Monyet penari, ular penjaga dan tuannya


Ada hikayat,
Tentang monyet penari dan ular penjaga,
Oleh tuannya mereka dibawa berkeliling kota,dari pasar ke pasar,
dari kerumunan ke kerumunan,
sang monyet terus menari dan sang ular mengawasi,
Begitu seterusnya hampir tanpa henti

Senja hari,
Saatnya tuan berbagi rejeki,
Di hitung tuang isi pundi pundi,
Sejumput buat penari,
bagi penjaga  saku bernas terisi

Wahai tuan,
Tak salahkah kau buat kini
Aku lah yang lelah menari
Kenapa pada ular ,
Hadiah pundi penuh isi

Wahai monyet penari,
Tak menari tak berarti berdiam diri,
Pada kata kata dan bisa sang penjaga
Ku pastikan langkah gemulaimu tanpa terhenti,
maka wajar saja, jika padanya jatah lebih harus ku bagi

Wahai tuan,
Tidakkah dia tak bisa menari,
Tak kan mungkin dia mengerti
Kapan langkah gemulai meniti,
Kapan langkah harus berhenti

Wahai penari,
Tak perlu menari untuk menjadi ular,
Dia telah dilahirkan dengan bisa dan kata, kalau sesekali dia juga bisa menari, mungkin hanya kebetulan,
Tuhan tak kehilangan keadilan,
Hanya karena monyet penari dan ular penjaga terlahir  berbeda

Sejak saat itu
Monyet penari tak pernah lagi bercita cita menjadi ular penjaga
Mungkin selama tuannya masih yang sama

(Jelang Pulang, 25 Sept 2019)

catatan  : habis baca tulisan tentang perhitungan gaji, kesamaan tokoh dan cerita hanya kebetulan

Aku Menyukai Senyummu di Hari Senin



Aku menyukai senyummu di hari senin;
Magis-menghipnotis tenang-menhanyutkan, sekalipun mungkin saja senyum itu bukan untukku


Aku menyukai senyummu di hari senin;
Juga tentang betapa deras cerita-cerita mengalir dari bibirmu, meliuk-liuk seperti pemotor di negeri +62, bahkan di celah terkecil sekalipun


Aku menyukai senyummu di hari senin;
Atau hari-hari dimana kita tidak pernah bertemu sebelumnya.
Ketenanganmu, kekuatanmu, keteguhanmu adalah akumulasi kecerdasan buah karya Beliau yang mengagumkan


Aku menyukai senyummu di hari senin;
Bahkan lebih lama kunanti daripada hujan yang tak kunjung hadir di Ibukota


Aku menyukai senyummu di hari senin;
Apapun alasannya

-udah lama, 2019-

Ruhiyah Gersang

Aku terdiam
Mematung di bahu jalan
Ditemani angin
Dalam sunyinya malam

Tak ku hiraukan
Bajaj yang berlalu-lalang
Pun lolongan anjing
Sayup-sayup di kejauhan

Aku mematung
Menatap kosong lampu jalanan

Jiwa ku?
Melesat jauh menyusuri bukit barisan
Membelah belantara hutan
Berhenti
Di halaman rumah warisan

Dulu
Rumah Gadang bagai oase pertama
Yang ku temukan
Di tengah gersangnya
Gurun pasir kehidupan

Kemana langkah
Selalu saja kutemukan
Di setiap pemberhentian
Padang Panjang,
Hingga Tanah Sultan

Mata air itu selalu ada
Seberapapun besar futur menggoda
Menjadi pengingat dikala lupa
Penegur disaat terlena

Namun
Mata air itu
Kini perlahan surut
Boleh jadi kering

Seringkali hatiku meronta
Mencari "ada" yang kini tiada
Malam ku nelangsa
Dihantui pagi penuh nestapa

Tuan, tolong
Ada yang hilang
Pada diriku..


