Tampilkan postingan dengan label Essay. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Essay. Tampilkan semua postingan

Kunang-Kunang


"Kamu baik-baik saja?" 

Suara ini memecah keheningan. Aku masih belum sepenuhnya sadar. Ruangan ini gelap. Satu-satunya cahaya berasal dari tirai tipis, terpasang melapisi jendela raksasa di ruangan yang berdiri 30 meter di atas permukaan tanah. Kuraba tiang metal di sebelah tempat tidur untuk menyalakan lampu baca. Aku suka tidur hanya diterangi cahaya bulan ... atau kerlap-kerlip cahaya ratusan kamar di gedung apartemen seberang. Rasanya seperti hidup dikelilingi kunang-kunang.

Orang Skandinavia memang aneh. Semakin tinggi tempat tinggalnya, semakin transparan jendela apartemen mereka. Makan, minum, menulis paper, memasak, mengadakan pesta, menonton film porno, berkebun atau mengobrol ... sepertinya semua orang bisa melihat apa yang dikerjakan tetangga seberang. Di keheningan malam seperti ini, sesekali terdengar suara rusa atau burung hantu dari bukit kecil di antara kompleks bangunan apartemen ini. Kami jauh, tapi terasa dekat. We don't talk, but we know each other.

Jam berapa ini? Layar ponsel menunjukkan angka 00.40. Bukan waktu yang normal untuk menelepon dengan ukuran orang Swedia ... atau Indonesia ... atau siapa saja.

"Ya," hanya jawaban itu yang bisa keluar dari mulutku. Keheningan berlanjut selama 5 detik sebelum akhirnya temanku langsung berbicara panjang tanpa menunggu kalimat lebih banyak dariku.

"Jam berapa jadwal penerbanganmu? 
Apakah kamu sudah punya tiket? 
Kapan rencana pemakamannya? 
Dengan kendaraan apakah kamu akan pergi ke bandara? 

... Aku turut bersedih atas peristiwa yang kamu alami sekarang. Aku tidak bisa tidur. Aku barusan mengobrol dengan pacarku dan meminta izin menggunakan mobilnya untuk mengantar kamu ke bandara, kalau kamu bersedia untuk kuantarkan. Selain itu, bolehkah kita berangkat beberapa jam lebih awal? Aku ingin mengajak kamu makan di luar sebelum kamu terbang selama 22 jam. Ini penting supaya kamu tidak kelaparan, dan aku harap kita punya waktu untuk mengobrol sebentar." Ia terus bicara seperti meluncur di jalan bebas hambatan.

"Oh," tanggapku ... dengan setengah sadar ... dan tiba-tiba ingin menangis. Terlalu banyak emosi yang harus kucerna dari rangkaian kejutan yang terjadi dalam waktu singkat. 

Ayahku meninggal. 

Kabar ini kudapatkan 20 menit setelah aku bergadang mencari tiket pulang. Pupus sudah harapan untuk menemaninya di ruang pemulihan dan ICU pasca operasi. Dan kini ... ketika semua menjadi buram dan gelap ... ada telpon di tengah malam dari seseorang yang mengatakan bahwa ia tidak bisa tidur sebelum menceritakan semua rencananya untuk membantu.

"Maafkan aku menelpon jam segini. Aku merasa kejadian ini berat buat kamu dan mungkin ada hal-hal yang bisa aku lakukan untuk meringankan. I know your father adores you and misses you ... but you could not go home ... as we know for weeks your husband already bought ticket for holiday to Sweden," temanku melanjutkan.

"Yeah," aku bergumam lagi. 

Sejujurnya aku juga bingung untuk merasa bagaimana atau berpikir bagaimana lagi. Di jam satu malam. Should I be sad for losing a father? Should I be happy for my spouse to visit? And why a foreigner cannot sleep for my own personal problem? This is crazy.

"Terimakasih, tapi aku tidak ingin merepotkan. Aku baik-baik saja. This is my problem, not you ... and that was Frank's car not yours. Doesn’t your boyfriend need it? Aku sudah membeli tiket bus ke bandara, dan karena ini mendadak maka aku hanya membawa 1 ransel saja. I am fine, thank you." aku berusaha menghargai usaha temanku.

Tapi dia tidak menyerah. Malah mungkin cenderung ngotot, "But at least I want to say goodbye. I want us to have a chance to talk about what happens to you. Please let me do something. When is the flight?"

Baiklah. Aku merespon, "penerbangan KL1160 boarding di Gothenburg 17.45, transit dan ganti pesawat KL809 di Amsterdam pukul 20.50, dilanjutkan dengan transit di Kuala Lumpur pukul 16.20, tiba dengan pesawat yang sama di Jakarta 17.25 sore."

"Good," katanya, "Kalau begitu bolehkah saya jemput kamu pukul 2 siang dan kita makan di lapangan golf Öjersjö sebelum aku mengantarmu ke bandara?"


“Baiklah,” aku tak berniat mendebatnya lagi.

“OK, now you should get back to sleep. You will need it,” katanya.

“Thank you,” tutupku.



Dilan, Sang Idola


"Dia tidak hebat, tidak sama sekali. Malahan dia biasa saja, tetapi dia bisa membuat senang dengan hal-hal sederhana," kata Milea tentang sosok Dilan.

Dilan....oh Dilan...

Andai saya bisa mundur ke belakang 20 tahun lagi...punya "temen deket" kaya kamu tuh impian banget kali ya...Dilan itu gak cakep-cakep banget (di bukunya tapi di film pemerannya imut banget), dia cuek, suka berantem, suka ngelawan guru, suka bolos, dan suka-suka yang lain. Semacam bad boy lah gitu.
Dilan sekolah di salah satu SMA di Bandung tahun 1990, ya.. jaman saya sekolah dulu sih kira-kira tahun segitu juga :D

Tapi kenapa Milea jadi suka sama Dilan? Milea itu adalah seorang murid baru pindahan dari Jakarta. Milea digambarkan seorang gadis yang cantik, santun, pintar dan bahkan dalam cerita ini dia sudah punya pacar. Kenapa sih masih tertarik sama Dilan? ini yang bikin saya penasaran, en pasti harus ada ceritanya dong, kalo gak ada ya pasti gak akan ada kisah Dilan en Milea ini ya? Dan ternyata memang ada, menarik pula....dan cerita ini sukses menawan hati banyak orang di Indonesia, dari segala usia. Dari mulai abg sampai seumuran saya. Novel Dilan koleksi Perpus pun sampai jarang ada di rak buku karena banyak peminatnya. Penasaran kan pengen tahu ceritanya, happy ending or sad ending

Kalo di novel dan filmnya sih sah-sah aja ya Dilan mencoba gigih merebut hati Milea, secara belum ada janur kuning melengkung...en Milea nya juga kayanya gak gitu cinta-cinta banget sama pacarnya yang di Jakarta, mungkin secara masih umur segitu jalanin long distance relationship, apalagi ditambah karakter pacarnya yang kasar dan suka cemburu buta, jadi deh akhirnya ketika ada masalah mereka bubaran. 

"Milea...kamu cantik tapi aku belum mencintaimu, enggak tahu kalo nanti sore. Tunggu aja..."

kata Dilan suatu siang di dalam angkot, meninggalkan Milea yang kebingungan mikirin kata-kata itu.
Sorenya Dilan telfon dan bilang kalau dia sudah mencintai Milea...
wkwkwk....cepet banget yaa...

