KERJA

"....karena, kerja itu tidak selamanya" 
                   -Sri Mulyani Indrawati-


Bekerja itu, apabila dilakukan dengan niat yang baik, cara yang benar dan dinikmati, adalah ibadah. Kalau memang demikian, menjadi seorang pekerja di Jakarta adalah suatu keberuntungan. Jika yang disebut bekerja itu adalah ketika seseorang meninggalkan rumah sampai dengan kembali ke rumah, maka berarti rata-rata 2/3 hari dihabiskan untuk ibadah. 
.
Pergi pagi pulang malam, itulah kondisi yang dilakoni kebanyakan pekerja yang berkantor di Jakarta. Karena tempat tinggal yang berada di pinggiran kota, kemacetan lalu lintas dan belum sempurnanya moda transportasi massal, rata-rata seorang pekerja harus meninggalkan rumah sebelum matahari terbit jika tidak ingin terlambat, dan pulang saat matahari terbenam bahkan ada yang sampai larut malam. Semua dengan satu tujuan: bekerja untuk mencari nafkah dan menjemput rezeki.
.
Menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) pun tidak terlepas dari ritual tersebut. Apalagi di jaman now, dimana PNS dituntut profesional, seperti lirik sebuah lagu lama "...pergi pagi pulang malam, mengabdi tiada henti, demi tanah ibu pertiwi..". Meskipun sebenarnya, profesional ataupun tidak, tetap saja PNS di kantor saya pulangnya malam karena rata-rata tempat tinggalnya di pinggiran kota Jakarta dengan waktu tempuh minimal 1,5 sampai 2 jam di jam-jam pulang kantor.
.
Dengan kondisi tersebut, praktis seorang pegawai/pekerja hanya memiliki waktu efektif 3-5 jam untuk bertemu dan bercengkrama dengan anak-istri/suami masing-masing setiap harinya. Bahkan mungkin ada yang tidak sempat sama sekali karena ketika pergi anak/istri/suami-nya masih tidur dan pulang ketika mereka sudah tertidur. Kesempatan untuk berlama-lama bersama keluarga akhirnya hanya di akhir pekan, dengan catatan tidak ada panggilan mendadak untuk lembur atau menyiapkan bahan rapat untuk pimpinan. Belum lagi 'gangguan' telpon, sms, whatsapp, email di sela-sela waktu libur atau saat jam seharusnya beristirahat. Sehingga sebenarnya nyaris 24 jam waktu kita disita untuk bekerja dan pekerjaan kita.
.
Konsep Work-Life Balance (WLB) yang belakangan mulai diperkenalkan di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pada intinya bertujuan untuk memberikan waktu kepada pegawai untuk melakukan hal-hal yang menjadi passion pegawai tersebut yang mungkin tidak sempat dilakukannya karena tersita untuk penyelesaian tugas. Salah satu implementasi WLB di lingkungan Kemenkeu adalah kegiatan Kemenkeu Mengajar. Dalam kegiatan ini, pegawai yang berminat mengajar sukarela di sekolah-sekolah dasar di seluruh Indonesia diberikan day-off. Disitu si pegawai dapat mengaktualisasikan diri dan berbagi dengan anak-anak, menginspirasi dan memotivasi mereka memiliki mimpi untuk menjadi generasi muda yang berguna bagi bangsa dan negara.
.
Apakah WLB efektif sebagai penyeimbang kehidupan seorang pegawai tentunya perlu penelitian lebih lanjut, mengingat tentunya tidak semua pegawai butuh aktualisasi diri seperti itu. 24 jam sehari semalam harusnya dibagi dengan imbang antara kewajiban mencari nafkah, hak tubuh untuk beristirahat dan hak orang-orang yang kita kasihi untuk bercengkrama. 
.
Dalam kegiatan family gathering Hari Oeang ke-71, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati secara khusus memberikan apresiasi kepada keluarga PNS Kemenkeu yang dengan sabar dan ikhlas harus rela kehilangan waktu bersama istri/suami dan anak-anaknya demi pelaksanaan tugas-tugas Kemenkeu. Secara khusus beliaupun berpesan agar keluarga tetap menjadi prioritas utama karena kerja itu tidak selamanya tapi keluarga selamanya.
.
Pesan Bu Menteri tersebut sangat berkesan dan membekas di segenap hati PNS Kemenkeu. Hal ini menunjukkan perhatian seorang pimpinan kepada bawahannya. Tidak mudah memang untuk dilaksanakan tapi paling tidak ada upaya-upaya ke arah sana. Pembangunan infrastruktur transportasi massal yang saat ini sedang berjalan diharapkan dapat mengurangi tingkat kemacetan dan memangkas waktu tempuh perjalanan dari daerah-daerah pinggiran ke Jakarta. Dengan demikian, tidak banyak waktu yang dihabiskan di jalan hanya untuk perjalanan pergi-pulang ke kantor. Pemberlakuan flexy time, meskipun perlu ditinjau ulang, memberikan cukup waktu untuk sekedar sarapan bersama keluarga di rumah sebelum berangkat ke kantor namun masih terasa kurang apabila harus mengantarkan anak-anak ke sekolah. Pekerjaan diselesaikan dengan lebih efektif berkat dukungan sarana prasarana IT dan penggunaan gadget sehingga tidak perlu lembur ataupun hadir secara fisik untuk hal-hal yang dapat digantikan dengan penggunaan teknologi tersebut.  Para pimpinan jaman now pun sudah mulai memahami kebutuhan bawahannya, sehingga tidak menyita waktu istirahat dan libur bawahannya dengan hal-hal yang sifatnya kedinasan.
.
Kerja itu adalah ibadah, tapi jangan sampai mengabaikan hak tubuh dan keluarga. "Seandainya kalian betul-betul bertawakkal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rizki sebagaimana burung mendapatkan rizki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang". (Umar Bin Khatab, RA)


Jakarta, 13 Desember 2017

Ketika saya dapat memilih...

