menyerah menjawab.

Ahhh … kok jadi panjang ya? Biarlah saya tayangkan saja ke BnD. Setidaknya, saya bisa memohon, jangan tanya saya lagi, ya, di mana Tuhan. Kalau mau memberitahu dengan dalil yang mencerahkan, saya tidak menolak, malah belajar. Karena kalau saya diminta jawab, lagi-lagi hanya akan mengingatkan kejadian traumatis yang nyaris membuat saya gagal kawin. Mudah-mudahan, mbak Anggun sudah memberi jawaban yang memuaskan. 🌾

Berbagi Jalan, Berbagi Kehidupan

Beberapa waktu lalu terdengar lagi berita tentang seorang pesepeda yang meninggal karena tertabrak sepeda motor. Ini bukan kejadian pertama yang menimpa pesepeda. Sudah banyak kasus-kasus serupa, dari sekedar luka ringan sampai merenggut jiwa. Terlepas dari ajal yang bisa merenggut dimana saja dan dengan cara apa saja, kematian para pesepeda di jalan raya menunjukkan bahwa bersepeda di jalan raya bukanlah kegiatan yang aman. Harapan para pesepeda untuk memiliki infrastruktur yang memadai, aman dan nyaman bukannya tidak disuarakan dan diakomodir, tetapi memang belum bisa dikatakan memenuhi harapan yang paling minimal sekalipun. Jalur sepeda sudah ada di beberapa tempat, namun utilisasi-nya masih sangat minim. Okupasi jalur oleh pengendara kendaraan bermotor masih dominan. Diskusi mengenai hal ini berujung pada perdebatan tanpa akhir, seperti mempertanyakan mana lebih dulu? telur atau ayam?.

Harus diakui bahwa perilaku pengendara kendaraan bermotor belum sepenuhnya ramah terhadap pesepeda. Para penggiat bersepeda ke kantor pasti pernah mengalami tindakan "bullying" oleh pengendara kendaraan bermotor di jalan raya. Dari "sekedar" diklakson, dipepet bahkan sengaja ingin ditabrak. Dengan kondisi seperti ini, tidak heran apabila tingkat kecelakaan yang menimpa pesepeda akan meningkat dari waktu ke waktu.
Kampanye berbagi jalan sudah kerap dilakukan oleh komunitas-komunitas sepeda di tanah air. Ya, berbagi jalan, artinya jalanan bukanlah dominasi kendaraan-kendaraan tertentu (kecuali diatur demikian). Ruang jalan milik bersama; pesepeda, pesepeda motor ataupun pengendara mobil. Semua memiliki hak yang sama. Namun lagi-lagi, efektivitas kampanye tersebut masih belum bisa dirasakan.

Negara-negara yang terkenal sebagai "bike friendly countries" seperti Denmark, Netherlands, Sweden, Finland, Germany, Belgium, Austria, Hungary, Slovakia dan UK, awalnya juga mengalami masalah-masalah tersebut di atas. Namun mereka bisa mendapatkan solusi yang tepat yang menjadikan sepeda sebagai jenis kendaraan yang aman dan mendapat prioritas di jalan-jalan raya mereka. Mereka mengalami perjalanan yang panjang, usaha yang keras dan terus menerus, dorongan masyarakat yang tiada henti yang pada akhirnya menghasilkan kebijakan pemerintah yang cerdas dan solutif tanpa diskriminatif. Di Netherlands misalnya, ketika di tahun 1950-1960 jumlah pemilik mobil bertambah yang pada akhirnya meningkatkan jumlah orang yang tewas di jalan raya (lebih dari 3000 orang, 450 orang diantaranya anak-anak, di tahun 1971), masyarakat turun ke jalan meminta pemerintah untuk membuat kebijakan yang lebih baik, menyediakan infrastruktur yang lebih aman bagi pengguna jalan raya, khususnya pesepeda. Hasilnya bisa kita lihat sekarang. Meskipun secara persentase tingkat kesibukan bersepeda lebih tinggi dibanding infrastruktur bersepeda, kota-kota di Netherlands adalah "surga" bagi para pesepeda, sampai-sampai memakai helm pun tidak wajib disana karena mereka sangat percaya akan keamanan infrastruktur dan sistem lalu lintasnya. Ketika ditanyakan kepada mereka; "are you a cyclist?" mereka dengan bangga menjawab "No, I am just a dutch". Kesadaran yang tinggi dari pengendara kendaraan bermotor disana untuk menghormati pesepeda juga berangkat dari hal tersebut. Empati karena mereka pun pesepeda, orang tua, istri./suami, saudara, anak, dan teman-teman mereka juga pesepeda. Empati yang menghasilkan sesuatu yang mungkin membuat takjub ketika bahkan pejalan kaki pun harus menunggu pesepeda lewat sebelum menyeberang jalan.