Mungkin itu salah satunya yang bikin Milea tertarik. Dilan punya kepercayaan diri yang tinggi en jago merangkai kata-kata. Di sepanjang film dan novelnya kita akan disuguhkan kata-kata romantis nan ajaib dari Dilan. Dia juga siap membela Milea kapanpun juga. Dan kata-kata atau perbuatan spesialnya ini hanya ditujukan buat Milea seorang (ehem)....di novelnya yang bilang seperti itu.
kalo sudah gitu hati perempuan mana sih yang gak melting.... Akhirnya Milea pun jatuh cinta pada si badboy satu ini, yang berani mengancam guru dan berkelahi dengan sahabatnya hanya untuk membela harga diri Milea, dan hari-hari mereka selanjutnya selalu dihiasi dengan canda dan tawa.  

Disamping kisah-kisah "serem" nya di sekolah ternyata Dilan adalah anak yang sayang sekali sama keluarganya, terutama ibunya. Apakah kisah cinta semanis ini akan berujung pada akhir yang bahagia? Ah...jangan dibocorin dulu deh, mendingan baca novelnya, minjem di perpus hahaha....

Sekilas itu gambaran film terlaris saat ini di bioskop. Diangkat dari novel karya Pidi Baiq yang diterbitkan tahun 2016, film ini sukses merebut hati penonton di segala usia. Termasuk emak-emak ini  (saya) yang gak bisa menolak ajakan temen-temen yang selisih umurnya "sedikit" sama saya untuk nonton film Dilan di bioskop. Nonton Dilan nih kaya back to masa lalu, zaman belum ada hp, surat-suratan atau ngintip dari celah-celah pembatas antar kelas udah jadi kebiasaan anak-anak jaman dulu. Guru yang kelewat galak, murid-murid yang sudah punya trademark "nakal" yang berani ngelawan guru, sampe tawuran antar sekolah udah bukan hal yang langka pada saat itu.

Pantesan banyak juga emak-emak seumuran saya yang nonton film ini.
en ternyata mereka tertawanya paling kenceng looh....:D

Jadi lupa sama yang namanya ukuran atau standar yang lain, Dilan tuh mestinya rajin ibadah, biar bisa ditiru sama anak-anak seluruh Indonesia. Gak boleh pacaran, karena pacaran itu dilarang dalam agama. Gak boleh memihak satu aliran tertentu. Gak boleh ngelawan guru, banyak gak-gak yang lain yang mengacu pada suatu ukuran ideal terhadap seorang sosok idola. Untuk yang ini saya beristighfar aja deh karena disamping nonton filmnya, saya juga suka banget baca novelnya. Dan berharap semoga semua bisa mengambil yang bagus-bagusnya dan membuang yang jelek-jeleknya. Kalo saya buat hiburan aja sih, bisa ketawa-ketawa mengenang masa lalu, tapi itu bukan cerita pribadi ya...hahaha

Terlepas dari itu semua, jangan lupa bahwa tokoh Dilan ini adalah rekaan manusia, yang meskipun diklaim kisah ini benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata, itulah gambaran anak-anak muda pada masanya, yang mungkin diperindah dengan keahlian Pidi Baiq dalam meramu kata-kata dan berimprovisasi. Jadi buat yang punya ukuran atau standar tertentu terhadap suatu tokoh idola, supaya gak kecewa, ciptakan sendiri tokoh Dilan ideal versi masing-masing dan wujudkan dengan perilaku nyata. 






Gladiator-gladiator “Tua”

Ini adalah kisah para gladiator “tua” di sebuah kerajaan yang namanya pernah terdengar sampai ujung-ujung dunia. Yang dahulu dikenal dengan negeri yang “Gemah Ripah Loh Jinawi Toto Tentrem Kerto Raharjo” yang artinya negeri yang kekayaan alamnya berlimpah dan keadaannya tenteram. Di ibukota kerajaan terdapat sebuah graha1 megah tempat Patih Arta2 dan segenap tanda3nya bekerja. Sang patih memiliki beberapa arya4 sebagai pembantu utamanya. Setiap arya memiliki tugas masing-masing guna menyukseskan kerja sang patih. Arya-arya tersebut juga memiliki tandanya masing-masing. Sang patih mengharapkan sinergi di antara para arya dan tanda-tandanya. Prestasi dan kinerja yang baik akan dihargai tuturnya.

Cerita ini terjadi ketika beberapa tanda kepercayaan dari salah seorang arya telah mencapai usia pensiun, guna mencari penggantinya diadakanlah sebuah pertandingan untuk menentukan siapa yang paling tepat untuk menggantikan para tanda yang pensiun tadi. Gelanggangpun digelar bak sebuah arena gladiator. Banyak tanda yang sudah berpengalaman dan berilmu tinggi bersiap-siap. Waktunya telah tiba untuk berkarya lebih lagi dan menerima amanah tersebut. Pembicaraanpun terjadi sampai ke pojok-pojok graha siapakah yang akan keluar sebagai jawara5 dan ditampuk sebagai tanda kepercayaan sang arya. Ada yang berharap, ada yang pasrah, ada yang dijagokan, ada juga yang diunggulkan. Para tanda siap bertarung di arena dengan kekuatan dan senjata masing-masing, semua menantikan panggilan bertarung. Walau beberapa menyatakan bahwa mereka tidak ingin bertarung tetapi jika dipanggil maka mereka akan ikut dan bertarung dengan sungguh. Ada beberapa kriteria agar seorang tanda bisa ikut dalam pertarungan, yang pertama adalah telah mencapai tingkat keningratan tertentu, yang ditentukan melalui tingkat keilmuan dan masa bakti sang tanda. Lalu kecakapan sang tanda dalam bekerja menjadi penilaian selanjutnya apakah sang tanda kinerjanya baik, bisa mengambil keputusan yang tepat dan cepat, punya kemampuan bersinergi dengan pihak lain, dan tentu saja kemampuan memimpin karena dalam jabatannya sang tanda akan mengambil keputusan sesuai dengan bidang jabatannya, akan berkoordinasi dengan pihak-pihak yang berkepentingan dan tentu saja dibantu oleh tanda-tanda di bawahnya yang akan membutuhkan bimbingan dan pimpinannya.
“Maaf arena sudah tutup”
-Askara-
Peradaban negeri ini sendiri telah mencapai tingkatan yang cukup tinggi dalam hal menggelar pertarunganpun kekuatan para “gladiator” diukur baik itu kekuatan atma6 maupun huraga7nya melalui sebuah ujian dan tentu saja untuk atma juga dinilai melalui tindak-tanduknya dalam mengabdi sesuai hal-hal yang disebutkan untuk menilai kecakapan sang tanda dalam bekerja. Semua itu akan dirangkum dalam selembar lontar8 dan dimusyawarahkan dalam pareparat9 antara sang arya dengan tanda-tanda utamanya dan tanda kepercayaannya tergantung dari tingkat jabatan yang akan dibicarakan.

Waktu yang ditunggu-tunggu telah tiba, pengumuman siapakah “gladiator” yang dinyatakan keluar sebagai jawara, ditampuk sebagai tanda kepercayaan, dan akan diangkat derajat keningratannya serta menerima amanat dari sang arya. Ternyata semua yang didapuk sebagai pemenang adalah tanda-tanda yang masih muda baik dari usia maupun pengabdian, keningratannyapun baru saja mencapai tingkatan cukup untuk menjadi seorang tanda kepercayaan. Walau semua tanda tersebut sudah menyeberangi lautan yang lebih jauh dari negeri Cina untuk mencari ilmu tetapi tanda-tanda lain yang lebih tua baik dalam usia dan pengabdiannya pun tidak kalah dalam hal jauh-jauhan mencari ilmu. Tentu saja tingkat keningratan mereka lebih tinggi dari para tanda kepercayaan yang baru ini. Ada yang kecewa, banyak yang terhenyak lalu bertanya apa yang menjadi dasar bagi kemenangan tersebut apakah ada senjata rahasia atau atma yang tidak terangkum di daun lontar? Karena semua sudah tertulis semua bisa membaca semua bisa menilai. Tinggal sejauh mana penilaian itu benar dan berharga untuk didengar.