Ketika saya dapat memilih...


Bismillah,


Telah sering kita dengar atau baca, bagaimana sedekah itu perbuatan yang sangat baik dan bermanfaat.

Namun..ternyata dalam bersedekah, kita bisa pilih-pilih. Misalnya, apakah kita punya uang 50.000 dan mau memberikan makanan kepada seseorang, yang bila makanan itu menjadi tenaganya, maka selama tenaga dari makanan itu masih di tubuhnya dan ia melakukan amal seperti sholat, dan lain-lain.. maka kita ikut mendapat pahalanya (tanpa pahala orang tersebut dikurangi sedikitpun). 

Tapi kita juga bisa memilih, apakah kita akan menggunakan 50.000 itu misal untuk membeli qur’an, yang setiap kali dibaca maka pahalanya kita juga akan mendapatkannya, dimana kebaikan yang didapat dari membaca qur’an adalah per huruf (alif-lam-mim= bukan 1, tetapi 3 huruf).  Ditambah lagi, kalau yang membaca itu penghapal qur’an. Bagaimana orang menghapal qur’an? Jarang sekali... hanya dengan sekali baca langsung hapal. Diulang-ulang... diulang lagi.. masyaAllah...berapa kebaikan yang ikut kita dapat tuh jadinya? @_@

Demikian juga kalau kita belikan mukena, atau sandal untuk berwudhu.. bagaimana orang yang solat dengannya kita juga dapat pahalanya? MasyaAllah untung sekali ya...

(ya Allah semoga kami termasuk yang bisa mengamalkan dan mendapat kebaikan itu)

Dengan uang/sumber daya yang sama.. bisa mendapat hasil yang berbeda. Ada pahala yang terputus dan ada yang terus mengalir.. Namun ini bukan berarti sedekah makanan itu ga menguntungkan. InsyaAllah dah, Allah maha tahu niat kita.Siapa tahu itu makanan menjadi dagingnya
Saya jadi ingat kisah sumur Usman bin Affan.. sumur yang dibeli dari seorang Yahudi..dipakai bermanfaat bagi banyak orang.. airnya dipakai untuk apa saja? Menghapus dahaga? Berwudhu? Mandi? Sangat bermanfaat ..  mungkin bagi sebagian orang terdengar biasa, namun pada saat itu, konon harga sumurnya sangatlah mahal dan kalau bukan karena iman kepada Allah dan percaya kepada RasulNya.. mungkin Usman bin affan juga enggan melakukannya. 

(Bagi yang belum mendengar kisahnya, lihat di bawah ya... )

Berapa ratus tahun Usman bin Affan telah mendapat pahala dari wakafnya tersebut? Sementara jasadnya di tanah tetapi pahalanya masih terus berjalan kepadanya. MasyaAllah....
(semoga Allah mampukan kita menirunya)

MasyaAllah-nya lagi, kita ternyata dapat bersedekah bukan hanya buat diri kita, tapi untuk ayah ibu kita yang telah wafat. Bayangkan kalau kita punya uang, kita pengen ngasih orang tua lebihan.. tapi orang tua kita udah engga ada, ternyata kita masih bisa “ngasih” ke mereka. InsyaAllah pahalanya sampai. Bakti kita tidak hanya saat mereka hidup, tetapi saat sudah di dalam kubur, orang tua masih dapat kita berikan bakti kita. InsyaAllah... [1]

Demikian saja tulisan saya, semoga ada manfaatnya. Selamat memilih ya..

Semoga kita bisa melakukan amal amal shalih yang pahalanya terus mengalir bahkan ketika ruh telah berpisah dari badan, insyaAllah juga bisa memberikan hadiah juga kepada ayah ibu kita meskipun telah tiada di sisi kita. 

(aamin)

 =================================================================


Utsman bin Affan, Pewakaf Sumur Raumah yang Barakah[2]
Al Ustadz Aziz Rachman, Lc

Dari sekian banyaknya shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ada beberapa di antara mereka yang dikenal sebagai orang-orang yang sangat dermawan. Kedermawanan mereka, terkadang seperti “tak masuk akal” jika dilihat dari kaca mata dunia, lantaran begitu banyaknya harta yang mereka infaqkan di jalan Allah.
Di antara shahabat dermawan itu, tersebutlah nama Utsman bin Affan radhiyallahu anhu. Seorang shahabat mulia, yang masuk Islam di awal masa dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seorang  shahabat mulia, yang menjadi menantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seorang shahabat mulia, yang menjadi saksi hijrahnya kaum muslimin ke negeri Habasyah. Seorang shahabat mulia, yang menjadi khalifah dan pemimpin kaum muslimin.
Begitu banyaknya kisah tentang keutamaan dan kemuliaan yang dimiliki oleh Utsman bin Affan radhiyallahu anhu. Salah satunya, adalah kisah Utsman bin Affan dengan sebuah sumur, yang dikenal dengan sumur Raumah.

