Sedikit Pendapat Untuk Pidato Presiden Joko Widodo Dalam Acara Penyerahan DIPA TA 2018

Entah kenapa jadi ada ide buat nulis lagi walaupun peristiwanya sudah beberapa minggu yang lalu, tapi baru sempat ditulis sekarang. Awal mulanya karena rekan diruangan ada yang lagi ngobrolin pidatonya Presiden Joko Widodo saat acara penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) pada tanggal 6 Desember 2017 di Istana Kepresidenan Bogor. Sebelumnya saya sudah sempat lihat video itu, tapi jadi semakin penasaran mau menggali lebih dalam khususnya saat Pak Jokowi menyampaikan butir terkait dengan efisiensi. Pak Jokowi kurang-lebih mengatakan seperti ini, “efisiensi perlu dilakukan pada belanja operasional, honorarium, perjalanan dinas, rapat, dan lain sebagainya. Teliti saat pertama kali menyusun RKA-K/L. Setiap kegiatan terdiri dari tahap persiapan, pelaksanaan, dan pelaporan, dan kegiatan intinya adalah pada tahap pelaksanaan, sedangkan yang terjadi di K/L adalah anggaran lebih besar di tahap persiapan atau dapat dikatakan bahwa belanja pendukung lebih dominan dibandingkan belanja intinya. Contohnya adalah pemulangan TKI dengan anggaran Rp3 miliar, biaya pemulangan sebesar Rp500 juta, sedangkan sisanya sebesar Rp2,5 miliar digunakan untuk kegiatan rapat dalam kantor, rapat koordinasi, perjalan dinas, keperluan ATK, dan lain sebagainya.”

Berdasarkan pernyataan beliau, muncul penasaran dibenak saya, apakah memang demikian kondisi yang terjadi pada Kementerian/Lembaga di negeri ini. Kalau pun memang demikian, apa yang harus dilakukan?????

Saya mencoba menggali dengan data yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Anggaran, dalam menghasilkan suatu output berupa barang atau jasa, maka diperlukan biaya komponen yang sifatnya utama dan pendukung. Sebelum menunjukan data yang ada, saya akan sedikit menyampaikan mengenai definisi komponen utama dan komponen pendukung sesuai dengan PMK Nomor 94 Tahun 2017 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan RKA-K/L dan Pengesahan DIPA.

Komponen Utama merupakan semua aktivitas Keluaran (Output) Kegiatan teknis yang nilai biayanya berpengaruh langsung terhadap volume Keluaran (Output) Kegiatan. Komponen utama merupakan aktivitas yang hanya terdapat pada Keluaran (Output) Kegiatan teknis dan merupakan biaya variabel terhadap Keluaran (Output) Kegiatan yang dihasilkan.
Komponen Utama = Output Teknis (yang biayanya berpengaruh langsung terhadap volume output).
Komponen Pendukung merupakan semua aktivitas Keluaran (Output) Kegiatan generik dan aktivitas Keluaran (Output) Kegiatan teknis yang nilai biayanya tidak berpengaruh langsung terhadap volume Keluaran (Output) Kegiatan. Seluruh aktivitas dalam Keluaran (Output) Kegiatan generik merupakan komponen pendukung.
Komponen pendukung pada Keluaran (Output) Kegiatan teknis digunakan sebagai biaya tetap terhadap Keluaran (Output) Kegiatan yang dihasilkan, misalnya komponen desain, administrasi proyek, pengawasan, dan sejenisnya.
Komponen Pendukung = Output Generik + Output Teknis (yang biayanya tidak berpengaruh langsung terhadap volume output).

Sesuai dengan data yang dimiliki Direktorat Jenderal Anggaran, secara total belanja Kementerian/Lembaga selama periode TA 2016 dan TA 2017, komponen utama komposisinya lebih tinggi dari komponen penunjang, bahkan pada TA 2017, perbandingan komposisi antara komponen utama dengan komponen penunjang adalah 61,1% dibanding 38,9%. 




sumber : Direktorat Jenderal Anggaran


Data pada tingkat komponen menunjukan bahwa secara total anggaran Kementerian/Lembaga masih dalam kondisi yang baik apabila dilihat dari biaya komponen utama dan komponen pendukungnya. Ini artinya bahwa, belanja pemerintah pusat sebagian besar digunakan untuk membiayai hal-hal yang bersifat produktif. Secara teori, saya sendiri belum menemukan yang menyatakan secara terang-terangan komposisi yang ideal antara biaya utama dengan pendukung. Kesimpulan yang bisa saya ambil adalah semakin kecil biaya pendukung maka secara total belanja akan lebih efisien.


