Tampilkan postingan dengan label Ekopandu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ekopandu. Tampilkan semua postingan

GEMESS (Garing mak Kress) : Tobat

Bulan Ramadhan sudah berlalu, pun begitu dengan bulan Syawal. Tetapi sebagai umat Islam tentu bekasnya tak boleh sirna begitu saja. Periode pembelajaran selama Ramadhan dan periode pembiasaan selama Syawal harus bisa dijadikan pijakan untuk berubah dan berbenah. 

Momentum itu juga disadari oleh Paimo yang terkenal sebagai anggota geng motor terkemuka di kampungnya. Dia yang sudah jadi dedengkot diantara sekawannya memutuskan untuk bertobat dan pensiun dari geng motor yang dirintisnya itu. Agar tidak hanya dianggap isapan jempol, Paimo mulai merancang program dalam rangka mewujudkan tekad insyafnya. 

Ketika dulu masih aktif di geng-nya, Paimo selalu berlagak bak raja jalanan. Rambu lalu lintas hanya seperti hiasan. Lampu merah pun tak ubahnya sebuah pajangan. Dia menggeber motor seenak udelnya seolah nyawanya ada cadangannya. Oleh karena itu, langkah pertama dalam gerakan pertobatannya adalah mematuhi peraturan lalu lintas yang ada. Dia berjanji pada diri sendiri dan juga Ilahi, akan menaati rambu dan lampu yang mengatur lalu lalang kendaraan di jalanan. 

Tapi berubah menjadi baik memang tak semudah membalikkan telapak tangan, selalu saja ada halangan dan tentangan. Kawan-kawannya selalu mencibir dan mengajaknya kembali. Belum lagi masyarakat sekitar yang resisten. Paimo berjuang menghadapi itu semua agar tetap bisa teguh dan mencapai 'taubatan nasuhah'. Hingga akhirnya dia mencoba men-curhat-kan perjuangannya kepada sang ibu. 

"Mak, susah ternyata ya mau tobat itu, ada aja halangannya"

"Sabar nak, memang gitu, kalau mau jadi baik, pasti setan-setan berbentuk jin dan manusia ga suka...jadi kamu harus kuat ngelawannya", sang ibu mencoba menyemangati anaknya.

"Iya mak, masa aku uda bener aja, masih ada yang maki-maki dan nyalah-nyalahin"

"Waktu itu pas lampu merah, aku berhenti... eh malah diteriakin bego dan diklakson-klaksonin sama angkot di belakang", Paijo melanjutkan ceritanya. 

"Hehehe... biasa itu nak di sini, cuekin aja... yang penting kamu benar ya ga usah didengerin"

"Ho oh sih mak, aku cuekin aja... aku anggap itu ujian orang tobat"

"Ada lagi ni mak, pas aku kasih tau kalau ga boleh parkir di pinggir jalan situ, eh... malah diajak berantem sama tukang parkirnya, yang salah siapa yang marah siapa"

"Hahaha... itu juga biasa nak disini... tapi kamu ga berantem kan?"

"Engga dong mak, aku tinggalin aja... aku kan sudah insyaf", Paimo menjawab dengan dada sedikit membusung. 

"Tapi ya mak, yang paling parah kemarin, aku dibilang gila, sampek mau digelandang ke kantor polisi, ya ga takut lah aku... orang posisiku benar"

"Wuih hebat kamu nak, emak bangga... tapi emang gimana kejadiannya?"

"Jadi gini mak..", Paimo membenarkan posisi duduknya

"Pas di lampu merah perempatan sana, aku kan mau belok kiri... lampu ijonya nyala, tapi aku langsung ngerem mak, berhenti..."

"Loh, lampu ijo kok berhenti?" Ibu Paimo nampak mengernyitkan dahi

"Bentar mak, ceritaku belum selesai, iya lampunya ijo, tapi rambunya nyuruh berhenti... ya aku berhenti.. konsisten"

Dahi ibu Paijo yang sudah keriput makin kelihatan mengkerut. 

"Eh.. orang-orang pada nglaksonin dan maki-maki....padahal kan aku cuma mematuhi rambu lalu lintas.... "

"Sampai akhirnya ada yang turun dari motornya dengan wajah emosi... coba kutenangkan dan kujelaskan... tapi dia malah makin emosi dan bilang aku gila... bener-bener ga ngerti aku", Paijo geleng-geleng.

"Denger dari ceritamu sih, sepertinya kamu memang gila nak, yuk kita cek ke dokter"

"Aduh emak, aku cuma patuh sama rambu lalu-lintas mak", Paijo tak terima. 

"Emang rambu yang kaya gimana sih nak, emak masih ga paham"

"Itu loh mak, di bawah lampu merahnya kan ada tulisan 'belok kiri mengikuti lampu'... ya aku patuhi"

Kini kerutan di dahi ibu Paijo nampak mulai ada yang terkelupas. 

"Yaudah kan, disuruh ngikuti lampu ya aku ikutin, aku berhenti lah di belakang lampu, aku tungguin lampunya, karena dia masih diem aja di situ ya aku diem juga dong mak, kalau dia jalan ya aku ikut jalan...namanya juga ngikutin...tapi kan lampunya masih diem aja di situ... ya aku juga diem aja disitu.. ga salah kan mak? "

Sang ibu tak berkata-kata, hanya mengangkat gagang telepon sambil membuka-buka buku telepon mencari sambungan ke rumah sakit jiwa terdekat. Tamat

Rindukah?

Rindu...
Rasanya seringkali menggebu...
Saat kepergian jd kenyataan,
kerinduan seketika menjalar,
Dengan catatan dia yang disayang.
Baru sedetikpun beranjak,
kerinduan akan mulai memuncak.

Segala kenangan indah,
mencuat dari memori alam sadar.
Terkadang air mata meleleh,
menerpa buncahan kerinduan yang tertahan,
Atau malah tersungging senyuman sendirian,
mengenang potongan-potongan kenangan.

Laksana seorang kekasih yang bepergian,
Tak ingin tapi harus merelakan.
Bukan pergi untuk tak kembali,
Hanya berlalu sembari menanti.
Berharap takdir masih menyuratkan.

Kebiasaan saat bersama, coba tetap dijaga terbiasa,
Mengiringi penantian dalam napak tilas kenangan.
Rutin mengunjungi waktu dan ritual yang sepadan,
Menjadi obat penawar hingga tibanya pertemuan.

Berduyun bergandengan menghampiri panggilan adzan,
Terjaga bersujud di akhir sepertiga malam,
Duduk bersimpuh membaca Al Qur'an,
pun menahan haus dan lapar dari fajar hingga petang,
Kenangan amalan yang musti istiqomah dimakmurkan,
Teman rindu menanti Ramadhan kembali pulang.

Andai tak lagi dikerjakan walau sedikit,
atau mungkin tak terlintas di pikiran,
Tanda kerinduan sebatas isapan.
atau mungkin memang tak rindu?
atau memang tak pernah diamalkan,
saat kita masih bertemu dulu?





Takbir Keliling

Adzan isya' berkumandang seperti biasa, iramanya sama dengan saat dua hari lalu aku menginjakkan kaki di sini. Namun malam ini tak sama dengan malam sebelumnya. Sholat isya' yang dari sebulan lalu diikuti dengan sholat tarawih, malam ini tak lagi begitu, selepas imam melakukan salam, kumandang takbir bertalu-talu dari toa masjid berganti-gantian.

Aku browsing sejenak sebelum beranjak pulang dari masjid. Pantas saja, ternyata sidang itsbat telah resmi menetapkan 1 Syawal 1438 H jatuh esok hari. Segera kugeber motor menyusuri jalan kecil yang bopeng di mana-mana, sambil ikut mengumandangkan takbir meski perlahan. Tampak anak-anak kecil berpakaian putih sudah mulai bersiap berkumpul, laki-laki  perempuan. Di halaman SMP di depan masjid juga sudah disiapkan mobil yang sudah dihias ala timur tengah dengan lampu putih sebagai penerangan. Semangat sekali mereka. Menggambarkan kebahagiaan menyambut lebaran. Sedangkan aku masih sedikit kikuk, aneh rasanya malam ini, suasana Ramadhan masih melekat di kebiasaan. Tapi di satu sisi aku tentunya menyambut gembira, besok kami berhari raya.

*****

Sasa sudah merengek untuk bergegas berangkat, padahal belum terlihat tanda-tanda akan dimulai. Sasa adalah keponakanku yang 'ngeyelnya' luar biasa meskipun sudah dua tahun sekolah TK. Kami sudah bilang kalau mulainya masih lama, tetap saja dia bergeming, memaksa mengajak segera berangkat. Berkali-kali dia berteriak, "itu sudah kedengeran takbirnya, uda mau jalan...ayo cepet berangkat!"

Belum lagi adiknya, Zidan, yang meski sudah empat tahun tapi ngomongnya belum jelas, ikut merengek mendukung kakaknya untuk segera berangkat. Mereka berdua telah siap dengan menggenggam lampu batang yang bisa menyala warna-warni.

"Itu takbir di Masjid", Aku menjawab singkat dan mencoba mengacuhkan mereka meskipun suaranya memekakkan telinga. Aku masih sibuk memakaikan jaket dan jilbab ke anakku, Aqila, sebagai persiapan agar tak masuk angin keluar malam-malam.

Alhasil setelah semua siap, kami mulai berjalan ke arah jalan besar. Ternyata sudah ramai orang berjajar. Ada yang duduk di atas motor yang distandar. Ada pula yang sengaja membawa karpet untuk duduk lesehan. Tanganku sudah terasa pegal karena berjalan dengan Aqila di gendongan. Tetap kutahan demi anakku bisa memperoleh pengalaman perdananya.
Tak lama ibu mertua berujar, "wiwit e soko prapatan ngarep kono, mlaku mrono wae po?" (mulainya dari perempatan di depan sana, apa kita jalan ke sana saja)
Aku tak terlalu jelas mendengarnya karena jalanan sangat ramai. Melihat aku mengernyitkan dahi, sepertinya istriku mengerti, dia mengulang perkataan ibu mertua "mulainya dari perempatan depan, kita jalan ke sana aja ya"
Terbayang jarak yang masih sekitar dua ratusan meter, lumayan. Tapi aku tetap mengangguk setuju.

Perempatan yang disebut-sebut menjadi titik awal keberangkatan itu sudah dijejali penonton di sepanjang pinggiran jalan. Terlihat Polisi berompi hijau terang mencoba mengatur lalu-lintas yang mulai terlihat padat merayap. Mereka dibantu sukarelawan panitia dan beberapa pemuda-pemudi berpakaian pramuka. Karena belum juga mulai, aku mengusulkan untuk memesan wedang ronde di warung lesehan sambil menunggu. Sasa yang sudah tak sabar tak setuju, dengan lantang dia berkata "aku ga mau jajan, aku mau nunggu di sini, nanti kalau mulai kan ga kelihatan". Padahal penjual wedang rondenya juga ada di pinggir jalan situ. Dasar anak kecil batinku. Tanpa menghiraukan pihak yang tak setuju aku meminta istriku untuk memesan wedang ronde dan aku menuju tempat lowong yang paling pojok beralaskan tikar. Melihat aku dan Aqila sudah duduk santai, akhirnya Ibu mertua, Sasa, Zidan dan ayah mereka juga ikut menyusul. Aku ledek Sasa yang tadi tegas menolak ajakanku. "Katanya tadi ga mau jajan" ujarku dengan ekspresi meledek yang kental.
"Ya kan aku ga mau jajan wedang ronde... jajan mie ayam bakso aja" jawabnya membela diri.

