Baby Blues

Aku tertegun melihat dua garis pada alat testpack yang berada dalam genggaman. Waw, ternyata aku hamil lagi, padahal anakku yang pertama masih berusia lima bulan. Saat itu juga aku baru dua bulan aktif kembali bekerja. Berbagai perasaan berkecamuk di hati.
“Kok bisa gue hamil?” Waktunya nggak tepat,” aku hanya bisa garuk-garuk kepala yang emang gatel sih karena udah seminggu  nggak ketemu shampoo.
Beberapa hari kemudian kuulangi lagi tes nya, hasilnya tetap sama. Aduh, benar-benar surprise yang nggak bikin bahagia. Kebayang kerepotan yang akan kualami punya dua anak bayi. Saat itu aku merasa malu dengan kondisiku. Yang agak menolong, saat itu aku sedang menjalani tugas diluar kantorku. Aku ditugaskan membantu konsultan, jadi aku bisa menyembunyikan kehamilan dari teman-temanku.
Waktu itu, setiap ditanya teman-teman kantor tentang badanku yang membesar, aku hanya menjawab kalau aku memang gemuk karena banyak makan. Paling teman-teman berpikir, berapa banyak makanan  yang dikonsumsi sampai badanku bengkak begitu. Namun seiring berjalannya waktu aku mulai bisa menerima kehamilanku karena aku bagaimanapun juga memilki anak ada sebuah amanah dari Sang Maha Kuasa yang harus kujaga.
Teman-temanku di kantor kaget ketika aku datang ke tempat kerja yang semula untuk meminta kembali cuti melahirkan. Sebagian menyesalkan kenapa aku tak memberitahu mereka, tapi ya mau bagaimana lagi, semua sudah terlanjur. Yang kesal mungkin atasanku karena waktu itu harus mencari penggantiku sampai aku selesai menjalani cuti melahirkan. Si konsultan masih ada waktu beberapa bulan untuk menyelesaikan kontraknya.
Akhirnya tanpa ada yang menunggui, aku bisa melahirkan anak yang kedua. Pada saat itu suamiku harus menjadi narasumber di sebuah seminar. Untungnya seminar itu diadakan di kota Bandung, jadi dia tak perlu mondar-mandir dari Jakarta ke Bandung. Sampai sesaat sebelum persalinan, suamiku masih menungguiku, sayangnya sampai waktu dia harus berangkat ke tempat seminar. Aku merasa tak masalah menjalani proses persalinan sendiri. Persalinan berjalan lancer tanpa kesulitan berarti. Tak lama setelah si kecil lahir, ibuku datang ke klinik membuatku merasa lebih lega.
Saat-saat selanjutnya adalah saat yang paling berat buatku, terlebih ketika suamiku harus kembali ke Jakarta untuk bekerja. Aku memilih menjalani cutiku di Bandung karena ada orang yang bisa mendampingi di Bandung. Itulah saat aku merasakan kebingungan karena tak tahu harus berbuat apa untuk mengurus kedua anakku yang masih sangat kecil. Mencari pengasuh anak bukan hal mudah saat itu. Jadi, selama dua bulan masa cuti, aku mengurus kedua anakku sendiri. Untunglah Bapak dan Ibu masih sehat kala itu, jadi masih ada yang bisa menjaga anakku yang sulung.