Surga Bagi yang Membebaskan Sumur Raumah
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat berhijrah ke kota Madinah, mereka mengalami kesulitan untuk mendapatkan air yang bersih dan segar. Apalagi kaum Muhajirin ketika di Mekkah begitu terbiasa dengan segarnya air zam-zam. Di Madinah, mereka tidak mendapati air yang jernih dan segar.
Tak jauh dari Masjid Nabawi, tinggallah seorang Yahudi yang terkenal dengan sifat culasnya. Ia memiliki sumur yang cukup besar, dengan air yang segar dan jernih pula. Adapun rasanya, memiliki kemiripan dengan air zam-zam.
Ia tidak mau berbagi air tersebut kepada penduduk Madinah meskipun hanya setetes. Ia menjadikan sumurnya sebagai ladang bisnis, dengan menjual air pada orang-orang Madinah. Para shahabat kemudian menyampaikan hal ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian bersabda :
مَنْ يَشْتَرِي بِئْرَ رومَةَ فَيَجْعَلَ دَلْوَهُ مَعَ دِلَاءِ المُسْلِمِينَ بِخَيْرٍ لَهُ مِنْهَا فِي الْجَنَّةِ
“Barang siapa membeli sumur Raumah dan menjadikan gayung miliknya bersama dengan gayung-gayung milik kaum muslimin dengan kedermawanan miliknya, maka kelak ia di surga.”[2]
Berdirilah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut. Utsman segera mendatangi Yahudi pemilik sumur dan memberikan penawaran untuk membeli sumur Raumah dengan harga yang tinggi. Walau sudah diberi penawaran yang tertinggi sekalipun Yahudi pemilik sumur tetap menolak menjualnya.
“Seandainya sumur ini aku jual kepadamu wahai Utsman, maka aku tidak memiliki penghasilan yang bisa aku peroleh setiap hari” demikian kata lelaki Yahudi tersebut menolak penawaran Utsman.
Tapi Utsman pantang mundur. Keesokan harinya atau beberapa lama kemudian, Utsman kembali mendatangi lelaki Yahudi tersebut untuk memberikan penawaran lagi. Kali ini Utsman berusaha untuk membeli “setengah bagian” dari sumur tersebut.
Maksudnya, Utsman berusaha agar lelaki Yahudi tersebut tidak merasa terganggu perdagangannya. Utsman mengusulkan agar sumur itu dibeli setengahnya, dengan pembagian yang nantinya disepakati.
“Bagaimana kalau aku beli setengahnya saja dari sumurmu?”  kata Utsman bernegosiasi.  “Begini, jika engkau setuju maka kita akan memiliki sumur ini bergantian. Satu hari sumur ini milikku, esoknya kembali menjadi milikmu kemudian lusa menjadi milikku lagi demikian selanjutnya berganti tiap hari. Bagaimana?” kata Utsman.
Lelaki Yahudi itu mengangguk lantaran ia berfikir akan mendapatkan uang dari Utsman tanpa kehilangan penghasilan dari menjual air sumurnya. Imam Ibnu Abdil Barr menyebut bahwa Utsman bin Affan radhiyallahu anhu membayar uang sejumlah 12 ribu dirham untuk bisa memiliki setengah dari bagian sumur tersebut.
Utsman yang dermawan segera mengumumkan kepada penduduk Madinah yang hendak mengambil air dari sumur Raumah, agar mengambil air untuk kebutuhan mereka tanpa harus membayar karena hari tersebut adalah jatahnya milik Utsman. Tidak lupa Utsman mengingatkan agar penduduk Madinah mengambil air dalam jumlah yang cukup untuk dua hari, karena besoknya, hari sumur itu bukan lagi jatah milik Utsman.
Keesokan hari Yahudi mendapati sumur miliknya sepi pembeli, karena penduduk Madinah masih memiliki persedian air di rumah. Yahudi itupun mendatangi Utsman dan berkata : “Wahai Utsman, engkau telah merusak perdaganganku, belilah setengah lagi sumurku ini”. Utsman pun setuju, lalu diberikanlah uang sebesar 8 ribu dirham sehingga totalnya menjadi 20 ribu dirham. Dengan itu, maka sumur Raumahpun menjadi milik Utsman secara penuh.

Wakaf Utsman untuk Kaum Muslimin
Setelahnya, sumur itu diwakafkan untuk kaum muslimin dan setelah beberapa waktu kemudian, tumbuhlah di sekitar sumur itu beberapa pohon kurma dan terus bertambah. Lalu Daulah Utsmaniyah memeliharanya hingga semakin berkembang, lalu disusul juga dipelihara oleh Pemerintah Arab Saudi, hingga jumlahnya mencapai lebih dari seribu pohon.
Selanjutnya pemerintah Arab Saudi, menjual hasil kebun kurma ini ke pasar-pasar. Setengah dari keuntungan itu disalurkan untuk anak-anak yatim dan fakir miskin, sedang setengahnya ditabung dan disimpan dalam bentuk rekening khusus milik beliau di salah satu bank atas nama Utsman bin Affan, di bawah pengawasan dari Departeman Wakaf Arab Saudi.
Subhanallah, betapa besarnya pahala dari wakaf Utsman bin Affan radhiyallahu anhu. Meskipun sudah berlalu lebih dari 1400 tahun, wakaf Utsman bin Affan ini terus memberikan manfaat bagi kaum muslimin.


[2] http://majalahshahabat.com/utsman-bin-affan-pewakaf-sumur-raumah-yang-barakah/







“Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah aku bisa bersedekah atas namanya?”. Beliau menjawab: “Ya”. Aku berkata: “Sedekah apa yang paling utama?”. Beliau menjawab: “Pengairan air”. (HR. Ahmad dan Nasa’i)
“Sesungguhnya ibuku meninggal dunia  secara mendadak, aku kira bila dia semapt berbicara pasti beliau bersedekah, lalu apakah ada pahala baginya jika aku bersedekah atas namanya? Beliau menjawab: “ya”. Bersedekahlah atas namanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

