Benarkah kita butuh 20% setiap tahun untuk Anggaran Pendidikan?

 Menarik membaca artikel yang diposting melalui tautan www.bukannotadinas.com/2017/08/peningkatan-anggaran-pendidikan-dan.html. Namun, saya tergelitik dengan closing statement  yang ditegaskan oleh penulis bahwa “Anggaran Pendidikan sebesar 20% tetap harus dipertahankan, tetapi perlu ditingkatkan porsinya untuk pendidikan yang sifatnya formal.       
            Setidaknya ada dua pertanyaan kritis yang ingin disampaikan. Pertama, apa benar kebutuhan pendidikan Indonesia adalah sebesar 20% dari APBN? Ini artinya bahwa kebutuhan memajukan dunia pendidikan di Indonesia bersifat statis, tidak dinamis. Pertanyaan kedua adalah apakah kebutuhan pembangunan dunia pendidikan di Indonesia merata antar daerah, sehingga membutuhkan anggaran dengan porsi yang sama setiap tahunnya?   
      Sebelum membahas kedua pertanyaan tersebut, tulisan ini akan melihat APBN secara keseluruhan dalam kerangka pembangunan nasional yang terintegrasi antar berbagai sektor yang ada. Terdapat tema diskusi yang sama setiap tahunnya dalam menyusun besaran APBN, yaitu belanja wajib masih mendominasi pengeluaran pemerintah. Kondisi ini selalu menjadi kritikan terhadap RAPBN yang disusun pemerintah, meski APBN naik setiap tahunnya.
            Adapun fokus diskusi adalah terkait keterbatasan ruang fiskal yang dimiliki pemerintah. Hal ini disebabkan oleh semakin besarnya belanja wajib yang harus dialokasikan setiap tahunnya. Belanja wajib (obligatory spending) dimaksud berupa belanja non diskresioner/terikat seperti belanja pegawai, pembayaran pokok dan bunga hutang, subsidi, dan pengeluaran yang dialokasikan untuk daerah.
           Pada perkembangannya belanja wajib ini semakin luas dengan keluarnya kebijakan pematokan anggaran sebagai penerapan amanat Amandemen UUD 1945 Pasal 31 ayat 4 yang kemudian diturunkan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 49 ayat 1 UU tersebut mewajibkan pemerintah mengalokasikan minimal 20% dari APBN untuk melaksanakan fungsi pendidikan.
Pengkavlingan anggaran ini terus berlanjut dengan keluarnya UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dimana  Pasal 171 ayat 1 UU ini mewajibkan pemerintah untuk mengalokasikan anggarannya minimal 5% dari APBN untuk fungsi Kesehatan. Bahkan yang paling baru keluarnya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Undang-undang ini juga berdampak pada fleksibilitas fiskal pemerintah karena memunculkan kavling anggaran baru.
Jadi siapa pun yang akan memimpin pemerintahan di Indonesia akan menghadapi tantangan yang sama. Bagaimana dengan ruang gerak fiskal yang sangat terbatas dapat mewujudkan pembangunan ekonomi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pemerintahan baru tidak hanya dihadapkan pada keharusan mengalokasikan belanja wajib (obligatory spending), tapi juga harus memperhitungkan penyediaan alokasi pengkavlingan anggaran (mandatory spending) setiap tahunnya sebagai pelaksanaan undang-undang.
Hal ini memiliki konsekuensi bahwa ruang gerak Pemerintah Indonesia untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan belanja negara semakin terbatas jumlahnya.  Ketersediaan ruang fiskal pemerintah semakin kecil untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang dapat menstimulasi kegiatan ekonomi masyarakat sehingga mampu mendorong pertumbuhan melalui pembangunan proyek-proyek infrastruktur, penciptaan lapangan kerja produktif dan pengentasan kemiskinan. Sehingga tidak heran jika saat ini pemerintah harus melakukan berbagai inovasi kebijakan fiskal dalam upaya membiayai pembangunan. Dan, publik pun terhentak dan menimbulkan berbagai rekasi pro-kontra ketika pemerintah ingin mendorong pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan daya saing Indonesia dalam kompetisi global. Dari mekanisme pembiayaan non anggaran pemerintah, skema investasi PPP baik dari dalam maupun luar negeri dan penerbitan surat utang pemerintah baik konvensional maupun yang bersifat syariah. Bahkan yang terakhir wacana penggunaan dana haji sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan
Sulit bagi pemerintahan mana pun untuk mewujudkan program-program kerja jika memiliki fleksibilitas fiskal yang sangat terbatas. Pengkavlingan anggaran menggiring pemerintah memiliki program kerja yang flat dan monoton setiap tahunnya. Alokasi anggaran sudah di kavling-kavling untuk pengeluaran tertentu. Pemerintah memiliki ruang sangat terbatas untuk melakukan terobosan-terobosan dalam program pembangunannya.