Apakah Indonesia bisa seperti itu? Menjadi salah satu bike friendly country?. Bisa, apabila kesadaran berbagi hak di jalan raya sudah tumbuh di masyarakat kita. Bisa, apabila infrastruktur sudah siap dan tersedia dengan sempurna. Bisa, apabila kebijakan transportasi pemerintah dapat secara komprehensif membenahi permasalahan-permasalahan yang ada. Sangat bisa, ketika semua orang sudah sadar bahwa berbagi jalan adalah berbagi kehidupan, setiap orang di jalan memiliki orang-orang yang dicintai, dikasihi yang menunggu kehadiran mereka di rumah.

*tulisan ini juga dimuat di https://wordpress.com/post/ikoerba.wordpress.com/830

Bis Jemputan dan Perilaku Ekonomi

Kalau ilmuwan menggunakan laboratorium untuk melakukan pengamatan, percobaan dan pengambilan kesimpulan, ekonom ala-ala macam saya yang malas melakukan observasi ke daerah pedalaman Indonesia, cukup menjadikan populasi rombongan kereta (roker), sopir bajaj, dan sopir jemputan di stasiun Tanah Abang sebagai objek pengamatan, membandingkan dengan teori ekonomi yang samar-samar masih teringat, dan menarik kesimpulan ‘nyerempet’ motivasi ekonomi gitu. Supaya kelihatan ilmiah, saya membatasi lingkup populasi dengan roker PNS Kementerian yang berkantor di Lapangan Banteng Timur.

Ketertarikan saya untuk mengamati dimulai dari fonomena euphoria roker yang menuntut unit mereka bekerja menyediakan jemputan stasiun-kantor di pagi hari, dan sebaliknya di sore hari. Tercatat 5 eselon 1 yang pada mulanya mengadakan jemputan. Kadang, rekan se-Bajaj saya di luar eselon 1 tersebut berceletuk, “Sayang Setjen ga ada jemputan”, atau, “Andai saja DJA juga ada jemputan”. Pada akhirnya, jemputan 2 eselon 1 bubar, sementara saya kerap mendapat tawaran dari anggota 3 jemputan eselon 1 lainnya untuk ikut bergabung jadi peserta jemputan. Kalau saya jawab, “Ah, nanti saya menggusur hak pegawainya sendiri.” Jawabannya biasanya sama,”Ga juga, kok. Siapa aja yang datang duluan.”

Sebenarnya, perlu ga sih jemputan itu? Kenapa pada akhirnya jemputan ini mengalami kemunduran?

Konon, keputusan ekonomi  diambil berdasarkan motivasi para pelakunya, setelah mempertimbangkan manfaat dan biaya memperoleh manfaat tersebut. Masih ingat kan semboyan, dengan biaya seminimal mungkin memperoleh manfaat sebesar-besarnya? Manfaat maksimal setelah memperhitungkan biaya, kita sebut saja pay-off, yaitu tingkat kepuasan bagi seorang pelaku ekonomi.

Pay-off idaman bagi setiap roker adalah tiba di kantor paling lambat jam 7.30 dengan biaya minim, paling tinggi sebesar tarif jemputan, Rp5.000,00. Apalagi, ada yang benar-benar gratis. Sementara, pay-off bagi penjemput: penumpangnya penuh, mengantar tepat waktu, lebih maksimal lagi kalau ada tambahan uang saku paling tidak untuk membayar jatah preman di tempat tunggu stasiun tanah abang. Dengan kondisi seperti ini, terjadi kesepakatan -ekuilibrium, istilah kerennya- bis akan berangkat paling lambat pukul 7.10 dari stasiun tanah abang, dengan biaya Rp5.000,00 untuk 3 eselon 1. Sementara, 2 lainnya gratis dengan jadwal keberangkatan sama.

Kiranya, ekuilibrium ini tidak sustain, karena masih ada pay-off yang lebih tinggi bagi masing-masing peserta jemputan. Seperti misalnya, karena sering terjebak ‘bekerja nyaris jam pulang kantor’, sehingga pulang malam, atau aktivitas rumahan ibu-ibu yang padat sebelum berangkat kerja, jadi lebih memilih jadwal kereta yang lebih telat di pagi hari. Awalnya ada toleransi menunggu penumpang lain yang agak siang supaya fasilitas ini tetap dimanfaatkan secara optimal. Namun, perubahan komitmen ini, mengundang peserta lain untuk melakukan ‘penyimpangan’ juga demi mendapat pay-off maksimalnya. Menunggu late comer membuat mereka pulang lebih sore dengan ongkos lebih mahal dan terlambat bertemu keluarga. Mereka kemudian merubah tingkat kepuasannya kepada: sampai kantor maksimal jam 7.30, dengan biaya setidaknya Rp8.000,00 s.d Rp9.000,00 menggunakan bajaj bertiga dengan roker lainnya. Karena penumpang mempunyai tujuan sendiri-sendiri, jemputan jadi tidak optimal kan? Apalagi, sopir penjemput ada tugas lain yang menyebabkan kadang jemputan ada, kadang tidak.

