Rindu

Aku didiami rindu, rinduku...dia baru saja hadir, tetapi sudah sedemikian sombongnya berdiri dengan sedikit mengangkangkan kaki, melipat tangannya di dada seperti centeng di pasar pagi, modal gertak.

kusiram air tak hanyut,
kuberi api tak terbakar,
kulumuri ikan asin biar dibawa kucing jalanan, kucing sial itu lebih tertarik bermain sapu ijuk, padahal kurus kering badannya

akhirnya kuajak dia bicara baik-baik
kubilang "kau terlarang", dia bergeming tersenyum sebelah bibirnya tertarik sedikit
"terus kau mau apa?" katanya dengan suara berat dan mata setengah tertutup, sepertinya habis mabuk
"aku mau kau pergi!" kataku keras, dihantamnya aku dengan belakang tangannya, aku langsung pingsan, yang kuingat terakhir ada beberapa batu akik besar di tangan kanannya, tapi sepertinya tadi tangan kiri...

Kemarin


kemarin itu....
mengapa tidak kita berbicara mata ke mata
sehingga bahasa hati tidak tersamarkan

atau adakah yg engkau sembunyikan sehingga aku tak (boleh) tahu?

jika tidak ada yg disembunyikan
tidak bisakah aku mendapat kehormatan untuk melihat matamu ketika berbicara

CaLisTung (Yang Tersisa Dari Pendidikan Kita)

“Pendidikan itu (seharusnya) memanusiakan manusia” – Tan Malaka
Kemacetan lalu lintas sudah sangat akrab bagi sebagian besar orang-orang yang tinggal di Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek). Pertukaran arus manusia terjadi setiap hari, dari mulai pagi buta sampai dengan tengah malam. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurai masalah kemacetan ini tapi sepertinya belum menunjukkan hasil yang signifikan.
Sebagai seorang pekerja yang tinggal di pinggiran Jakarta, saya pun terbiasa dengan situasi ini. Waktu tempuh 1 - 1.5 sampai dengan 2 jam untuk  jarak 25 km menjadi ukuran normal untuk mengatakan “lumayan lancar”. Lalu lintas macet adalah ketika waktu tempuh menjadi lebih dari 2 jam, lucu bukan?. Untuk menghindari kemacetan, saya lebih memilih untuk bersepeda (meskipun tidak setiap hari) ke kantor daripada menggunakan angkutan umum. Buat saya, menggunakan angkutan umum adalah tidak ekonomis dan mengharuskan saya untuk berangkat lebih pagi. Lokasi rumah yang lumayan jauh dari stasiun kereta api juga membuat saya tidak menggunakan moda kereta api sebagai pilihan alat transportasi.
Kembali ke soal kemacetan. Saat terjebak macet, saya berusaha untuk selalu berfikir positif dan tidak ‘terpancing’ dengan kondisi yang ada. Salah satu ‘kegiatan’ yang saya lakukan adalah mengamati perilaku pengemudi kendaraan bermotor, baik motor ataupun mobil. Seringkali saya menemukan bahwa kemacetan lebih banyak disebabkan oleh tidak disiplinnya pengemudi selain memang debit kendaraan yang melebihi daya tampung jalan raya.
Sudah bukan pemandangan aneh apabila ada motor/mobil yang menyerobot lampu/rambu lalu lintas, mengemudi melawan arus, berhenti/parkir di tempat yang dilarang, menyalip dari kiri, berjalan pelan di jalur paling kanan, dan yang lebih mengerikan lagi belakangan ini adalah sering terlihat pengemudi motor yang menggunakan handphone pada saat mengemudi.
Ada suatu ungkapan yang menyatakan bahwa perilaku berlalu lintas di suatu negara mencerminkan tingkat pendidikan di negara tersebut. Apabila merujuk ke ungkapan tersebut maka akan timbul pertanyaan: “apakah tingkat pendidikan di Jabodetabek sedemikian rendah sehingga kondisi dan perilaku berlalu lintas sangat semrawut?”
Walaupun belum melakukan survei, tapi saya berani bertaruh bahwa sebagian besar pengemudi kendaraan bermotor adalah orang-orang berpendidikan, minimal berlatar belakang pendidikan menengah. Data dari Korps Lalu Lintas juga menunjukkan bahwa 57% korban kecelakaan lalu lintas berlatar belakang pendidikan SLA. Lalu apakah tertib lalu lintas tidak pernah diajarkan di sekolah-sekolah? Bukankah sejak TK anak-anak sudah diajak field-trip ke taman lalu lintas? Kegiatan-kegiatan polisi cilik juga sudah banyak. Meskipun tertib lalu lintas tidak masuk secara resmi dalam kurikulum, tapi selalu ada muatan untuk menghargai hak orang lain, patuh pada peraturan dan saling menghormati sesama manusia.
Lalu mengapa semua muatan, nilai-nilai dan kegiatan-kegiatan tersebut tidak “berbekas” di jalan raya? Semua menjadi boleh sepanjang tidak menabrak atau ditabrak. Semua bebas asal tidak tertangkap petugas. Jangankan peduli keselamatan orang, keselamatan diri pribadi pun diabaikan. Alih-alih memikirkan emisi karbon, membuang tiket tol di tempat sampah saja tidak pernah dilakukan.
Sesuai dengan aliran Behaviorisme, seluruh perilaku manusia selain insting merupakan hasil belajar (Syam, M.Noor dkk. 2003. Pengantar Dasar-dasar Pendidikan). Teori Belajar atau Behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilaku manusia dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan (Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Psikologi Komunikasi).
Berdasarkan teori di atas, dapat disimpulkan bahwa secara sadar atau tidak sadar, formal maupun informal, perilaku manusia merupakan hasil belajar dan pengaruh lingkungan yang membentuk sikap dan cara pandang yang berbeda terhadap sesuatu.
Lalu darimana para pengemudi tersebut belajar? Dari sekolah? Dari lingkungan? Bukankah lingkungan mereka juga terpelajar? Pertanyaan yang sangat sulit terjawab, namun perlu kita lihat kembali seluruh sistem pendidikan dan lingkungan belajar kita. Tentunya kita tidak ingin pendidikan hanya menyisakan kemampuan baca-tulis-hitung (Ca-Lis-Tung) dalam arti harfiah; membaca tapi tidak paham apa yang dibaca; menulis tapi tidak tahu apa yang ditulis; berhitung tapi tidak mengerti apa yang dihitung. Pendidikan (seharusnya) memanusiakan manusia, bukan malah menciptakan 'monster pembunuh' di jalan raya.

Nak, saat itu ... [Puisi Kenangan 3]

Ketika Kau Mengerang Sebelum Mati [Puisi Kenangan 2]

Ratap Pongah di Ujung Usia [Puisi Kenangan 1]

Tangga

Hai tangga, apa kabarmu?
Kemarin kita bersua hari ini pun juga.
Hai tangga, sepertinya, kita akan banyak berjumpa.
Aku akan sering mengunjungimu di masa depan.
Hai tangga, maafkan aku.
Jika aku menyalahgunakanmu untuk sejenak, melepas penat pekerjaan.
Hai tangga, temani aku.
Menghisap satu-dua batang rokok, melemaskan otot-otot yang kaku.
Hai tangga, terima kasih.
Kamu telah setia menjalankan tugasmu, sebagai perlintasan antar lantai.
Tempat kami para pencari nafkah bercengkrama melepas lelah dari jenuhnya ruang kerja yang dingin.

Kirlian


Energi tidak dapat diciptakan. Energi tidak dapat dimusnahkan. 
(First Law of Thermodynamics) 

Hukum Kekekalan Energi membawaku ke sini. Kuletakkan telapak tanganku di pelat metal berbentuk jemari manusia itu. Dingin. Sesungguhnya aku merasa sedang duduk di kursi listrik seperti di film-film misteri. Apabila saat itu aku tahu bahwa pelat di kedua telapak tanganku ini terhubung dengan kabel voltase tinggi, tentu aku akan ciut mengundurkan diri dari sesi foto ini. Tapi dorongan untuk mengetahui lebih tinggi daripada kecemasanku.  

“What color is my aura?” That is the question. 

Beberapa bulan yang lalu aku sudah “mengetahui” jawabannya dari sebuah sesi quiz online. 

Tapi jelas ada bedanya antara bukti empiris dengan data intepretatif. Quiz tersebut menafsirkan warna aura dari beberapa pilihan yang kita ambil dari serangkaian pertanyaan mengenai preferensi pribadi di dalam beberapa simulasi situasi. 