Jakarta-Kosan 3x5

Badarawuhi (2)

Di ujung lelah,
Di antara rebah
Penari itu,
Datang padaku
Dengan Pesona yang menjerat,

Bagai  kanak kanak, 
aku  menemu  riang
Dari bermain bayang bayang,
hadirnya yang ada dan tiada

Sesekali pernah ingin ujung jarinya ku sentuh ,
gemetarkan tubuhku seluruh,

tapi pelahan bayangnya luruh,
Hilang,
kian menjauh

Aku pun diam,
bersimpuh antara rela dan luka
Mengharap dia benar adanya
Menyadari dia benar tiadanya


---------Catatan KKN Bima------

Sutikno Slamet, jelang pulang 19 Sept 2019

Catatan
Lanjutan  setelah baca cerita Horrorumor KKN di Desa Penari

Demi Masa

Pukul 7.30

Adnan duduk menghadapi layar monitor di ruangan kerjanya. Pada waktu ini  seharusnya para stafnya yang berjumlah dua orang sudah duduk di kursinya masing-masing.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam,” Adnan menjawab sapaan Tina, salah satu stafnya yang baru saja muncul di ruangan. Tinggal Ponco yang belum datang. Adnan sangat mengharapkan kehadiran Ponco karena ada satu pekerjaan yang harus diselesaikan Ponco dan harus selesai besok.
“Kamu nggak bareng Ponco, Tin?”
“Nggak, pak. Paling dia lagi nongkrong di kantin. Ngopi,” jawab Tina.
Satu jam berlalu, Ponco belum juga menampakkan diri di hadapan Adnan. Adnan mulai was-was. Ia mengirimkan pesan kepada Ponco agar segera masuk ke ruangan. Sampai setengah jam berlalu tak ada jawaban dari Ponco.
Sebenarnya ini bukan kali pertama Adnan dibuat khawatir oleh Ponco. Banyak sekali pekerjaan yang akhirnya harus diselesaikan oleh Adnan sendiri karena Ponco tak sanggup menyelesaikannya.

Pukul 9.30
Ponco muncul di ruangan  dengan muka yang datar seperti biasanya. Adnan menghela nafas panjang berusaha menenangkan diri agar tidak emosional di hadapan Ponco. Dia tak ingin Tina menangis kalau melihatnya marah.
“Kamu nggak membaca pesanku ya?”
“Maaf pak, seru tadi bahasannya soal promosi staf jadi supervisor. Siapa tahu saya bisa masuk kriteria, hehe.”
Ingin sekali rasanya Adnan memukul kepala Ponco dan berkata,  “sadar diri kenapa, lebih sering malesnya daripada benernya,” tapi Adnan hanya bisa meringis ngilu-ngilu kesal mendengar omongan Ponco.
“Kerjaan kemarin mana? Besok due date lho. Kalo nggak selesai besok, tim kita bakal kena pengurangan poin dan itu akan mengakibatkan pengurangan bonus akhir tahun lho,” ujar Adnan sambil berdiri didepan meja Ponco.
“Sebentar, pak. Saya mau mandi dulu. Tadi abis olahraga,” Ponco mengambil tas ransel yang berada dibawah mejanya.
“Ya ampun, jadi dari pagi tadi belum mandi?” suara Adnan sudah mulai menaik. Tanpa menunggu lama lagi, secepat kilat Ponco berlari keluar dari ruangannya. Adnan hanya bisa mengelus dadanya.
****

 Pukul 10.00
Ponco kembali ke ruangannya. Ia membuka layar komputernya. Tiba-tiba ponselnya berdering. Ternyata istrinya menelpon. Ponco meninggalkan ruangannya dan menerima telpon di toilet.
“Kemana lagi si Ponco itu, Tin? Kerjaan dari kemarin nggak beres-beres.” Tanya Adnan dari tempat duduknya.
“Tadi ponselnya bunyi, pak. Terus dia nerima telponnya di luar. Rahasia kali, pak,” jawab Tina sambil terus mengetik dokumen.
“Ya Allah, salah apa saya selama ini hingga punya staf kayak begini?” Adnan berbicara dalam hatinya sambil garuk-garuk kepala.

Jangan  lupa selesaikan laporan penjualan besok ya Pak Adnan, biar bonus tim kita bisa naik, minimal nggak berkurang dari tahun lalu.
Adnan membaca yang pesan masuk dari Charles, kepala divisi yang merupakan atasan Adnan.

Baik, pak.
Adnan mengetik jawaban sambil terus memandangi meja Ponco yang masih kosong. Jarum jam terus melaju. Terasa sangat cepat bagi Adnan.