Mau membahas arah sebaliknya, kantor-stasiun?? Dengan maraknya rapat dalam kantor yang mengharuskan pulang lewat waktu Isya, ST luar kantor, atau ‘tiba-tiba’ ada pekerjaan menjelang jam pulang, pemandangan apa yang bisa dibayangkan dari bis-bis jemputan ini? Malas saya kumat untuk menganalisis dengan hitung-hitungan pay-off. Hehe… Bis yang bertahan lama meski sebagian besar penumpangnya lowong, bisa jadi, hanya karena sang sopir memiliki kepuasan immateri berupa dedikasi atas pekerjaannya: mengantar pegawai-pegawai ini ke tujuan, berarti menjalanksn tugas dengan baik.

Di setiap kesepakatan, perlu konsistensi dari semua pihak yang terlibat untuk tidak menyimpang dari kesepakatan itu. Iming-iming ‘pay-off’ yang lebih menggiurkan untuk setiap roker, membuat ‘kebaikan hati’ instansi memfasilitasi pegawainya sampai kantor tepat waktu dengan ongkos seminim mungkin -secara mengejutkan- tidak menjadi pilihan pertama bagi pegawainya sendiri, gratis sekalipun. Padahal, menurut pengamatan ‘ala-ala’ saya, jemputan itu semacam ‘campur tangan’ pemerintah menekan laju permintaan akan jasa bajaj yang kalau begitu banyaknya, ditangkap sopir bajaj sebagai kesempatan menaikkan harga. Yang lebih prihatin lagi, operasional jemputan ini kan pakai uang negara, menyia-nyiakan fasilitas ini berarti menyiakan keringat pembayar pajak. Hallaahhh, berlebihan ya? Namanya juga ala-ala … 🌾


Sweeping Tersukses

Secara formal, keikutsertaanku di diklat teknis komputer ketika itu menjadi titik awal karirku di bidang IT/Komputer, meskipun belajar pemrograman sudah aku mulai setahun sebelum ikut diklat. Waktu itu, diklat teknis komputer termasuk diklat paporit (sedikit penyesuaian dengan tempat aku tinggal sekarang : Bogor... hehe) bagi teman-teman. Wah, minat teman-teman ke dunia IT besar juga ya,  tapi tunggu dulu. :D
Hampir semua teman-teman yang ditempatkan di luar jawa, rajin cari info ada diklat apa saja yang bisa diikuti. Alasannya satu : biar bisa dekat dengan kampung halaman. Jadi tidak ada hubungannya dengan minat di dunia IT. Sssst... rahasia :P
Kebetulan diklat teknis komputer ini lamanya : 1 bulan plus 4 bulan. Lumayan bisa berkeliaran di jakarta dan kampung halaman selama total 5 bulan. Satu kesempatan yang harus diambil.


Ini jelas terlihat dari peserta yang lulus seleksi, lebih dari 80% dari luar jawa. Akibatnya hampir setiap akhir pekan, tempat penginapan selalu sepi, karena pada pulang kampung. Dan itu menjadi sesuatu banget pada waktu itu. 


Dan balik ke jakarta nya sebagian besar hari senin pagi. Tentu ada saja teman yang datang tidak tepat waktu, alias kesiangan. Ada yang masuk setelah coffee break pertama, atau bahkan setelah makan siang, kelakuan ya :D


Dari segi waktu, diklatnya cukup lama juga, tentu saja ini membuat  teman-teman semakin akrab, dan mulailah muncul aksi aneh-aneh yang bikin suasana makin meriah, dinamis dan tidak membosankan. Mulai dari ledekan yang kecil-kecil sampai ke aksi yang agak nekat, mengambil jatah makan teman lainnya, paling tidak buahnya sudah hilang duluan. Pisang menjadi buah yang paling sering hilang duluan. Kalau menjelang jam istirahat, ada yang pura-pura ke toilet, padahal sedang 'sweeping' buah di kotak nasi, hehe. Memang terkesan konyol, tapi justru ini yang membuat suasana tidak membosankan.


Adat istiadat atau keusilan yang dimaklumi ini makin lama makin menjadi, meskipun sebetulnya masih dalam batas yang wajar.


Sampai suatu saat teman kami, sebut saja nama samarannya Agung, ketika balik dari kampung terlambat datang. Alhasil dia tidak sempat mengikuti pelajaran sesi pagi. Karena datang kesiangan, tentu tidak enak kalau dipaksakan masuk kelas yang ketinggalan cukup lama.