Terdengar sayup-sayup di pojokan bahwa gladiator-gladiator “tua” tersebut bahkan tidak sempat naik ring, mereka tersingkir sebelum pertarungan karena mereka sudah “terlalu” ningrat untuk jabatan tersebut. Keningratan yang diperoleh karena pengabdian dan pendidikan ternyata menjauhkan mereka dari arena pertarungan. Masa mereka sudah habis katanya, sudah tidak punya semangat bertarung katanya, katanya.. katanya.. katanya.. dan lontar mereka kembali kepojokan berdebu menjadi kumpulan kisah-kisah pengabdian yang tidak pernah dibaca.

  1. graha: gedung, bangunan
  2. Patih Arta: menteri yang mengurusi harta
  3. tanda: pegawai
  4. arya: gelar bangsawan, ningrat
  5. jawara: juara
  6. atma: jiwa, ruh
  7. huraga: raga, badan, tubuh
  8. lontar: kertas
  9. parepatan: rapat, perundingan, musyawarah

ITU TABU

Lagian juga ngapain dibahas hal yg sensi disini??? Gk pada tptnya. Kalo mau jujur ya hrsnya si sam ngerti. Semua sdh ada yg ngurus. Lihatlah jujur lagi keadaan di Indonesia. Ahhh... sudahlah....

Tabu katanya membahas hal-hal yang sensitif. Hal sensitif bagi tiap orang, kelompok masyarakat, mulai dari kampung, kota, sampai bangsa-bangsa berbeda-beda. Bahkan antar generasipun berbeda-beda. Banyak norma dipakai dalam menentukan hal sensitif atau bukan. Mulai dari norma agama, adat istiadat, kebiasaan, sampai norma kepantasan atau bekennya etis- tidak etis. Sebenarnya norma-norma yang ada bukan hanya mengatur hal-hal sensitif norma mengatur hampir semua sisi kehidupan sesuai kebutuhannya masing-masing. Banyak yang seiring perkembangan jaman tidak sesuai lagi dan yang paling jelas perubahannya adalah norma hukum yang perubahannya jelas tercatat sejarahnya. Seperti halnya dulu pemberian gratifikasi atau uang ucapan terima kasih yang dulu “dianggap” sebagai bagian dari silaturahmi, bahkan dimaklumi, dan tidak ada aturan hukumnya sekarang jelas dilarang oleh undang-undang.

Masalah tabu membahas hal-hal sensitif jelas-jelas telah menimbulkan masalah dalam berbagai jenjang kehidupan. Waktu saya SMP sempat membaca (sepertinya di koran Kompas) bahwa ada penolakan Pendidikan Seks Usia Dini untuk dimasukkan dalam kurikulum atau minimal diperkenalkan kepada anak usia sekolah. Nah, kelucuan demi mulai bergulir di situ. Alasan penolakan ternyata karena mayoritas orang tua “merasa” bahwa pendidikan seks sejak dini adalah pendidikan untuk berhubungan seksual, tanpa bertanya atau mencari tahu apa sebenarnya isi dari pendidikan tersebut atau bisa dibilang suudzon. Alhasil, memang tidak jadi itu pendidikan seks sejak dini masuk kurikulum di masa saya sekolah. Kelucuanpun berlanjut, di generasi saya ada anak-anak yang takut untuk bersentuhan dengan lawan jenis, seperti anak SD yang takut dipegang tangannya oleh pak satpam sekolah untuk menyeberang jalan karena kata mama ntar (maaf) hamil kalau dipegang tangannya oleh anak cowo, atau anak gadis yang pingsan ketika datang bulan pertama kali karena ibunya tidak pernah mempersiapkan anaknya untuk menghadapi kedewasaan, mungkin yang paling parah adalah yang hamil di luar nikah karena tidak tahu kalau berhubungan seks bisa menyebabkan kehamilan, dan tentu saja banyak cerita-cerita absurd lainnya yang membuat kita mengenyitkan mata mengenai hal ini.

Isu agama juga adalah isu sensitif di masyarakat kita (bukan sekedar katanya) banyak orang yang engan membahasnya karena malas berdebat, takut menyinggung perasaaan, dan berbagai alasan lain. Pernyataan teman saya diatas timbul setelah saya menanyakan soal penyerangan gereja di Sleman, Yogyakarta di WAG yang kebetulan menurut sepengetahuan saya banyak orang Yogyanya. Sepertinya beliau begitu ketakutan dengan “hal-hal sensitif” hingga pertanyaan saya diartikan sebuah ketidakmengertian  saya akan hal-hal sensitif dan mungkin saja menjadi pesan yang profokatif buat beliau. Menghindari membahas “hal-hal sensitif” adalah cara aman bagi banyak orang untuk menghindari sebuah diskusi atau “perdebatan” tergantung sudut pandang si pelaku. Kebanyakan karena ketidakpahaman atas topik yang dibahas atau ketakutan atas timbulnya pertanyaan lanjutan yang diluar pengetahuannya. Keenganan untuk mencari tahu lebih lanjut juga menjadi sumber masalah tersendiri. Orang-orang dengan mudahnya terbakar dengan judul yang bombastis di media-media ­online. Mereka memaki, membully, dan membagikan berita-berita tersebut dengan dibumbuhi opini-opini yang semakin menyesatkan isi berita. Ketika ditanya apa isinya atau didebat bahwa posting-annya tidak benar dan menyesatkan dengan entengnya berkilah “saya cuman share”. Bahkan saya menemukan yang sharing­ berita yang belum jelas kebenarannya dengan didahului permintaan maaf saya cuman share. Hufh, untuk yang seperti ini saya hanya bisa mengelus dada dan apesnya ternyata banyak orang yang seperti ini terlepas dari latar belakang suku, agama, pendidikan, dan profesi mereka.

“Sam, itu AXA Life dicabut ya izinnya? Gimana tuh?” Tanya junior saya beda kantor ketika papasan di kantin. Mungkin maksudnya membuka pembicaraan yang berbobot.
“Ya elah, mbaca berita tuh jangan judulnya doaaaaang! Itu AXA Life kan merger sama AXA Finance terkait aturan baru” semprotku.

“Iyah pak, tapi banyak ini yang nanyain nasib polisnya gimana” kata mbak-mbak AXA di sebuah cabang bank Mandiri sambil ketawa kecil setelah pernyataan basa-basi saya “Wah AXA makin kuat ya dah merger”. Aduh, kok jadi seperti sales AXA! Hahaha.

Jogja yang Selalu Istimewa

Buat saya, Jogja istimewa, mengapa?

Bukan hanya karena sebutan Daerah Istimewa yang diberikan padanya, 
bukan pula hanya karena almarhumah Ibu saya kebetulan berasal dari Bantul, 
salah satu Kabupaten di Selatan Jogja. 
Alasan yang lebih pas mungkin karena daerah ini buat saya memang menarik. 
Pemandangan alam yang menakjubkan, budayanya yang kental dengan aroma Jawa,
 dan keramahan penduduknya yang bikin betah berlama-lama disana. 