Kembali kepernyataan Pak Jokowi sebelumnya, yang disampaikan beliau adalah hal-hal rinci yang tingkatannya ada di dalam komponen. Dengan adanya konsep Penganggaran Berbasis Kinerja, seharusnya tidak lagi mengontrol input tetapi orientasi pada kinerja (output and outcome oriented). Input dapat dikontrol dengan mendorong Kementerian/Lembaga untuk menyusun Standar Biaya Keluaran secara penuh pada dokumen RKA-K/L. Kemudian pemantauan dan evaluasi dilakukan pada Kementerian/Lembaga dengan melihat kinerja melalui capaian indikator-indikator kinerjanya. Sehingga ketika dilakukan rasionalisasi anggaran saat tahun berjalan maupun penyusunan anggaran pada tahun yang direncanakan, efisiensi anggaran dapat dilakukan pada kegiatan (level komponen sampai dengan output) yang tidak berkinerja sesuai dengan hasil pemantaun dan evaluasi tanpa melihat input-nya.

Pendapat saya ini memang berbeda dengan apa yang disampaikan Pak Jokowi, saya tidak akan melihat input-nya, tetapi lebih jauh lagi, bagaimana outcome jangka pendek hingga outcome jangka panjang (impact) dapat tercapai. Ketika ada outcome yang tidak tercapai, maka evaluasi output-nya maupun activity didalamnya. Bahkan apabila terdapat output yang tidak memberikan dampak, maka dapat direkomendasikan untuk di-drop.

*ini hanya pendapat pribadi penulis, kondisi nyata yang terjadi pada penulis bisa saja tidak demikian adanya.