JUARA

"Kalo juara, kakak dibeliin apa ma?", sergah si kakak kepada mamanya saat dijemput pada hari terakhir UAS di sekolahnya. Percakapan yang kemudian di forward ke saya dan membuat saya ketawa-ketawa sendiri. Sejak SMP, anak saya ini memang langganan juara. Berbeda dengan saat dia masih SD. Kami pun sebagai orang tua merasa dia sangat nyaman dengan lingkungan sekolahnya saat ini, sepertinya pas dengan karakternya. Persaingan tetap ada dan ketat tapi tidak menimbulkan tekanan. Orang tua murid pun tidak banyak "ngerusuhi" urusan sekolah dan guru-guru. Saat SD, prestasinya juga tidak jelek, tapi dia tidak pernah berturut-turut jadi juara kelas, paling banter masuk 3 atau 5 besar. Meskipun suasana sekolahnya dulu juga kondusif, tapi ada hal-hal tertentu yang membuat dia merasa tertekan dengan kondisi persaingan dengan teman-temannya.
.
Saya dan istri sebenarnya tidak pernah mendoktrin anak-anak untuk menjadi juara kelas. Yang kami tekankan adalah mereka mau belajar, mengerjakan soal ulangan/ujian dengan teliti serta jujur alias tidak mencontek. Masalah hasil ya bebas-bebas saja, dapat juara syukur, tidak dapat juga tidak apa-apa. Saya juga tidak pernah memaksa mereka belajar, walaupun kadang-kadang menyuruh tapi itupun sekedarnya, karena disuruh istri hahaha.
.
Pada umumnya sistem pembelajaran di sekolah-sekolah sudah tidak mengenal istilah rangking atau peringkat. Namun tetap saja, guru-guru membuat daftar peringkat karena para orang tua murid masih sering menanyakan hal tersebut. Saya sendiri sudah sejak lama tidak peduli dengan segala macam peringkat, rangking, juara kelas atau apalah istilahnya. Pada saat anak saya berkesempatan sekolah di Australia (kindy dan primary), saya melihat sistem apresiasi yang benar-benar berdasarkan kemampuan personal si anak. Tidak ada penilaian hanya berdasarkan kumulatif nilai-nilai pelajaran formal. Semua anak diperlakukan sesuai minat dan bakatnya, sehingga setiap anak merasakan menjadi juara atau the best student. Ada yang menjadi juara karena selama 1 minggu dia dinilai paling sopan di antara teman-temannya. Ada juga yang menjadi juara karena suaranya paling keras saat disuruh tampil di depan kelas. Pokoknya ada saja kriteria untuk menjadi juara. Awalnya saya merasa ini hanya 'akal-akalan' pihak sekolah saja tapi lambat laun saya menyadari ada satu pembelajaran yang sangat baik disana. Setiap anak diberi kesempatan untuk menjadi yang terbaik sesuai dengan kondisinya bukan sesuai kondisi orang lain atau kriteria orang lain. Tidak semua anak berbakat di bidang matematika, bahasa atau sains, jadi tidak adil jika penilaian seorang anak menjadi "juara" hanya berdasarkan nilai-nilai pelajaran tersebut saja.
.
Kondisi tersebut di atas belum pernah saya temui di sini. Sekali waktu saya pernah berdiskusi dengan guru sekolah anak saya. Saya sampaikan bahwa harusnya pihak sekolah lebih bijak melihat bakat dan kemampuan anak-anak sehingga semua anak merasakan dan memiliki 'panggung'nya masing-masing. Hal tersebut saya sampaikan karena saya melihat kondisi di sekolah tersebut hanya menonjolkan si juara kelas, sehingga dalam kegiatan apapun, si juara kelas pasti menjadi pilihan pertama. Apa yang saya sampaikan ke guru tersebut akhirnya menjadi hal yang sia-sia, karena memang para guru pun tidak memiliki kemampuan untuk mengkondisikan hal tersebut.
.
Seberapa pentingkah menjadi juara dalam hidup ini?. Jawabannya pasti banyak sekali. Penting, gak penting, penting tapi dengan kondisi bla bla bla, gak penting karena bla bla bla. Banyak sekali, karena semua punya preferensi, sudut pandang, kriteria dan kondisi masing-masing. Tidak ada jawaban benar atau salah untuk pertanyaan di atas, semua kembali ke diri masing-masing.
.
Dalam sebuah kompetisi memang harus ada juara-nya, karena memang disitulah esensinya kompetisi: mencari pemenang, sang juara. Juara 1, 2 dan 3. Apakah juara 1 lebih hebat dari juara 2 dan 3?. Faktanya harus begitu, karena ada penilaian-penilaian tertentu yang membedakan antar juara. Ketika kompetisi sudah berakhir, kondisi bisa sangat berubah. Lihat saja para stand-up comedian ternama saat ini, apakah mereka dulu juara 1 stand-up comedy academy? Para juara 1 Indonesian Idol, kemana mereka sekarang? Banyak lagi contoh-contoh para non-juara 1 yang ternyata lebih berhasil dan lebih bersinar dibandingkan para juara 1 yang bahkan namanya pun sudah banyak dilupakan. Tentunya tetap ada juara 1 yang juga meneruskan keberhasilannya setelah kompetisi, tapi sepertinya tidak banyak. Lalu, faktor apa yang menciptakan kondisi demikian?. Banyak sekali tentunya, salah satunya mungkin karena sang juara telah menghabiskan semua energinya untuk menjadi juara 1, sehingga setelah kompetisi berakhir energi tersebut telah habis dan grafik performanya akhirnya menurun. Berbeda dengan non-juara 1, mereka merasa kalah, perasaan ini yang akhirnya melecut mereka untuk terus bekerja dan bekerja untuk mengisi celah yang membuat mereka kalah. Mereka tahu bahwa mereka masih mempunyai banyak sisa energi yang mungkin tidak terlihat oleh para juri tapi justru mereka perlihatkan ke media yang lebih luas daripada kompetisi yang serba terbatas.
.
Kembali ke permintaan hadiah si kakak, kami sih tidak pernah memberikan hadiah khusus untuk hal-hal seperti itu. Kalaupun ada hadiah, itu hanya sekedar 'pemenuhan kebutuhan yang tertunda'. Tanpa jadi juara pun, akan tetap diberikan, sepanjang itu memang kebutuhannya dan sepanjang dananya ada. Anak-anak menjadi juara kelas atau tidak bukanlah hal yang penting dan segalanya, karena masa depan mereka bukan ditentukan dengan deretan gelar juara, tapi lebih ditentukan oleh bagaimana mereka bisa memahami arti kehidupan dan bagaimana mereka memahami sesama dalam kehidupan ini.