Kebetulan senin pagi itu karena alasan teknis (sama seperti kalau ada penerbangan yang ditunda ya :D) kelas dipindah ke gedung utama, gedung B. Agung segera ke Gedung B untuk menunggu selesainya sesi pagi sambil melancarkan aksinya, 'sweeping' !!!


Yang agak mengherankan dalam benak Agung, kok tumben menunya tidak seperti biasanya. Keliatan lebih mewah. Maka sambil menunggu teman-teman istirahat, Agung tidak menyia-nyiakan waktunya untuk segera ber-'gerilya'. Ketika asyik melahap hasil 'sweeping' nya, mulailah yang ada di ruang belajar keluar satu per satu. Tapi ada yang aneh, "perasaan ada yang aneh dengan teman-temanku ya ?", batin Agung.


Setelah diperhatikan secara seksama, ternyata memang betul. Yang keluar dari ruang belajar bukan teman-temannya, tapi para pejabat yang sedang mengikuti diklat. Pantesan menunya tidak seperti biasanya. 


Yang sebelumnya merasa bangga karena bisa melakukan sweeping istimewa, ternyata justru menjadi sweeping yang paling memalukan karena salah tempat, hehe...

*makanya sms dulu donk, eh tapi waktu itu memang belum ada hp :D


***

Hujan Hari Ini

Berbulan-bulan kami menunggu kehadiranmu.. 
atau malah sudah hitungan tahun? 
entah lah.. yang pasti lama... 
sudah kami persiapkan segalanya menyambutmu.. 
berhias diri agar layak menemuimu... 
coba kuselipkan ruang-ruang baru untuk peraduanmu... 

Tiba-tiba hari ini dirimu hadir mendahului fajar... 
atau mungkin sudah hadir saat mata kami masih terpejam? 
sungguh kejutan yang tak terkirakan... 
di kala harapan kami mulai tergerus kenyataan.. 
engkau tiba..dan masih sama.. menyejukkan... 

Tapi semua ternyata tak berbeda... 
meskipun kami sudah bersiap dan berusaha sigap... 
suka cita akan datangmu tetap meluap-luap menutup jalanan.. 
ruang-ruang baru yang kami siapkan masih tak mampu membuatmu nyaman... 
basah... tapi bisa menghapus gelisah...

Bahagia dan syukur kami panjatkan... 
tak lupa lantunan doa serta menyelipkan secercah keinginan... 
Karena kehadiranmu adalah rezeki yang seiring dengan kemakbulan...
Bukan kata kami... itu sabda manusia terbaik sepanjang zaman.. 
Semoga engkau berkenan kembali hadir esok hari.. 
Supaya dunia kembali dapat karunia...
Dan kami dikunjungi kembali waktu diijabah doa..

Perhatian, Rani

sebuah cerita yang kudengar dari dosen pendidikan agama saat kuliah dulu.

Ada satu keluarga yang harmonis, terdiri atas seorang ayah, ibu, dan seorang anak perempuan (sebut saja Rani) yang beranjak dewasa  dan sudah saatnya belajar berpijar. Mereka hidup rukun penuh kebahagiaan. Terutama karena Rani, anak remaja satu-satunya itu tumbuh sebagai remaja yang cerdas, cantik, ceria, taat beribadah, serta sangat menyayangi, menghormati dan berbakti kepada kedua orang tuanya. (Mungkin jika divisualisasikan sosok Rani ini seperti Dr. Shindy Kurnia Putri, ngayal).

Namun, pada suatu saat, perangai sang anak mulai berubah drastis. Ia menjadi pemurung dan mulai berani membantah kedua orang tuanya.

Suatu hari, ketika sang ibu seperti biasa mengajak Rani untuk ikut menghadiri pengajian, Rani berkata dengan nada sinis. "Tak perlu ibu suruh-suruh, toh ibu hanya pura-pura saja kan?" hardiknya.
Mendengar kata-kata itu, sang ibu terhenyak. Ia  kaget karena baru kali ini kata-kata seperti itu terucap dari bibir manis anaknya. Terlebih ia berani melontarkansindiran dengan kata-kata tajam. Ibu muda tersebut terguncang hebat dan menangis seraya berkata, "Ya ampun Nak, Kenapa kau berbicara seperti itu? Apa yang sebenarnya terjadi?".

Tanpa sepatah kata pun, Rani menyodorkan secarik kertas kepada Ibunya, kemudian ia menagis sambil masuk ke dalam kamarnya.

Melalui secarik kertas yg diberikan Rani itu, ibunya  mengetahui dan mengingat kembali kesalahan masa lalunya.
Rani ternyata menemukan surat nikah orang tuanya. Di sana tertera denagn jelas tanggal pernikahan orang tuanya, yaitu 9 Juni 1995, sedangkan Rani tahu persis bahwa ia lahir pada tanggal 13 Oktober 1995.