*****

"Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar... Laailaaha ilallahhu Allahu Akbar... Allahu Akbar walilla hilhamd...!"

Takbir terdengar lantang dari sound system yang terpasang. Suara jedar jeder dari rombongan drum band mengiringi gema takbir yang dilafalkan. Di sudut jalan juga nampak cahaya dari barisan lampion kotak yang dibawa oleh rombongan anak-anak berjilbab dan berkopyah. Lampionnya digerakkan naik turun sesuai instruksi dan irama lagu yang mengiringi.

Seketika porak poranda lah mangkok wedang ronde yang baru saja terhidang. Sasa dan Zidan langsung teriak-teriak sambil bergegas menuju tepi jalan karena tahu pawai takbir keliling akan dimulai. Aku juga jadi ikut tergesa-gesa beranjak menonton. Untung segera sadar bahwa hangatnya wedang ronde lebih baik dinikmati terlebih dahulu. Aku menghabiskannya sendiri sedangkan rombonganku yang lain sudah siap sedia berdiri di pinggir jalan.

Aku penasaran dengan reaksi Aqila. Ini pertama kalinya dia menyaksikan takbir keliling seperti ini. Raut mukanya kelihatan bingung menyaksikan keramaian di hadapannya. Belum lagi, pawai mobil hias diiringi barisan tua-muda, anak-anak-dewasa, laki-laki-perempuan dengan kostum bermacam-macam. Lampu-lampu juga menyala terang berkedip-kedip penuh warna. Takbir juga terus dikumandangkan dari pengeras suara yang disematkan di masing-masing mobil hias yang melintas.

Banyak sekali yang berpartisipasi. Rombongan mengusung identitas masjid-masjid yang tersebar di kecamatan Playen, Gunung Kidul. Masing-masing menunjukkan kreativitasnya. Ada yang membawa lampion, ada yang memainkan drum band dengan peralatan lengkap, ada juga yang hanya melambai-lambaikan bendera kecil dari kertas minyak. Oh iya, ada juga yang membawa lampu batang warna-warni seperti punya Sasa dan Zidan, juga dilambai-lambaikan. Dari beragam penampilan itu, yang paling banyak dibawa adalah replika Ka'bah, Gajah dan burung ababil. Mereka ber-teatrikal usaha penghancuran ka'bah oleh pasukan gajah yang gagal karena diserang burung ababil yang membawa batu panas. Penonton langsung antusias dan merangsek ke depan saat adegan itu diperagakan.

Pawai takbir keliling seperti sudah akan selesai karena mobil dan motor yang sedari tadi tertahan perjalanannya sudah mulai dipersilahkan lewat oleh aparat yang bertugas. Beberapa penontonpun juga sudah ada yang mulai berjalan pulang. Aku yang sudah mulai lelah dan mengantuk, mengajak istriku dan yang lain untuk kembali ke rumah. Tapi lagi-lagi.... "Aahh.. aku ga mau pulang, itu kan belum selesai, aku mau nonton sampai habis... biar aku marem!" (marem=puas), Sasa kembali resisten dengan rencana-rencanaku.
"Ini uda selesai tauk, tu.. uda pada bubar semua.. uda ga ada yang lewat lagi" jawabku tak mau kalah.

"Iih.. Pakdhe, ga percaya.. tu liat.. masih ada yang lewat tuh!" teriak Sasa sambil menunjuk ke arah rombongan yang baru saja muncul. Kali ini aku yang kalah. Ternyata benar, pawai belum usai, masih ada rombongan yang tersisa. Di kejauhan tampak anak-anak mengenakan pakaian putih-putih membawa lampu warna-warni yang dilambai-lambaikan sambil bertakbir bersama. Di belakangnya diikuti ibu-ibu dengan gamis hitam-hitam juga membawa lampu warna-warni sambil bertakbir dan sesekali tersipu karena tetangganya ada yang menonton. Lalu, diikuti remaja putri dengan gamis hitam dan jilbab kembang-kembang seragam. Mereka sempat membentuk formasi dengan juga melambaikan lampu warna-warni yang di pegang tangan kanan-kirinya. Setelah mendekat mereka semua ternyata memakai masker. Mungkin malu kalau-kalau ada gebetannya yang nonton. Dan yang terakhir, rombongan remaja putera denga alunan drum bandnya mengawal mobil hias ala timur tengah dengan tirai putih dan lampu putih pula.
Wah, ini rombongan dari masjid tempatku sholat isya' tadi. Ternyata di dalam mobil hias tadi ada anak kecil yang didandani seperti abu nawas dan duduk bersila menghadap ke depan. Total sekali penampilannya.

Takbir keliling malam itu berjalan meriah. Semua orang larut dalam suasana suka cita. Hingga tak terasa malam telah cukup larut, saat kini ku terbaring di atas kasur dengan sesekali mengurut kaki sendiri. Di luar sana masih juga terdengar takbir dari sound system mobil-mobil yang melintas. Masih terdengar juga raungan-raungan cempreng motor-motor yang sengaja memamerkan eksistensinya. Ditambah lagi suara dar-der-dor dari kembang api yang tak henti-henti. Padahal hari sudah tengah malam. Semoga kemeriahan ini berlanjut esok hari. Dan Semoga mereka semua tak lupa bahwa besok pagi waktunya Sholat Idul Fitri. Sekian.

Baju Lebaran

"ih kamu ih... mama capek nyari-nyari kamu ga ketemu.. jangan keliling-keliling terus dong"

"jangan gitu atuh.. mamah ga suka deh.. nanti kalau kamu ilang gimana"

"dedek.. dedek.. sini jangan berdiri di tengah jalan, nanti ketabrak orang"

"Eh.. itu.. ada temennya.. tapi temennya ga nangis tuh... pinter... adek jgn nangis yah"

Suara-suara itu lalu lalang melintasi telinga kanan dan kiri. Terdengarnya tak jelas, banyak distorsi karena semuanya masuk secara bersamaan. Namun frekuensinya sama, nyaring dengan desibel tinggi. Bising memang tapi bukan salah mereka, salah saya memilih berada di sana.

Kerongkongan masih terlarang dari kucuran air, pun dengan asupan makanan, sedangkan mentari tetap setia membagi-bagikan sinar panasnya. Periode dibelenggunya setan ini sudah mendekati akhir yang seharusnya ditandai dengan ramainya orang ke masjid di saat malam. Di Indonesia, tanda itu ada tambahan, pasar dengan segala turunannya juga ikut menjadi ramai, bahkan di sepanjang hari.

Aku, yang masih terdaftar sebagai warga negara Indonesia juga terpaksa andil membuktikan kesahihan tambahan pertanda menjelang satu Syawal. Salah satu sudut pasar di wilayah Jakarta Barat menjadi pilihan. Istri dan anak sebagai pelanggan utama tak lupa ikut serta. Berjalan pelan menyusuri barisan pakaian berbagai ragam. Seperti orang menyeberang, senantiasa tengok kanan kiri untuk mencari yang mencuri perhatian.

Entah bagaimana ceritanya, di tengah kebisingan, kami terpisah oleh sapuan lautan manusia yang ombaknya bergerak ke segala arah. Anakku aman dalam gendongan ibunya, sedangkan aku mencoba mencari keberadaan mereka. Tumpukan baju menambah kesulitan pencarian, belum lagi seliweran manusia yang tak ada yang tahu kapan berhentinya.

Langkah terus melaju namun yang dicari belum juga ketemu. Ketika kaki terus berjalan, tiba-tiba pandangan tercekat pada sosok bapak yang tak lagi muda. Beliau dengan wajah datar sedang memandangi gaun untuk anak kecil yang tergantung. Sesekali nampak dia menggaruk kepala yang dihiasi sedikit rambut putih. Alam bawah sadar mengajakku bergerak mendekatinya meskipun tak tahu mau apa. Ketika jarak kami hanya terpaut sekitar dua meter, mulut Bapak itu mengeluarkan suara
"kalau untuk usia sepuluh bulan.. segini muat ga ya?"
Aku bertanya-tanya pada siapa dia bicara, tak ada orang di samping dan belakangnya. Sepertinya juga bukan berujar padaku.

"hmmh.. kayanya cukup deh Pak.. ini sampai usia satu tahun...tapi tergantung anaknya seberapa juga sih Pak"

Terlihat wajah yang familiar melongok sambil bergeser dari balik persembunyiannya. Ia menengadah memperhatikan gaun pilihan bapak tadi, sambil terus menggendong anak mungil yang mengoceh dengan kosakata yang belum jelas terdengarnya. Akhirnya pencarianku berakhir.

Meskipun kini kami kembali bertiga, tapi kedua mata tetap lekat ke sosok Bapak seorang diri tadi. Air mukanya masih saja datar, bajunya juga sudah sedikit kusam. Kulihat di tangannya sudah tergenggam gaun anak kecil yang ditanyakan tadi. Aku masih penasaran, dia membeli untuk anak atau untuk cucunya. Tapi tak mungkin aku tanyakan kepadanya.

Perburuannya tampaknya belum usai. Beberapa kali beliau memandangi beberapa model baju untuk anak-anak berkelamin perempuan. Wajahnya tetap datar, tidak menampakkan tanda-tanda kebahagiaan. Pikiran burukku berkata bahwa Bapak ini sebenarnya terpaksa membelikan baju baru untuk lebaran. Atau mungkin beliau kebingungan harus membeli baju model apa. Bisa juga beliau memikirkan label harga yang tak bisa dibilang murah. Ah, kenapa saya jadi berpikir macam-macam, mungkin memang raut muka Bapak itu begitu adanya.

Larut ke dalam perburuan kami sendiri, perhatianku lepas dari Bapak tadi. Sudah tidak sempat terlintas segala asumsi tentang si Bapak. Semua terhalang oleh pertanyaan semacam "bagus yang ini apa yang ini ya?" "kira-kira ini muat ga ya?" "mendingan yang ini apa yang ini?" "harga segini mahal ga ya?" "yang ini lucu kan ya?"

Antrian pembeli yang sudah cukup panjang membuatku geleng-geleng kepala. Terbayang lamanya waktu saat membayar nanti. Hingga pandanganku kembali terhenti pada sosok Bapak tadi. Ternyata beliau sudah antri menuju kasir. Aku lihat sudah ditenteng dua potong baju anak perempuan. Saat beliau berbalik selesai dari membayar, yang kulihat masih sama. Ekspresinya masih datar, senyumnya tidak tersungging, langkahnya juga masih perlahan. Tidak menampakkan kepuasan berhasil membelikan baju lebaran. Perlahan dia melangkah gontai menjauh hilang menembus keramaian.