Pukul 10.30
Ponco masuk kembali ke ruangan. Adnan kembali menagih laporan yang harus diselesaikan Ponco.
“Tenang, bos pasti selesai kok. Sabar, ya. Orang sabar disayang Tuhan.”
“Cukup! Saya tak mau dengar lagi kamu bicara. Selesaikan laporannya!” suara Adnan mulai tinggi melihat Ponco begitu santai seakan tak ada deadline yang menunggu.

Pukul 11.00
“Pak, saya ijin makan dulu ya. Sebentar lagi kan jam istirahat. Abis itu saya mau sholat di mesjid.  Nah setelah itu saya selesaikan deh laporannya. Tenang aja sedikit lagi beres kok.”
Mata Adnan melotot melihat ketenangan Ponco. Rasanya tak yang lebih melelahkan di dunia ini selain berhubungan dengan Ponco.
“Bukannya tadi kamu menghabiskan waktu banyak di kantin? Masih belum cukup? Lagipula ini kan masih jam sebelas, waktu istirahat masih lama,” Adnan sudah lupa akan niatnya tak membuat Tina menangis. Emosinya meledak saat itu.
“Sabarlah, bos. Jangan juga bos menghalangi saya makan dan sholat. Kalau saya pingsan gimana? Trus kalo saya masuk neraka karena nggak sholat siapa yang dosa? Ya bos juga lah.”
“ Ya nggak gini juga, Ponco. Makan dan sholat itu ada waktunya.”
“Sudah ya bos, biar saya tenang ijinkan saya dulu. Kerjaan pasti kelar setelah ini.”
Tak menunggu Adnan bicara Ponco keluar ruangan meninggalkan Adnan yang semakin emosi.

Pukul 14.00
Ponco mulai mengerjakan laporannya. Adnan lega karena sesuai janjinya, Ponco akan menyelesaikan laporan sore ini. Tiba-tiba terdengar suara Ponco bicara sendiri.
“Rasain lu, pake rompi oranye. Koruptor gila nggak punya malu,  ngabisin uang rakyat.
Adnan bangkit dari kursinya dan menghampiri Ponco. Ia berdiri di belakang Ponco. Ternyata Ponco sedang menonton berita dari youtube.
“Laporanmu mana?”
“Ini juga penting, bos. Orang kok berani korupsi. Nggak takut apa anak bininya dikasih makan uang haram?”
“Lha, kalo kamu nggak kerja tapi digaji apa bukan korupsi juga?” tanya Adnan sebal.
“Beda dong, bos.”
“Sama aja! Kalo nggak bisa ngerjainnya sini biar saya yang ngerjain,” ujar Adnan.
“Nggak usah, saya aja. Dikit lagi kok,” jawab Ponco sambil nyengir.
“Mana wujudnya?”
“Sebentar,” Ponco mematikan youtube dan mulai mengetik kembali pekerjaannya.

Pukul 15.00
“Kok meja si Ponco kosong, Tin?”
“Katanya dia mau beli buku dulu buat anaknya, pak,”jawab Tina.
“Astaghfirullah, saya tinggal meeting sebentar saja si Ponco udah ngilang aja. Kepala saya langsung migren.”
Detik demi detik Adnan menatap jam di dinding. Ratusan pesan dia kirimkan  kepada Ponco tanpa ada jawaban. Sampai akhirnya hari telah gelap dan Ponco tak kembali ke kantor.

Keesokan harinya
“Halo. Ya Ponco? Udah selesai kan kerjaannya? Kirim ke saya sekarang ya.”
“Apa? Kamu nggak masuk? Hah? Nganter istri ke rumah mertua?”……dan ponsel Adnan pun jatuh dari genggamannya. Gelap terasa dunia…..

Awal tahun berikutnya
“Pak saya mau protes nih….”
“Ada apa?”
“Kok tahun ini saya nggak dapat bonus tahunan. Gimana dong saya udah janji mau beliin istri saya perhiasan.”
“Pikir aja sendiri, jangan tanya saya,” Adnan pun meninggalkan Ponco yang gundah.