Pelarian

Dari tempat aku duduk, melalui jendela setengah kusam ini, kulihat mobil-mobil terparkir rapi dibawah sana, orang-orang terlihat kecil berjalan di koridor merah.. Diseberang tempat aku duduk ini, terlihat Gedung Menara Era, Allson dan Dhanapala berdiri tegak, angkuh mencoba menggapai awan.. Pikiranku melayang.. Sementara pembicara yang duduk di depan sana terlalu berisik, ngoceh terus entah membicarakan apa.. aku penat, sumpek dan ingin lari...

Ataukah kubuka saja jendela ini, mencoba lari dari keadaan sekaligus mencoba belajar terbang..?
pastilah burung-burung itu akan menertawaiku, mereka pasti akan secepatnya bergosip, "eh, ada manusia tak punya sayap, mencoba belajar terbang.." mereka pasti akan tertawa lebar melihat aku yang pasti terjatuh dari lantai 9.. Bahkan dengan semangatnya mereka akan mengabarkan kabar ini pada angin, pucuk-pucuk cemara dan lampu indah di taman kota.. Aku akan jadi berita bukan hanya di koran dan televisi tapi juga gosipan kupu-kupu pada bunga, ranting kayu pada daun, angin pada gedung-gedung tinggi atau bahkan obrolan Monas pada Stasiun Gambir..

Dan pembicara itu masih dengan semangatnya berteriak-teriak mengatakan sesuatu yang bahkan aku sendiri sangat tidak ingin mendengarnya... Aku menggerutu, "Huh.. benar-benar semena-mena orang ini.. seenaknya mengganggu kuping orang lain...". Klek.. Ku coba buka jendela, gak bisa.. jendela ini terkunci.. Huft.. untunglah terkunci.. takut juga aku belajar terbang dari jendela gedung lantai 9...

Hmm.. sekilas terlintas dalam benakku, satu tempat yang bisa untuk sementara menyelamatkanku, TOILET... hmmm, bisa jadi toilet untuk saat ini adalah tempat yang lebih indah dari ruangan ini.. sambil aku berdoa dalam hati semoga BAU di sana tidak memperkosa hidungku.. Aku pun melangkah ke toilet, dan benar.. toilet ini ternyata terlihat lebih indah dari ruangan tadi, lebih nyaman, baunya juga harum.. Harum..??? Emang ada..??? ya, kenapa tidak? emang dikira gak ada apa, toilet yang baunya harum..?? banyak lagi.. weekkk...!!! kataku dalam hati ngobrol sendiri... dan yang paling penting, suara orang yang semena-mena mengganggu kupingku tadi tidak sampai ke toilet ini... toilet ini sepi, tidak berisik.. damai rasanya...

Hmm.. jadi betah di toilet ini.. berdiri diam sekaligus berdiam diri di sudut toilet, dan sibuk membuat komentar di FB ataupun BBM-an dengan teman-teman.. 10 menit dalam kesunyian, tiba-tiba masuk salah satu peserta sosialisasi.. hahaha.. aku inget banget nih orang.. duduk dideretan kursi baris ke-4 di depanku... aku inget banget.. karena dari tempatku duduk diruangan tadi kalau aku melemparkan pandangan ke depan, dengan atau tanpa perhatian sekalipun, pastilah akan tertumbuk pada sesuatu yang menyilaukan.. ya pantulan sinar lampu diruangan dapat terlihat jelas pada kepala orang ini... hehehe...

Orang ini, yang aku gak tau namanya dan juga sama sekali tidak punya niat ingin tau namanya, begitu masuk toilet, langsung menuju kotak putih yang menempel di dinding ruangan toilet, kotak yang dimaksudkan untuk menampung keperluan orang banyak, keperluan yang tidak bisa diwakilkan tentunya, kotak yang walaupun aku yakini berharga mahal tetapi hanya digunakan untuk menampung campuran senyawa air, urea, garam dan amoniak... Sambil berdiri menghadap kotak, orang ini menoleh ke arahku.. Huh...!!! ngapain noleh-noleh dulu..?? jangan berprasangka aneh-aneh ya..? aku disini bukan untuk ngintip cowok pipis... gak sudi tau..!! apalagi ngintip cowok kayak kamu, sangat gak sudi...!!! Kau bayar pun aku ogah...!!!

Aku di sini, berdiri di sudut ruangan toilet ini, hanya untuk mencari tempat pelarian dari sumpeknya ruangan sosialisasi.. tempat ini, ruangan toilet ini, masih lebih baik dari ruangan sosialisasi ber AC tadi, meskipun karena itu, kamu, hai orang yang berkepala menyilaukan, jadi berprasangka ke aku.. aku gak peduli.. asal kau tidak menggangguku, aku gak peduli.. bahkan kalaupun kau pipis miring sambil mengangkat kaki satu pun aku gak peduli...atau pipis tanpa buka celana aku juga gak peduli, lebih gak peduli malah.. toh itu celanamu.. bukan celanaku...