Budaya baju baru lebaran memang bukan hal baru. Pernah aku bertanya kepada entah siapa, katanya itu pengejawantahan anjuran Nabi Muhammad menyambut idul fitri. Meskipun setelah ditelisik, anjuran yang ada hanya memerintahkan mengenakan pakaian yang terbaik. Pemaknaan terbaik ini mungkin memang beragam. Bisa dari yang sudah ada dipilih yang paling bagus. Bisa juga dengan membeli yang baru agar mutlak baju itu jadi yang paling bagus yang dipunya.
Yang paling penting adalah tidak berlebihan dan memaksakan diri. Dua hal itu bisa menggeser makna dari pengagungan menyambut hari yang fitri menjadi sombong diri atau malah penderitaan demi nafsu sehari.

Berkata pada Diri Sendiri

Bulan penuh pengampunan telah lama menyapa
Mukmin berlomba bersimpuh mengiba ampunan-Nya
Segala kata indah dirangkai demi dapat dihapus dosa yang diperbuatnya
Agar menggapai fitri di ujung hari

Namun saat karunia yang bernama sakit menimpa
Segala kata tak indah dirangkai hanya untuk terus mengeluh
Padahal mungkin itulah jawaban Allah atas untaian permohonan yang dipanjatkan
Karena sejatinya sakit adalah salah satu jalan penghapus dosa tanpa berpeluh
Hanya jalani dengan ikhlas yang penuh

Bulan penuh keistimewaan telah lama menyapa
Bahkan kini langkah hampir berada di ujung akhir
Segala cita istimewa nan mulia dicanangkan saat bermula
Apakah hingga titik ini sudah melakukan yang istimewa?
Karena yang istimewa tak bisa digapai dengan yang biasa saja

Waktu tak bisa diputar ke arah yang lama
Penyesalan akan muncul saat sudah terlewat semua
Namun jangan lah kecewa, Bulan istimewa ini masih ada
Justru tersisa bagian yang teristimewa
Kuatkan langkah usaha dan bulatkan iman yang utuh
Demi meraih keistimewaan akhir yang sepuluh
Karena di sana ada bulan yang jumlahnya seribu utuh.


Tak Ingin Kaya (Bagian-1)

Pagi itu jalanan sudah mulai ramai dengan lalu lalang kendaraan. Meskipun lebarnya hanya pas untuk dua mobil simpangan dalam posisi yang sangat mepet, jalanan Kampung Rawa jadi favorit para pengendara yang ingin mencari jalur alternatif menuju jalur utama. Di salah satu pertigaan, terdapat pos ronda yang kini juga terpampang papan kecil bertuliskan "Sedia Ojek Offline". Dulunya jumlah tukang ojek yang mangkal di situ cukup banyak. Jika skuadnya lengkap bisa hingga delapan orang yang nongkrong menunggu penumpang. Namun seiring perkembangan ojek online yang menjamur parah dewasa ini,  jumlahnya berkurang signifikan. Tiap harinya paling banyak hanya tampak tiga pengojek saja yang mangkal. Sebagian besar yang lain sudah beralih menjadi tukang ojek berseragam yang mengandalkan telepon pintar dalam berburu penumpang.

Dari segelintir tukang ojek pangkalan yang tersisa itu, ada sosok pria yang dari rambut putihnya sudah tak bisa membohongi lagi berapa usianya. Namanya Pak Parmin, asli Jawa namun terakhir kali pulang ke kampungnya kira-kira saat Pak SBY terpilih jadi Presiden pada periode pertama. Istrinya sebaya dan menjadi tukang setrika di laundry kiloan tak jauh dari rumahnya. Anak-anaknya ada dua orang yang semuanya tinggal di Jawa bersama mertua.

Jam tangan telah menunjukkan pukul 7.10. Seperti biasanya, aku berjalan menyusuri gang dari kontrakan menuju pertigaan tempat Pak Parmin mangkal. Tampak Pak Parmin sedang menyeruput segelas kecil kopi hitam di pos pangkalan. Rambut putihnya yang sudah menipis tetap terjaga klimis karena jam segini biasanya beliau memang baru mulai beroperasi.

"Assalamualaikuum Pak Parmin, mari berangkat pak" sapaku sambil tersenyum.

Ya, tiap pagi di hari kerja Pak Parmin layaknya supir pribadiku. Aku sudah jadi langganannya untuk berangkat kerja sejak ngontrak di daerah situ. Tanpa aku bilang, Pak Parmin sudah tahu harus mengantarku kemana.

"Waalaikumussalam masbro... siap.. satu seruput dulu ya" jawab Pak Parmin sambil gelas kopi masih menempel di ujung bibirnya.

Setelah satu seruputan kopi, diletakkannya gelas yang masih terisi kira-kira sepertiganya. Bergegas distater motor keluaran awal tahun 2000 kesayangan Pak Parmin dengan mengengkol pakai kaki karena stater tangannya sudah tak lagi berfungsi. Setelah beberapa kali dicoba akhirnya hidup juga mesin motor yang sudah terdengar agak batuk-batuk itu.

"Sudah siap masbro.. naek...! " kata Pak Parmin dengan semangat

Segera aku naek ke jok belakang dan menepuk pundak Pak Parmin, "Berangkaatt.. Pak.. "

Motor yang sudah masuk ketegori tua ini mulai melaju menyusuri jalanan. Asap putih menyembur dari knalpot jika kita melongok ke belakang. Maklum, mungkin sudah lama Pak Parmin tidak mengantar motornya ke bengkel untuk sekedar tes kesehatan. Lajunyapun tak bisa digeber kencang, hanya maksimal 60 km/jam.

"Ibu gimana Pak, sehat? " aku membuka pembicaraan di atas motor

"Alhamdulillah mas sehat, ya kan tiap hari olah raga. Angkat-angkat setrikaan kan sama kaya angkat barbel mas, jadi uda kaya fitnes" jawabnya dengan bercanda.

Pak Parmin ini memang suka sekali bercanda. Makanya, tiap menumpang ojeknya selalu kusempatkan ngobrol dengannya. Bisa jadi hiburan sebelum stres bekerja.

"Mas Evan sendiri gimana, kapan nikah? tetangga saya yang pengangguran aja uda nikah, masa Mas Evan yang tiap bulan gajian ga laku-laku? " Pak Parmin melancarkan pertanyaan balik yang tiap hari diulang-ulang.

"Hahaha... belum nemu yang cocok Pak, nanti kalau uda jodoh kan nemu-nemu sendiri" jawabku berdiplomasi.

"Alaah, jangan terlalu pilih-pilih mas, nanti keburu tua kaya motor saya" Pak Parmin menimpali.

"Hahaha... siap pak!" jawabku sembari menghibur diri

"Kemarin sore pas saya pulang kerja kok tumben Pak Parmin ga kelihatan di pos?" aku coba mengalihkan fokus pembicaraan.

"Oh iya mas, kemarin abis dzuhur saya pulang mas, maag saya kambuh, perut saya serasa diiris-iris... tapi untung bukan hati saya yang teriris-iris" jawab Pak Parmin tetap dengan sedikit bercanda

"Haha.. Pak Parmin bisa aja, jangan nyindir penyakit saya dong Pak. Terus sekarang udah sembuh Pak?"

"Sudah mas, tinggal kasih obat warung juga reda, uda biasa mas. Cuma sekarang lebih sering kumatnya, telat sarapan sebentar aja uda protes perut saya uda kaya orang zaman sekarang, gampang protes" Pak Parmin terdengar sedikit curhat.

"Wah, makanya Pak jangan telat sarapan, kalau sering kumat gitu kan repot, jadi ga bisa narik"

"Haha.. maunya sih gitu, tapi gimana lagi, pagi-pagi ibu ga sempat bikin sarapan karena sudah harus berangkat ke tempat londri, uang juga sudah habis buat makan kemarin, belum dapat penumpang juga, paling-paling ya cuma sisa buat beli kopi di warung deket pos situ"

"Penumpang pertama saya dan kadang satu-satunya dalam satu hari kan ya Mas Evan ini, jadi ya bisa beli sarapannya setelah nganter mas Evan paling cepet." Pak Parmin melanjutkan ceritanya.

"Oh, yaudah Pak nanti sarapan dulu aja bareng saya di deket-deket kantor, saya juga belum sarapan ini" aku mencoba mengajak Pak Parmin, meskipun aku tahu Pak Parmin akan menolaknya karena bukan pertama kalinya aku menawarkan untuk sarapan bareng dan selalu saja ditolaknya.

"Ah, ga usah repot-repot mas, gampang nanti saya beli indomie di warung deket pos aja sepulang nganter Mas Evan, tenang perut saya masih aman kok, maag saya masih belum bangun, hehee"

"Oh, sip kalau gitu Pak, yang penting perutnya keisi"

"Jadi kemarin rugi dong Pak cuma narik sebentar?" aku coba menanyakan

"Yaah, rugi gak rugi sih mas, kemarin untungnya uda dapet dua penumpang, Mas Evan pas pagi, terus agak siangan Kong Naim minta anter ke rumah cucunya, abis itu pulang deh"

"Biasanya juga sehari cuma tiga sampe empat penumpang mas kalau lagi beruntung kalau lagi sepi ya bisa cuma satu penumpang meski mangkal sampe sore, jadinya kalau dibilang rugi ya ga juga sebenernya" Pak Parmin nampak masih mensyukuri nasibnya kemarin.

"Hah, paling banyak cuma dapet tiga sampe empat penumpang doang Pak sehari? " tanyaku sedikit terkejut.

Otakku langsung menghitung, asumsi saya paling mahal tarif yang dikenakan Pak Parmin dua puluh ribu karena memang Pak Parmin ga menerima penumpang yang jaraknya jauh mengingat motornya sudah tak lagi perkasa. Dengan asumsi itu, jika laku keras maka Pak Parmin mendapatkan delapan puluh ribu dalam sehari. Itupun masih bisa kurang, jika order Pak Parmin hanya dekat-dekat saja yang berarti tarifnya lebih murah. Dan tentunya bisa makin berkurang kalau jumlah penumpangnya berkurang. Dari penghasilan segitu masih dipotong uang bensin, uang makan, uang ngopi, dan uang beli obat maag kalau sedang kumat. Untungnya, Pak Parmin udah tobat dari menghisap rokok. Masya Allah, berapa uang yang bisa dibawa Pak Parmin ke rumah. Oh iya, uang pulsa juga belum dihitung, karena Pak Parmin juga punya hp seri jadul yang masih poliphonic untuk sarana komunikasinya.

Setelah itu, entah bagaimana, akhirnya terlontar juga pertanyaan yang sudah sekian lama aku tahan-tahan karena sungkan mau menanyakan.

"Kok ga daftar ojek online aja Pak? kan penghasilannya pasti lebih lumayan, penumpangnya juga pasti lebih banyak pak sehari"

"Hahaha... Mas Evan ini menurut catatan saya adalah orang yang ke seribu yang bertanya tentang ini... selamat Mas, Anda dapat payung cantik... hahaha" Pak Parmin menimpali dengan berkelakar.

"Ah, Bapak bercanda aja nih, saya nanya serius ini Pak, kan sekarang ojek online udah menjamur Pak, semua orang sekarang pake ojek online, pasti duitnya lebih banyak tuh Pak" aku makin penasaran.