Setiap tahun Jogja berhasil menarik banyak wisatawan untuk berkunjung ke daerahnya.  
Sekedar menikmati keramaian Jalan Malioboro atau mencicipi kuliner khas daerah Jogja 
yang bertebaran di seluruh penjuru kota ini, dirasa sudah cukup membahagiakan. 
Film favorit Indonesia "AADC" malah menjadikan Jogja sebagai setting pengambilan gambar, sekaligus mengenalkan spot-spot wisata yang belum banyak tereksplore, 
hingga kemudian menjadi tujuan wisata yang banyak diburu.
Tempat-tempat wisata itu kemudian menjadi magnet
yang dapat menarik para wisatawan untuk kembali kesana, lagi dan lagi.

Jogja memang memiliki keraton, budaya, dan alam yang indah, 
disamping itu para penduduk Jogja juga terkenal sangat kreatif.
Cobalah ajak anak-anak berkunjung ke Taman Pintar di Jogjakarta, mereka pasti suka, 
berlibur sambil bisa menambah wawasan mereka akan ilmu pengetahuan.





Jika jenuh dengan suasana kota Jogja, bisa bergeser sedikit untuk hunting tempat wisata yang berada pada kabupaten-kabupaten sekitar Jogja, seperti Bantul. 


Berkunjung ke Bantul, mengingatkan saya pada sosok almarhumah, seakan Beliau masih hidup
dan menemani saya jalan-jalan ke tanah leluhurnya...kok jadi sentimentil ya? maaf...

Tapi Kabupaten Bantul memang punya keindahan alam tersendiri,
perpaduan keindahan antara pesona pegunungan dan lautan,
yang tersembunyi di antara lebatnya hutan pinus, yang terselip di kaki bukit-bukit hijau, 
dan tertimbun di balik lembutnya pasir pantai. 
Daerah Parang Tritis, Imogiri dan Mangunan tentu sudah tak asing lagi bagi para wisatawan.
Daerah ini dapat dicapai dalam waktu kurang lebih 1,5 jam berkendara, dengan jarak sekitar 45 km dari kota Jogja.

Tempat wisata terkenal di Bantul ini antara lain:

Pantai Parang Tritis, pantai yang terkenal dengan keindahan dan legendanya yang tak pernah surut.

Pemandian Air Panas Parang Wedang, berbeda dengan pemandian air panas lainnya yang biasanya ada di kaki Gunung dan berbau belerang yang menyengat, sumber air panas ini ada di tepi pantai dan tidak berbau belerang/menyengat.



Gumuk Pasir Parangkusumo satu-satunya Gumuk Pasir yang terbentuk di Asia Tenggara, terletak ditepi pantai Parangkusumo dan dijadikan lahan untuk olah raga sandboarding.


Tiga tempat wisata ini terletak pada satu  jalur yang berdekatan, kamu dapat mengunjungi
sekaligus tiga tempat wisata ini, dalam waktu hanya satu hari saja.



Jika ada cukup waktu, mampirlah ke daerah dataran tinggi Mangunan. 
Kamu akan serasa berada di suasana yang berbeda. 
Jalan yang berliku dengan tanjakan dan turunan yang cukup ekstrim,
sepanjang sisi di kiri kanan jalan terdapat banyak spot-spot wisata alam yang menarik, 
yang saat ini sedang dikembangkan menjadi tempat wisata kekinian, diantaranya:

Kebun Buah Mangunan hamparan bukit hijau yang diselingi dengan sungai dan awan yg berarak, kamu bisa lihat sunset/sunrise yang indah dari atas bukit


Batu Songgo Langit himpunan batu besar yang diistilahkan dengan batu penyangga langit/songgo langit





Hutan Pinus Mangunan termasuk dalam kawasan RPH (Resort Pengelolaan Hutan) Mangunan yang dipenuhi pohon-pohon pinus dan populer sebagai tempat foto pre-wedding, karena katanya buat orang Korea pohon pinus yang batangnya tegak lurus (tidak bercabang-cabang) dan daunnya yang selalu hijau melambangkan cinta sejati...ini katanya lho..:D



Tiga tempat wisata ini menawarkan keindahan alam yang dapat merefresh jiwa dan raga, 
apalagi jika kamu termasuk orang yang suka bersosmed,
backgroundnya cocok bangetlah buat update status.

Dan tentu saja...masih banyak sekali tempat-tempat wisata Jogja yang menarik untuk kamu singgahi.



Karena keterbatasan waktu, saya hanya sempat mengunjungi dua tempat wisata di daerah ini. 
Harga tiket masuknya sangat murah, hanya sekitar Rp. 5.000,- perorang,
Meskipun hanya dua tempat wisata, tempat wisata yang lainnya akan menjadi tujuan saya, 
untuk kesempatan saya yang akan datang, jika mengunjungi Jogja kembali.

Memang betul Jogja selalu istimewa buat saya, yang akan membawa saya kembali lagi, dan lagi.
Bagaimana buat kamu??




(foto: dari berbagai sumber)



Bijaksana-bijaksini

Rabu, 17 januari 2018 kemarin seorang kawan, abang, dan juga senior yang sedang menyelesaikan disertasi doktornya mengatakan kepada saya dan beberapa kawan lainnya, “Sam, makanya kuliah doktor, kalau ilmunya ga banyak nambah tapi ada satu yang gue rasa gue dapet di situ. Wisdom, gw ngerasa betul gw berubah....”. Kurang-lebih begitu ujarnya, kali ini saya tidak bisa mengutip kata-perkata karena keterbatasan ingatan. Di hari Rabu seminggu sebelumnya seorang kawan, “pak dosen”, mas, dan juga senior yang pergi meninggalkan unit kerja kami untuk mengabdi menjadi Widyaiswara guna membagi ilmunya lebih luas lagi memberikan kata perpisahan di WAG bukannotadinas, begini katanya “Terimakasih semuanya, semangat tetap menulis untuk kebaikan hidup: minimal buat diri kita, atau yang paling minimalis, buat kewarasan pikiran kita. Karena dalam tulisan itu, kita bisa protes, ngedumel, bahkan 'misuh'. Ini pengalaman, bukan arahan, bukan pula pengajaran. Ojok1 dikomentari.” Sedangkan tadi pagi seorang kawan, mas, dan juga senior bercerita tentang seorang bos yang “sudah” Doktor yang mengeluhkan tingkat kedisiplinan pegawai dalam kerapihan berpakaian padahal yang bersangkutan selalu terlihat dengan kemeja yang dikeluarkan di hari-hari tertentu di setiap minggu. Yang terakhir ini mengingatkan saya akan nasihat almarhum tulang2 saya ketika liburan Natal-Tahun Baru ketika masih SD di rumah opung3 di Medan, “Kalian jangan merokok dan main kartu ya!” katanya kepada kami bere-bere4nya sambil mengebulkan asap dari rokok dua tiga empatnya dan beliau sedang istirahat ke toilet dalam permainan kartunya.

Wisdom, menurut The Oxford English Dictionary artinya "Capacity of judging rightly in matters relating to life and conduct; soundness of judgement in the choice of means and ends; sometimes, less strictly, sound sense, esp. in practical affairs: opp. to folly”. Terjemahan bebasnya kurang-lebih menjadi "Kemampuan untuk menilai dengan benar dalam hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan dan perilaku; kebijakan dalam menilai pilihan mengenai sarana dan tujuan; kadang-kadang tidak terlalu kaku, masuk akal, terutama dalam hal-hal praktis: lawan dari kebodohan”. Menurut KBBI daring maka Bijaksanaan artinya adalah “selalu menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuannya); arif; tajam pikiran; 2 pandai dan hati-hati (cermat, teliti, dan sebagainya) apabila menghadapi kesulitan dan sebagainya”. Keduanya kurang lebih memberikan penjelasan yang sama mengertai kata “Wisdom” atau “Bijaksana” yaitu kemampuan menilai dengan benar dalam menghadapi sesuatu hal.