Meskipun mataku ke arah Blackberry yang aku pegang, tapi dari jangakuan pandangan yang masuk dalam retina mataku, kau dan kepalamu yang menyilaukan itu masih terlihat.. dan samar-samar terlihat gerakan tanganmu menurunkan resleting celana... sreet... kau alihkan pandanganmu dari menatapku kearah bawah, hmm.. mungkin kau ingin memastikan sudah dalam posisi yang tepat atau belum.. 

Oh, pelarianku yang terganggu...


*catatan pada 28 Februari 2012

Sodara Ketemu Gede

Neng kenal  mba Yayun, Tirta, dan mas Akmal saat wawancara beasiswa di gedung A Bank Indonesia. Dia heran dengan kepribadian ketiga orang ini yang ramah dan langsung ‘nyetel’ ngobrol ngalor ngidul seputar materi tes matematika dan wawancara saat itu. Padahal, banyak orang yang baru kita kenal harus ditanya berkali-kali untuk memulai percakapan. Pertemuan selanjutnya, dan menandai dimulainya persaudaraan mereka, di pesawat JL726 tujuan Jakarta-Tokyo, 8 Juli 2009.

“Lu udah tahu bahasa Jepang yang harus diucapin setelah selesai makan?” tanya Tirta.

“Hah?? Emang bakalan penting kita pake kalo di sana? Gue cuma tahu arigatou,” Neng jadi takjub dengan kesiapan orang satu ini.

“Lho … kalo ke Negara orang, kita harus tahu tata krama yang berlaku di sana. Sehabis makan, bilang ke koki nya,’gochisyoo samadeshita,’ mereka akan respek banget.” Well … oke, oke, Neng pun terbata-bata bagai merapal ‘mantra’ gochisyoo samadeshita … berkali-kali.

Mereka kemudian bergabung dengan 40 penerima beasiswa lain dari berbagai Negara di Asia menuju International University of Japan di pelosok provinsi Niigata. Di sana mereka dikarantina selama 3 bulan untuk belajar bahasa Inggris dan pengenalan teori ekonomi. Di tempat ini pula proses keeratan mereka mengalami ‘kontraksi’ … halahh … alias cobaan-cobaan ketika lebih banyak ketidaksepakatan atau sepakat untuk tidak sepakat. Susah yaa?? Tapi itu yang bikin berkesan. Contohnya ini.

Perdebatan pertama mereka terjadi di dapur bersama kampus. Sayangnya, mereka tidak sedang berdebat mengenai kebijakan rencana pengurangan subsidi bbm atau self buyback Emiten di pasar modal Indonesia. Mereka saat itu sedang berdebat sengit tentang bagaimana bertahan hidup secara koloni. Hahaha …

Patungan dengan mengiur kah? Masing-masing menyumbang bahan mentah kah? Atau beli saja kah? Akhirnya, diputuskan mencoba untuk patungan dengan porsi minimalis terlebih dahulu. Karena, dalam penentuan menu apa yang akan dimasak kembali terjadi argumentasi. Sayurnya oke, tapi yang satu usul lauk daging, yang lain lebih suka ikan, malah ada yang usul dia sumbang masakan bekal dari Indonesia saja, tidak usah patungan uang. Neng sendiri? Kenapa menu saja harus menguras waktu, fikiran dan tenaga? Makan itu kan untuk hidup, bukan hidup untuk makan. Jadi, seharusnya sepanjang makanan itu bisa menunjang energi untuk hidup, yaa tidak perlu berpusing-pusing atau ngotot. Kongsi ini berjalan dua hari, selanjutnya masing-masing bertahan hidup dengan cara sendiri-sendiri.

Untungnya, mereka saling mendukung secara akademis. Kalo Tirta dan Mba Yayun berbagi ilmu matematika dan ekonomi, Neng bisa berbagi tentang menautkan ide ketika menulis esay, dan mas Akmal paling jago membuat momen hidup lebih meriah dengan social life skill-nya yang mumpuni: main tenis, billiard, bulutangkis, sepedaan, bahkan jalan kaki akibat tertinggal shuttle bus.

Yang paling mengherankan adalah, ketika mas Akmal ngotot berterima kasih ke Neng karena math exam pertamanya dapat 96, wowww. “Wahhh, untung kamu ngajarin cara menghitung maximizing profit ini, Neng. Thank you banget, lhoo.”  Neng bingung, karena merasa hanya berdiskusi intens dengan mas Akmal tentang tema yang harus lebih fokus untuk tugas writing bahasa Inggris,”Kita kan hanya belajar kohesivitas bikin essay, mas?” Neng coba mengingatkan. Dia sendiri hanya dapat 68, he he he …

Sesekali mereka buat acara makan bareng atau barbeque bersama senior Indonesia yang kebetulan tidak ‘mudik’ saat liburan musim panas itu. Lalu, mencoba menikmati hidup dengan berpetualang mengunjungi sahabat Jepang di Ojiya, kota kecil lain di Niigata, dengan kereta lokal. Segala perang argumentasi yang berujung guyon dan tawa pelepas stres, diskusi kelompok, masak, jalan-jalan, dan olahraga bersama, sungguh jadi hiburan yang menenteramkan saat kita berada dalam keterasingan dan pertama kali menjalani hidup jauuuuh dari keluarga.