"Bapak juga udah sering Mas diajakin gabung ojek online, kawan-kawan pangkalan kan sebagian besar udah gabung ojek online juga tuh. Tapi Bapak masih belum kepikiran Mas, modalnya terlalu besar buat Bapak" Pak Parmin mulai menjelaskan.

"Modal? kan ga perlu modal Pak, daftarnya ga bayar setahu saya"

Baru mulai semangat untuk interogasi, ternyata motor Pak Parmin sudah berhenti tepat di pintu gerbang kantorku.

"Sudah sampai nih Mas" Pak Parmin berkata pendek.

Perlahan aku turun dari motor dan melepaskan helm. Kuserahkan helm hitam yang catnya sudah mulai pudar itu ke Pak Parmin, sambil tetap mencoba bertanya.

"Jadi daftar ojek online itu bayar tho Pak? bayar berapa Pak? nanti saya pinjemin deh Pak buat modal Bapak" aku terus nyerocos bertanya.

Aku menawari Pak Parmin pinjaman uang untuk modal karena aku tahu kalau aku memberinya cuma-cuma, Pak Parmin sudah pasti akan menolak. Beliau orang yang anti banget dikasihani orang.

"Udah mas lanjut besok-besok ceritanya, nanti Mas Evan telat, biasanya juga langsung lari ngejar absen, uda tinggal dua menit lagi nih, hehehe" jawab Pak Parmin sembari melihat jam tangannya.

Sebenarnya aku masih ingin mengorek lebih dalam lagi dari Pak Parmin, tapi tak mungkin juga aku memaksanya bercerita sekarang. Aku juga harus masuk kantor dan Pak Parmin harus kembali ke pangkalannya.

Kuserahkan selembar uang dua puluh ribuan sembari mengucapkan salam ke Pak Parmin.
"Ok deh Pak besok-besok kita lanjutkan, saya masuk dulu ya Pak, Pak Parmin hati-hati, Assalamualaikuum..."

"Siap Mas, waalaikumussalam"

Kami pun berpisah ke arah yang berseberangan. Aku memacu langkahku lebih cepat agar tidak terlambat absen dan Pak Parmin juga memacu motor tua nya perlahan meninggalkan kantorku. Di benakku masih tersisa rasa penasaran karena pembicaraan dengan Pak Parmin yang belum tuntas tadi. Tapi perlahan rasa penasaran itu tenggelam di tengah hiruk pikuk kantor yang sudah mulai menggeliat.

GEMESS (Garing mak Kress) : Toleransi

Drrt... drrt... drrt...., handphone Rangga bergetar di atas dashboard motornya. Tampak muncul nama 'Cinta' yang masuk sebagai orderan pertamanya di pagi ini. Bergegas dia sentuh layar handphone untuk mengambil pesanan yang masuk.

"Alhamdulillah, berkah puasa, pagi-pagi udah dapat penumpang, cewek pula"

Direngkuhnya handphone dari tatakannya untuk menghubungi sang pemesan.

"Halo Cinta, ini Rangga... kamu ada di mana? aku tunggu tepat di pintu keluar stasiun ya...aku yang melambai-lambaikan tangan." ucap Rangga sok akrab sambil melambai-lambai sebagai tanda"

"Oh iya mas Rangga, aku uda ngelihat mas, ini aku lagi jalan ke sana, ditunggu ya mas, aku matiin dulu teleponnya" jawab Cinta sembari jalan keluar dari peron stasiun.

"Eh, biar aku aja yang nutup teleponnya, kan aku yang nelepon duluan" ujar Rangga makin menggila.

"Oke mas, silakan!" jawab Cinta singkat.

"Tapi, kalau Cinta mau nutup teleponnya duluan gak papa deh, Rangga ngalah demi Cinta, silakan Cinta yang nutup teleponnya" timpal Rangga yang makin menjengkelkan.

Seketika lenyaplah suara di handphone Rangga, nampaknya Cinta mulai kesal dan langsung mematikan sambungan teleponnya.

"Sabar... cobaan orang puasa" gumam Rangga pada dirinya.

Dari kejauhan terlihat sosok wanita berparas cantik berambut lurus panjang dengan make up yang natural. Bentuk tubuhnya yang ideal dibalut blus dan rok di atas lutut dengan warna senada. Kaki indahnya dialasi dengan sepatu hak tinggi yang menyebarkan suara 'tok.. tok.. tok.." seiring derap langkahnya.

"Wuiiih cantiknyaa.... rezeki anak soleh", Rangga hanya bisa bicara lirih sambil tetap melambaikan tangannya.

"Astaghfirullah... puasa Rangga.. puasa... Astaghfirullah", Rangga tersadar bahwa dirinya sedang puasa dan apa yang dilihatnya dapat membuatnya hanya mendapat lapar dan dahaga.

Akhirnya sosok Cinta sudah ada di depan mata, meski sangat ingin menatapnya tetapi Rangga mencoba menjaga pandangannya.

"Ini Cinta helmnya, meskipun belum Purnama, aku akan mengantarmu ke mana saja kau mau"

"Apaan sih mas, uda cepetan, saya udah mau telat"

Cinta segera naik ke jok belakang motor dengan mengambil posisi duduk miring. Rangga yang sudah siap dan berbunga-bunga perlahan mulai menggeber motornya. Sepanjang perjalanan Cinta hanya diam, sibuk dengan handphonenya. Sedangkan Rangga, sibuk memandangi Cinta dari spion di kanan kirinya. Ingin rasanya Rangga mengajak ngobrol Cinta, tapi masih bingung akan mengusung tema apa. Hingga akhirnya..

"Cinta puasa gak? "

"Puasa lah mas! Mas jangan sok akrab deh panggil nama doang! "

"Maaf mbak Cinta, jangan marah-marah dong, kan lagi puasa katanya"

Cinta tidak menimpali dan kembali sibuk mengetik di handphone nya.

"Wah, ini warung-warung masih pada buka ya mbak Cinta, padahal kan orang pada puasa" Rangga keukeuh mencoba mengajak ngobrol Cinta

"Ya tapi uda pada ditutup kain semua tuh Mas, itu kan karena menghormati orang yang puasa, mereka kan juga buka warung buat cari uang. Itu yang namanya toleransi mas" kali ini entah kenapa Cinta mau menimpali dengan jawaban yang cukup panjang.

"Ooh, gitu ya mbak, ditutup gitu supaya toleransi sama yang puasa ya"

"Iya dong mas, masak gitu aja ga ngerti sih! "

"Hehehe.. bener juga ya mbak... masak gitu aja aku gak ngerti"

Suasana hening beberapa saat setelah percakapan itu, hingga tiba-tiba Rangga menghentikan laju motornya dan menepi.

"Loh...mas kenapa berhenti? kantor saya kan masih jauh! "

"Maaf Cinta, eh mbak Cinta...boleh turun sebentar? sebentar saja gak lama. Ini demi toleransi mbak."

Cinta yang makin ga ngerti dan mulai emosi, akhirnya hanya bisa menuruti.

"Cepet ya, jangan lam-lama, saya keburu-buru nih! "

"Siap mbak Cinta, bentar aja kok ini"

Rangga bergegas membuka bagasi motor, tak ada angin tak ada hujan, dia mengambil jas ujan model ponconya. Setelah berhasil membuka lipatannya, Rangga segera memakai jas ujan yang dibawanya.

"Apaan sih mas, terang benderang gini pakai jas ujan, gila kali ya"

"Tenang mbak Cinta, jangan marah-marah"

"Hadeh, yaudah lah terserah ayo cepetan berangkat" Cinta segera naik kembali ke motor Rangga yang sudah di starter kembali.

"Ayo mbak tolong dipakai jas ujannya" Rangga mencoba menjulurkan jas ujan ponco itu untuk menutupi Cinta

"Astaga, apa apaan sih mas, saya ga mau, gerah tau, mas aja sana yang gila sendirian pake jas ujan"

"Ga bisa mbak Cinta, mbak harus pakai jas ujan, ini demi toleransi di bulan puasa mbak.

"Toleransi dari hongkong, apaan sih mas, uda ayo berangkat aja, pokoknya saya ga mau ikut-ikutan gila pakai jas ujan panas-panas gini"

"Tolong mbak Cinta, dipakai jas ujan ini, beneran ini demi toleransi, menghormati orang yang puasa"

"Paha mbak dari tadi kelihatan ke mana-mana jadi saya harus nutup pakai jas ujan karena saya ga punya kain buat nutupinnya"

Seketika Cinta langsung turun dan lari ke warung yang tadi dilewatinya. Diambilnya kain penutup warung dan disarungkan ke tubuhnya sambil menahan malu. Tamat! 

Ramadhan

Wah, sebentar lagi Ramadhan tiba nih!

Ada yang kangen?

Rindu suasananya?

Atau jatuh cinta dengannya?


Yuk kita simak kisah kisah Ramadhan dari pegawai di lingkungan DJA. Bukan hanya bikin tambah kangen Ramadhan, tapi juga kangen ibadah tarawih dan keluarga di kampung halaman.


Check these out ! 😉😉😉


*****************************


Handojo, Direktorat PAPBN

Terkenang aku pada Romadhon masa kecilku. Teh manis hangat dan kolak pisang buatan Ibu menjadi menu spesial buka puasa. Saat kurasa belum puas kadang kuminum milik kakakku dan dia hanya tersenyum melihat tingkahku.
Setelah menyantap menu buka puasa, masjid menjadi lokasi favorit. Sholat berjamaah diiringi canda ria, dari maghrib hingga tarawih menjadi kegiatan rutin, diakhiri momen paling menyenangkan, pembagian 'jaburan'. Tak jarang aku dan kawan kawanku berebut sekedar mendapatkan jaburan. Saat sahur menjadi saat yang ditunggu tunggu bila Ibu menggoreng dendeng sapi, makanan favorit  yang hanya kutemui di kala bulan suci Romadhon. Siang hari kuhabiskan waktu untuk bermain sambil tak lupa menghitung detak jam menjelang maghrib.


Masa itu kini tlah berlalu, bahkan untuk bernostalgia menyeruput teh manis bikinan Ibu pun tak mungkin. Ibu tlah tak ada di sisiku. Kini ada wanita lain di sisiku, istriku. Dia bukan pengganti Ibu dan tak elok bila dibandingkan dengan Ibu. Dia adalah Ibu bagi anak-anakku, yang hari harinya disibukkan untuk menjadikan Romadhon menjadi momen terindah sepanjang tahun. Tentu bukan dengan teh manis dan kolak pisang tapi dengan menu kesukaan anak-anakku. Dijadikannya setoran hafalan Al Qur'an menjadi hal yang menyenangkan, sholat tarawih menjadi momen yang dinanti, shodaqoh menjadi gerakan hati dengan hadiah diakhir Romadhon menanti.