Merangkum ketiga ucapan kawan-kawan di atas, saya mencoba menuangkannya dalam satu tulisan. Pertama-tama, saya “agak” pusing menggabungkan dua informasi bahwa dengan menjadi Doktor maka saya akan menjadi lebih bijak di mana selang beberapa hari ada seorang Doktor yang menurut kawan saya (dan saya sependapat dengannya) kurang bijaksana dalam penilaiannya dan tuntutannya kepada bawahannya. Kedua, karena saya “agak” pusing maka saya menulis, karena katanya pak dosen “minimal buat kewarasan pikiran kita”. Saya pribadi masih suka terbawa emosi dalam bersikap, sepertinya juga kurang bisa menahan diri untuk tidak menegur atau tidak menjawab hal-hal yang tidak sesuai penilaian saya, walau sekarang saya sudah punya kriteria baru untuk menjawab suatu pernyataan, yaitu “tidak usah ditanggapi”. Tiba-tiba timbul pertanyaan baru di kepala “kapan saya bisa bijaksana ya?”.

Setelahnya muncul pula pertanyaan. Apakah yang sebenernya kita butuhkan untuk menjadi bijaksana? Apakah pendidikan tinggi? Apakah pengalaman yang banyak? Atau apa? Mengapa seseorang bisa dikatakan “bijaksana” dan orang lain tidak padahal sekolahnya sama tinggi dan pengalamannya kurang-lebih sama banyaknya, mungkin juga usianya sama tuanya. Keputusan atau sikap yang diambil sendiri menjadi pertanyaan lanjutan, Benar dari sisi mana? Baik buat siapa? Arti kata “kebijakan/ kebijaksanaan” dalam lingkup pekerjaan dan keseharian buat saya sendiri sepertinya sudah berubah, kalau dulu menurut pengamatan saya setiap “kebijakan” yang dikeluarkan seorang pejabat adalah untuk memecahkan permasalahan yang tidak atau belum ada aturannya, terakhir-terakhir saya malah melihatnya sebagai sebuah “pembenaran atas pelanggaran atau pembengkokan aturan”. Kalimat “mohon kebijaksanaannya” sering keluar ketika seseorang meminta dispensasi atas pelanggaran yang akan atau sudah dia lakukan.

Hufh, "banyak" banget sih pengertian dan turunan dari kata wisdom atau bijaksana dan saya kok malah makin pusing. "Hmmm, sepertinya saya butuh daftar diklat ke gadog nih buat minta penjelasan ke pak dosen sambil ditraktir di warung kopi yang katanya baru buka bersamaan dengan beliau bertugas di gadog."

  • Ojok1: jangan (Jawa Timuran)
  • Tulang2: paman dari pihak ibu (Batak);
  • Opung3: kakek/ nenek (Batak);
  • Bere-bere4: ponakan(jamak) (Batak).
  • kbbi.web.id
  • en.wikipedia.org

SBN dan Utang Pemerintah

Indonesia memberikan batasan/ capping utangnya. Selain defisit yang tidak boleh di atas 3 persen dari PDB, rasio utang per PDB juga dijaga di bawah 30%. Selain batasan tersebut, berbagai indikator profil portofolio utang juga dimonitor, misalnya variable rate ratio (rasio utang yang tingkat bunganya tidak tetap terhadap total utang) dan refixing rate[1], average time to maturity (waktu rata-rata tertimbang jatuh tempo utang), dan proporsi utang valas dibanding rupiah. Ini terkait dengan adanya risiko tingkat bunga, risiko membayar kembali (refinancing), dan risiko mata uang. 

Porsi Surat Berharga Negara (SBN) dalam total utang Pemerintah sekitar 80%. Artinya, 20% lagi berupa pinjaman dalam dan luar negeri, dengan dominan pinjaman luar negeri (sekitar 18,9% dari total utang). Dari proporsi tersebut, porsi utang dalam valas ternyata lebih banyak dalam bentuk SBN (SBN valas) dibandingkan dalam bentuk instrumen pinjaman luar negeri. Per September 2017, porsi utang SBN valas mencapai 22% dari total utang. Utang dalam bentuk valas masih diperlukan untuk komplemen utang dalam rupiah (tidak mengandalkan pasar SBN domestik saja) serta sebagai cadangan devisa. 


Penerbitan SBN idealnya sesuai dengan kebutuhan defisit berjalan dalam pelaksanaan APBN. Artinya, SBN diterbitkan sebesar X pada suatu “timing” ketika kebutuhan APBN sebesar X pula. Dengan begini, tidak ada SILPA (sisa lebih pembiayaan anggaran). Namun kenyataannya tidak sesederhana itu. SBN dijual kepada investor dengan tidak lepas dari pengaruh kondisi perekonomian dan pasar SBN. Tidak sepanjang tahun kondisi pasar stabil dan ideal untuk penerbitan. Oleh sebab itu, Pemerintah berusaha mencari waktu dan jadwal yang pas untuk penerbitan. Pada tahun 2017 kemarin, penerbitan SBN sudah lebih mempertimbangkan cash management sehingga tidak “jomplang” terbit di awal tahun. Penerbitan memang masih menggunakan strategi front loading atau lebih banyak dalam semester pertama, namun juga lebih mempertimbangkan kondisi kebutuhan kas negara. 


Prefunding SBN juga masih dilakukan. Prefunding ini bermakna, SBN diterbitkan pada kuartal IV tahun sebelumnya untuk pelaksanaan APBN tahun ini. SBN yang digunakan untuk prefunding biasanya SBN dalam bentuk valas. Pemerintah melakukan ini awalnya untuk membiayai kebutuhan kas di awal tahun anggaran. Yakni, pada awal tahun anggaran biasanya pendapatan, misalnya dari pajak, belum masuk, sehingga dengan tersedianya kas dari prefunding SBN, APBN dapat berjalan lancar dan “cepat”. Cepat di sini bermakna, kebutuhan belanja negara termasuk apabila ada kebutuhan mendesak untuk infrastruktur bisa segera dimulai tanpa terkendala persoalan kas. Namun, prefunding SBN sebetulnya bisa bermakna lebih dari itu. Prefunding dengan waktu yang pas juga dapat menjadi momentum yang tepat untuk menerbitkan SBN dengan harga yang baik bagi Pemerintah. Sebab, yield SBN juga kerap menjadi sorotan. Oleh sebab itu, Pemerintah mencari kapan waktu yang pas untuk mendapat yield yang relatif rendah dengan permintaan SBN yang tetap besar, meskipun hal tersebut tidak terbatas pada SBN prefunding namun berlaku juga untuk semua penerbitan SBN lain. 


SBN juga digunakan dalam operasi moneter Bank Indonesia. BI memiliki Surat Utang Negara (SUN) yang digunakan dalam repo (repurchase agreement). Repo ini berarti bahwa BI menjual SUN kepada perbankan dan akan dibeli dalam jangka waktu tertentu. Repo dilakukan dalam rangka kontraksi moneter dengan mekanisme lelang dan suku bunga yang diberikan di bawah suku bunga BI/ BI rate. Suku bunga inilah yang dinamakan 7-day (reverse) repo rate yang baru berlaku Agustus 2016 lalu. Suku bunga yang baru ini lebih cepat dalam mempengaruhi pasar uang, perbankan dan sektor riil.  



Referensi:
djppr.kemenkeu.go.id
bi.go.id



[1] Refixing mengukur porsi utang yang memiliki eksposur terhadap perubahan suku bunga dalam satu tahun, yang terdiri dari porsi utang dengan suku bunga variabel dan utang dengan suku bunga tetap yang akan jatuh tempo dalam satu tahun.