Bulan Oktober 2009, mereka berpisah untuk memulai kehidupan akademis di kampus pilihan masing-masing. Mba Yayun tetap di IUJ, kemudian khusyuk belajar dan merawat keluarga yang langsung diboyongnya sebulan setelah tiba di Jepang. Tirta dan mas Akmal kuliah di Universitas Yokohama, untungnya ditempatkan satu dormitory dengan Neng yang kuliah di Tokyo. Dan Neng? Dia merasa tertatih menyelesaikan tugas-tugas dan ujian karena kurikulum yang dipadatkan harus selesai dalam waktu 1 tahun masa kuliah. Kecemasan dan kekhawatiran memahami formula-formula matematika yang bercampur huruf dan angka, sering menutup kemeriahan Roppongi dan futuristiknya Odaiba, distrik tempat dia kuliah dan tinggal, dari pandangan Neng.

Tapi, untungnya dua Saudara barunya itu tetap memantau, memastikan dia baik-baik saja. Biasanya, jam 9 malam setiba dari kampus telepon kamar dormitory nya berbunyi : Kriiing … kriiing, kalau diangkat, terdengar suara mas Akmal dari Lantai 5 tower yang sama bercampur dengan suara sesuatu dimasukkan ke dalam minyak…sreeeenggg .. cessss…klontang.
“Neng, belum makan kan? Yuk, sini aku masak kebanyakan nih. Datang, ya biar ga mubazir.” Lalu Neng pun khusyuk makan sambil sesekali memberi saran atas rencana mas Akmal membawa keluarganya tinggal di Yokohama. “TIEC yang tower family sudah penuh, Neng. Jadi terpaksa cari apatto di Yokohama. Mudah-mudahan istri dan anak-anakku betah.” Minimal, Neng membesarkan hatinya, “Wahh… masak ga betah? Tinggal di luar negeri kan bagaimana pun pengalaman langka.” Undangan makan dari mas Akmal sering menimbulkan rasa haru. Bapak satu ini sungguh-sungguh sekali memasak setiap hari dengan hasil, sepanjang Neng memenuhi undangannya: sayur sawi bumbu tumis cabai, sop dengan bumbu tumis cabai, atau kentang juga dengan rasa tumis cabai.

Kalau bukan undangan makan yang datang, dering telepon kamar dormitory hampir pasti berasal dari tower B tempat Tirta bersemayam. Kriiiing … kriiing … kriiing. Dan setelah Neng jawab, “Hallo??”
“Waduuuhh, Neng baru pulang lo? Berkali-kali gue telepon. Syukur deh ternyata lo masih hidup. Ha ha ha … gue pikir udah loncat lo dari lantai 14. He he he … jangan nekad ya, sist. Kata si Dany elo terlalu serius sihh belajar. Nikmati hidup lah, sekali-kali.” Neng tahu banget dia guyon, serem ya? Tapi Neng justru terbahak-bahak, menghibur diri. Perhatian dan kalimatnya bukan tanpa alasan. Ada kejadian saat Neng tiba-tiba tidak bisa dihubungi, yang akan diceritakan di bagian akhir tulisan ini.

Sebenarnya Neng setuju banget dengan selorohan Tirta tentang menikmati hidup. Di antara perasaan tertekan melalui masa kuliah, Neng bersyukur bisa mengambil keputusan-keputusan spontan di sela tenggat waktu mengumpulkan tugas. Seperti hari Sabtu itu, saat khusyuk menyimpulkan jurnal Eugene F. Fama tentang konsep pasar yang efisien dan hanya satuuuu stasiun lagi menuju kampus, tiba-tiba iphone 3G-nya bergetar…drrrttt. SMS dari mas Akmal, ”Neng, Wahyu sama keluarganya mau main ke Yokohama, jam 7.30 kita kumpul di Shibuya eki. Ikut, yukk”. Waahhh masih jam 7.06!!! Segera saja dia batalkan niat menambah paragraf  policy paper, dan memilih putar balik di stasiun Roppongi menuju Shibuya: Yokohama, here I come. Padahal, dosen pembimbing sudah menunggu kemajuan tugas akhir itu hari Selasa nya… Jadilah dia menikmati suasana pelabuhan Yokohama untuk pertama kali dan mengakhiri petualangan di China town menjelang jadwal kereta terakhir ke Tokyo berangkat.