Aku memang tak bisa selalu menemani anak-anakku sebagaimana istriku. Buka puasaku tak jarang diperjalanan. Waktu sholat tarawih tiba aku pun baru tiba di  rumah. Tapi tak berarti komunikasiku dengan anak-anakku terhenti. Gadget menjadi penghubung kami, Kami saling bertanya apa yang menjadi menu buka puasa, sampai dimana hafalan Al Qur'an, seberapa banyak ayat suci yang tlah dibaca, atau apakah shodaqoh tlah dilakukan. Semua itu bukan untuk saling menyombongkan diri, tapi memotivasi ber-fastabiqul khoirot. Jarak dan kesibukan bukan menjadi alasan untuk tidak saling memotivasi diri agar khusyu' di Romadhon ini dan mengakhiri bulan suci ini dengan bertranformasi menjadi insan yang fitri.

Jaburan = makanan kecil yang dibagikan untuk anak-anak yang mengikuti sholat tarawih berjamaah sampai selesai.



****************************

Pujiastuti, Direktorat PNBP



Saat-saat pertama mengenalkan puasa Ramadhan selalu mendebarkan buat orang tua. Gimana ya, kalau anak ga kuat? Kalau dipaksa, takut trauma. Ditolerir, nanti terbiasa sampai besar. Kecemasan seperti itu selalu menghantui Ibu. “Najib ingin sepeda, jadi kusyaratkan dia puasa sebulan penuh kalau mau dapat,” Ibu menceritakan ikhtiarnya kepada oom Hasyim, saat adiknya yang selalu jadi rujukan agama itu silaturrahim ke rumah sebelum Ramadhan. “Wah, sebaiknya tidak perlu menjanjikan materi. Nanti dia terbiasa sampai besar, ibadah mengharap imbalan,” aku deg-degan mendengar saran Oom Hasyim. Wahh, gimana nasib sepeda ku ya??? “Kurasa tidak apa-apa, lah untuk anak kecil. Tohh, kita yang dewasa saja beribadah mengharap imbalan, yaa pahala, yaa surga. Manusiawi, toh?” Ahh … lega rasanya Ibu tidak berubah fikiran. Sepeda baru sudah terbayang di depan mata. Putar-putar lapangan badminton dikejar-kejar Fikri, Ardi, dan Pavel karena pasti mereka ingin bergantian. Ramadhaaaaaan, cepatlah datang.

Aduhh… aku masih mengantuk sekali saat ibu membangunkan sahur. Rasanya baru saja tidur, setelah sholat tarawih. Meski rakaatnya banyak, kalau tidak salah 23, dan pak ustaz lamaaa sekali ceramahnya, tapi aku senang-senang saja. Bahagia banget bisa sholat ramai-ramai. Kali ini Fikri menantang siapa yang ga bolong tarawihnya, dia menang. Tapi aku suka sebal kalau sahur, walau ibu menyuapi makan dengan paha ayam goreng kegemaranku. Setelah 6 suap, aku merengek minta sudahi saja menyuapiku. “Masya Allah, biasanya kamu makan sehari sampai 5 kali, lho Jib. Besok sudah ga boleh makan. Gimana kalau lapar?” Ibu kedengaran panik. Setelah tawar menawar, kami menyepakati 6 suap lagi. Tenaaanglah Ibu, sepeda akan meneguhkan tekadku, kata ku dalam hati.

Ya ampuuun… begini ya rasanya tidak makan. Jam 9 perutku rasanya periiiih sekali. Emak pengasuhku sabar banget membujuk.”Sabar, ya Jib. Masih jauh dari zuhur, ayo deh cuci muka biar sejuk”. Lalu, “ayo bobo yo, pasang ac, panggil temen2 nya ya tidur bareng,” atau “nanti mau buka makan apa deh biar sampe?” Nahhh kalo ditanya mau apa, aku lalu bilang: teh manis, es buah, es kelapa, ayam fretciken, bakwan, risol, pake sambel. Yahh minimal sebanyak itu. Sebenernya aku alergi es, pekan ketiga puasa sudah mulai terdengar aku batuk2 sesekali, dua kali. Ibu lalu menambah menu vitamin. Tapii, aduhh tenggorokanku rasanya tetap sakit, dadaku semakin lama terasa sesak dan gataal sekali. 3 hari menjelang lebaran badanku panas, dan Ibu panik membawaku ke dokter. Aku harus minum obat, badanku lemah, 3 hari lagi Ramadhan, dan aku terpaksa tidak berpuasa. Yahhh… sepeda kamu mungkin memang belum milikku. Setelah 3 x 2 hari minum obat, aku merasa baikan. Di hari terakhir ramadhan, aku minta puasa. “Kenapa, Jib? Kamu sudah kuat?” Ibu meyakinkan dengan menatap wajahku. “Iya, bu. Kalau puasa seru pas makan waktu buka. Rasanya nikmaaaaat sekali. Kalau kapan ajs bisa makan, jadinya biasa, bu”.

Seminggu setelah lebaran, ayah membawa sepeda kokoh di hadapanku. “Walau tidak penuh, ayah sama ibu senang banget kamu mau berjuang. Tahun-tahun depan, ayah dan ibu tidak bisa janji apa-apa. Puasa lah untuk melatih rasa syukur kita sama Allah. Seharian tidak bisa makan, tapi masih bisa berbuka. Bagaimana dengan orang yang tidak punya?” Alhamdulillah, terima kasih ayah, ibu. Sepeda ini in syaa Allah akan terus mengingatkan aku, puasa itu untuk berempati, melembutkan hati.



****************************


Eko Pandu, Direktorat PNBP



Beberapa tahun silam saat Gus Dur jadi pemimpin negeri ini, bulan Ramadhan jadi makin spesial untuk para pelajar. Kegiatan sekolah diliburkan sebulan penuh. Alhamdulillah saya masih sempat mencicipi masa-masa indah itu ketika duduk di bangku SMP. Libur belajar membuat saya dan teman-teman sebaya menjadwalkan kegiatan rutin selama ramadhan. Selepas sholat Subuh berjamaah di surau, kami berjalan pagi menyusuri jalan raya hingga ke sebuah stasiun kecil di sekitar perumahan. Tujuannya sederhana, hanya sekedar untuk membuat pedang-pedangan dari paku. Dengan sarung yang masih melintang di leher, kami secara kompak menaruh paku di rel kereta untuk kemudian menanti dilindas oleh kereta api yang melintas. Begitu senangnya kami waktu melihat paku menjadi gepeng dan membentuk pedang seperti di film Yoko yang populer ketika itu.

Kami kembali ke rumah biasanya setelah matahari mulai terasa hangat. Periode setelah itu, hingga adzan maghrib merupakan periode yang begitu menantang. Rasa haus karena jalan pagi sekitar tiga kilometer bolak balik memaksa saya menelan ludah sering-sering sambil melihat iklan sirup di televisi. Tapi begitu adzan maghrib berkumandang, rasa lega seketika mengemuka. Segelas sirup dingin yang tadinya hanya bisa dibayangkan, akhirnya benar-benar membasahi kerongkongan. Cacing-cacing di dalam perut pun bersorak ketika sepiring nasi lengkap dengan lauk dan sayur meluncur mulus ke dalam perut. Gizi mereka langsung tercukupi.

Kini saat-saat itu telah lama berlalu, meskipun kenangannya akan melekat selalu. Masa puasa sebelum akil baligh yang hanya memikirkan kapan waktu berbuka kini harus segera dirubah. Menahan lapar dan dahaga bukanlah yang utama, tetapi bertambahnya ketaqwaan dan keimanan lah tujuan yang sesungguhnya.


****************************

Ruly Ardiansyah, Direktorat PNBP



Jauh kembali ke masa lalu saat tahun 1985, saat itu masih kelas 4 SD, saya sebagai anak tertua menjalani puasa sama dengan anak-anak lain yang seusia. Banyak momen-momen konyol dan lucu. Setiap ramadhan tiba merupakan sebuah tantangan dan cobaan sekaligus kesenangan yang tiada tara.. Masa kecil saya dilalui di rumah nenek. Sejak TK hingga menuju tingkat SD besar di daerah rawamangun. Kelas 1 hingga kelas 1 SMP besar di daerah Kesehatan dekat RS Tarakan. Nah momen seru selama ramadhan terjadi di daerah ini.

Setiap ramadhan tiba, merupakan momen tantangan karena bagaimana mana cara agar selesai puasa hingga sore. Dari 30 hari puasa, hanya selesai dijalani sebanyak 25 kali. Karena setiap puasa, selalu ada momen di siang hari saya minum air secara diam-diam. Karena saat itu masih anak-anak belum mengetahui bahwa kecurangan pasti diketahui malaikat dan Allah. Itu soal puasanya.

Saat berbuka pun juga ada momen tantangan. Karena selama sekolah, ada teman sekolah yang saya suka. Biasalah namanya anak-anak, cuma suka- suka gak jelas. Karena rumah nya deket masjid yang jaraknya sekitar 2 km dari rumah saya, maka setiap shalat tarawih sejak kelas 3 SD, shalat tarawih saya jalankan until bisa melewati rumah sang idola. Padahal di sekolah juga lihat dan di rumah juga ada masjid. Maka berangkatlah shalat tarawih dengan motif melihat idola. Saat tarawih pun dilalui dengan becandaan. Karena sering ditegur jamaah masjid, maka kami yang beberapa anak-anak yang punya motif yang sama, kami selalu berdoa di barisan belakang. Saat ceramah pun, kami bermain di taman deket masjid hingga ceramah pun selesai.

Saat berangkat mengaji pun di ramadhan, mencari lokasi deket rumah sang idola. Karena SD kami berada di antara rumah sang idola, yang dekat masjid dan tempat ngaji, jadi merupakan jalan tengah yang menguntungkan. Di sekolah, di tempat mengaji dan di masjid selalu bertemu. Padahal ramadhan harus dijalani dengan kegiatan yang banyak unsur religinya saat itu.

Memang momen indah bagi saya saat itu. Tetapi setelah saya aqil baligh, saya mengingat kembali momen itu dan beberapa kekonyolan dan kenakalan telah membuat saya sadar untuk lebih baik di kemudian hari. Ingin rasanya momen indah itu kembali dengan ibadah yang lebih baik. Tapi hal itu tidak mungkin terjadi dan kejadian itu biarlah menjadi bagian dari buku perjalanan saya. Teringat juga bagaimana almarhum bunda yang selalu mengingatkan saya agar menjadi contoh yang baik bagi adik-adik saya. Ayah juga sering mengingatkan juga kepada saya bahwa saya akan menjadi kepala keluarga yang menjadi contoh bagi istri dan anak-anak.

Saya bersyukur bahwa saya bisa jalani kehidupan hingga di momen ini. Banyak yang harus dibenahi terutama dari dalam diri kita masing-masing. Momen ramadhan menjadi refleksi setiap diri until menjadi manusia yang sempurna. Alhamdulillah saya masih bisa bersyukur dan siap menghadapi momen ramadhan ini.



***************************

Gunawan, Direktorat Polhukhankam dan BA BUN


Bagi saya Ramadhan adalah bulan kebahagiaan. Banyak kenangan indah disetiap tahunnya, sehingga ketika ingin dituangkan dalam sebuah cerita yang utuh, saya harus membaginya menjadi tiga masa. Pertama ketika masa kanak-kanak, kenangan yang tidak terlupakan saat itu adalah adanya tugas rutin mengisi LKS (Lembar Kerja Siswa) kegiatan Ramadhan yang diberikan oleh pihak Sekolah, salah satunya adalah mengisi lembar tugas shalat Tarawih selama satu bulan. Setiap siswa di wajibkan meminta tanda tangan atau Paraf Imam shalat Tarawih di masjid yang berada dilingkungan masing-masing.