Sang Pembunuh

“Loh dia juga begitu kok” kilah seorang teman ketika ditegur mengenai prilakunya yang kurang baik.

Mencari contoh atau pembanding orang yang lebih buruk atau sama dengan kita sering kali saya temukan dalam berbagai pembelaan atau defence statement orang-orang disekitar saya. Entah apa yang salah dalam masyarakat ini mengapa mengungkit kelemahan atau prilaku buruk orang lain dapat menjadi justifikasi bahwa kita dapat melakukan hal yang sama dan mengurangi perasaan bersalah itu sendiri. Menurut saya melakukan hal tersebut sebenarnya adalah perbuatan “menipu” diri sendiri yang memberi ketenangan bathin sesaat. Kita tidak pernah memikirkan efek jangka panjangnya atau kemungkinan terburuknya. Bahaya terbesar dari “pembenaran” akan yang salah yang dilakukan berulang-ulang (lagi-lagi menurut saya) adalah membentuk hati dan pikiran yang bebal dan tidak sensitif. Dimulai dengan hal-hal kecil dan sederhana di satu titik akan lompat ke skala yang lebih besar.

Saya pernah bercakap-cakap dengan sesama penumpang angkutan umum soal pemotor yang berhenti di depan lampu merah dan menerobos lampu merah padahal lampu hijau hanya tinggal beberapa detik lagi, saya bilang “mungkin dia ada proyek milyaran rupiah yang harus diteken” canda saya kepadanya ketika si mbak berkata “apa susahnya sih nunggu beberapa detik lagi?”. Saya sendiri sangat terganggu dengan prilaku pemotor yang berhenti di depan garis stop dan melanggar lampu merah menurut saya orang-orang tersebut jika ada kesempatan akan melakukan hal-hal buruk yang lebih besar seperti halnya korupsi, si mbak ketawa ketika saya bilang ini, “wah, serem juga ya mas efeknya”.

“Self-respect is the root of discipline: The sense of dignity grows with the ability to say no to oneself.”-Abraham Joshua Heschel-

Melanggar hal-hal kecil adalah langkah pertama untuk melanggar hal-hal yang lebih besar, ditambah lagi dengan kebiasaan “berkaca ke orang yang lebih buruk”. Mungkin awalnya berhenti di depan garis stop, lalu mulai menerobos lampu merah, lalu mulai masuk ke jalan verboden, lalu mulai melawan arah, dan entah sesudahnya apa lagi. Eits, jangan anggap hal-hal tersebut bisa berhenti di situ saja! Setelah khatam melanggar dalam berkendara kemungkinan mulai berani melanggar hal-hal lain. Misal, membuang sampah sembarangan, menyeberang sembarangan, lalu naik ke korupsi kecil-kecilan, seperti uang lembur, uang operasional kantor, dan terima gratifikasi. Yang terakhir levelnya pun ada banyak, dari yang hanya ditraktir makan sampai terima duit puluhan milyar macam yang diduga kepada ketua DPR yang lagi jadi tersangka.

Balik lagi ke yang kecil-kecil, pernahkah terpikir bahwa menerobos lampu merah atau melawan arah itu membahayakan nyawa orang lain selain nyawa diri sendiri? Tidak ingatkah dengan keluarga yang bapaknya dipenjara, ibunya meninggal, dan anaknya piatu serta sendiri karena sang bapak melawan arah di Jalan Layang non Tol Kasablanka untuk menghindari polisi yang akan menilangnya?

Semua dimulai dari “lah, itu rame kok bro motor yang nerobos. Kita ikut ajalah” atau “udahlah ga apa-apa sekali aja kan ga ada mobil”. Saya teringat sebuah artikel tentang budaya disiplin di Jepang, saya lupa siapa penulisnya tetapi sang penulis bercerita bahwa ketika dia berada di sebuah kota kecil di Jepang yang notabene termasuk sangat sepi. Sang penulis seorang Indonesia bersama temannya yang orang Jepang akan menyeberang jalan, kondisi jalan sepi dan lampu merah bagi pejalan kaki, setelah melihat ke kiri dan ke kanan dan menyimpulkan bahwa jalanan sepi dia mengajak temannya untuk menyeberang, temannya berkata “jangan, bagaimana kalau dilihat oleh anak kecil lalu mereka mencontoh dan kecelakaan?”. Sang penulis berkata bahwa “wah, saya tidak memikirkan efeknya sampai segitunya ya, bahwa kita dapat menjadi penyebab seorang anak celaka karena perbuatan tidak disiplin kita”.


Coba bayangkan bagaimana kalau ternyata secara tidak sadar kita telah mencelakakan anak orang lain? Atau jangan-jangan anak kita sendiri?

  • referensi dari berbagai sumber

Surat dari Amri



Apa yang kita pandang baik, belum tentu benar baik bagi kita.
Apa yang saat ini kita puja puji dan sayangi, belum tentu sama di kemudian hari.

duhai yang maha membolak balikkan hati,
Tetapkanlah hatiku di atas agamaMu

------------

Meyr belum juga beranjak. Hatinya masih gamang, pikirannya masih ruwet, tak jua ia ingin bertemu orang.

Masih terngiang suara merdu Amri. Suara yang jika wanita mendengarnya, sulit untuk tidak terpukau: intonasi yang jelas dengan nada sedang, pita suara yang terlalu sempurna, bicara tidak terlalu cepat maupun terlalu lambat, tidak pernah keluar dari bibirnya kata kata hinaan, sangat mengesankan pribadi yang bijaksana dan dewasa.

Meyr tidak paham, ia tidak mengerti. Mengapa Amri memutuskan hubungan dengannya. Tanpa ia melakukan kesalahan.

"Amri.."

Meyr terkesiap saat suara di jendela memecah konsentrasinya.

"Ah, hujan..", segera ditutupnya jendela yang separuh terbuka.

Sial baginya, hujan menambah temaram hatinya. Meyr tidak menangis. Ia sudah banyak menangis pada waktu waktu lalu. Sulit rasanya membasahi matanya lagi untuk perkara lelaki seperti ini.

Ia tercenung dengan bagaimana hatinya bisa koyak begini.
"Ini hanya sebuah hal yang biasa...  come on, Meyr.."

Amri adalah lelaki ketiga dalam hidupnya setelah Ayah dan Brent. Amri datang saat Brent telah menghancurkan banyak hal, tidak hanya hati tapi juga fisiknya. Brent yang pemarah dan emosional kerap memukul, menampar, mendorongnya kala Meyr dirasanya melakukan kesalahan.

Namun seperti banyak orang jatuh cinta lainnya, matanya terbuka tetapi hatinya dibutakan. Ia tetap bersama Brent, karena Brent adalah lelaki yang pertama kali menyatakan cinta kepadanya, saat semua orang menjauh darinya, termasuk ayah.

"Ah, bukan. Ayah tidak pergi, ia hanya terlalu sibuk...."
Pikirnya kala itu.


Tapi hati yang kosong begitu mudah diisi cinta, meskipun itu ternyata palsu dan menyakitkan. Brent yang memenuhi masa remajanya dengan kisah lebam di muka dan badannya.

Meyr tidak hanya buta oleh cinta, saat itu mungkin ia juga mati rasa.

"When i am fall in love... it will be...forever .. "
Ia menyanyi dengan iringan gerimis di luar. Dramatis.

Matanya masih menatap kosong.