Sama seperti anakku yang pertama, Anin, saat memiliki anak yang kedua, Cita aku kesulitan mengeluarkan air susu ibu (ASI). Stres melanda terlebih pada saat itu di media sedang digalakkan pemberian ASI kepada bayi. Berhari-hari kucoba memberikan ASI tapi gagal. Segala makanan yang dianjurkan untuk memberi ASI kulahap tanpa kecuali. Mulai dari daun katuk, susu, sampai makanan-makanan yang kata orang adalah ASI booster. Sayang tak berhasil. Perasaan sedih melanda karena banyak kudengar orang membicarakanku dan menyebutku malas memberi ASI kepada anak-anakku. Segala rumor menakutkan tentang kondisi anak yang tidak mendapatkan ASI diceritakan kepadaku sampai aku kesal. Kupikir tak seorang ibupun yang tak ingin memberikan yang terbaik kepada anaknya.
Saat itu aku merasa semua orang menudingku sebagai ibu yang jahat kepada anaknya karena tidak memberikan ASI. Mereka tak tahu betapa tertekannya diriku setiap ada tetangga yang datang menengok bayi. Setiap orang yang datang selalu memberi saran apa yang harus kulakukan agar ASI ku keluar. Maksud mereka sebenarnya baik, cuma saran mereka malah membuatku tambah tertekan. Akhirnya setelah berusaha selama seminggu, aku memutuskan untuk memberi anakku susu formula dengan penuh.
Rasa sedih yang kualami semakin menghebat. Mungkin bagi orang lain mengurus dua anak adalah hal yang biasa, tapi entah kenapa saat itu aku merasa mendapatkan beban yang amat berat. Rasanya ingin selalu menangis. Itu kualami selama seminggu, walaupun tak ada masalah serius menimpa anak-anakku, aku selalu bersedih, dan itu terjadi setiap hari. Kupikir karena aku merasa bersalah karena tak bisa memberikan ASI kepada anak-anakku, tapi lama-lama kok jadi melankolis yang tak jelas penyebabnya. Perasaan itu membuatku tersiksa.
Belakangan setelah kucari tahu aku baru tahu bahwa apa yang kurasakan itu adalah hal wajar yang dialami seorang ibu yang baru melahirkan. Rupanya aku terkena sindrom baby blues. Menurut apa yang kubaca di sebuah buku, sindrom baby blues adalah kondisi gangguan mood yang dialami ibu setelah melahirkan. Baby blues merupakan bentuk yang lebih ringan dari depresi post natal. Katanya sih ini hal yang normal dan banyak ibu mengalami sindrom ini setelah melahirkan.
Akhirnya, buat ibu-ibu yang akan melahirkan jangan merasa bersalah bila kedatangan sindrom baby blues. Nanti akan berlalu juga kok seiring waktu, apalagi jika kita memeluk bayi mungil yang lucu dan menggemaskan. Juga buat yang lain, jangan suka membandingkan ibu melahirkan satu dengan yang lainnya karena proses yang dialami setiap ibu akan berbeda-beda. Ketika menengok orang yang habis melahirkan, berilah semangat dan hiburlah si ibu agar ibunya tetap ceria. Bagi yang sulit mengeluarkan ASI, dicoba terus jangan putus asa. Kalau ada indikasi medis tak dapat menyusui, jangan membandingkan dengan orang lain, semangati diri sendiri bahwa apapun yang kita berikan, itulah yang terbaik untuk anak kita.
Jakarta, 1 Februari 2019