Itu di luar permintaan menginap dari istri mas Akmal untuk menemani mereka saat, ternyata, kenyamanan menggunakan ojek dan angkot reot di Kemanggisan lebih menggiurkan daripada riwayat hidup ‘pernah tinggal di Luar Negeri’. “Di sini sepi, Neng. Nita belum punya teman. Mau ke mana-mana susah, harus tunggu jadwal bis, jalannya pelaaan. Di Jakarta mah gampang, ke mana-mana tinggal panggil ojek, angkot juga ada setiap saat”. Jadilah dia sulit menolak kalau Nita sudah meminta Neng menemani mereka di akhir pekan. Daibutsu, pantai dan kuil-kuil Yokohama, target wisata dalam rangka menghibur diri. “Tugas kuliah mah ga usah dipikir, Neng. Waktunya kelar, juga kelar sendiri”. He he he … iya, sih … asal dicicil ngerjainnya.

Keluarga barunya ini juga perhatian, luar biasa perhatian. Seperti saat akhir term musim gugur itu, ketika Neng malas hadir di acara BBQ kawan-kawan satu sponsorship beasiswa kampus. Sebenarnya, dia berniat mengerjakan tugas akhir Statistik dan essay Structural Reform dan Public Expenditure sebelum libur akhir tahun yang cuma seminggu tiba. Neng pengen pulang ke Indonesia, ga mau diganggu urusan tugas.

Hanya saja, itu hari Sabtu… gengsi dong kalo ketahuan ke kampus. “Oh my God, don’t you even take a break???” Bisa dicap kerajinan, dia … dan itu cukup memalukan. Maka, dia beralasan ke Ciu Jian (Cici), ketua grup mahasiswa, ”Akmal invited me to come to his apatto in Yokohama.” Hmmm, diundang kan ga berarti kita datang, ya? Jadi… ga bohong-bohong amat. Nahh … si Cici yang satu tower sama Tirta ketemu, dan kebetulan Tirta akan pergi ke Yokohama. “Hi, Tirta. We're going to have BBQ party without Neng. She said Akmal invited her to Yokohama.” Setelah tidak berhasil menghubungi Neng lewat telepon kamar dan hp (kebetulan HP Neng jatuh di kampus), Tirta berbaik sangka Neng sudah berangkat duluan.

Ternyata, di Yokohama dia tidak ada. He he he … mereka panik.,”Lho, kata Cici, Neng ke sini??” Akhirnya, mereka mencoba menghubungi salah satu kawan Indonesia yang tinggal di tower yang sama dengan Neng untuk mencoba mengecek ke kamarnya. Nihil, berkali-kali bel pintu dibunyikan, tidak ada jawaban dari dalam.
Jam 9 malam, tepat Neng membuka pintu kamar dormitory, telepon kamar berbunyi riuh … kriing …kriiing. “Moshi-moshi? Aduuuhhhh Neng san, kemane aje sih luuuuu?” Suara Tirta di seberang terdengar menahan emosi. “Kenape emang, bro? Gue dikejar deadline tugas akhir banyak banget, bro. Kalo ikut BBQ, keburu ide dan mood nya hilang”. “Lu udah bikin panik perkumpulan mahasiswa Indonesia se-Odaiba, tahu engga? HP punya, tapi ga bisa dihubungi.” Neng tahu Tirta lebay. “Maaf-maaf, bro. HP gue belom ketemu, dan belom ada dana buat beli baru. Maaf ya, bro”. Lalu, dia cerita bagaimana kekhawatiran Neng hilang dimulai dan permintaan kepada kawan Indonesia mengecek kamarnya. Well…well.. .terima kasih ya, teman-teman. Untung Neng belum dilaporkan hilang ke KBRI atau kepolisian Jepang.

Begitu lah sekelumit kebersamaan Neng dengan orang yang tadinya asing dan menjadi begitu dekat, bagai Saudara yang baru dipertemukan setelah dewasa (hmm… masih gengsi bilang tua). Kedekatan dan rasa terikat itu yang membuatnya bisa mengimbangi perasaan tertekan dengan rileks sehingga kuliah bisa selesai. Ikatan itu juga yang sering mengingatkan dia untuk selalu menjaga diri dan kehormatan saat jauh dari pengawasan keluarga tercinta. Ikatan yang membuat Neng merasa, keberadaannya dirasakan orang dan saling memberi motivasi itu penting sekali, tidak hanya untuk orang lain, tapi juga untuk semakin menguatkan diri sendiri.

Benar kata Imam Syafii, merantau bisa memberi kita pemahaman. Bukan hanya ilmu tapi pelajaran hidup dan pengganti atas apa-apa yang kita tinggalkan: saudara & kawan.🌾