Amri pernah berkata cinta. Itu kata kata yang jauh lebih meyakinkan daripada mulut si pemarah Brent. Namun Meyr tidak jua dapat menjawab, mengapa Amri memutuskannya.


Amri hanya menitipkan surat kepada Rein, temannya di kantor.


Surat yang sejak tadi dipegangnya. Surat yang belum sepenuhnya, mampu dicernanya.

--------

Assalamu'alaikum Meyr.

Meyr, alhamdulillah aku bisa menulis ini kepadamu dalam keadaan sehat.

Semoga kamu juga sehat selalu Meyr.


Meyr, izinkan aku meminta maaf soal percakapan kita di restoran kemarin. Aku tahu... kamu pasti merasa tersakiti. Aku benar benar minta maaf.

Meyr yang tidak pernah berkata buruk,

Kamu adalah wanita yang baik, aku yakin itu. Hubungan kita selama dua tahun membuatku tahu bahwa... hati yang baik masih bisa kita miliki meskipun telah berkali kali terluka. Itulah yang aku lihat darimu.

Seperti yang kau tahu...aku telah memutuskan hubungan kita. Aku berkata begini bukan karena aku benci kepadamu. No. 
Bukan pula karena aku mencintai wanita lain. No.

Aku meminta sedikit waktumu mendengar penjelasanku.

Perjalanan jiwa yang kualami.. dan begitu membekas di hati.

Meyr, aku telah mengenal Ibrahim, teman kuliahku dulu. 
Ia membawaku ke sebuah tempat yang sangat damai, bernama masjid cordova. 

Di sana aku menemukan rasa yang belum pernah kutemui sebelumnya. Suatu nuansa yang penuh ketenangan. Lebih tenang dari memandang lautan. Lebih damai dari melihat langit seperti kegemaranmu.

Meskipun aku muslim, tak banyak kukenal agamaku, Meyr. Sebab ayah ibuku telah tiada, dan aku dibesarkan dalam panti asuhan katolik. 


Yang aku tahu aku adalah muslim, karena para suster di panti menghormati surat yang dititipkan orang yang menaruhku di panti, yang berkata demikian. Aku adalah anak muslim. Dan namaku; Amri.


Bertahun tahun aku menjadi muslim tanpa kenal agamaku dengan baik.

Bertahun tahun aku lalai mencari makna hidup yang lebih dalam. 

Ibrahim telah membawaku ke dalam suasana magis yang tal mampu kulukiskan seluruhnya. 

Satu dua kali..hingga berkali kali aku dan ia ke sana.

Aku diajarinya solat dan macam macam lainnya tentang Islam.  
Sampai pada suatu hari, ia memandangku serius dan bertanya tentangmu yang selalu kugandeng saat ke kampus dulu.

Ia tersenyum dan memegang pundakku.

Ia katakan dengan lembut namun pasti.. bahwa dalam Islam.. tidak ada pacaran.

Aku berkata kepadanya,
"Pardon, brother... what do you mean? I love a girl and i will marry her... at the right moment. So ... we try to know each other deeper and deeper and we build a relationship. There is nothing wrong with that"


Ia pun menjawab,

Bahwa dalam Islam, tidak dikenal pacaran. Yang ada adalah taaruf (berkenalan) sebelum menikah. Tidak ada berpelukan, mencium walau di kening, atau bahkan menggandeng tangan. 

Aku sejujurnya juga masih belajar, Meyr. Namun aku ingin sekali mengenal agamaku lebih jauh...Aku ingin berusaha taat..walaupun di sisi lain sebenarnya sangat ingin menikahimu. 

Namun aku tidak boleh menjanjikan apa apa sebelum aku melamarmu, dan kau pun tahu... aku terikat kontrak beasiswa untuk tidak menikah selama masa kuliah. Aku baru saja masuk program S3 ku...

Oleh sebab itu Meyr, maafkanlah aku

Kulepaskan dahulu ikatan kita. 
Biarlah aku dan dirimu belajar dahulu..
Aku tahu Meyr, kau bisa bertahan tanpa aku. Karena Allah selalu membersamaimu.

Meyr, ayo kita
Mencari tahu lebih jauh... 
Menenangkan diri..
Mencari di dalam hati, apa yang sebenarnya menjadi sumber ketenangan itu.


Semoga Allah selalu merahmatimu, Meyr..

Wassalamu'alaikum

Amri-

------


Meyr menatap langit mendung lewat jendela.

digenggamnya surat itu.. erat sekali.

Ketika saya dapat memilih...

Ketika saya dapat memilih...


Bismillah,


Telah sering kita dengar atau baca, bagaimana sedekah itu perbuatan yang sangat baik dan bermanfaat.

Namun..ternyata dalam bersedekah, kita bisa pilih-pilih. Misalnya, apakah kita punya uang 50.000 dan mau memberikan makanan kepada seseorang, yang bila makanan itu menjadi tenaganya, maka selama tenaga dari makanan itu masih di tubuhnya dan ia melakukan amal seperti sholat, dan lain-lain.. maka kita ikut mendapat pahalanya (tanpa pahala orang tersebut dikurangi sedikitpun). 

Tapi kita juga bisa memilih, apakah kita akan menggunakan 50.000 itu misal untuk membeli qur’an, yang setiap kali dibaca maka pahalanya kita juga akan mendapatkannya, dimana kebaikan yang didapat dari membaca qur’an adalah per huruf (alif-lam-mim= bukan 1, tetapi 3 huruf).  Ditambah lagi, kalau yang membaca itu penghapal qur’an. Bagaimana orang menghapal qur’an? Jarang sekali... hanya dengan sekali baca langsung hapal. Diulang-ulang... diulang lagi.. masyaAllah...berapa kebaikan yang ikut kita dapat tuh jadinya? @_@

Demikian juga kalau kita belikan mukena, atau sandal untuk berwudhu.. bagaimana orang yang solat dengannya kita juga dapat pahalanya? MasyaAllah untung sekali ya...

(ya Allah semoga kami termasuk yang bisa mengamalkan dan mendapat kebaikan itu)

Dengan uang/sumber daya yang sama.. bisa mendapat hasil yang berbeda. Ada pahala yang terputus dan ada yang terus mengalir.. Namun ini bukan berarti sedekah makanan itu ga menguntungkan. InsyaAllah dah, Allah maha tahu niat kita.Siapa tahu itu makanan menjadi dagingnya
Saya jadi ingat kisah sumur Usman bin Affan.. sumur yang dibeli dari seorang Yahudi..dipakai bermanfaat bagi banyak orang.. airnya dipakai untuk apa saja? Menghapus dahaga? Berwudhu? Mandi? Sangat bermanfaat ..  mungkin bagi sebagian orang terdengar biasa, namun pada saat itu, konon harga sumurnya sangatlah mahal dan kalau bukan karena iman kepada Allah dan percaya kepada RasulNya.. mungkin Usman bin affan juga enggan melakukannya. 

(Bagi yang belum mendengar kisahnya, lihat di bawah ya... )

Berapa ratus tahun Usman bin Affan telah mendapat pahala dari wakafnya tersebut? Sementara jasadnya di tanah tetapi pahalanya masih terus berjalan kepadanya. MasyaAllah....
(semoga Allah mampukan kita menirunya)

MasyaAllah-nya lagi, kita ternyata dapat bersedekah bukan hanya buat diri kita, tapi untuk ayah ibu kita yang telah wafat. Bayangkan kalau kita punya uang, kita pengen ngasih orang tua lebihan.. tapi orang tua kita udah engga ada, ternyata kita masih bisa “ngasih” ke mereka. InsyaAllah pahalanya sampai. Bakti kita tidak hanya saat mereka hidup, tetapi saat sudah di dalam kubur, orang tua masih dapat kita berikan bakti kita. InsyaAllah... [1]

Demikian saja tulisan saya, semoga ada manfaatnya. Selamat memilih ya..