Warisan

 “Jon, lu ngoyo banget nyari duit. Buat apaan? Sesekali nikmatin hidup dong” kuteguk kopi hitam panas kesukaanku. Kulihat Jono sedang meniup-niup kopinya yang masih panas.
“Gue ini harus kerja keras. Gue nggak mau istri dan anak-anak gue susah nanti. Makanya gue kerja, nabung, terus beli properti yang banyak, biar mereka hidupnya lebih mudah nanti.”
Memang sih, dari semua temanku, Jono ini paling banyak memiliki harta. Mungkin bila kami berdua sudah nggak ada, Jono akan tenang karena anak-anaknya sudah memiliki harta warisan masing-masing. Sampai setua ini, aku nggak memiliki apa-apa selain rumah yang kutinggali saat ini.
Jono memang kaya dari segi properti yang dimilikinya tapi kalau kami bertemu, akulah yang selalu membayari makan atau minum. Aku merasa kualitas hidupku lebih baik darinya. Aku masih bisa bercengkrama dengan istri dan anak-anakku selepas pulang kerja. Aku banyak menghabiskan penghasilanku untuk membiayai pendidikan anak-anakku dan keponakan-keponakan, bantu orang tua, piknik, nonton, dan membeli buku. Penghasilanku juga sebagian disisihkan untuk meningkatkan kualitas anak-anakku seperti keterampilan bahasa dan olah raga. Kalupun aku meninggal dunia hari ini aku yakin mereka dapat mandiri dengan keterampilan hidup yang mereka miliki. Pokoknya penghasilan seimbang dengan  pengeluaran. Tidak banyak yang ditabung dan dibelikan properti.
“Kalo gue sih, sampe rumah udah jam sepuluh malam. Mana sempet ketemu istri dan anak-anak. Nggak apa-apalah, yang penting mereka tahu kalau gue kerja siang malam buat mereka juga,” ujar Jono seolah mencari pembenaran.
“Ya memang cara hidup orang beda-beda, Jon. Kalau gue sih nggak punya apa-apa buat diwariskan ke anak-anak gue. Gue cuma bisa bekalin mereka pendidikan aja, biar mereka bisa mandiri. Kalaupun nanti ada harta gue yang tersisa ketika gue meninggal gue minta dibagi sesuai syariat Islam. Terus gue akan saranin ke mereka kasih aja ke orang lain yang lebih membutuhkan.”
Iya kalo anak-anak kita mandiri. Kalo kagak? Jaman sekarang, To, sarjana aja susah nyari kerja. Kalau gue sih udah gue siapin mereka properti yang bisa di jadiin modal usaha. Warisan dari gue,” sanggah Jono.
“Lha, kita kan musti yakin kalau anak-anak kita bakal mandiri dan bisa nyari duit sendiri,” aku masih berkukuh dengan keyakinanku.
“Lu tahu kan Jacky Chan, dia nggak mewariskan harta ke anaknya. Hartanya buat berbuat baik ke orang. Atau yang nyiptain Honda, sama sekali nggak ngasih harta. Anaknya bisa bertahan hidup. Mungkin malah ngikutin cara hidup orangtuanya berbagi buat banyak orang,” kucoba memberikan pandangan lain ke Jono.
Jono hanya diam sambil menyeruput kopinya yang mulai dingin. Aku tahu di kepalanya masih banyak yang dipikirkannya. Kekhawatiran bahwa nanti anak-anaknya akan sulit mencari penghidupan kalau dia meninggal nanti. Kami berpisah dengan pemikiran masing-masing.
*****
“Ketemuan yuk!” suara Jono terdengar berat ketika berbicara di ujung telpon.
“Kapan?” tanyaku.
“Nanti malam.”
“Di Cafe Melati ya, gue tunggu jam delapan, “ aku tutup telpon.
Malam hari aku bertemu Jono di Cafe Melati. Seperti biasa Jono memesan secangkir kopi hitam panas. Minuman itu memang kesukaannya sejak kami berteman waktu sekolah dulu.
“Gue bingung, To,” mata Jono seperti sedang menerawang jauh.
“Anak gue yang paling gede minta gue jual salah satu rumah. Katanya dia butuh buat usaha. Padahal sebelumnya udah gue kasih tanah. Dia jual, hasilnya gue nggak tahu kemana, padahal rumah yang dia minta itu buat adiknya yang nomor dua. Si sulung merasa gue nggak berlaku adil, warisan yang dia dapet nggak sebanyak yang buat adik-adiknya.”
“Lha, lu kan belum mati, Jon. Kok udah ngomongin bagi-bagi warisan aja.”
Aku mengingat pernah berkata kepada anak-anakku, “Bapak nggak akan pernah ngasih kalian warisan. Selain karena harta Bapak nggak banyak, Bapak lebih senang membiayai kalian sekolah, kemanapun yang kalian inginkan. Kalau kalian menyelesaikan sekolah dengan hasil yang baik,  sudah cukup buat kalian survive. Kalau ada harta yang tersisa ketika Bapak, bagilah secara syariat Islam. Cuma akan lebih baik kalau harta dari Bapak itu dikumpulkan untuk membantu pendidikan anak-anak yang tidak mampu.”
Saat itu anak-anakku hanya mengangguk. Walaupun belum mengerti benar, setidaknya mereka memahami nanti. Mereka tidak akan mengharapkan warisan atau mengharapkan aku cepat mati. Aku yakin mereka kan mengingat itu sampai mereka dewasa nanti.
“Kalau kalian ingin memiliki rumah atau kendaraan, carilah dengan cara yang benar dan bermartabat. Bekerjalah dengan baik untuk mendapatkannya,” sambungku.
“To, Danto!” lamunanku buyar ketika Jono menggoyangkan tanganku.
“Ya...ya, gue denger kok.”
“Kayaknya anak-anak gue ngarepin banget gue mati.”
Baru kali ini kulihat wajah Jono menunjukkan rasa tidak percaya diri. Biasanya dia selalu yakin dengan prinsip hidupnya bila berdebat denganku. Malah, dia sering menasehatiku untuk menyisihkan sebagian penghasilanku untuk membeli properti agar kelak hidup anak-anakku nggak sulit.
“Ya enggaklah, Jon,” aku mencoba menghiburnya.
“Ah empat anakku itu berkelahi terus meributkan properti-propertiku, padahal aku masih berdiri didepan mereka.”
Aku diam saja mendengar curahan hati Jono. Kepedihan dan sedikit keputusasaan terpancar di matanya. Aku kasihan melihatnya. Saat itu, aku merasa menjadi orang yang beruntung dengan cara hidupku selama ini walaupun aku nggak memiliki harta. Aku merasa bebas dari masalah perebutan properti karena anak-anaku sibuk kuliah dan sekolah. Tak ada seorangpun diantara anakku yang suka membicarakan tentang properti yang kami miliki, sepertinya mereka juga nggak kepikiran sama sekali. Mereka selalu berharap aku dan istriku selalu sehat agar bisa terus mendampingi mereka.
Aku dengar hanya anak bungsu Jono saja yang terus berkuliah, sedangkan ketiga kakaknya tidak ada yang bisa menyelesaikan kuliah. Anak tertua Jono  hanya bersekolah sampai tingkat SMA, kemudian menikah. Selama pernikahannya, Jono lah yang membiayai hidup anak itu beserta istrinya, karena dia tidak memiliki pekerjaan tetap.
Pernah kutanyakan kepada Jono, kenapa anak sulungnya itu tidak melanjutkan sekolahnya. Jawaban Jono membuatku berpikir bahwa memiliki banyak harta tidak selalu membuat hidup lebih mudah.
“Nggak apa-apa, nanti dia bisa bikin usaha sendiri. Bisa memakai jatah rumah dan tanah miliknya.”
Seperti biasanya saat itu aku debat pola pikir Jono, “Jon, kalau lu didik anak lu begitu, anak lu nantinya bakalan nunggu kapan waktunya lu mati. Anak lu nggak bakalan mau kerja keras karena lu manjain dia dengan harta benda,” keras suaraku saat itu.
“Enggaklah,  nggak mungkin dia begitu. Malah dia bakalan berterima kasih karena gue udah nyiapin segalanya buat bekal hidupnya.”
“Terserah lu!” suaraku semakin meninggi.
“Gue mesti gimana ya, To?”
“Sebagai Sarjana Hukum, gue diajarin di kampus bagaimana pembagian harta waris baik menurut hukum Islam, hukum adat, maupun hukum barat. Masing-masing sistem hukum itu mengatur pembagian harta waris agar ahli waris mendapatkan bagian secara adil.” Jono mendengarkan penjelasanku dengan serius.
“Secara Islam, waris itu adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris yang sudah meninggal dunia. Kalau lu masih hidup namanya hibah.”
“Lha, gue kan belum mati, masak gue udah disuruh bagi-bagi harta warisan.”
Aku pengen bilang, “Kan gue sering bilang ke lu kalau harta yang lu kumpulin satu demi satu itu bakalan jadi rebutan anak-anak lu, didepan mata lu yang masih sehat. Anak-anak lu jadi ngarepin lu mati!”, tapi beraninya cuma dalam hati saja.
Sejak saat itu, aku nggak pernah ketemu lagi sama Jono. Pertemuanku dengan Jono adalah ketika kudengar kabar kalau Jono masuk rumah sakit. Tubuhnya penuh selang. Ternyata itu pertemuanku terakhir kalinya dengan Jono. Dia tak kuat lagi menanggung ganasnya penyakit yang dideritanya.
Terakhir kudengar anak sulung Jono dilaporkan ke polisi oleh adik-adiknya karena memalsukan surat tanah dan bangunan ketika akan menjual aset yang diwariskan Jono. Masing-masing pihak merasa berhak atas harta itu. Tak ada yang mau mengalah. Tak ada lagi kerekatan hubungan kekeluargaan diantara mereka. Mereka terlanjur manja dan menggantungkan hidupnya pada harta peninggalan Jono. Kasian Jono.
Sebagai muslim, aku akan menggunakan hukum Islam dalam mendapatkan dan memberikan warisan. Ada ilmu Faraid untuk menghitung porsi pembagian warisan.
“Apabila nanti ada pembagian waris, aku akan memberikan bagianku kepada ahli waris yang tidak beruntung hidupnya atau  dalam keadaan sulit,” berkali-kali aku katakan itu kepada seluruh keluargaku. Aku berharap tidak ada seorangpun ahli waris yang menaruh curiga kepadaku dan pembagian warisan berjalan damai.
Aku membayangkan anak-anakku akan hidup dengan pola sama denganku. Modal sekolah yang cukup, berkarya, tidak kekurangan, bisa mengongkosi hidupnya secara layak. Harapanku mereka dapat berbagi dengan orang lain. Tidak mengharapkan harta waris dan tidak memberi warisan yang besar. Begitu seterusnya ke cucu dan cicitku kelak.