Kembali pada dua pertanyaan kritis di atas. Perlu dipahami bahwa kebijakan pematokan anggaran membawa konsekuensi bahwa kebutuhan pembangunan Indonesia adalah sama setiap tahunnya. Bahwa masalah yang dihadapi bangsa Indonesia tidak berubah dari tahun ke tahun. Padahal perekonomian suatu negara dipengaruhi oleh kondisi global dan dinamika internal yang terjadi. Dan perubahan tersebut sangat cepat dan besar pengaruhnya terhadap bangsa Indonesia.
Mungkin saat ini Indonesia membutuhkan pembangunan dunia pendidikan dan kesehatan, tapi apakah hal tersebut akan terus menjadi prioritas pembangunan di Indonesia? Lalu bagaimana pemerintahan baru dapat mewujudkan program-program kerja saat kampanye jika alokasi anggaran yang tersedia sudah dipatok untuk pengeluaran tertentu? Kita akan kesulitan melihat perubahan atau perbedaan kebijakan pembangunan antar rejim. Janji kampanye hanya akan menjadi catatan sejarah saja, tanpa adanya dukungan sistem fiskal yang mendukung untuk diwujudkan. Dan, saat suatu rejim melakukan inovasi atau improvisasi maka akan menuai kontroversi di masyarakat, yang pada akhirnya setiap rejim akan terus sibuk mengelola riak sosial yang ada.
 Berikutnya, kavling anggaran ini berkesimpulan bahwa setiap daerah memiliki kebutuhan pembangunan yang sama karena pematokan anggaran tidak hanya di APBN tetapi diwajibkan juga pada APBD. Padahal prioritas pembangunan suatu daerah harus disesuaikan dengan kondisi daerah dan masyarakat setempat. Tentunya kebutuhan pembangunan di Jakarta berbeda dengan di Raja Ampat. Itu berarti prioritas pembangunannya pun berbeda, dan tentunya alokasi anggaran pun akan mengikuti prioritasnya.
Mengapa besaran ruang fiskal yang dimiliki suatu pemerintah menjadi penting? Hal ini berkaitan dengan penggunaan ruang fiskal tersebut yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, meningkatkan fleksibilitas pemerintah dalam mengelola keuangan negara, menjaga kesinambungan fiskal, memelihara stabilitas ekonomi dan dalam rangka mencapai target SDGs.
 Untuk itu Indonesia perlu melakukan review terhadap pengelolaan belanja negara. Baik yang bersifat obligatory spending maupun mandatory spending. Dari sisi belanja obligatory spending pemerintah dapat menata ulang kebijakan alokasi anggaran yang berkaitan dengan pembayaran pokok dan bunga hutang serta kebijakan subsidi.
Mekanisme swap dapat ditempuh jika pemerintah mampu memainkan diplomasi kuatnya posisi tawar Indonesia di dunia. Utang pemerintah dapat dialihkan pada pembiayaan program-program pelestarian hutan kita sebagai paru-paru dunia dalam rangka mengatasi pemanasan global. Penguatan demokrasi dan kerukunan hidup beragama di Indonesia juga dapat dijadikan kompensasi pelunasan hutang, mengingat Indonesia memiliki peran strategis dalam menjaga stabilitas regional.
Pencabutan atau pengurangan subsidi selalu menjadi tema diskusi para pelaku ekonomi dan politisi. Pada prinsipnya tidak ada pemerintah yang ingin mencabut subsidi karena akan berdampak pada kenaikan harga barang yang menyangkut kebutuhan masyarakat luas.