Kedua, adalah masa remaja. Dulu, saya dan kawan-kawan pengajian punya tradisi shalat Tarawih keliling yang di singkat dengan sebutan Tarling. Kegiatan tersebut memang tidak dilakukan setiap malam, hanya malam minggu saja. Dari kegiatan tersebut saya punya banyak kenalan dari berbagai komunitas remaja masjid.

Dan yang ketiga, adalah masa sekarang, dimana saya merupakan seorang suami dan juga ayah dari tiga orang anak. Sejak mereka hadir dalam kehidupan saya, Ramadhan menjadi lebih semarak. Ramadhan tahun lalu adalah momen spesial bagi saya, karena Malika dan Satrya mulai belajar berpuasa seharian. Meski puasa mereka belum satu bulan penuh ~ tercatat, Malika dan Satrya batal puasa sebanyak tiga hari ~ hal itu sudah sangat membahagiakan.

Semoga Allah Swt mengizinkan diri ini untuk berjumpa dengan bulan Ramadhan, serta dapat beribadah lebih baik lagi dari bulan Ramadhan tahun lalu, Amiin...

***************************


Embun, Direktorat PNBP


Setiap bulan puasa, selalu ada yang namanya buka puasa bersama. Tradisi ini tidak hanya ada di keluarga, namun juga berkembang ke  teman-teman semasa sekolah atau rekan-rekan kerja. Hal yang dilematis, mengingat hanya ada 4 akhir pekan dalam 1 bulan Ramadhan ... artinya tidak semua undangan buka puasa bersama bisa dipenuhi karena seringnya terjadi bersamaan.

Di dalam keluarga besar kami, buka puasa bersama diadakan paling sedikit 1 kali. Biasanya bertempat di rumah PakDe di bilangan selatan Jakarta. Mesk sebagian besar dari Sumatra, aku bangga karena berkerabat dari Aceh sampai Sulawesi, hingga panggilan uda, uni, pakde, abang, mas, teteh, om, tante, amai, tuo, puang dan sebagainya semua laku di di sini. Selain itu, karena acaranya bertempat di rumah dan terdiri dari kerabat dekat, aku selalu merasa bahagia bisa buka puasa bersama saudara-saudara.

Jarak usia pesertanya jauh sekali, bisa dari usia 80 tahun sampai usia 8 bulan, he he. Di sanalah waktu kita bertukar cerita tentang keadaan masing-masing. Ada yang sambil mengunyah sate padang, es duren, atau semangkuk bakso. Ada yang duduk di sofa, di lantai, atau di pinggir kolam. Dan selalu tarawih bersama, diikuti dengan tausiyah dari salah satu Om atau keponakan.

Acara akan ditutup dengan foto bersama, dan makin hari makin susah bagi kami untuk muat dalam satu frame ... karena selalu saja ada anggota keluarga yang baru, karena oernikahan atau kelahiran. Setelah itu, ibu-ibu dengan senang hati akan membungkus sisa lauk pauk untuk bekal santap sahur di rumah kami masing-masing. Di situlah aku melihat PakDe dan Tante selalu sedih mengantar kami ke pintu untuk pamitan.


***************************

Suhardono Kusuma Mulia, Direktorat Polhukhankam dan BA BUN



SURAT UNTUK RAMADHAN

tlah beberapa purnama kita tak bertemu. saat kurasakan hawa sejuk berlarian di sekelilingku. betapa melenakan. benar, matahari tlah semakin jauh di belahan bumi utara sana dan hangatnya semakin menguap. meninggalkanku disini hanya dengan riuhnya kemarau. dan retakan ranting ranting flamboyan yang semakin jelas di telinga. menambah kerinduanku akan dirimu.

tlah beberapa purnama kita tak bertemu. apa kabarmu umik. kuharap kau baik baik saja. ramadhan tlah mengetuk di depan pintu. seperti hendak mengajak kita berjalan jalan di sepanjang lorong malam ini. ah kembali romantisme antara kau dan aku tergambar jelas di langit langit kamar ini. sanggulmu yang sebesar kepalan tanganku hanya sekedar menutupi ubanmu, tapi tak menghilangkan kecantikanmu. kebayamu yang sudah setia beberapa windu masih saja enggan dilepas, tapi tak menghilangkan kecantikanmu. dan senyummu yang dari waktu ke waktu terasa menjemukan, tapi tetap saja tak menghilangkan kecantikanmu. ah sudahlah, suratku ini tak membahas tentang dirimu, mik. tapi tentang ramadhan, jadi jangan terlalu ge er ya.

aku tau kau sudah tak mungkin berpuasa lagi. karena kau tlah semakin tua. jalanmu pun tak muda. apalagi matamu, gigimu, bahkan telingamu pun juga tak muda. tongkat berkaki empat itulah yang jadi sahabatmu sekarang. dan tak kan kuingatkan kau tentang fidyah. karena kau lebih ahli tentang fidyah. sebab jika kuingatkan pasti jawabanmu tentu akan lebih panjang bahkan mengalahkan jawaban pak kyai. lengkap dengan dalil2nya. tapi, kemaren, ya.... kurang lebih tiga puluh tahun lalu. aku masih saja tak lupa ketika tangan kecilmu tlah siapkan menu buka puasaku. ketika suaramu dengan riangnya bangunkan tidurku untuk shaur. ketika kau ajak aku ke kuburan bapak di awal ramadhan. eh tidak, kau ajak aku hampir setiap hari, setiap ada kesempatan. sampai terasa linu kaki ini karena jarak rumah ke kuburan bapak beberapa kilo dan harus kita tempuh kaki telanjang. sebab sepeda aja kita tak punya. pernah kutanya mengapa kita ke kuburan bapak tiap hari mik. jawabmu dengan ringannya, "bapakmu suka sekali berbuka puasa dengan melihat senyum istrinya". ah romantisme lain di hatimu mik.

ramadhan sebentar lagi mik. tlah beberapa purnama kita tak bertemu. semoga kau baik baik saja. juga tongkat berkaki empat sahabatmu. sehingga ia bisa menopangmu kekuburan bapakku. sehat selalu ya mik. maafkan anakmu yang tak bisa selalu menemanimu.
nb: jangan lupa fidyah ya....


***************************


Triana Lestari, Direktorat PAPBN



Bismillah..

Tahun tahun berselang,
Jatah hari semakin berkurang..
Dosa ga keitung..
Amal belum keruan diterima
Tapi kok ya gini gini aja yak kelakuannya..

------

Kata “Ramadhan” merupakan bentuk mashdar (infinitive) yang terambil dari kata ramidhayarmadhu yang pada mulanya berarti membakar, menyengat karena terik, atau sangat panas. Dinamakan demikian karena saat ditetapkan sebagai bulan wajib berpuasa, udara atau cuaca di Jazirah Arab sangat panas sehingga bisa membakar sesuatu yang kering.

Selain itu, Ramadhan juga berarti ‘mengasah’ karena masyarakat Jahiliyah pada bulan itu mengasah alat-alat perang (pedang, golok, dan sebagainya) untuk menghadapi perang pada bulan berikutnya. Dengan demikian, Ramadhan dapat dimaknai sebagai bulan untuk ‘mengasah’ jiwa, ‘mengasah’ ketajaman pikiran dan kejernihan hati, sehingga dapat ‘membakar’ sifat-sifat tercela dan ‘lemak-lemak dosa’ yang ada dalam diri kita (Muhbib AW*)

-------

Sampai saat ini saya selalu merasa kurang dengan hasil Ramadhan saya. Impiannya adalah, Ramadhan menjadi bulan tempaan, pembakaran dosa (kok serem?) sehingga di akhirnya output yang didapat adalah jiwa yang bersih dan yaa..semakin baik dalam seluruh aspek hidup. Jadi orang bertaqwa, gitu..#cieile prikitiew #aamiin

Namun sayangnya, meskipun saya usahakan memiliki target ibadah, berusaha tidak melakukan dosa..tetap saja hasilnya terasa gini gini aja. Dosa lagi dosa lagi...ibadah kendor lagi kendor lagi..
 Ya Allah, padahal kan jin qorin yang mengikuti kita dikurung ya kalau Ramadhan? Jadi ini kelakuan nafsu saya sendiri begini banget yaa..

Itulah, misalnya aja nih ya.. kesiangan bangun sahur kesiangan tahajud, sering mbelain tidur yang banyak daripada tilawah atau ngapain kek' yang memproduksi pahala.. (pabrik kali ah memproduksi...)..dan masih suka nurutin nafsu nafsu lainnya, misal nafsu ngumpulin makanan atau sekadar niat buat makan segala rupa buat berbuka yang pada akhirnya pun ga terlaksana karena kekenyangan? Tauk deh agh..

Jadi kemudian, saya optimis plus pesimis mode dalam menjalani bulan Ramadhan ini. Akhirnya ikut asumsi moderat deh... ini saya belom berani lagi ngetarget ngaji berapa kali khatam..padahal dulu mah iya, (iya target, realisasi mah belon tentu..hehe)
Padahal itu ngga seharusnya gitu juga kan ya?

Fastabiqul khairat /berlomba lomba dalam kebaikan..
Itu saya sering lupa..dan sering nyuekin..😭😞
Kayaknya belom termotivasi melakukan ibadah maksimal..seoptimal yang saya mampu..

Kenapa?
Mungkin karena tauhid saya belom kuat..

Kalo orang udah yakin bener yakin sama Allah..
Bener yakin soal surga neraka, pahala dan dosa..akhirat, kiamat??
Apa iya ngentengin Ramadhan gini.. itu kan namanya ngga begitu yakin yak? Tapi apa iya hanya sekedar menuhin target juga?
Ya Allah, smg saya diberi keyakinan yang lebih kuat deh..lebih kokoh..lebih lurus..

Biar apa? Biar amalan saya bener niatnya dan semangat terus buat perbaikan diri di bulan suci ini (dan seterusnya..Aamiin). Mudah mudahan Allah kasih kita niat yang bener bener lurus, tulus dan ikhlas beribadah, niat perbaiki diri emang karena mengharap ridhoNya..semoga Allah tambah sayang jadinya ama kita..


udah nih gitu aja? Iyakk gitu aja..

Aminin ya? Aamiin..

😭😭





*https://www.google.co.id/amp/m.republika.co.id/amp_version/m7jp8n



***************************


M. Indra Haria Kurba, Direktorat HPP


Aku tak ingat di usia berapa mulai berpuasa, yang jelas masih belum bersekolah. Puasa saat itu bagiku tak lebih tradisi, bukan soal religi. Maklum masih anak-anak, puasanya puasa bedug kalo kata ibuku. Menginjak usia sekolah aku baru mengerti bahwa puasa itu tuntunan agama, sama seperti sholat, zakat dan naik haji. Puasaku pun tak lagi puasa bedug, setidaknya begitulah yang bapak ibuku tahu, karena sekali dua kali aku masih curi-curi makan dan minum. Duh nakalnya. Seandainya aku jujur mungkin bapak ibu tidak akan marah, maklum aku kan anak bungsu. Tapi aku tetap tidak mengaku. Hal lumrah mungkin untuk anak-anak sebaya.