Jakarta, 12 Desember 2017

BnD Project – Kisah Si Burlem

Ada sebuah kisah tentang seorang pegawai negeri sipil, sebutlah si Burlem. Kegiatan si Burlem seperti pegawai kantoran pada umumnya. Burlem juga kebetulan tinggal di Jakarta. Berangkat pagi, naik transportasi umum, melakukan absensi pada mesin handkey, bekerja pada institusi yang memberikan penghasilan yang cukup kepada istri dan anaknya. Pokoknya untuk ukuran seorang pegawai negeri, Burlem ini termasuk tipikal pegawai yang bekerja di atas rata-rata.
Burlem sudah cukup lama menjadai seorang pegawai negeri sipil. Pada tahun 2002, Burlem melamar sebagai pegawai negeri sipil, setelah 2 tahun bekerja di sektor swasta di bidang konstruksi. Setelah melewati beberapa tahapan tes, Burlem dan beberapa kawan seangkatan diterima menjadi pegawai negeri sipil. Burlem termasuk yang merasa beruntung menjadi pegawai negeri. Karena beberapa kali mendaftar, dia selalu gagal. Maka usahanya tidak sia-sia ketika Burlem belajar mempelajari beberapa buku mengenai tips menjadi CPNS dari toko buku terkenal dan situs yang memberikan informasi mengenai itu.
Saat diterima menjadi CPNS, Burlem sudah menikah dan mempunyai seorang anak. Seiring dengan berjalannya waktu sebagai salah satu abdi negara, kebutuhan hidup si Burlem menjadi tinggi sebagai akibat pergaulan dengan teman-teman kantor sebelumnya dan lingkungan sekitarnya. Salah satu cara yang mungkin bisa ditempuh untuk menambah penghasilan itu, dengan bekerja hingga melampaui jam kerja kantor. Hal ini sudah berlangsung sejak tahun 2015. Ketika tidak ada lagi pekerjaan yang bisa dikerjakan, Burlem tetap berada di kantor hingga memenuhi batasan waktu yang dia telah tentukan.
Banyak motif atas apa yang dilakukan si Burlem. Menghindar macet salah satunya dan masih banyak alasan lainnya. Model pegawai seperti Burlem ini cukup banyak di beberapa kementerian dan lembaga. Bahkan ada yang hapal bagaimana cara menghitung overtime  waktu kerjanya itu. Beberapa bahkan bisa menghitung hingga ke jumlah menitnya. Ketika dia lebih sekian menit, maka dia akan mendapat sekian dari kelebihan jumlah jam kerja itu. Beberapa dari mereka memang sudah meniatkan akan bekerja overtime ketika akan berangkat kerja. Bahkan ada juga yang protes jika waktu overtime-nya tidak dibayarkan.  
Apakah salah dengan sikap si Burlem ini ? Tidak ada yang salah jika ada pekerjaan yang harus segera diselesaikan sesuai tenggat waktu. Dalam hal ini, negara mengeluarkan sejumlah uang yang sia-sia. Bayangkan juga berapa jumlah uang negara yang harus digelontorkan untuk tipikal seperti Burlem? Negara banyak mengeluarkan dana yang tidak patut sementara masih banyak bangunan sekolah, jembatan, fasilitas kesehatan di beberapa daerah di Indonesia yang belum layak, memerlukan bantuan pendanaan. Bagaimana jika jumlahnya seperti Burlem ini ada sekitar 100.000 pegawai? Hanya kita yang mengetahui kapan harus bekerja overtime dan kapan tidak.
Fakta ini ada dan hanya diri kita yang bisa memilih untuk memberikan yang terbaik kepada negara kita ini. Kementerian Keuangan sudah mengawali dengan menetapkan Instruksi Menteri Keuangan nomor 346/IMK.01/2017 tentang Gerakan Efisiensi sebagai Implementasi Penguatan Budaya Kementerian Keuangan, yang salah satunya “Pemanfaatan jam kerja secara efektif dan meminimalisir jam lembur melalui pendekatan work-life-balance dengan memperhatikan tanggung dan penyelesaian tugas”. Selain itu, pegawai kemenkeu harus menjunjung tinggi value Kementerian Keuangan yaitu Integritas, Profesionalisme, Sinergi, Pelayanan dan Kesempurnaan. Itulah di Kementerian Keuangan. Semoga kita bisa menjadi panutan seperti para pegawai di Kementerian Keuangan. Ayo kita dukung gerakan efisiensi dengan pendekatan work-life-balance agar mengurangi beban negara.     

#bndproject
#bukannotadinas


Kisah ini juga dapat dibaca pada laman berikut : 
https://rulyardiansyah.blogspot.co.id/2017/12/bnd-project-kisah-si-burlem.html

Nadin Ingin Seperti Aisyah

Bunda menyematkan peniti pada jilbab Nadin. Wajah putrinya yang bulat nampak begitu menggemaskan dengan jilbab pink berhias motif bunga-bunga di sepanjang sisinya. Imut sekali.
Nadin tertawa memamerkan lesung pipitnya sambil memandang wajahnya dalam cermin.

"Bunda, aku cantik ya, Bun? Sudah mirip belum seperti Aisyah, Bun? Kata Bunda, Aisyah adalah istri Nabi yang paling cantik dan pintar menghapal hadist"

Bunda mengangguk, "Betul Nak, Aisyah adalah seorang gadis yang sangat cantik di Mekah, dan Beliau adalah penghapal hadist yang terbanyak dan paling dipercaya saat itu"

"Temenku juga cantik, Bun, rambutnya panjang dan lebat. Aku suka melihat rambutnya kalau sedang berolah raga. Rambutnya bergerak kesana-kemari, Bun."

