Tuhan Mengambil Dengan CaraNya
Apa yang masih lekat dalam dirimu
Semata karena kasih sayangNya
Untuk orang yang merindu
Bila kau ikhlas melepaskannya
Sadar semua hanya titipan
Suatu saat diambil pemilikNya
Itu hanya rasa yang membelenggu
Fikirmu dipengaruhi perasaanmu
Jangan sampai semua itu mengganggu
Pintu-pintu akan terbuka
Aliran cahaya akan memancar
Aliran ilmu juga terpancar
Agar nol selalu mizanmu
Neraca seimbang, alat ukur yang pas
Adil dan bijak tidaklah semu
Nuranimu akan berkata
Hadapi semua tanpa was was
Yakin dengan tuntunanNya
Berdengung dalam dada bertalu-talu
Melepas rasa yang membelenggu
Butuh kesadaran dan perjuangan
Terus ditanam dalam tindakan
Bukan ucapan di bibir saja
Semua harus dalam kenyataan
Menjadi pondasi hati yang tenang
Menerima ketentuan dan ketetapan
Tanpa gejolak yang tak karuan
Adalah kemenangan
Berperang dalam diri
Untuk meraih sukses hakiki.
Yogyakarta, 29 Oktober 2020
DESIR
Berdesir pagi
Membelaiku tertegun
Menatap angka
Terus bertambah
Naik mendaki hari
Tak kenal henti
Beralih pandang
Pada jalanan lengang
Di waktu lapang
Berjalan tenang
Kerumunan terlarang
Masker menggantang
Di pekuburan
Tukang gali merintih
Peluhnya habis
Di pertokoan
Tukang peti mengeluh
Kayunya tandas
Di rumah sakit
Tukang suntik menjerit
Tak bisa minum
Dibalut baju
Putih tertutup rapat
Masker menutup
Di rumah sakit
Tukang rawat meringis
Tak bisa pipis
Dibalut baju
Putih tertutup rapat
Masker menutup
Di mana-mana
Tukang bantah membebal
Tak bisa mikir
Di mana-mana
Tukang ngeyel membandel
Tak juga sadar
Larisnya kafan
Buah banyaknya dosa
Sikap mereka
-Ekpan-
30
Dahulu, seringkali ku bertanya pada sejawat, tentang ukiran rasa, pada permulaan lembaran bahtera rumah tangga. Bagaimana pernikahanmu? Seru! Pungkasmu. Tanpa memahami sejatinya, ku hanya mengangguk, tersenyum mengikuti sumringahmu.
Dahulu, seringkali ku bertanya, apakah "seru" kita masih dalam satu makna, atau sudah berbeda warna? Beberapa tahun silam, seorang sahabat berkata ingin menikah, bagaimana pendapatmu? Saat itu Ia bahkan belum menyelesaikan studi. Menikah di umur 21 tahun, berprofesi sebagai pekerja keras. Ya, pekerja keras. Semua hal Ia lakukan, mulai dari imam masjid, guru ngaji, tukang fotokopi, hingga menjaja ikan.
Bagaimana pernikahanmu?
Semenjak pindah, malam ku tak pernah panjang. Bukan karena begadang, melainkan pada nyanyian pria-pria kesepian yang tak jauh dari kontrakan. Di malam yang lain, pernah juga ada pasangan muda-mudi bertengkar di tengah malam. Lagi-lagi di depan kontrakan. Saling maki dan berteriak. Dari jendela lantai 2 ku amati, satu per satu warga keluar, bukannya melerai, mereka justru menjadikan muda-mudi tadi sebagai tontonan. Di lain hari, seorang tetangga sepuh bertanya, apakah kalian terganggu? Kami hanya tersenyum. Sejauh ini tidak masalah, Nek.
Di hari-hari pertama pernikahan, ku bertanya padanya, suami seperti apa yang kau inginkan? Ku lihat dia sejenak diam, sepasang bola matanya balas menatapku. Tak banyak yang ku inginkan, banyak hal yang ku suka darimu, tentu juga ada yang tak ku suka, jika kau berkenan mendengarkan.
Bagaimana pernikahanmu?
Ah, iya, pernikahan. Rasanya terlalu banyak kebetulan yang menuntunku pada takdirnya. Kebetulan diklat DTSD bareng. Kebetulan teman kuliah menikah di kota kelahirannya. Kebetulan sama-sama suka. Eh.. Hmm, sepertinya hal ini perlu saya tanyakan kembali padanya.
Proses yang kami jalani tidaklah lama. Januari 2020, kali pertama ku bertemu orang tuanya. Sebulan berselang, entah angin musim apa, tiba-tiba saja Ayah ku bilang ingin ke Jakarta. Akhirnya, sebelum pulang ke Dharmasraya, kami putuskan untuk mampir sejenak di Bandar Lampung.
Masih jelas dalam ingatanku. Siang itu, saat ku utarakan niatku di hadapan kedua orang tuanya, terlihat sedikit gurat keberatan dari sang Ayah. Bukan terhadap pribadiku, melainkan… Tidak kah terlalu cepat? Bagaimana jika tahun depan? Ruang tamu mendadak sunyi, menyisakan suara detik jam dinding yang tak peduli dan masih saja berbunyi. Tik.Tok.Tik.Tok. Sesaat ku lirik gadis yang ku pinang. Ku kira Ia tertunduk diam seperti di film dan novel cinta. Nyatanya, Ia balas melirik ku, seakan berkata, hayoo, wani ora?