IGNORANCE

Tulisan yang berjudul Sang Pembunuh  menggelitik ide saya untuk menuliskan lagi hal ini dari sudut pandang saya. Apa yang ada dalam tulisan tersebut merupakan fakta yang kita lihat sehari-hari atau bahkan apa yang kita lakukan dengan sadar atau tanpa sadar atau sadarnya belakangan.
.
Keprihatinan terhadap kondisi masyarakat saat ini, terutama apa yang terlihat di jalanan/kondisi lalu lintas tentunya bukan milik satu dua orang anggota masyarakat saja, tapi juga menjadi keprihatinan pemerintah. Wujud dari keprihatinan tersebut dapat terlihat dari upaya-upaya pemerintah untuk menanggulangi kemacetan. Jalan-jalan tol baru dibangun, Mass Rapid Transportation dan Light Rapid Transportation disiapkan, rekayasa lalu lintas, contra flow, kebijakan ganjil-genap di ruas-ruas jalan dan jam-jam tertentu. Semuanya dilakukan untuk mengurai kemacetan. Dengan terurainya kemacetan, diharapkan tidak ada lagi aksi-aksi menerobos lampu pengatur lalu lintas, tidak akan terlihat pengendara kendaraan bermotor yang nekad melawan arus, masuk ke jalur transjakarta dan lainnya. Perilaku-perilaku seperti itu, dari sudut pandang pelaku, dilakukan karena "menghindari macet,"
.
Dalam forum ini juga pernah ada tulisan mengenai anggaran pendidikan. Sebuah tulisan yang menarik karena menyoroti suatu jumlah rupiah yang sangat besar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk fungsi pendidikan. Dalam tulisan tersebut disebutkan bahwa jumlah alokasi tersebut mempunyai dampak yang signifikan terhadap peningkatan kualitas angkatan kerja di Indonesia. Tulisan tersebut kemudian mengundang tanggapan disini dan disini. Sebuah dinamika diskusi yang cerdas dan menarik yang pada intinya mempertanyakan kelayakan suatu alokasi belanja yang besar dengan tujuan, cara dan hasil yang ingin dicapai dengan alokasi tersebut.
.
Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1991). Dari pengertian pendidikan tersebut jelas tersurat bahwa seseorang atau kelompok orang yang terdidik akan memiliki sikap dan perilaku sesuai dengan apa yang sudah didapatnya melalui pendidikan tersebut. Apakah seseorang yang memiliki ijazah SD, SMP, SMA, S1, S2, S3 adalah orang yang terdidik?.
.
Ada sebuah pernyataan yang menyatakan bahwa kualitas pendidikan suatu negara dapat dilihat dari kondisi berlalu lintas di negara tersebut. Ketika kita melihat kondisi lalu lintas di negara kita, lalu apakah kita dapat mengatakan bahwa pendidikan di negara kita sudah berkualitas?. Benar, ketika kita berbicara bahwa semakin banyak masyarakat yang melek huruf, semakin banyak masyarakat yang memiliki ijazah formal minimal setingkat SMA bahkan lebih, semakin sejahtera guru, dosen dan tenaga pendidikan, tapi apakah itu tujuan pendidikan?, apakah kualitas pendidikan diukur dengan itu semua?.
.
Apa yang dipertontonkan masyarakat kita setiap hari di jalan raya tentunya sangat jauh dari perbuatan orang-orang berpendidikan. Ironis ketika para pelanggar lampu pengatur lalu lintas itu ternyata si pemilik ijazah S1, S2 bahkan mungkin S3. Apakah mereka orang bodoh? tentu tidak, tapi apa yang mereka pertontonkan adalah tindakan-tindakan orang bodoh.
Lalu, solusi apa yang kita perlukan sehingga sang pembunuh tidak berkeliaran di jalan raya, anggaran pendidikan juga tidak terbuang percuma untuk mencetak jutaan kertas ijazah. Yang paling mendasar tentunya adalah perubahan kurikulum pendidikan. Pendidikan tidak diarahkan untuk mencetak manusia-manusia berijazah formal. Kepintaran tidak diukur dari angka-angka rapor dan ijazah. Perubahan kurikulum memang bukan hal yang mudah tapi bukan hal yang mustahil dilakukan. Ribuan guru dan dosen sudah banyak belajar di luar negeri, formal maupun sekedar studi banding. Mereka sudah banyak belajar dan melihat sistem pendidikan di negara-negara lain dan tentunya bisa merancang suatu sistem pendidikan terbaik di Indonesia.
.
Berikutnya adalah merubah perilaku. Perilaku yang baik harus dilakukan dan dicontohkan berulang-ulang, bila perlu dapat diaplikasikan nudge theory dalam setiap aspek kehidupan. Dalam lingkup yang besar seperti di jalan raya, perilaku baik ini harus menjadi sesuatu yang masif. Jika hanya satu atau dua orang yang disiplin berhenti di belakang garis stop, hal ini tidak akan diikuti oleh yang lainnya. Lain halnya ketika yang berhenti di belakang garis stop lebih banyak dan hanya menyisakan satu dua orang di depan garis stop, mereka akan merasa malu dan mungkin akan berfikir lagi untuk mengulang perbuatan tersebut. Sanksi yang tegas dan menimbulkan efek jera harus diberikan kepada para pelanggar lalu lintas karena hanya kehilangan SIM tidak akan membuat mereka berfikir bahwa tindakan mereka dapat berdampak sangat fatal bagi kehidupan orang lain.
.
Kedengarannya klise, tapi anjuran untuk mulai dari diri sendiri itu memang benar dan mutlak dilakukan. Bagaimana kita mau menularkan perilaku baik kalau kita tidak berperilaku baik?. Butuh usaha keras dan daya tahan yang tinggi, karena mempertahankan sebuah perilaku baik akan lebih susah daripada memulai perilaku baik itu sendiri. Stop ignorance, jangan ada lagi anggapan bahwa menjadi bodoh adalah keberuntungan karena tidak tahu apa-apa. Kita tahu persis apa yang kita langgar, karena kita tidak bodoh. Beruntung saja orang lain sempat menginjak rem, beruntung saja orang sempat menghindar. 

Ignorance is a bliss for the one who is ignorant. By the way do you know that ignorant means stupid? 