Bunda tertawa kecil, sambil memasangkan bros kecil di jilbab putrinya, "Iya sayang, pada hakikatnya setiap wanita itu cantik. Ada yang rambutnya bagus, ada yang kulitnya bersih, ada yang bentuk tubuhnya indah, semua punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Namun yang paling hakiki adalah bagaimana wanita itu ikhlas untuk tidak mempertunjukkan semua itu karena ia lebih memilih menonjolkan identitasnya sebagai muslimah. Dia lebih berusaha mematuhi perintah Tuhannya daripada hanya sekedar mendapat pujian dari manusia lain."

"Tapi aku suka dipuji, Bun..." Nadin menyela,

Bunda tertawa, "Manusia mana yang tidak suka dipuji, Nak? Pujian membuat hati seseorang menjadi senang, namun yang lebih berhak untuk dipuji adalah yang menciptakan itu semua, Alhamdulillah..."

Bunda mengajak Nadin duduk disisinya, dan berkata,

'Ketika kamu dipuji orang, entah karena kecantikan ataupun kepandaianmu, artinya semua orang suka pada keindahan dan kesempurnaan. Itu hal yang sangat manusiawi. Namun jangan sampai semua pujian ini menjadikan kita lupa dan selalu mencari cara agar semua orang melihat kelebihan itu dengan maksud untuk mendapat kakaguman/pujian orang. Lihatlah Aisyah, beliau adalah manusia biasa, seorang perempuan yang memiliki sifat-sifat manusia biasa. Beliau pernah merasakan yang perempuan lain rasakan, namun beliau memilih untuk tidak mengutamakan pujian dari manusia. Dan banyak lagi seperti Aisyah-Aisyah lain yang lebih memilih untuk menunjukkan identitasnya sebagai muslimah dengan bangga, daripada sekedar mempertontonkan kelebihan jasmaninya."

"Iya Bun, identitas itu apa ya?"

"Identitas adalah ciri atau bukti yang nampak, misalnya seperti kartu pelajarmu yang menunjukkan kalau kamu adalah seorang pelajar di sekolah itu"

"Nadin punya kartu pelajar, artinya Nadin sudah diakui jadi anggota sekolah itu ya, Bun?

"Benar Nadin, begitu juga sebagai muslimah, kita tidak harus menunggu seluruh ahlak dan hati kita menjadi baik dulu, baru berhijab. Tunjukkan identitasmu, dan sesuaikan hati dan ahlakmu dengan identitas itu. Sama seperti kita mendaftar apapun. Tunjukan identitas, baru kita bisa masuk dan menikmati seluruh fasilitas yang ada. Nadin tidak malu, menunjukkan identitas Nadin, kan?"

"Enggak Buun, Nadin akan bilang bahwa Nadin adalah seorang pelajar, perempuan, dan Nadin ingin seperti Aisyah..."

Bunda tertawa, diciumnya pipi Nadin, aamiin...katanya.




KATA (KATAMU)

Words have energy and power with the ability to help, to heal, to hinder, to hurt, to harm, to humiliate and to humble.”
-Yehuda Berg-

Kegiatan menulis ini sudah direncanakan dari kemarin, bukan tulisannya ya hanya kegiatan menulisnya. Sampai sepuluh menit yang lalupun belum terpikir mau menulis apa, kebetulan saja seminggu terakhir ini mood lagi gak enak, bawaannya males, sehari-hari mengerutu (walau dalam hati), duduk di meja sama orang banyak tapi main Candy Crush atau malah baca komik di handphone. Beberapa kali pembicaraan dilempar ke saya tapi karena tidak mendengarkan ya gak tahu dari tadi sebenarnya dia ngomongin apa, untungnya sang kawan lebih fokus untuk melanjutkan ceritanya daripada mendengarkan tanggapanku. Nah, tadi sebelum buka ms word sambil nunggu laptop loading, kebetulan laptop tua jadi ngidupinnya agak lama, saya buka Facebook deh di handphone dan nonton video soal “Kata-kata” atau lebih tepatnya “Kekuatan Kata-kata” di mana sebuah kata/ kata-kata dapat merubah hidup, menginspirasi sebuah bangsa, dan membuat dunia menjadi lebih indah. Bahwa mulutmu dapat mengeluarkan racun atau menyembuhkan hati yang luka.

Nah, kebetulan Rabu kemaren idola saya waktu kuliah sarjana (S1) saudara Buky di tengah-tengah chatting-­an kami di telegram bertanya “Muel masih suka bincang2 politik nga di fb?”. Aku menjawab “kgk, males”. Ketika ditanya alasannya aku menjawab “Gw ga sebaik itu ternyata Buk. Gw berpikiran kl gw nulis itu untuk mencerahkan tapi kenyataannya seringnya gw sarkas dengan tujuan menyakiti”. Saya sendiri merasa kalau saya adalah orang yang sangat tidak pedulian dengan lingkungan sekitar, begitu pula pendapat orang-orang terdekat saya, atau cuek dalam bahasa bekennya, “eh, cuek masih bekenkan sekarang? Apa udah ada kata-kata gaul baru? Jangan sampe anak jaman now ga ngerti maksud gw!”. Saya memang suka membaca berita politik beberapa tahun terakhir. Sebelumnya sih “sabodo teuing” kalau kata orang batak. Walau selalu mengikuti berita tetapi saya tidak ambil pusing dan tidak menyimpan harapan pada presiden yang luar biasa awesome sekali bisa memimpin negara sambil berkuliah doktor dan menelurkan lima album dalam sepuluh tahun pemerintahannya. Hanya setelah itu saya mulai “agak” sedikit perduli karena punya sedikit harapan. Eh, tak dinyana tak diduga niat “baik” saya untuk meluruskan pemberitaan dari para hoax terbawa dalam hati sehingga saya melakukannya dengan menggunakan tulisan-tulisan sarkasme, awalnya sih saya “merasa” seperti sedang berusaha “menggugah” logika teman-teman saya yang berbeda pendapat dengan saya. Kebetulan semuanya sekolah tinggi-tinggi, jadi menurut opini saya “logika saya pasti bisa masuk ke mereka”. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya yaitu “logika saya tetap gak masuk dan sepertinya mereka sakit hati dengan saya”.