Puasa di rumah selalu mengundang kenangan. Makanan dan minuman lezat terhidang. Buka puasa adalah ritual istimewa bagi kami yang 12 bersaudara. Hidangan panjang akan terbentang di lantai. Teh, kopi, es buah, dan berbagai makanan khas daerah pasti tersedia. Menu utama yang lezat seperti pindang patin, baung dan sesekali ayam, daging sapi selalu dinanti. Menjelang maghrib kami akan duduk melingkari hidangan. Si bungsu pasti di sebelah ibu yang selalu mengamankan hidangan dari serbuan kakak-kakakku. Tradisi "hidangan" tersebut perlahan hilang tatkala satu persatu kakak-kakak meninggalkan rumah.
Sholat maghrib selalu diimami bapak, biasanya di kamar bapak, karena biasanya tak banyak yang jadi makmum. Bapakpun maklum, karena ada yang masih berkutat dengan hidangan berbuka puasa. Saat ibu masih sehat, kami akan bersama-sama taraweh ke langgar dekat rumah. Berganti-ganti saja supaya semua langgar kebagian. Bapakpun kadang-kadang jadi imam dan selalu mendapat pesan "ayatnya pendek-pendek saja ya Pak". Layaknya anak sebaya, aku pun lebih banyak bermain-main di langgar, saat sholat maupun selesai sholat sambil menunggu bapak yang masih ngobrol dengan para tetua.

Sahur tak kalah dengan berbuka, tapi kami tidak memakai "hidangan". Cukup di meja makan, kan makannya bergantian. Sahur selalu dimulai jauh sebelum imsak. Setelah sahur masih ada teh, kopi, pempek, pisang goreng sebagai cemilan "anten-anten nunggu imsak". Biasanya bapak makan sambil mendengarkan ceramah agama dari radio. Seperti taraweh, subuh pun kami akan ke langgar dan aku baru pulang saat hari mulai terang setelah puas main dengan sebaya.

Puasa di rumah selalu membekas di hati. Saat ibu mulai sakit-sakitan, taraweh pun kami selenggarakan di rumah. Tetangga kiri kanan ikut sebagai jamaah. Rumah kami cukup menampung 20-30 jamaah. Taraweh di rumah selalu kunanti, karena saat itu si bungsu pasti jadi bilalnya. Membanggakan walaupun cadel hehehe.

Makin hari rumah makin sepi. Akupun sudah jauh dari rumah. Pulang puasa hanya sesekali saja, itupun tak bisa mengulang kenangan lama. Apalagi bapak ibu telah tiada, semakin tak ada yang tersisa, kecuali kenangan indah puasa bersama mereka.



***********************

Jauhar Rafid Yulianto, Direktorat Sistem Penganggaran


Ramadhan di Masa Kecilku


Bergembiralah menyambut bulan ramadhan. Ungkapan ini terasa tidak asing bagiku, karena seperti itu juga suasana yang aku rasakan setiap menjelang bulan ramadhan ketika aku masih kecil dulu, masih duduk di bangku sekolah dasar. Alasannya saja yang mungkin tidak sama. Ramadhan, bagi sebagian anak-anak seusiaku, berarti libur, tidak ada pekerjaan rumah, tidak harus belajar, dan bebas dari tugas-tugas sekolah lainnya selama waktu yang panjang, sepenuh selama bulan puasa ditambah beberapa hari setelah hari raya iedul fitri. Ramadhan betul-betul menjadi hiburan bagiku dan teman-temanku untuk sebuah kebebasan yang panjang.

Selama libur ramadhan, hampir sebagian besar waktuku,  aku habiskan beserta teman-teman bermain di masjid.  Masjid menjadi tempat yang ideal selama menahan rasa lapar dan haus yang waktu itu terasa sangat berat untuk anak seusiaku. Lantai dari keramik yang dingin menjadi tempat tidur favorit selepas shalat dhuhur. Tips berikutnya untuk mengatasi lapar dan haus yang berkepanjangan adalah “berwudhu” dengan seluruh rambut dan kepala dibasahi , yang kadang-kadang hampir membasahi seluruh bajuku. Jika ini masih belum memberi efek maksimal, pilihan selanjutnya adalah mandi. Hanya selama di bulan ramadhan lah, jadwal mandi menjadi berkali-kali lipat.  Kesemua ini dapat aku dan teman-temanku lakukan secara mudah selama di masjid.  Masjid membuat aku melewati beratnya puasa dengan lebih mudah.

Di minggu terakhir menjelang iedul fitri, ada tambahan kegiatanku selama ramadhan,  yaitu membantu ibu membuat kue lebaran. Selama membantu membuat kue lebaran, tentu bayangan-bayangan ramainya lebaran iedul fitri tidak bisa dihindari lagi. Baju baru, serunya pawai obor malam takbiran,  anjang sana-sini sehabis shalat ied, bisa mencicipi kue-kue lebaran di rumah-rumah tetangga kanan kiri, melengkapi keceriaan selama ramadhan dan iedul fitri. Aku jadi rindu ramadhan di masa kecilku.

GEMESS (Garing mak kress) : Menuliskan Ide

Supangat sedang giat-giatnya belajar menjadi seorang penulis. Impiannya sejak kecil memang ingin menjadi penulis hebat. Namun karena kesibukan mengejar karir sebagai birokrat, baru akhir-akhir ini dia bisa meluangkan waktunya untuk kembali menekuni dunia tulis menulis. Demi meningkatkan kualitas tulisannya, Supangat juga tak segan untuk mengikuti berbagai pelatihan menulis dari banyak narasumber.

Hingga suatu hari, tanpa diduga di kantor Supangat diadakan pelatihan menulis untuk pegawai yang memang memiliki semangat tinggi untuk membuat karya dari goresan pena (meskipun kini sudah beralih ke keyboard komputer)

Mendengar info tersebut Supangat begitu bersemangat. Tak berpikir dua kali dia langsung menghubungi panitia untuk mendaftar menjadi peserta. Apalagi pembicaranya kali ini adalah seorang penulis yang sudah cukup punya nama.

Singkat cerita, hari itu tiba, Supangat yang sedari rumah sudah berbunga-bunga, segera mengambil bangku terdepan supaya lebih serius menyimak seluruh isi acara. Selama lebih satu jam narasumber menjabarkan berbagai tips dan trik membuat tulisan yang menarik dan disenangi pembaca. Bukan hanya itu, dari materi yang disampaikan juga diselipkan kata-kata motivasi yang sekiranya bisa membuat peserta tergugah untuk mulai mencoba menulis sebanyak-banyaknya.

Saking serunya, Supangat hanya bisa terperangah dengan mulut menganga diiringi anggukan kepala menyimak kalimat demi kalimat dari ahlinya. Dari raut wajahnya tampak rona berseri-seri sambil berimajinasi.

Tibalah saat yang sudah ditunggu-tunggu oleh Supangat, sesi tanya jawab. Di benaknya sudah tercatat pertanyaan yang akan diutarakannya agar dapat diberikan solusi terbaik langsung dari pakarnya. Tak lama dari MC mempersilahkan bertanya, Supangat sudah mengacungkan tangannya tinggi-tinggi, untungnya sebelum berangkat kantor tadi Supangat tidak lupa mandi dan pakai minyak wangi.

Setelah dipersilahkan, Supangat langsung meraih mic yang sudah disediakan panitia. Setelah memperkenalkan diri, Supangat langsung mengutarakan pertanyaannya.

"Terima kasih atas kesempatannya, saya ingin bertanya Mbak, Jadi begini... " sejenak Supangat menghela nafas.

"Sebagai penulis pemula yang sedang mencoba semangat untuk konsisten menulis, seringkali saya mendapat masalah ketika ingin merealisasikan ide saya. Setiap hari saya selalu ada ide yang ingin saya tulis, tetapi sering kali hanya jadi wacana karena tersita kesibukan yang lain. Mohon pencerahannya Mbak bagaimana tips dan cara menyiasatinya?"
 "Makasih" Supangat menutup pertanyaannya.

Menanggapi pertanyaan Supangat, narasumber yang merupakan seorang wanita muda tampak berpikir sejenak sebelum mengangkat mic ke depan mulutnya.

"Baik, pertama saya apresiasi sekali ini mas Supangat yang selalu punya ide tiap hari karena yang mahal dari sebuah tulisan itu adalah ide nya. Banyak orang bahkan penulis profesional sekalipun yang malah kesulitan mencari ide tulisannya".

"Kalau dari saya mas, mungkin perlu dirasakan lagi seberapa ingin ide yang ada itu ingin Mas Supangat tulis dan sampaikan. Jadi kita harus benar-benar punya keinginan yang besar untuk menuangkan ide kita tersebut."

 "Tips yang mungkin bisa saya sarankan adalah cintai lah objek atau hal-hal dari ide yang Mas Supangat punya. Karena semua orang sudah pasti setuju bahwa jika kita mencintai sesuatu pasti kita akan berkorban dan bersungguh-sungguh untuk mewujudkannya."

"Saya kira begitu juga dengan Mas Supangat, kalau Mas Supangat benar-benar mencintai apa yang menjadi ide Mas tadi, pasti akan berusaha sekuat tenaga dan meluangkan waktu untuk bisa menulisnya. Mungkin itu mas yang bisa saya sampaikan"

Narasumber dengan lugas dan jelas menjawab pertanyaan Supangat.

Mendengar jawaban dari pembicara, Supangat tampak malah menundukkan kepala dan mulai menitikkan air mata. Sontak seisi ruangan menjadi bingung, apalagi sang narasumber. Dia jadi salah tingkah dan jadi berfikir apa ada yang salah dengan jawabannya.

"Waduh, Mas apa jawaban saya ada yang salah atau menyinggung? Maaf lho mas" mbak narasumber mencoba mengkonfirmasi

"Ngga kok mbak, ga ada yang salah" jawab Supangat sambil tetap tertunduk.

"Benar yang mbak katakan tadi, kita memang harus benar-benar mencintai ide yang ingin kita tuliskan, tapi mbak... " kalimat dari mulut Supangat terhenti.

"Tapi mbak... masalahnya.... dia sudah punya suami..." Supangat mencoba melanjukan dengan suara yang mulai terasa berat dan air mata yang makin deras.

"Saya benar-benar mencintainya mbak, tapi dia lebih memilih orang lain...makanya saya selalu ga kuat menuliskan ide saya itu" Mas supangat malah terus curhat.

Sesaat kemudian Mas Supangat lari ke pojokan sambil sesenggukan berusaha menahan tangis dan sesekali menyeka air mata. Tamat!



GEMESS (Garing mak Kress) : Cantik

Jam dinding telah menunjukkan pukul 21.30. Di luar rumah terdengar suara tetesan air masih cukup deras turun dari langit. Suasana malam yang dingin menyeruak ke segala penjuru rumah. Kenyataan bahwa malam itu adalah malam jumat menambah sakral aura yang terpancar di dalam kamar.