Jakarta, 27 Desember 2017

KRITIK

"Aaah macam betul aja, coba lo yang main, bisa nggaaaakkk...!!??", teriak saya ketika seorang komentator mengkritik David Beckham yang tidak bisa menggiring bola dalam sebuah big match Liga Inggris antara Manchester United versus Arsenal. Dulu saya memang fans garis keras David Beckham di Manchester United, sehingga saya nggak rela ketika idola saya tersebut dikritik oleh si komentator.
.
Komentator sepak bola atau komentator apapun memang seringkali 'bikin emosi' dengan komentar ataupun kritikannya.  Penggemar sepak bola jaman old pasti ingat dengan sosok Bung Kusnaeni atau akrab disapa 'Bung Kus". Beliau ini seorang wartawan olahraga yang sangat tajam ketika menjadi komentator. Meskipun saya yakin beliau tidak bisa bermain sepak bola dengan baik dan benar, tapi  komentar-komentar ataupun kritikan-kritikannya terhadap permainan sebuah tim sepak bola ataupun permainan seorang pemain sepak bola profesional seolah-seolah dia adalah seorang yang sangat ahli dalam cabang olahraga ini.
.
Banyak lagi contoh komentator atau kritikus di berbagai bidang yang sebenarnya tidak memiliki latar belakang praktisi di bidang tersebut. Bahkan seringkali seorang yang pernah menjadi praktisi justru tidak dapat memberikan komentar atau kritik yang tajam atau berkualitas.
.
Jika reaksi seorang fans seperti saya bisa sedemikian sengitnya, kira-kira bagaimana reaksi seorang David Beckham jika dikritik oleh orang yang jelas-jelas tidak bisa bermain sepak bola? Sebenarnya saya pun sangat ingin tahu bagaimana reaksinya dikritik oleh Sir Alex Ferguson yang notabene 'gak sukses-sukses amat' sebagai pemain sepak bola profesional. Apakah pernah dia berkata "coba lo aja Sir yang main"?.
.
Dikritik memang tidak enak, apalagi oleh orang yang jelas-jelas tidak memiliki keahlian di bidang itu. Alih-alih kita merasa termotivasi, yang ada malah mencibir dan keluar perkataan: "ya udah, lo aja deh yang gantiin..". Reaksi tersebut sah-sah saja sebenarnya apalagi kalau belum se-jago dan se-profesional David Beckham, namun apakah reaksi itu tepat dalam proses pengembangan diri kiranya perlu dipertanyakan lagi.
.
Dalam teori Johari Window (http://www.bukannotadinas.com/2017/11/johari-window.html) disebutkan bahwa selalu ada bagian diri kita yang bisa dilihat orang lain meskipun kita tidak menyadarinya. David Beckham tahu persis hal ini, sehingga dia dengan rela-ikhlas dan penuh kerendahan hati dapat menerima kritikan atas permainannya, dan hal itu dijadikannya bahan untuk lebih meningkatkan performa-nya di lapangan hijau. 
.
Sikap profesional seperti seorang David Beckham ataupun tokoh-tokoh sukses lainnya dalam menerima kritik tentunya tidak dibangun dalam waktu 1-2 tahun. Pembentukan sikap tersebut butuh waktu panjang untuk menjadi suatu kebiasaan. 
.
Mengkritik ataupun menerima kritik memang ada ilmunya. Bagaimana memberikan kritik yang konstruktif, kritik yang tidak sekedar nyinyir. Sama halnya dengan menerima kritik; bagaimana menanggapinya, bagaimana menjadikannya sebagai sebuah motivasi. Semua ada ilmunya, ada pembelajarannya dan sebaik-baik belajar adalah dengan diulang-ulang. Jadi, jangan alergi terhadap kritik. Kritik itu bukanlah pisau yang dilemparkan untuk membunuh tapi justru untuk membantu kita mempertajam kemampuan. Kritik itu bukan suara permusuhan ataupun ujaran kebencian. Kritik itu adalah ungkapan kepedulian. Bayangkan bagaimana sedihnya jika sudah tidak ada yang peduli dengan kita? What if I've never love again?