Permainan kata-kata sendiri bagi saya adalah susah-susah gampang, di satu sisi saya dapat dengan mudah membaca maksud sebenarnya dalam setiap untaian kata-kata indah yang tertulis ataupun terucap di sisi lain saya sangat sulit membuat sebuah kalimat dengan halus, renyah, dan ringan tetapi pesan saya tetap bisa disampaikan. Kalimat saya lebih sering to the point tanpa basa-basi (maklum darah batak 100%) jikapun saya menggunakan analogi-analogi yang lebih sering keluar adalah kalimat-kalimat bernada sarkasme yang sinis dan menusuk. Tulisan atau perkataan saya yang pertama keluar cenderung “terlalu” jujur tanpa usaha untuk memolesnya.

Kembali ke kekuatan kata-kata, saya ingin agar kata-kata yang keluar dalam tulisan atau ucapan saya bisa merubah hidup, menginspirasi, membuat dunia menjadi lebih indah dan menyembuhkan hati yang luka, bukannya menjadi racun, menyakiti, menghambat, dan mempermalukan. Tetapi saya masih belajar, belajar bagaimana caranya bicara jujur tanpa menyakiti hati orang. Bagaimana cara beragumen tanpa menyenggol perasaan, mengiris ego, dan membangunkan orang yang sedang bermimpi. Seorang teman pernah berkata “yah kalau Sam berdiskusi mengedepankan fakta sementara ada juga yg berdiskusi untuk sinergi”.

  • Tulisan ini rencananya diposting tgl 11 November 2017 berhubung proses pembelajaran maka melalui berulang kali proses review dan edit semoga tidak mengurangi nilai kejujuran dan maaf jika masih terkandung sarkasme di dalamnya.

Paddy Field

Birds sing a song cheerfully among the field
Light of sun come in through the field
Farmers and people walk through and across the field
Butterflies are flying up in the field

I imagine the smells paddy field in the morning
I took deep breath among paddy field
How solemn and fresh the nuance of it
So I can remember the time we made

Paddy field made me realize the time went by  
The picture of God the almighty revealed
Many people work in the paddy field
They made a fortune for themselves and others

Morning breeze in the paddy field was so amazing
The perfume of green grass stimulated the soul of mine
Now, paddy field has become a scarcity venue
Paddy field, I miss you with someone that I can share 

#inspirasialam
##nuansabatin


Puisi ini dapat dilihat juga pada laman : 

COCO

"Kejujuran itu menyakitkan, tapi kebohongan bisa membunuh"