Belum selesai angan melayang, terlihat daun pintu terbuka perlahan. Nampak sosok wanita pendamping hidup memasuki kamar dengan derap langkah yang nyaris tak terdengar. Kubayangkan dia berjalan melenggak-lenggok bak model kawakan. Bajunya tipis menerawang membuat settingan ruangan berubah menjadi peragaan busana musim panas. Bukan... yang dikenakannya bukan lingerie, hanya sisa kaos kampanye salah satu politisi. Dalam genggamannya sudah ada dua gelas teh manis hangat untuk kami berdua, meniru iklan di televisi.

Di sampingku yang sedari tadi berbaring santai, sang istri duduk perlahan dan menjulurkan tangan kanannya ke arahku.

"Pah, ini tehnya diminum dulu mumpung masih hangat" istriku berujar sambil meletakkan gelas satunya di atas meja.

Tak lama kemudian dia melepaskan kacamatanya dan menaruhnya di samping bantal.

"Kalau ga pakai kaca mata gini, mamah kelihatan lebih cantik ya" aku memulai obrolan dengan menyeruput teh hangat yang begitu nikmat membasahi kerongkongan.

"Ah, Papah gombal banget, mentang-mentang malam jumat, modus nih.. modus.." cibir istriku

"Beneran ini mah, papah ga bohong" aku coba meyakinkan.

"Papah ih, mamah kan jadi malu. Kalau gitu, apa mamah pakai kontak lens aja mulai sekarang? Tapi berarti besok harus beli Pah, mamah kan belum punya" cerocos istriku dalam satu helaan nafas.

"Loh.. loh.. kok bisa tiba-tiba nyambung ke situ? aku mengernyitkan dahi.

"Ya kan supaya aku selalu terlihat lebih cantik di depan suami, Pah. Jadi ga perlu pakai kaca mata lagi, sesuai keinginan Papah tadi. Ooh, apa sekalian operasi lasik aja ya Pah?" Istriku terus saja nyerocos tak terhentikan.

"Oalah mamah, maksud papah tadi, kalau papah lagi ga pakai kaca mata gini, mamah terlihat lebih cantik, beneran deh, kelihatannya agak buram-buram gitu" aku coba menjelaskan

Seketika pandanganku yang semula buram menjadi gelap dipenuhi kunang-kunang dengan remote TV masih tergeletak di atas kepala. Headshot!

GEMESS (Garing mak Kress) : Anak Kebanggaan

Alkisah di sebuah kota metropolitan terdampar seorang anak perantauan ingusan bernama Paijo. Paijo anak tunggal berasal dari desa kecil di timur pulau jawa. Dia pergi jauh dari orang tua demi bisa mencari nafkah. Ibunya sangat berat melepasnya. Air mengalir dari mata yang masih sembab dari semalam saat prosesi pamitan.

Singkat cerita, Paijo berhasil jadi karyawan sukses di salah satu kantor pemerintahan. Sebagai persiapan mudik ke kampung, Paijo membelikan baju gamis panjang warna putih plus jilbab buat ibunya. Agar pas lebaran nanti ibunya dipanggil "Bu Haji".

Lebaran pun hampir tiba dan Paijo sudah kembali ke kampung halamannya dengan status "pria sukses". Setelah sungkem ke ibunya, bergegas dibukanya tas ransel merk ternama kebanggaannya.

"Mbok, ini aku beliin baju gamis buat sholat ied lusa" Paijo menyodorkan bungkusan plastik transparan dengan label harga yang masih terpampang.

"Ini merk mahal lho Mbok" tambah Paijo membanggakan.

"Aduh le.. thole... ibu ga suka baju warna putih gini... cepet kotor" sang ibu ternyata kurang puas dengan oleh-oleh dari Paijo

"Oalaah.. ibu ga bilang sih... tapi tenang Bu, besok aku beliin lagi di pasar depan... aku pilihin yang paling mahal"

"Waah.. beneran le? kowe banyak duit tho? " Wajah ibunya mendadak berubah jadi sumringah

"Tenang bu... Aku saiki wis sugih" Paijo membusungkan dada

Akhirnya keesokan harinya Paijo mencari-cari gamis sesuai keinginan ibunya. Setelah putar-putar pasar, pilihan jatuh pada gamis panjang warna hitam dengan harga paling mahal.

"Ibu pasti suka kali ini" batin Paijo

Ternyata benar, ibunya sangat senang dibelikan gamis hitam panjang.

"Nah ini baru pas... warna hitam... favorit ibu... ga gampang kotor jadi ga perlu sering-sering dicuci" sang ibu tersenyum lebar membentangkan gamis yang baru saja dibelikan.

Keesokan hari setelah sholat ied dan salam-salaman, sambil makan ketupat, Paijo dan keluarga berbincang bersama.

"Paijo ini emang kebanggan si mbok dari dulu" ujar ibu Paijo singkat sembari masih memakai gamis hitam pemberian Paijo dan menyendok makanan.

Seketika Paijo jadi membesar kepalanya.  "Pasti ini karena aku uda sukses dan bisa membelikan ibu baju mahal" Paijo sombong dalam hati.

"Ah ibu, itu kan cuma baju aja.. ga seberapa harganya" Paijo mencoba rendah hati tapi dengan wajah yang masih tampak angkuh

"Eh.. bukan itu le, si mbok bangga bukan karena itu" Ibu Paijo membantah.

"Ooh.. bangga kenapa mbok?" Paijo penasaran.

"Iya, si mbok dari kowe cilik selalu membangga-banggakan kowe di depan teman teman si mbok" Ibu Paijo memulai ceritanya.

"Karena di antara kami semua cuma si mbok yang anaknya ga gampang kotor" Ibu Paijo melanjutkan sambil nyengir

Kisah Si Pembuat Kopi

Pintu pagar terdengar sedikit berdecit karena mungkin kurang pelumas. Bunyi itu jadi tanda buat Mbak Surti bahwa majikannya Pak Sudi telah pulang dari mencari nafkah. Seperti kebiasaan tiap hari, Mbak Surti langsung bergerak dari depan tv menuju dapur dan mengambil panci. Dikucurkan air mineral dari dispenser ke dalam panci kemudian segera dipanaskan di atas kobaran api.

Gagang pintu nampak dibuka dengan sedikit keras mirip didobrak. Pak Sudi nampak masuk ke ruang rumah yang sudah sepi. Belum lagi dia mencari sang istri, sudah keluar suara lantang dari tenggorokan, "Surtiii... buatin kopiii !!"

"Injih ndoro... ini sedang saya rebus airnya" jawab surti dari balik ruang dapur.

Mendengar jawaban Mbak Surti, Pak Sudi sedikit bergegas melangkahkan kaki ke dapur. Sembari melongok dari balik tembok Pak Sudi mencoba memberi instruksi, "Ingat ya Surti... jangan terlalu manis"

"Injih ndoro.. " Mbak Surti hanya mengangguk sambil menunduk

Meski injah injih saja di mulutnya, sebenarnya di benaknya Mbak Surti berpikir keras bagaimana memenuhi perintah majikannya tadi. Ya, instruksinya hanya 'jangan terlalu manis". Padahal 'manis' tentu tergantung pada lidah dan perasaan masing-masing individu. Ini ditambah lagi kata "terlalu". Bagaimana menakar kadar "manis" itu sudah menjadi "terlalu" atau belum karena hanya Rhoma Irama yang bisa tau dengan pasti.

Itulah permasalahan pelik Mbak Surti tiap malam. Meski sudah perintah rutin sehari-hari, tapi selalu saja ada yang kurang memuaskan di mata majikannya. Tapi karena hanya seorang pembantu ya Mbak Surti hanya bisa melaksanakan perintah dan pasrah jika majikannya marah-marah.

Sambil mempersiapkan mental, Mbak Surti berjalan menyuguhkan kopi racikannya yang menurut dia dan pengalaman sebelumnya sudah masuk kategori "tidak terlalu manis".
Diletakkannya cangkir di atas meja di depan Pak Sudi yang sedang melepas sepatu dan kaos kaki.

Diseruput kopi yang masih tampak berasap itu oleh Pak Sudi, sedangkan Mbak Surti masih berdiri dengan nampan di pelukan menunggui. Mbak Surti memang diperintahkan untuk tidak langsung pergi setelah menyuguhkan kopi, agar Pak Sudi bisa mengomentari (kata halus dari memarahi).

"bbbhh... pahit banget kopinya, Surtiii uda berapa kali saya bilang, saya maunya jangan terlalu manis bukan berarti ga manis kan?" bentak Pak sudi sambil menyemburkan kopi yang sudah sempat diseruputnya.

"Sudah kamu kasih gula belum ini? jangan-jangan lupa lagi kamu kasih gula! "

"Maaf ndoro...itu sudah saya kasih gula seperti biasanya, dua sendok kecil saja" Mbak Surti coba menjelaskan.

"Ah, ga mungkin ini rasanya ga kaya biasanya, 2 sendoknya penuh apa ngga? jangan-jangan dua sendok tapi ga penuh isinya" Pak Sudi masih tidak terima.

"Sudah ndoro, ini takarannya uda sesuai arahan ndoro" Mbak surti coba membela diri.

"Alaah, banyak alasan kamu.. sini ikut saya..." Pak Sudi masi bicara dengan nada tinggi sambil melangkah ke dapur. Di belakangnya surti berjalan mengikuti.

Di dapur Pak Sudi langsung menuangkan kopi sesuai takarannya dan gula sebanyak dua sendok kecil. Kemudian menunjukkan kepada Mbak Surti, "Nih.. segini Surti.. masa dikasih tau ga ngerti-ngerti". Kemudian menuangkan air panas yang masih tersisa di panci. Mengaduk dan mencoba mencicipinya.

"Naah ini kan pas... ga terlalu manis tapi ga pahit juga" raut Pak Sudi nampak menunjukkan kepuasan atas hasil karyanya sendiri.

"Injih ndoro" Mbak Surti cuma bisa pasrah.

Karena meskipun tiap malam mintanya sama, 'kopi tidak terlalu manis' tapi takaran ideal menurut Pak Sudi selalu  berubah-rubah. Wajar memang karena "tidak terlalu manis" itu sangat relatif dan tergantung selera. Dan selera bisa berubah-ubah tergantung kondisi masing-masing orang tiap harinya.

Coba saja misalnya tiap minta dibuatkan kopi, Pak Sudi mintanya bukan "jangan terlalu manis", tapi minta dengan jelas, contohnya "Surtiii...buatin kopi dengan takaran kopi tiga sendok dan gula dua sendok, ya!"
Jadinya Mbak Surti kan bisa jelas takaran buat kopinya. Dan kalau Mbak Surti bikinnya ga sesuai takaran yang diminta, Pak Sudi bisa jelas juga marah-marahnya. Begitu juga Mbak Surti, bisa jelas juga membela dirinya kalau dia sudah meracik kopi sesuai arahan majikannya.

nb: cerita ini memang fiktif belaka dan bukan nota dinas, jika terdapat kemiripan dengan proses penyusunan nota dinas, itu hanya kebetulan belaka :D