Semoga kita bisa melakukan amal amal shalih yang pahalanya terus mengalir bahkan ketika ruh telah berpisah dari badan, insyaAllah juga bisa memberikan hadiah juga kepada ayah ibu kita meskipun telah tiada di sisi kita. 

(aamin)

 =================================================================


Utsman bin Affan, Pewakaf Sumur Raumah yang Barakah[2]
Al Ustadz Aziz Rachman, Lc

Dari sekian banyaknya shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ada beberapa di antara mereka yang dikenal sebagai orang-orang yang sangat dermawan. Kedermawanan mereka, terkadang seperti “tak masuk akal” jika dilihat dari kaca mata dunia, lantaran begitu banyaknya harta yang mereka infaqkan di jalan Allah.
Di antara shahabat dermawan itu, tersebutlah nama Utsman bin Affan radhiyallahu anhu. Seorang shahabat mulia, yang masuk Islam di awal masa dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seorang  shahabat mulia, yang menjadi menantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seorang shahabat mulia, yang menjadi saksi hijrahnya kaum muslimin ke negeri Habasyah. Seorang shahabat mulia, yang menjadi khalifah dan pemimpin kaum muslimin.
Begitu banyaknya kisah tentang keutamaan dan kemuliaan yang dimiliki oleh Utsman bin Affan radhiyallahu anhu. Salah satunya, adalah kisah Utsman bin Affan dengan sebuah sumur, yang dikenal dengan sumur Raumah.

Surga Bagi yang Membebaskan Sumur Raumah
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat berhijrah ke kota Madinah, mereka mengalami kesulitan untuk mendapatkan air yang bersih dan segar. Apalagi kaum Muhajirin ketika di Mekkah begitu terbiasa dengan segarnya air zam-zam. Di Madinah, mereka tidak mendapati air yang jernih dan segar.
Tak jauh dari Masjid Nabawi, tinggallah seorang Yahudi yang terkenal dengan sifat culasnya. Ia memiliki sumur yang cukup besar, dengan air yang segar dan jernih pula. Adapun rasanya, memiliki kemiripan dengan air zam-zam.
Ia tidak mau berbagi air tersebut kepada penduduk Madinah meskipun hanya setetes. Ia menjadikan sumurnya sebagai ladang bisnis, dengan menjual air pada orang-orang Madinah. Para shahabat kemudian menyampaikan hal ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian bersabda :
مَنْ يَشْتَرِي بِئْرَ رومَةَ فَيَجْعَلَ دَلْوَهُ مَعَ دِلَاءِ المُسْلِمِينَ بِخَيْرٍ لَهُ مِنْهَا فِي الْجَنَّةِ
“Barang siapa membeli sumur Raumah dan menjadikan gayung miliknya bersama dengan gayung-gayung milik kaum muslimin dengan kedermawanan miliknya, maka kelak ia di surga.”[2]
Berdirilah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut. Utsman segera mendatangi Yahudi pemilik sumur dan memberikan penawaran untuk membeli sumur Raumah dengan harga yang tinggi. Walau sudah diberi penawaran yang tertinggi sekalipun Yahudi pemilik sumur tetap menolak menjualnya.
“Seandainya sumur ini aku jual kepadamu wahai Utsman, maka aku tidak memiliki penghasilan yang bisa aku peroleh setiap hari” demikian kata lelaki Yahudi tersebut menolak penawaran Utsman.
Tapi Utsman pantang mundur. Keesokan harinya atau beberapa lama kemudian, Utsman kembali mendatangi lelaki Yahudi tersebut untuk memberikan penawaran lagi. Kali ini Utsman berusaha untuk membeli “setengah bagian” dari sumur tersebut.
Maksudnya, Utsman berusaha agar lelaki Yahudi tersebut tidak merasa terganggu perdagangannya. Utsman mengusulkan agar sumur itu dibeli setengahnya, dengan pembagian yang nantinya disepakati.
“Bagaimana kalau aku beli setengahnya saja dari sumurmu?”  kata Utsman bernegosiasi.  “Begini, jika engkau setuju maka kita akan memiliki sumur ini bergantian. Satu hari sumur ini milikku, esoknya kembali menjadi milikmu kemudian lusa menjadi milikku lagi demikian selanjutnya berganti tiap hari. Bagaimana?” kata Utsman.
Lelaki Yahudi itu mengangguk lantaran ia berfikir akan mendapatkan uang dari Utsman tanpa kehilangan penghasilan dari menjual air sumurnya. Imam Ibnu Abdil Barr menyebut bahwa Utsman bin Affan radhiyallahu anhu membayar uang sejumlah 12 ribu dirham untuk bisa memiliki setengah dari bagian sumur tersebut.
Utsman yang dermawan segera mengumumkan kepada penduduk Madinah yang hendak mengambil air dari sumur Raumah, agar mengambil air untuk kebutuhan mereka tanpa harus membayar karena hari tersebut adalah jatahnya milik Utsman. Tidak lupa Utsman mengingatkan agar penduduk Madinah mengambil air dalam jumlah yang cukup untuk dua hari, karena besoknya, hari sumur itu bukan lagi jatah milik Utsman.
Keesokan hari Yahudi mendapati sumur miliknya sepi pembeli, karena penduduk Madinah masih memiliki persedian air di rumah. Yahudi itupun mendatangi Utsman dan berkata : “Wahai Utsman, engkau telah merusak perdaganganku, belilah setengah lagi sumurku ini”. Utsman pun setuju, lalu diberikanlah uang sebesar 8 ribu dirham sehingga totalnya menjadi 20 ribu dirham. Dengan itu, maka sumur Raumahpun menjadi milik Utsman secara penuh.

Wakaf Utsman untuk Kaum Muslimin
Setelahnya, sumur itu diwakafkan untuk kaum muslimin dan setelah beberapa waktu kemudian, tumbuhlah di sekitar sumur itu beberapa pohon kurma dan terus bertambah. Lalu Daulah Utsmaniyah memeliharanya hingga semakin berkembang, lalu disusul juga dipelihara oleh Pemerintah Arab Saudi, hingga jumlahnya mencapai lebih dari seribu pohon.
Selanjutnya pemerintah Arab Saudi, menjual hasil kebun kurma ini ke pasar-pasar. Setengah dari keuntungan itu disalurkan untuk anak-anak yatim dan fakir miskin, sedang setengahnya ditabung dan disimpan dalam bentuk rekening khusus milik beliau di salah satu bank atas nama Utsman bin Affan, di bawah pengawasan dari Departeman Wakaf Arab Saudi.
Subhanallah, betapa besarnya pahala dari wakaf Utsman bin Affan radhiyallahu anhu. Meskipun sudah berlalu lebih dari 1400 tahun, wakaf Utsman bin Affan ini terus memberikan manfaat bagi kaum muslimin.


[2] http://majalahshahabat.com/utsman-bin-affan-pewakaf-sumur-raumah-yang-barakah/







“Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah aku bisa bersedekah atas namanya?”. Beliau menjawab: “Ya”. Aku berkata: “Sedekah apa yang paling utama?”. Beliau menjawab: “Pengairan air”. (HR. Ahmad dan Nasa’i)
“Sesungguhnya ibuku meninggal dunia  secara mendadak, aku kira bila dia semapt berbicara pasti beliau bersedekah, lalu apakah ada pahala baginya jika aku bersedekah atas namanya? Beliau menjawab: “ya”. Bersedekahlah atas namanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)