Kebijakan tersebut tidak populis dan akan berdampak negatif terhadap dukungan masyarakat terhadap pemerintah yang sedang berkuasa. Namun, bila keterbatasan fiskal untuk intervensi harga semakin menguat dan pemerintah harus melakukan penyesuaian harga, maka yang perlu dilihat adalah apakah kebijakan tersebut diambil berdasarkan pertimbangan ekonomi atau pertimbangan politik?
Perlu mendapat penekanan adalah terdapat jaminan bahwa akumulasi dana dari subsidi yang ditarik (yang trilyunan rupiah tersebut) direalokasikan dengan pertimbangan ekonomi, yaitu untuk pengentasan kemiskinan dan pemerataan pembangunan antar daerah. Kegiatan pengentasan kemiskinan tersebut berupa kegiatan yang berpihak pada kelompok mayoritas yang ada dimana kegiatan tersebut dapat membuka akses yang sebesar-besarnya bagi masyarakat miskin dan hampir miskin kepada akses-akses ekonomi, pendidikan dan kesehatan.
Sering terjadi adalah pencabutan subsidi dilakukan dengan pendekatan ekonomi namun realokasi anggaran subsidi dilakukan dengan pendekatan politik. Inkonsistensi penggunaan pendekatan tersebut harus dihindarkan agar kebijakan mencabut subsidi menjadi efektif bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Dan ini dapat dilakukan jika pemerintah dipimpin oleh rejim yang kuat secara politik di DPR.
Sementara itu, kebijakan pematokan anggaran juga harus mendapat peninjauan ulang. Fakta di masyarakat menunjukkan bahwa kavling anggaran untuk pendidikan yang besar, begitu juga kesehatan tidak menjadikan biaya pendidikan dan kesehatan di Indonesia menjadi murah dan berkualitas.  Bahkan sebaliknya, dunia pendidikan dan kesehatan menjadi industri dengan produk yang mahal dan susah dijangkau oleh masyarakat.
Dibutuhkan kearifan untuk merumuskan struktur belanja anggaran pendidikan dan kesehatan. Agar anggaran tersebut benar-benar berdampak positif terhadap kualitas pendidikan dan kesehatan rakyat Indonesia, bukan tergerus oleh biaya birokrasi dan administrasi.
Permasalahan pendidikan dan kesehatan di Indonesia juga harus dapat dikaji lebih baik, sebagai contoh jumlah guru dan tenaga medis yang kurang atau distribusinya yang tidak merata. Sangat mudah menemukan praktek dokter spesialis di kota-kota besar, namun masyarakat pedesaan sangat sulit untuk mendapat pengobatan seorang dokter umum sekali pun. Sedangkan pembangunan dunia pendidikan harus mampu menjawab kebutuhan pasar tenaga kerja, baik domestik maupun regional. Mengingat AFTA yang sudah berlangsung, maka dunia pendidikan harus diarahkan untuk mampu mengisi peluang-peluang pekerjaan dan profesi di kawasan sehingga Indonesia tidak menjadi surga bagi masyarakat global dalam mendapatkan pekerjaan, tapi juga mampu bersaing pada posisi-posisi strategis di pasar tenaga kerja. Dan, untuk itu pendidikan formal bukanlah satu-satunya yang harus menjadi prioritas. Dalam pasar tenaga kerja yang dibutuhkan adalah skill labor, dimana hal ini dapat dihasilkan secara cepat dan tepat oleh pendidikan vokasi, pelatihan dan workshop serta jalur pendidikan informal lainnya.

Memang tidak mudah menata kembali kavling-kavling anggaran yang ada. Kebijakan tersebut diatur dengan undang-undang, bahkan untuk pendidikan diamanatkan dalam UUD. Pergulatan politik dan partainya tentu menjadi tantangan tersendiri. Namun, jika semua sepakat bahwa kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia serta kemajuan bangsa Indonesia merupakan tujuan bersama. Seperti janji mereka saat kampanye baik saat pemilu legislatif maupun pemilihan presiden, maka tidak ada yang tidak mungkin. Hanya kitab suci yang tidak dapat diubah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar