Panggilan Dari Abah


“Belum pulang, Mbak?” tanyaku pada Mbak Sandra.
“Belum,” jawab Mbak Sandra.
Mbak Sandra adalah pegawai senior yang berada pada ruangan yang sama denganku. Sebagai pegawai yang belum terlalu lama bekerja, aku harus ramah kepada semua pegawai senior di kantor.
Saat itu suasana kantor sudah sepi. Tersisa aku dan Mbak Sandra saja di ruangan. Waktu telah menunjukkan jam 19.50. Kebetulan aku mendapat tugas tambahan dari Pak Bayu, atasanku sehingga aku pulang agak malam.
“Aku pulang duluan, Mbak Sandra. Pekerjaanku udah selesai.” Aku pamit kepada Mbak Sandra yang masih asyik memandangi monitor komputernya.
Tubuh Mbak Sandra berbalik kepadaku yang berdiri di samping kursinya. Sekilas kulihat layar komputer Mbak Sandra. Wajah seorang artis yang kukenal terpampang di layar monitor.
“Mbak Sandra nonton sinetron Terperangkap Cinta Tukang Siomay Yang Aneh?” tanyaku.
“Iya, ngisi waktu pulang,” Mbak Sandra tersenyum kecil.
“Kirain Mbak kerja.”
“Enggaklah. Kerjaanku udah selesai tadi.”
“Kok nggak pulang aja?” tanyaku.
“Hari ini kan tanggalnya ganjil, sedangkan nomor mobilku genap. Jadi kutunggu sampai malam,” jawab Mbak Sandra.
“Oh ….”
“Kamu ngapain pulang jam segini. Sepuluh menit baru bisa dihitung lembur. Sayang lho.”
“Nggak apa-apa, Mbak. Kerjaanku udah selesai kok. Aku pamit, ya.”
Aku mengambil tas dan ke luar dari ruangan. Sebentar lagi AC akan dimatikan oleh teknisi. Aku tak mengerti kenapa Mbak Sandra betah berada di dalam ruangan sendiri.
                                    ***
“Kamu ngapain pulang ke kos? Mending nunggu di kantor aja. Ada temannya. Di tempat kos kan sendirian, bengong,” ujar Mbak Sandra. Saat itu aku bersiap pulang.
Kupikir, seharusnya saat ini Mbak Sandra juga pulang karena hari ini tanggal genap, jadi cocok dengan nomor kendaraannya. Namun, walaupun hari ini tanggal genap, Mbak Sandra tetap berada di kursinya. Sedikitpun tak nampak tanda-tanda ia  bersiap pulang.
Kuperhatikan sejak aku masih anak baru sampai aku jadi kakak bagi pegawai-pegawai baru, Mbak Sandra selalu pulang malam. Alasan yang dikemukakan selalu sama, menghindari ganjil genap. Pertanyaan sering muncul di kepala, apakah setiap hari nomor kendaraan Mbak Sandra selalu berbeda dengan aturan ganjil genap? Misterius memang.
“Iya sih, Mbak. Di kamar kos-an aku sendirian. Ada sih yang dikerjakan, belajar Bahasa Inggris,” jawabku.
“Nah, kan. Udah pulang malam aja. Kan bisa pake komputer kantor. Lumayan hemat kuota,” sambung Mbak Sandra.
Dipikir-pikir benar juga sih apa yang dikatakan oleh Mbak Sandra. Setiap malam aku tidur sendirian. Selain itu kuota  internet cepat sekali habis karena aku selalu membuka  akun YouTube untuk belajar Bahasa Inggris. Aku lakukan itu tiap malam sebelum tidur, agar aku bisa mengikuti seleksi beasiswa sekolah di luar negeri.
Akhirnya aku mengikuti saran Mbak Sandra. Kusimpan tasku kembali di atas meja. Aku duduk dan menyalakan komputer yang sudah kumatikan tadi. Kubuka YouTube dan mulai belajar Bahasa Inggris di komputer.
Saking asyiknya belajar, aku sampai lupa waktu. Aku tersadar ketika Mbak Sandra pamit kepadaku.
“Emangnya udah jam berapa, Mbak?” tanyaku
“Jam sebelas, Neng.” Mbak Sandra tersenyum kecil.
“Ya ampun! Perasaan baru sejam aku belajar,” ujarku kaget.
Kumatikan komputer. Baru sekarang terasa hawa panas di dalam ruangan. Kuambil tas dan ke luar mengikuti Mbak Sandra dari belakang. Ruangan benar-benar sudah gelap karena lampu-lampu sudah dimatikan.
“Tuh kan, kamu keasyikan. Paket datamu utuh pula,” ujar Mbak Sandra.
Pintu lift terbuka. Kami berdua masuk ke dalamnya. Mbak Sandra senyum-senyum melihatku.
                                                                 ***
Sebulan berlalu, aku masih tetap dengan kebiasaanku pulang malam setiap hari. Aku belajar Bahasa Inggris dengan menggunakan fasilitas kantor. Tak ada seorangpun yang menegurku. Terlebih Mbak Sandra, Ia malah mendukungku. Kami berdua jadi dekat karena seringnya kami pulang bersama ketika kantor sudah sepi.
“Pulang malam terus nih. Banyak kerjaan?” Sapta bertanya padaku. Sapta adalah teman satu ruangan tapi berbeda bagian denganku.
“Uh … iya. Aku selalu diberi kerjaan tambahan, jadi aku sering menyelesaikannya sampai malam,” jawabku ragu.
“Setiap hari?” tanya Sapta.
“Eh … iya.”
“Hati-hati, jaga kesehatan!” ujar Sapta. Ia berlalu dari hadapanku.
Saat Sapta datang, aku sedang menyelesaikan pekerjaan yang diberikan oleh Pak Dody, atasanku. Mataku mengantuk karena semalam aku kurang tidur karena pulang kemalaman.
HP-ku berbunyi. Rupanya  ada pesan masuk. Aku mengambil HP yang berada di samping keyboard komputer.
Pesan dari: Bank Antariksa
Pada rekening anda ada dana masuk sebesar Rp2.000.000 untuk pembayaran lembur bulan Oktober 2019.
Mataku terbelalak kaget membaca pesan yang masuk. Aku heran kenapa aku bisa mendapat uang lembur sebanyak itu. Aku terdiam dan berpikir, dari mana staf Bagian Keuangan menghitung pembayaran uang lembur buatku?
“Kamu udah dapat uang lembur, Nis?” Tiba-tiba Mbak Sandra berdiri di sampingku.
“Iya, Mbak. Kok dapat uang lembur banyak ya? Aku kan nggak lembur?” tanyaku heran.
“Ya nggak apa-apa lah. Itu kan rejekimu tiap hari pulang malam,” jawab Mbak Sandra dengan entengnya.
“Tapi, aku kan nggak kerja …,” ujarku bingung.
“Terima aja. Memangnya kenapa aku sering pulang malam, ya karena lumayan pemasukan setiap bulannya,” jawab Mbak Sandra tanpa merasa bersalah.
Jadi, dari jaman dulu Mbak Sandra begini? Pulang malam, nonton sinetron atau film di YouTube memakai fasilitas kantor, setelah itu mendapat SMS Banking di awal bulan. Hatiku bergolak. Disebabkan oleh sikap lemahku, aku melakukan sesuatu yang bodoh .
“Ya udah ya, aku mau ke bank dulu. Uangnya mau kupindah ke rekening lain buat bayar cicilan mobil.”
Aku hanya terpaku mendengar perkataan Mbak Sandra. Uang lembur yang diterimanya setiap bulan dipakainya untuk membeli mobil. Berarti Mbak Sandra sudah melakukan hal ini selama bertahun-tahun. Setahuku tak pernah sekalipun Mbak Sandra pulang malam untuk menyelesaikan pekerjaannya. Monitor komputernya selalu berisi tayangan sinetron atau film.
Batinku bergolak. Sebulan ini aku menghabiskan kuota kantor hanya untuk kepentingan pribadi. Bahkan, aku mendapat bayaran uang lembur di akhir bulan. Betapa Aku tak punya rasa malu.
Tuut … tuut …tuut
Abah calling
Dengan cepat kusambar HP. Entah kenapa kalau Abah menelepon, tabu bagiku menundanya. Aku selalu kangen mendengar suara Abah yang lembut.
“Halo, Assalamualaikum Abah. Apa kabar?”
“ Waalaikum Salam warrahmatullahi wabarakatu.” Abah selalu menjawab salamku dengan lengkap.
“Kabar Abah baik. Gimana kerjaannya, Neng? Mudah-mudahan Eneng*) selalu betah ya kerja di Jakarta,” sambung Abah.
“Eneng betah, Bah. Sayangnya Eneng belum bisa pulang ke rumah. Maaf, ya,” balasku. Ada rasa haru yang tertahan di dada setiap mendengar suara Abah.
“Nggak apa-apa, yang penting Eneng selalu sehat.
“Iya, Bah.”
“Abah juga pesan, Eneng jangan bikin macam-macam di kantor. Pikirin kerjaan aja. Kerja yang benar. Jangan pernah ambil sesuatu yang bukan haknya Eneng. Nggak ada keturunan Abah yang begitu.”
Suara Abah yang tegas menyentak kesadaranku. Aku heran, sepertinya Abah selalu punya insting kalau aku berbuat sesuatu yang tak baik.
“Neng … Neng. Kok diam saja?”
“Eh … iya, Bah. Eneng denger kok,” jawabku agak gugup.
“Udah, ya. Abah mau ke pasar dulu sekalian jalan-jalan biar tetap sehat. Ingat pesan Abah. Assalamualaikum.”
Abah mengakhiri percakapan. Aku terdiam sejenak. Perasaanku tak enak setelah bercakap-cakap dengan Abah.
“ Waalaikum salam,” jawabku pelan. Kututup HP dan kuletakkan kembali di atas meja kerjaku.
Aku terdiam sejenak, menyesali apa yang kulakukan sebulan belakangan ini. Aku merasa sudah mengkhianati kepercayaan yang diberikan kantor kepadaku. Aku juga merasa sudah mengkhianati perasaan bangga Abah memiliki anak sepertiku. Air mata menetes di pipiku. Aku benar-benar menyesal. Ya Allah, ampuni aku.
                                                                ***
            “Nisa, kok tumben udah mau pulang?” tanya Mbak Sandra yang melihatku mengambil tas.
            “Aku mau pulang, Mbak. Belajar di rumah aja.”
            “Kenapa?” tanya Mbak Sandra.
            “Aku nggak mau menggunakan barang yang bukan hakku. Aku juga nggak mau mendapatkan uang dengan cara nggak baik, Mbak. Aku akan lembur kalau memang ada tugas kantor yang harus kuselesaikan,” jawabku tegas.
            “Ah, sok idealis.”
            “Nggak apa-apa, Mbak. Lebih baik aku dibilang sok daripada setiap hari aku dihantui perasaan bersalah. Emangnya Mbak enggak?” sindirku.
            Mbak Sandra terdiam. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Aku sudah tak peduli lagi. Mudah-mudahan dia bisa segera kembali sadar bahwa apa yang dilakukannya selama ini tidak benar dan merugikan organisasi.
            Aku berjalan meninggalkan ruangan dengan perasaan tenang dan damai. Taka da lagi ketakutan yang membebani pikiranku.

SELESAI

*) Eneng: Panggilan untuk anak perempuan dari Suku Sunda         

Pagi adalah...

Pagi adalah jembatan
Menghubungkan harapan dengan kenyataan
Meski tak selamanya kenyataan sesuai keinginan
Namun pagi adalah sebuah jembatan yang harus dilewati

Pagi adalah inspirasi
Menjadi kekuatah imajinasi para pecinta seni
Lukisan alam yang patut disyukuri
Permulaan hari yang menyimpan sebuah misteri

Pagi adalah anugerah
Sesiapa yang bersyukur, ia kan bahagia
Sesiapa yang tak bersyukur, sesaklah ia
Karna pagi adalah jawaban dari setiap doa

Selamat pagi
Semoga keberkahan senantiasa menyertai


31122019

Kopi dan Kenangan

Kopi dan kenangan
Melebur dalam angan tak berkesudahan
Nikmati saja apa yang ada di hadapan
Karena hidup tak melulu sesuai harapan!

Kopi dan kenangan
Ibarat aku dan kamu dalam persimpangan jalan
Membisu dalam sendunya tatapan
Merangkai rindu yang terlepas dalam genggaman

Kopi dan kenangan
Ibarat genangan yang hadir selepas hujan
Maki yang terlontar oleh lisan sebagian
Tak sedikit yang mengucap kesyukuran

Kopi dan kenangan
Pahit dan manisnya dapat dikendalikan
Seperti hasrat yang berkelindan
Hasrat mencintaimu........iya kamu!

MIMPI HUJANKU




Istirahatlah Tuan

Duhai tuan
Hujan baru saja reda
Sedang engkau sibuk mengeja yang fana
Sadarkah kau jika cahayamu sirna
Seiring usia yang tak lagi sama

Istirahatlah tuan
Simpanlah angan
Helai demi helai rambutmu
Terwarnai dunia semu

Tuhan, akankah kau tunda kematian Hamba-MU?

Dalam sekat lorong ruang ICU
wajah pias menyatu
Tatapan sayu hadirkan jemu
seolah bahagia tercerabut dari tandusnya sang waktu

Satu dua napas tersengal
Mesin kehidupan berkoar bersahutan
Kelopak mata terkatup
Tak ada gairah
Yang ada hanyalah pasrah
Tuhan, akankah kau tunda kematian Hamba-MU?

Seporsi Mie Goreng Dingin, Pagi Itu


Jam tangan usang warna hitam yang melingkar di pergelangan tangan kananku menunjukkan waktu pukul 08.55 wib. Aku melangkahkan kaki menyusuri koridor ruang instalasi gawat darurat di sebuah rumah sakit pemerintah tipe A menuju pintu keluar. Ku sapu pandangan ke kanan, kiri, depan, mencari tempat nyaman untuk sekedar melepaskan penat.

Tak perlu waktu lama, aku menemukan lokasi beristirahat, sebuah taman kecil yang berada tak jauh dari halaman gedung ICU. Aku duduk disebuah kursi besi warna warni pelangi, dibawah pohon rindang yang menaungi beberapa keluarga pasien yang sudah duduk sebelum aku tiba. Aku menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan. Kemudian, ku buka resleting tas dan mengeluarkan sebuah tempat makan plastik.

Di dalam wadah makanan tersedia mie goreng bercampur nasi putih yang sudah mulai terasa dingin. Ku baca Basmallaah kemudian mulai memakannya sedikit demi sedikit meski pada suapan pertama, menu makanan yang sudah di lumat mulutku terasa sukar untuk melintasi rongga leher.

Beberapa detik kemudian, aku merasakan aliran air yang terasa hangat merayap dari kelopak mataku, aku menangis.


Malam itu, aku bahagia sekali ketika menatap layar ponselku yang menyala karena kiriman pesan singkatmu, "Gimana besok pagi, jadi kan kita ketemu di depan minimarket simpang jalan? Ku jawab isi pesanmu dengan huruf kapital, menandakan betapa antusiasnya diriku untuk berjumpa denganmu, "JADI DOONGGG", disusul emoticon love.

Waktu beranjak naik, sudah pukul 10 malam namun mataku tak mau terpejam. Entah karena rindu yang menggebu atau karena secangkir kopi susu dingin yang ku minum 1 jam sebelumnya. Yang pasti, hatiku sedang berbunga-bunga.

Dia adalah sosok wanita pujaan. Menatap wajahnya meruntuhkan pertahanan jantungku. Tutur katanya ibarat air sejuk pegunungan himalaya yang mengaliri setiap dahaga. Ia adalah bunga kampus, yang kehadirannya selalu mencuri perhatian. Dan aku, adalah pria beruntung yang meraih cintanya dalam sebuah perjuangan panjang.

Pukul 12 malam, kedua mataku masih tak mau terpejam. Lantas, aku melangkah menuju kamar mandi tuk berwudhu, kemudian tak berapa lama 2 rakaat shalat sunnah syukrul wudhu aku lakukan. Beberapa menit kemudian, aku membaringkan tubuh dan perlahan menutup kedua mataku, pulas.

Kriiiiiinnggggg....... Alarm jam meja belajar disamping tempat tidurku berbunyi kencang. Perlahan kubuka kedua mataku kemudian bangkit dari tempat tidur dan mematikan alarm. Waktu menunjukkan pukul 4 pagi. Dari speaker masjid yang berjarak hanya beberapa puluh meter dari kos-anku terdengar suara marbot masjid sedang melantunkan ayat suci alqur'an. Aku segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, kemudian bersiap-siap menuju ke masjid.
Ketika hendak membuka pintu kamar, layar ponselku menyala, ada notifikasi pesan darinya, kamu sudah bangun? Sudah siap-siap ke masjid kan?. Sebuah emoticon senyum terkirim kemudian, "Alhamdulillaah, ini baru aja mau buka pintu kamar. Aku shubuhan dulu ya...", disusul emoticon senyum.

Selesai melaksanakan ibadah shalat shubuh, aku bersegera kembali ke kamar kos untuk berganti pakaian. Pakaian spesial yang telah aku persiapkan untuk bertemu dengan sang pujaan. Selesai berpakaian, aku menuju dapur kecil di sudut kamar, mengambil dua bungkus mie goreng kesukaannya kemudian memasaknya hingga matang. Mie goreng yang telah matang, aku simpan di dalam wadah plastik, kemudian aku masukkan kedalam tas slempang. Aku dan dia sudah berjanji untuk menyantap bersama mie kesukaannya ketika bertemu nanti.

Waktu menunjukkan pukul 05.30 pagi, udara terasa sejuk menyelimuti. Ku raih ponsel dari saku kemeja, kemudian mengirim pesan, "Bismillaah...aku jalan ya, sampai jumpa...kamu hati hati di jalan ya...".
Beberapa detik kemudian, sebuah pesan jawaban terkirim, "iya...kamu juga hati-hati di jalan ya".

Beberapa waktu kemudian, aku berdiri di pinggir trotoar depan kos-an yang telah aku sewa semenjak masuk di perguruan tinggi setempat. 

Tak berapa lama, sebuah angkot berhenti di depanku, sang sopir menyapaku menawarkan jasanya. Tanpa berpikir panjang, akupun menaikinya. Waktu temluh dari lokasi kos ku dengan lokasi yang telah kami sepakati hanya berkisar 35 menit. Jam tangan menunjukkan waktu 06.10 pagi. Angkot yang aku naiki berhenti tepat di trotoar depan halaman minimarket yang telah dijanjikan. Setelah membayar ongkosnya, aku berdiri di trotoar, menatap seberang jalan. Orang yang aku cari belum tiba. Akupun mengeluarkan ponsel dari saku kemeja kemudian mengirim pesan, "Alhamdulillaah aku sudah tiba, kamu sudah sampai mana?". 
Beberapa detik kemudian pesan jawaban terkirim, "Alhamdulillaah, maaf aku telat, tapi sudah dekat kok. Terimakasih ya sudah sabar menunggu". Aku pun menjawab isi pesannya, "gak apa kok, aku juga baru aja tiba".

Beberapa menit kemudian, sebuah angkot di seberang jalan berhenti. Aku memperhatikan dengan seksama. Betapa bahagianya hatiku, karena orang yang aku tunggu dengan sepenuh hati tiba, dia melambaikan tangan. Tanpa membuang waktu, akupun berteriak kepadanya, "Tunggu disana, aku akan jemput kamu".
Namun sepertinya, ia tak menghiraukan teriakanku, tanpa berpikir panjang ia segera melangkahkan kaki menyeberang jalan menuju ke arahku, dan............brakkk, dia terpental beberapa meter dengan kening membentur dinding trotoar jalan, kemudian hari terasa gelap seakan awan pekat menggelayut di langit kebahagiaan.

Kisah Tentang Hati (Cinta Monyet)



Hati manusia tak ada yang tahu
Wajah tersenyum pisau tajam terhunus dibalik punggung.
Hati manusia tak ada yang tahu
Wajah tersenyum hati menangis tersedu-sedu menahan perih.
Hati manusia tak ada tahu
Wajah tersenyum tubuh penat luluh lantak menahan lelah.

Aku tak pernah tahu apakah ini cinta atau nafsu sesaat. Apakah kasih atau sekedar ingin memiliki. Senyummu terbayang disaat aku lelah. Tawamu yg renyah sayup-sayup terngiang di lorong sekolah, menoleh lalu kecewa. Suara manjamu memanggil nama kecilku ketika berjalan keluar sekolah. Kali ini aku tak menoleh karena aku tahu kamu tidak masuk sekolah.

Kamu sudah ada yang punya namun berulang kali kau bilang sayang pada ku. Kita berbincang berjam-jam di telepon berlempar canda dan membicarakan dunia entah untuk apa. Hari itu sebulan selepas kelulusan. Entah berapa kali ku telepon rumah mu. Berdering namun tak dijawab, dijawab namun kamu tak pernah ada. Mungkin adik mu sudah lelah menjawab telepon ku, berbohong bahwa kamu tidak di rumah. Aku pun terdiam lalu terisak. Apa salah ku?