Jakarta, 23 Desember 2017
 

DENDAM

Suatu hari saya dikagetkan pertanyaan seorang teman; "Mas, pernah gak lo mau matiin karir orang?". Ternyata dia pernah dilecehkan oleh seorang pejabat di kantornya dan, "gue dendam mas", tukasnya mengakhiri cerita. 
.
Saya kaget karena sepanjang yang saya tahu, teman saya ini adalah seorang yang sangat cerdas, kompeten dan pekerja keras. Dia jauh lebih muda tapi etos kerjanya sangat hebat. Ketika dia bercerita tentang pelecehan kompetensinya, saya pun merasa tersinggung. How come !?. Rasa kaget berikutnya adalah karena ternyata saya menjadi top of mind teman saya itu ketika dia merasa harus melampiaskan dendamnya. Tidak heran sebenarnya, mengingat dia mengenal saya sebagai pegawai yang bandel, keras kepala dan selalu membuat masalah dengan atasan, sehingga dia mengambil kesimpulan pasti saya pernah berada di posisi dia sekarang.
.
Matiin karir orang, hmm, andai bisa tentunya banyak yang akan masuk waiting list saya, begitu awal jawaban saya. Lalu saya pun menceritakan masa-masa awal saya menjadi PNS, masih muda dan berdarah sumatera sehingga sangat gampang tersulut api emosi. Masa-masa dimana bukan hanya matiin karir orang tapi bahkan matiin orang pun sempat terpikirkan. Teman saya pun mendengarkan dengan cermat, mencoba mencari 'metode terbaik' dari semua cerita saya itu hahaha.
.
Setelah menceritakan itu semua, saya lalu mulai bercerita tentang hal lain, tentang bagaimana menyikapi perasaan dendam. Tentang bagaimana bijaknya seseorang yang sedemikian berkuasanya namun tetap tidak mau matiin karir orang, meskipun dia bisa, meskipun dia sangat tersakiti. Tentang bagaimana mengelola dendam menjadi sesuatu yang positif, membalik posisi orang yang telah menyakiti kita menjadi seseorang yang justru memberikan sesuatu yang positif, hanya soal bagaimana kita memandang dan menyikapi apa yang kita alami saja.
.
Dendam itu memang harus dilampiaskan, karena dendam itu berarti keinginan keras untuk membalas. Dari mulai manusia diciptakan, rasa dendam ini sudah ada. Dunia ini pun dipenuhi kisah-kisah dendam dan pembalasan dendam yang tiada akhir.
.
Meskipun dendam dikonotasikan sebagai sesuatu yang negatif, tapi saya pribadi menganggap dendam itu sebagai sesuatu yang harus dibalas, baik itu positif atau negatif. Jadi, bisa saja saya dendam untuk membalas kebaikan seseorang, dendam untuk bisa berbuat baik juga layaknya orang itu kepada saya. Ketika diperlakukan secara tidak baik pun, saya dendam untuk membalasnya, manusiawi, namun apabila dilakukan dengan cara yang sama, hanya akan menciptakan lingkaran dendam-pembalasan dendam yang tidak ada habisnya.
.
Kehidupan banyak memberikan pelajaran. Ketika seseorang menindasmu, kamu boleh memilih  untuk membalas langsung atau menyimpannya untuk suatu kesempatan yang lebih baik, atau memposisikan si penindas sebagai guru spiritual mu. Guru yang mengajarkan mu untuk bersabar. Guru yang memberikan contoh langsung sifat-sifat terjelek seorang manusia. Guru yang secara tidak langsung mengajarkanmu untuk melihat potensi-potensi yang ada pada dirimu. 
.
Banyak sekali quotes tentang pembalasan dendam terbaik yaitu dengan cara fokus kepada kebahagiaan kita, kesuksesan kita dan membiarkan kebahagiaan dan kesuksesan kita itu sebagai 'pembunuh yang efektif' untuk lawan kita. Bukankah kebahagiaan dan kesuksesan orang lain itu sangat menyakitkan dan bahkan dapat membunuh orang-orang yang selalu tidak suka orang lain bahagia dan sukses?.
.
Ibarat sebuah toko serba ada, saya menyajikan semua yang tahu dan saya bisa ke teman saya tadi, termasuk jika dia butuh 'jalur langit' :). Saya tahu dia akan memilih pembalasan dendam yang positif. Dia terlalu cerdas untuk menghabiskan waktu dan energinya hanya untuk matiin karir orang, toh 5-10 tahun lagi saya yakin dia akan menempati posisi penting di Kementerian ini. Aamiin YRA.


Jakarta, 23 Desember 2017

Ibu

Untukmu yang jauh di sana
yang hanya berteman rindu
dengan anakmu
yang hari-harimu penuh canda
dengan sepi

Mungkin
satu-satunya yang merisaukanmu
saat ini adalah jarak jauh
yang begitu mengganggu
setiap keinginanmu untuk memelukku

Tidak seperti dulu
yang hangat rangkulmu
tak pernah mengenal kata waktu

Dan waktu yang terus berlari
tanpa kau sadari
raga yang tak selamanya mampu
bahkan untukmu berdiri sendiri
kau tetap selalu mengkhawatirkanku

Sementara aku di sini
sibuk dengan riang tawa
tanpa menyadari
peran yang seharusnya berganti

Ibu
maafkan anakmu


*Selamat Hari Ibu 22 Desember 2017






Sang Pembunuh

“Loh dia juga begitu kok” kilah seorang teman ketika ditegur mengenai prilakunya yang kurang baik.