*ditulis bersama Purnomo

Dua Peron di Stasiun



Seolah berdekatan
Tapi sebenarnya terpisahkan
Saling menyadari kehadiran
Tapi tak pernah menunjuk arah yang sama,.

Seperti itukah,
Kita waktu itu
Dik

(jurangmangu, 8 febr 2019)

Berbohong

"Pagi Mas, saya mau naik eskalator nih, tunggu di halte kecil ya" ucap seorang pria mengakhiri pembicaraan via telepon dengan pengendara ojek online. Karena posisi berdiri saya persis berada disampingnya, saya mendengar dan spontan mengernyitkan dahi, "Hei, kitakan masih di dalam komuter, baru akan tiba di stasiun tujuan beberapa menit lagi", sontak batin saya berkata demikian.

Di lain waktu, Ada pula kejadian yang sama, yaitu sewaktu komuter yang saya tumpangi baru saja tiba di stasiun Kebayoran, tiba-tiba terdengar suara seorang wanita berbicara di telepon genggamnya, mengabarkan kalau dia sudah tiba di stasiun Tanah Abang, padahal komuter baru berangkat dari stasiun Kebayoran Lama.

Dua peristiwa di atas menjadi pelajaran yang sangat berharga khususnya untuk saya pribadi. Jangan pernah menyepelekan perbuatan buruk seperti berbohong, selain menjadi kebiasaan buruk yang terus terulang, kelak kita akan mempertanggungjawabankannya dihadapan Allah Swt.

Semoga kita senantiasa diberi kesempatan untuk selalu memperbaiki kekurangan yang ada di dalam diri.

Tije ...


Naik Tije Jakarta Bekasi baru tiga kali
Setelah tau jadi tidak apriori
Ternyata naik tije itu cukup penuh arti
Meski diri harus sabar mengantri

Suasana bis nyaman dan sepi
Meski di halte masih perlu antri
Rasanya ingin selalu berganti
Antara KRL dan bis tije masa kini

Selain murah dan nyaman
Tije juga cukup ramah bagi penyandang disabilitas
Meski jam sibuk tidak berdesakan
Pengguna tetap saling jaga moralitas

Jalurnya lancar tanpa hambatan
Penumpang bisa tidur dengan pulas
Meski masih macet sekitar BNN
Namun tenaga tidak akan terkuras deras

Tije Tosari-SMB, 2 Oktober 2018

Pejuang Kuda Besi

Ini kisah kehidupan para pekerja urban di Jakarta dan sekitarnya. Iya, mereka adalah pejuang. Kenapa saya sebut sebagai pejuang? Iya karena mereka memang berjuang demi memberikan nafkah lahir untuk keluarga dan dirinya. Kenapa kuda besi? Ya karena kuda besi itu sebagai representasi motor dalam mencari nafkah itu. Trus kenapa pilihannya motor? Karena itulah moda yang paling efisien dalam menghantarkan tugasnya sebagai pejuang. Mari kita bahas sedikit menurut versi saya.

Sebutan pejuang ini layak saya pakai karena para pengguna motor ini memang mencari nafkah untuk memberikan nafkah bagi keluarga dan dirinya. Mungkin banyak pertimbangan kenapa pilihannya jatuh kepada kuda besi ini. Pertama kuda besi ini sangat mudah dimiliki dengan skema cicilan atau tunai. Kedua, kuda besi ini sangat efisien digunakan baik dari sisi waktu maupun biaya. Saya pernah menggunakan jasa kuda besi ini selama sebulan dan hasilnya sangat berbeda ketika saya naik commuter line. Saat naik commuterline waktu tempuh bisa lebih dari 1 jam dari Bekasi ke kantor di sekitar lapangan banteng. Jika naik kuda besi ini, saya hanya butuh waktu tempuh sekitar 1 jam meski berangkat dari rumah sekitar jam 06.30 dan absen handkey sekitar 7.30 WIB. Soal biaya, tetap lebih murah dengan kuda besi. Saya hanya butuh biaya per minggu sebesar Rp50.000,- untuk bahan bakar. Jadi kalau sebulan, ya tinggal dikalikan 4 minggu sekitar Rp200.000,- Hal ini jauh berbeda dengan naik commuterline. Biaya parkir motor di stasiun sekitar Rp5.000,- Naik ojek dari stasiun tujuan ke kantor dan sebaliknya Rp20.000,- Jadi kalau seminggu sekitar Rp125.000,- atau sebulan sekitar Rp500.000,- Jadi sangat jauh sekali bukan? Itu dari sisi biaya.