Foto aura tidak banyak bertanya. Ia hanya memberikan hasil. Hanya kita sendiri yang mengambil kesimpulan dari serangkaian pantulan gelombang warna yang tercetak pada kertas film itu. Dalam 10 detik, semua hal tentang diriku akan tercetak di selembar kertas berukuran 8 x 10 cm. 

Pelat metal berfungsi menghantarkan listrik dari tangan melalui kabel ke arah kamera Kirlian di hadapanku ini. Sejenak petugas bergeming melihatku seperti orang bingung setelah mengecek kameranya. 

“Tolong bersandar ke dinding, ” katanya. Aku baru mengerti bahwa grounding atau melekatkan anggota tubuh ke dinding atau lantai membantu kualitas gelombang warna yang dihasilkan oleh tubuh kita. 

Aura. Bagi yang skeptis, fenomena ini hanya isapan jempol belaka. Bak fenomena paranormal seperti rasi bintang, bola kristal, fengshui dan lain-lain, untuk beberapa orang aura hanyalah satu topik pengisi waktu luang sambil minum kopi atau mengusir kejenuhan. 

Tapi, seperti orang lain, aku pernah belajar fisika, dan sedikit banyak mengetahui mengenai sifat-sifat dasar dari energi, cahaya, optik, dan spektrum warna. Satu topik saja yaitu “energi” dapat dibagi lagi ke dalam beberapa sub topik misalnya energi cahaya, energi bunyi, energi listrik, energi panas, energi terbarukan, energi tak terbarukan, dan banyak lagi. Apapun bentuk energi, satu hal sudah jelas, yaitu energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan. Energi hanya berubah bentuk. Setidaknya begitulah Hukum Kekekalan Energi yang sering kita pelajari di sekolah-sekolah dasar dan menengah. 

Aura hanyalah salahsatu bentuk energi dihasilkan manusia. Seorang manusia dapat menghasilkan energi suara, energi gerak, energi listrik, energi panas, energi cahaya, dan banyak lagi. Seperti halnya panas tubuh manusia dapat dengan mudah terdeteksi dengan kamera inframerah di tempat yang tergelap sekalipun, begitu juga aura semua makhluk (hidup dan mati) dapat terdeteksi dengan kamera Kirlian. Satu koin uang Rp500 mempunyai aura. Satu lembar daun di pohon mempunyai aura. Bahkan untuk beberapa mata yang terlatih, aura dapat terlihat tanpa bantuan kamera. Seorang kenalan pernah bercerita bahwa ia menikmati lalu-lalang manusia di tempat keramaian karena ia dapat melihat indahnya warna-warni aura seiring pergerakan mereka. 

Warna-warna aura tercipta karena adanya karakteristik dasar dari “cahaya”. Dahulu, terdapat anggapan bahwa cahaya merupakan gelombang yang dapat diukur frekuensi dan kecepatannya. Cahaya mempunyai kecepatan yang sangat tinggi, yaitu 299.792.458 m/detik. Begitu tingginya kecepatan cahaya sehingga jarak objek antariksa seringkali diukur bukan lagi dengan satuan kilometer melainkan tahun cahaya, 9.4605284e15 m atau hampir mencapai 10 triliun kilometer. Warna yang terlihat merupakan gelombang cahaya yang dipantulkan oleh permukaan benda yang sedang kita amati. Dengan kata lain, sebuah apel berwarna merah bukan karena ia berwarna merah tapi karena permukaan apel telah memantulkan gelombang cahaya berwarna merah. 

Belakangan, juga diketahui bahwa cahaya merupakan partikel bermuatan energi yang dinamakan “photon”, dimana sifatnya sangat unik yaitu tidak mempunyai massa (berat) namun mempunyai energi. Photon pada setiap warna berbeda-beda, sehingga energi satu warna akan berbeda juga dengan energi pada warna lainnya. Apabila cahaya dapat didefiniskan sebagai gelombang sekaligus juga sebagai partikel … bayangkan seberapa banyak informasi yang dapat diperoleh dari satu lembar foto. Kita dapat mengetahui energi yang ada pada saat itu. Kita juga dapat mengetahui frekuensi yang terjadi pada saat itu. 

Dengan pengetahuan dasar mengenai warna, cahaya, optik, listrik, dan energi inilah kemudian kita dapat memahami fenomena aura.