Depok, 16 September 2019
*Tokoh dan kejadian hanyalah fiktif belaka



Tuan-tuan Yang Lupa,

Tuan, kalau kau lupa
Biar ku ingatkan lagi,
Kau duduk di sana
Sebagai wakil kami
Pembawa mandat yang kami titipkan
Melalu pemilu penuh legitimasi

Melaluimu,
Telah kami titipkan aspirasi dan mimpi,
Sebuah negeri bebas dari korupsi,
kejahatan serius 
Yang tak cukup ditangani
Oleh jaksa dan polisi

Bertahun  lalu
atas nama konstitusi,
Pendahulumu dan  pemimpin negeri berkongsi
Lembaga superbody dibidani
Diberikannya fasilitasnya  mumpuni,
sumberdaya yang mencukupi,
cegah, tangkal dan tindak prilaku korupsi

Aku  dan engkau sama sama menjadi saksi,
betapa kiprah lembaga itu   telah teruji,
dari ujung barat sampai timur negeri,
Ketua mahkamah konstitusi, anggota legislatif,
aparat pajak,  bupati, menteri dan polisi ,
Pelaku pelaku korupsi dilibas tanpa kenal jeri,

Lalu kemana akal sehatmu pergi?
Mengatas  namakan konstitusi,
Tetiba rancangan undang undang kau inisasi,
rumusan omong kosong,
tentang urgensi pengaturan kembali kewenangan,
yang tak lebih dari langkah kebiri,
penguatan  dengan lembaga pengawas,
yang tak lebih merecoki fungsi dan tugas,
limitasi sumber perekrutan penyidik,
 yang akan hadirkan  keraguan akan independensi

Apakah mungkin harimau di hutan sana ditakuti,
hanya karena suara auman yang lantang,
Sementara geliginya habis diprotoli

Wajarkah,
kalau kadang terlintas di pikir kami
Mungkin ada yang tersembunyi,
pat gulipat dan persekongolan di jalan sunyi,
yang satu memberi janji, yang satu bikin konsesi

Biar ku ingatkan lagi,
Umurmu kita mungkin tak panjang lagi,
Tak sampai seabad semua kita akan pergi,
Tapi yang kau tulis dan kerjakan akan jadi prasasti ,
Yang diingat, dicatat lintas dimensi

bisa jadi negeri ini punah karena pilar pilarnya digerogoti korupsi,
Lalu kau akan jawab apa,
ketika nanti anak cucu kita dan Sang Maha Abadi,
menanyaimu nanti?

Sutikno Slamet, 16 September 2019

Benih Kesombongan

Merasa lebih teliti
Dari orang di sekitarku
Benih kesombongan di dalam diri
Perlahan menyeruak dalam kalbu

Merasa di atas angin
Saat menemukan kesalahan orang lain
Rasa puas menyelinap perlahan
Aku lebih teliti darimu, bersahutan

Rasa sesal memenuhi relung kalbu
Masih banyak kotoran melekat di hatiku
Aku mohon cabutlah sifat burukku Tuhan
Agar kefitrahan kembali aku dapatkan

Benih kesombongan mencari celah untuk tumbuh kembang
Bentuknya bisa bermacam-macam
Tumpaslah sampai ke akarnya
Gantilah dengan benih ketawadhuan

Tawadhu mudah diucapkan,
Namun sulit dilakukan
Seratnya halus berlapis-lapis
Prosesnya terus hingga akhir nanti

Yogyakarta, 13 September 2019

Kebenaran Terungkap

Entah berapa lama tersimpan cerita kelamnya
Satu kisah dalam balut dua versi berbeda
Akhirnya dipilihnya jalan itu
Entah apa yang ada di benaknya saat itu

30 tahun berlalu tak terasa
Kebenaran terungkap tanpa rencana
Menjadi saksi dari kisah anak manusia
Semakin yakin suatu saat kebenaran mengemuka

Entah bagaimana kelanjutan ceritanya
Aku dihadirkan Tuhan untuk menjadi saksi
Atas peristiwa yang terjadi
Untuk kuambil hikmah dan pembelajarannya

Manusia, kadangkala lalai dan lupa
Disaat masalah mendera
Ada dua jalan tersedia
Kebenaran atau kesalahan, semua ada konsekwensinya

Semoga Tuhan memberi hidayah
Bertaubat di sisa umurnya
Menghapus kelam menjadi putih
Agar hati tak terasa perih

Apakah aku berkesempatan?
Mengingatkannya sebagai teman
Biarkan Tuhan persiapkan jalan
Biarkan Tuhan persiapkan bimbingan

Yogyakarta, 13 September 2019