Dari sisi waktu, saya pernah juga menggunakan motor dari Bekasi sekitar 6.45 dimana lokasi tempat tinggal saya di Bekasi Kota yang tidak dekat dengan perbatasan antara Jakarta dan Bekasi. Itupun bisa absen di kantor sekitar pukul 7.45 dan ini sangat efisien sekali. Jika dibandingkan dengan kereta, biasanya jika saya berangkat dengan jadwal kereta 6.40 kemungkinan absen sekitar 7.45 atau lebih. Jika lebih, biasanya commuterline-nya tertahan saat akan masuk di stasiun Jatinegara, Manggarai dan Gondangdia. Nah kalau ini sudah terjadi, biasanya saya akan telat absen di atas jam 8.00 pagi.

Sisi risiko, tetap lebih besar risiko mengalami kecelakaan dengan kuda besi dibanding moda transportasi lain. Iya menggunakan commuterline, berdasarkan data-data kecelakaan lalulintas tidak banyak yang menjadi korban. Pernah beberapa kali terjadi kereta commuterline menabrak kendaraan yang melintas rel kereta api. Namun jumlah korbannya tidak sebanyak pengguna kuda besi. Kalau soal risiko jelas kuda besi menjadi peringkat pertama dalam hal kecelakaan. Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan kuda besi ini berada di peringkat teratas dalam hal kecelakaan dalam berkendara. Pertama adalah emosi para pejuang yang menyebabkan lajunya kendaraan di luar kontrolnya. Kedua para pejuang cenderung abai terhadap peraturan dan rambu lalu lintas. Ketiga adalah perlengkapan keselamatan yang jarang digunakan sesuai dengan ketentuan berlalu lintas.

Berdasarkan beberapa fakta diatas, saya mengapresiasi para pejuang kuda besi ini terlepas dengan faktor kemudahan memiliki kuda besi, efisien dari sisi biaya dan waktu, adanya risiko yang setia mengintai dan pertimbangan efisiensi dari sisi moda transportasi lain. Semua kembali kepada masing-masing individu para pejuang ini. Karena apapun langkah yang akan kita ambil dan lakukan, mulailah dengan hati yang senang dan bersih. Apapun yang kalian lakukan demi keluarga dan diri anda untuk mencari nafkah dengan moda transportasi apapun, tetaplah pejuang. Selamat berjuang para pejuang.

Cerita ini juga dapat dilihat pada laman berikut : https://rulyardiansyah.blogspot.com/2017/12/pejuang-kuda-besi.html

Cinta Syahdu



Meski hanya dari jauh kau bisa kulihat..
Meski hanya bisa ku tatap tanpa bisa ku dekap
Meski rindu hanya berbuah tunggu..
Meski hanya bisa kukagumi keindahanmu..


Tak mengapa

Aku rela menjaga rasa
Sampai bila dunia ku fana
Menerbangkan sisa sisa asa

Tak mengapa

Meski hanya di alam khayal
Dapat ku nyatakan cinta syahdu

Untukmu di sana



Jika memang tak terkatakan padamu
biarlah kuceritakan saja pada alam
pada air laut yang melukiskan langit biru
pada daun yang menari dalam buaian angin
pada laba-laba yang termangu dalam sarangnya
meski telah lama ianya berlalu
semuanya tetap indah
walau tak mengapa tiada arti bagimu
semuanya tetap menjadi kenangan
walau tak mengapa tak menjadi kenanganmu
indah ini kan kusimpan dalam hati
kan ku jaga sungguh sepenuh hati
semoga abadi meski hanya dalam mimpi


Tanjung Bongo, Galela Halut, 141218