Mencari contoh atau pembanding orang yang lebih buruk atau sama dengan kita sering kali saya temukan dalam berbagai pembelaan atau defence statement orang-orang disekitar saya. Entah apa yang salah dalam masyarakat ini mengapa mengungkit kelemahan atau prilaku buruk orang lain dapat menjadi justifikasi bahwa kita dapat melakukan hal yang sama dan mengurangi perasaan bersalah itu sendiri. Menurut saya melakukan hal tersebut sebenarnya adalah perbuatan “menipu” diri sendiri yang memberi ketenangan bathin sesaat. Kita tidak pernah memikirkan efek jangka panjangnya atau kemungkinan terburuknya. Bahaya terbesar dari “pembenaran” akan yang salah yang dilakukan berulang-ulang (lagi-lagi menurut saya) adalah membentuk hati dan pikiran yang bebal dan tidak sensitif. Dimulai dengan hal-hal kecil dan sederhana di satu titik akan lompat ke skala yang lebih besar.

Saya pernah bercakap-cakap dengan sesama penumpang angkutan umum soal pemotor yang berhenti di depan lampu merah dan menerobos lampu merah padahal lampu hijau hanya tinggal beberapa detik lagi, saya bilang “mungkin dia ada proyek milyaran rupiah yang harus diteken” canda saya kepadanya ketika si mbak berkata “apa susahnya sih nunggu beberapa detik lagi?”. Saya sendiri sangat terganggu dengan prilaku pemotor yang berhenti di depan garis stop dan melanggar lampu merah menurut saya orang-orang tersebut jika ada kesempatan akan melakukan hal-hal buruk yang lebih besar seperti halnya korupsi, si mbak ketawa ketika saya bilang ini, “wah, serem juga ya mas efeknya”.

“Self-respect is the root of discipline: The sense of dignity grows with the ability to say no to oneself.”-Abraham Joshua Heschel-

Melanggar hal-hal kecil adalah langkah pertama untuk melanggar hal-hal yang lebih besar, ditambah lagi dengan kebiasaan “berkaca ke orang yang lebih buruk”. Mungkin awalnya berhenti di depan garis stop, lalu mulai menerobos lampu merah, lalu mulai masuk ke jalan verboden, lalu mulai melawan arah, dan entah sesudahnya apa lagi. Eits, jangan anggap hal-hal tersebut bisa berhenti di situ saja! Setelah khatam melanggar dalam berkendara kemungkinan mulai berani melanggar hal-hal lain. Misal, membuang sampah sembarangan, menyeberang sembarangan, lalu naik ke korupsi kecil-kecilan, seperti uang lembur, uang operasional kantor, dan terima gratifikasi. Yang terakhir levelnya pun ada banyak, dari yang hanya ditraktir makan sampai terima duit puluhan milyar macam yang diduga kepada ketua DPR yang lagi jadi tersangka.

Balik lagi ke yang kecil-kecil, pernahkah terpikir bahwa menerobos lampu merah atau melawan arah itu membahayakan nyawa orang lain selain nyawa diri sendiri? Tidak ingatkah dengan keluarga yang bapaknya dipenjara, ibunya meninggal, dan anaknya piatu serta sendiri karena sang bapak melawan arah di Jalan Layang non Tol Kasablanka untuk menghindari polisi yang akan menilangnya?

Semua dimulai dari “lah, itu rame kok bro motor yang nerobos. Kita ikut ajalah” atau “udahlah ga apa-apa sekali aja kan ga ada mobil”. Saya teringat sebuah artikel tentang budaya disiplin di Jepang, saya lupa siapa penulisnya tetapi sang penulis bercerita bahwa ketika dia berada di sebuah kota kecil di Jepang yang notabene termasuk sangat sepi. Sang penulis seorang Indonesia bersama temannya yang orang Jepang akan menyeberang jalan, kondisi jalan sepi dan lampu merah bagi pejalan kaki, setelah melihat ke kiri dan ke kanan dan menyimpulkan bahwa jalanan sepi dia mengajak temannya untuk menyeberang, temannya berkata “jangan, bagaimana kalau dilihat oleh anak kecil lalu mereka mencontoh dan kecelakaan?”. Sang penulis berkata bahwa “wah, saya tidak memikirkan efeknya sampai segitunya ya, bahwa kita dapat menjadi penyebab seorang anak celaka karena perbuatan tidak disiplin kita”.


Coba bayangkan bagaimana kalau ternyata secara tidak sadar kita telah mencelakakan anak orang lain? Atau jangan-jangan anak kita sendiri?

  • referensi dari berbagai sumber