Tulisan ini terinspirasi dari film yang berjudul "COCO". Tadinya saya sudah malas untuk ikutan nonton film ini. Pertama, harga tiketnya mahal hehehe. Kalau nonton sekeluarga itu hitungannya di kali empat, jadi kalau harga satu tiket lima puluh ribu rupiah berarti saya eh istri saya harus keluar uang lima puluh ribu di kali empat atau dua ratus ribu rupiah. Pilihan efisiensinya, yang nonton hanya mama dan adek, kakak dan adek, papa dan adek atau mama, kakak dan adek. Terakhir kombinasi mama dan adek nonton film "My Little Pony" berakhir dengan pandangan kosong mama menatap layar, ngunyah popcorn sambil bilang "bagus", sementara si adek menonton dengan mata berbinar-binar bahagia. Kemarin itu, tidak ada kesepakatan kombinasi efisiensi, sehingga terpaksalah kami berempat nonton film pilihan si adek. Alasan kedua mengapa saya malas nonton adalah karena saya selalu tertidur di bioskop. "Papa parah" komentar si adek karena saya tidur pas nonton film Batman Lego Movie, karena dia tahu banget kalau papa-nya penggemar Batman. Kan eman-eman sudah bayar tiket malah ketiduran di dalam. Akhirnya, diputuskan kami tetap nonton berempat, itung-itung nyenengin si adek yang udah seminggu ditinggal papanya ini ke Yogya.
.
Ternyata film-nya menarik juga. Bercerita tentang seorang anak kecil bernama Miguel yang merasa 'dikutuk' karena lahir dan tinggal di keluarga pembuat sepatu sedangkan dirinya merasa lebih cocok menjadi musikus. Di keluarga Mama Coco (nenek buyut Miguel), musik adalah sesuatu yang diharamkan setelah sang Papa meninggalkan keluarga demi musik. Jangankan musik, menyebutkan nama sang Papa saja adalah hal yang tabu, bahkan foto sang Papa yang terpajang di ofreda (semacam ruangan pemujaan)-pun tidak tampak wajahnya karena disobek dengan penuh kebencian.
.
Mengambil setting perayaan dia de los muertos atau perayaan hari orang mati di Meksiko, cerita film mengalir cepat. Logika penonton diarahkan ke sosok Ernesto De La Cruz, seorang pemusik legendaris yang diidolakan si kecil Miguel. Ernesto tidak saja menginspirasi dengan suara dan permainan gitarnya tetapi juga dengan lagu-lagu dan kata-kata motivasinya. Banyak sekali kata-kata motivasi Ernesto seperti "seize the moment", "no one was going to hand me my future.." dan lainnya yang semakin menguatkan Miguel untuk menunjukkan jati dirinya sebagai seorang pemusik. Keajaiban pun membawa Miguel ke "Land of the Dead"  yang akhirnya menguak tabir misteri keluarganya selama ini, sekaligus memperdaya logika awal penonton.
.
Saat menonton film ini saya membuat rekor baru: tidak tertidur di bioskop. Entah karena sudah kenyang tidur pas di Yogya atau karena jalan cerita yang menarik. Yang jelas banyak sekali pesan yang saya tangkap dari film ini.
.
Awalnya saya menduga bahwa film ini akan berakhir klise. Seorang anak yang memberontak dari keluarganya, determinasi yang tinggi ditambah dengan motivasi-motivasi dari sang idola mampu membuatnya mewujudkan impiannya, dan akhirnya keluarganya mengalah dan mampu menerima pilihan sang anak, that's it.  Tapi ternyata meskipun ending-nya kurang lebih sama, pesan yang disampaikan lebih dari itu. 
.
Kejujuran itu menyakitkan. Ketika kejujuran itu didapat si kecil Miguel, seketika hatinya sakit. Angan-angannya hancur. Impiannya musnah. Sang Idola yang selama ini telah menginspirasinya, tak lebih dari seorang pendusta, seorang opportunist yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan ketenaran dan nama besar. Apa yang dilakukan oleh Ernesto tentunya bukan hal baru dalam kehidupan sehari-hari. 'Mencuri' ide adalah sah-sah saja, bukankah memang tidak ada sesuatu yang baru di muka bumi ini?. Ernesto tidak pernah menciptakan lagu sendiri. Lagu-lagu yang dinyanyikannya adalah lagu ciptaan sahabatnya, yang harus kehilangan nyawa dan keluarga demi ambisi Ernesto. Pertanyaan yang kemudian timbul di benak saya adalah ketika semua kebohongan Ernesto terungkap lalu semua yang telah dilakukannya menjadi sia-sia. Dia dicemooh dan akhirnya dead for good. Landmark  yang dibangun khusus untuknya pun yang awalnya bertuliskan Remember Me kemudian diganti menjadi Forgotten. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang selama ini telah terinspirasi dengan hidupnya? berapa banyak hidup orang yang berubah menjadi baik karena kata-kata yang disampaikannya?. Entahlah. Apakah beda nilainya seorang yang bertobat karena mendengar nasihat seorang ustadz atau mendengar nasihat seorang penjahat?.
.
Kebohongan dapat membunuh. Mama Coco harus berbohong berpuluh tahun, mengingkari hatinya yang sangat merindukan sosok sang Papa. Papa yang selalu memainkan gitar dan bernyanyi untuknya. Lagu rahasia yang khusus diciptakan untuk Coco kecil, yang membekas dalam hati sanubarinya hingga di usia senjanya. Kebohongan yang harus dipelihara demi keutuhan keluarga besarnya. Kebohongan itu tidak saja membunuh kerinduan Mama Coco, tapi juga membunuh sang Papa di "Land of the Dead". Kebahagiaan para orang mati untuk berkunjung ke tanah orang hidup, menemui orang-orang terkasih-nya akan hilang ketika tidak ada satupun orang yang ingat kepadanya dan memajang fotonya di ofreda. Pesan yang sangat kuat dan menyedihkan bahwa seseorang itu dikatakan mati bukan karena nyawa telah hilang dari tubuhnya, bukan karena telah dikubur, dibakar atau dilarung. Seseorang dikatakan mati apabila tidak ada seorangpun yang mengingatnya, forgotten.
.
Keluarga adalah hal yang terpenting dalam hidup ini. Perbedaan dalam hal apapun tidak dapat dijadikan pembenaran untuk meninggalkan keluarga. Perbedaan adalah suatu keniscayaan, bukan sesuatu yang harus dihilangkan tetapi sesuatu yang harus bisa dipahami dan ditoleransi dalam suatu ikatan keluarga. Perbedaan bukanlah suatu alasan untuk mengucilkan satu anggota keluarga, perbedaan bukan pula alasan untuk tidak mendengarkan suara. Perbedaan yang dikuatkan dalam satu persaudaraan, satu keluarga, justru memberikan warna dan membentuk satu kekuatan bersama.
.
Manfaatkan setiap kesempatan, ambil setiap peluang. Once never comes twice, begitu kata pepatah. Kesempatan tidak akan datang dua kali, sehingga kita tidak boleh menyia-nyiakan setiap kesempatan. Namun demikian, harus diingat, setiap kesempatan yang kita ambil tentunya membutuhkan suatu pengorbanan?. Bukankah setiap kita mendapatkan kenikmatan ada kenikmatan lain yang dicabut dari kita?. Bijak mungkin adalah kata yang tepat. Bijaklah terhadap setiap kesempatan yang datang. Saat sang Papa tidak bijak dan mengambil kesempatan untuk meraih kesuksesan bersama Ernesto, sang Papa tak sadar telah mengorbankan seluruh kehidupannya. Butuh banyak generasi dan keajaiban sebelum akhirnya sejarah dapat diluruskan. 
.
Kaget juga ketika di akhir film saya menyadari bahwa tiga orang cewek di samping saya semuanya meneteskan air mata. Wajar memang, saya pun sebenarnya terharu namun berhasil mengendalikan diri untuk tidak menangis. Dalam hati saya berharap, pesan-pesan moral yang disampaikan film ini dapat dicerna dengan baik oleh anak-anak, ya minimal suatu saat saya bisa mengingatkan mereka tentang nilai-nilai baik dari film ini. Mengingatkan mereka bahwa mencintai saudara/orang tua adalah hal yang tidak terbatas waktu, tidak berbatas nafas dikandung badan. 


Jakarta, 11 Desember 2017