Aku tak mendekati putri Om dan Tante hanya untuk bermain semata. Keseriusanku, dibuktikan dengan melabuhkan perasaan ini ke tempat yang seharusnya. Berlama-lama dalam hubungan yang tidak pasti selain mudharatnya, aku tak menginginkannya. Dan aku yakin, putri Om dan Tante juga berpendapat demikian.
SE 22 bisa dikatakan sebagai tiket pinanganku. Pertunangan yang direncanakan dilaksanakan pada minggu terakhir bulan Mei, usai lebaran Idul Fitri, terpaksa mundur sebab pandemi. Kehadiran SE 22 saat itu bagaikan cupid perjodohanku dengannya. Bermodal WFHb 10 hari kerja, terlaksanalah pertunangan di Tanjung Karang Pusat, Bandar Lampung, pada 26 Juni 2020.
Bagaimana pernikahanmu?
Ah, iya, pernikahan. Malam ini adalah malam ke-30 terhitung saat para saksi bersaksi SAH atas pernikahan kami. Masih terngiang dalam benak saat ku bertanya, bagaimana perasaanmu? Sembari menyudahi tilawah, Ia tersenyum, saat ini hatiku bagai kebun bunga, dengan lebah-lebah yang memanen sari, dan seorang petani yang berlalu lalang sembari bernyanyi, kau tahu siapa itu si petani?
Suatu waktu, sekembali dari masjid, Ia antusias menyambutku, terburu-buru mencium tangan. Dengan masih menggunakan mukenah, Ia sumringah, memamerkan gigi kecil putih yang berjejer rapi, aku buat takoyaki. Di lain hari, masih sekembali dari masjid, ku temui Ia tertidur dalam keadaan memeluk mushaf coklat hadiah pernikahan. Memang benarlah kata para alim, istrimu adalah hadiah yang diturunkan surga untukmu. Padahal Ia juga bekerja. Tapi, selalu saja kudapati makanku tersedia, pakaianku rapi, serta rumah yang selalu bersih.
Belakangan, sesekali ku temui, selepas dari masjid, kulihat Ia khusyuk berdoa. Tak ingin mengganggu, ku duduk tak jauh dari tempat sujudnya. Sejenak kemudian, sedu perlahan terdengar menjadi tangis. Segera ku beranjak ke hadapannya. Melepas tangan yang menutupi wajahnya, menatap, lantas bertanya, apa ada hal yang ingin kau ceritakan padaku? Ia masih saja menangis, terisak, dekapku pun semakin erat. Adakah yang tidak kau suka dariku? Lama ku menunggu, hingga suara lirih keluar dari mulutnya, kau tau kenapa bayi yang lahir selalu menangis? Tidak, jawabku. Saat ini aku adalah bayi, yang tak satupun tahu kenapa Ia menangis, bahkan diriku sendiri.
Jadi, bagaimana pernikahanmu? Tanyaku pada sosok di seberang cermin. Ku lihat kau sejenak diam, mungkin bingung, atau menggali rasa, entah lah. Sesaat kemudian, kau sumringah. Seru!
Jakarta, 7 September 2020
Aku Harus Bahagia
“Wah
alhamdulillah anaknya sehat,” ujar seorang tetangga yang datang menemuiku
ketika aku baru saja pulang dari rumah sakit selepas melahirkan Sakina.
“Alhamdulillah,”
balasku dengan tersenyum
Sebenarnya kalau
aku ditanya terlebih dahulu sebelum ada orang yang ingin menjengukku dan
Sakina, aku lebih memilih tak ada seorang pun yang mendatangiku. Apalagi kalau
aku baru saja kembali dari rumah sakit.
Aku letih. Seluruh
badanku terasa pegal dan tak bertenaga. Aku malas sekali menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan. Terlebih apabila mereka menceritakan pengalamannya ketika
melahirkan kepadaku.
“ASI-nya lancar,
Mbak?” tanya tetanggaku yang satunya lagi.
“Belum keluar dari
pertama lahiran. Sampai beberapa hari ini masih sedikit sekali air susu yang
keluar.” Tanpa diminta, ibuku menjelaskan jawaban yang membuatku kesal.
“Banyak makan daun
katuk, Mbak! Terus jangan banyak berpikir yang enggak-enggak, nanti jatuhnya
stres lho. Coba tenangin pikiran biar air susunya lancar.”
Aku hanya bisa tersenyum
tipis mendengar nasihat seperti ini. Memangnya gampang selepas lahiran, seorang
ibu yang baru mempunyai anak tak berpikir apa pun.
“Setiap hari saya
buatkan sayur daun katuk, kok. Nggak tahu juga kenapa air susunya sulit
keluar,” ujar Ibu.
“Terus bayinya
minum apa selama beberapa hari ini?” tanya yang lain membuatku semakin pusing.
Ibu diam tak
menjawab. Pikirku, tumben kali ini Ibu tak bersuara. Sepertinya Ibu malu
mendapati anaknya belum berhasil mengeluarkan air susunya.
“Anak saya udah
minum susu formula, ibu-ibu.” Akhirnya terpaksa aku menjawab pertanyaan yang
disampaikan tetanggaku itu.
“Aduh Mbak Feni,
jangan dikasih susu formula dong! Nanti anaknya jadi bodoh. ASI itu adalah
makanan terbaik bagi bayi. Selain itu juga akan menciptakan bonding yang kuat
antara anak dengan ibunya. Nanti imunnya nggak bagus lho kalau minum susu
formula.”
Duh Gusti, rasanya
aku tak sanggup menghadapi ibu-ibu ini. Bukannya aku jadi tenang dapat
nasihat-nasihat ini tapi malah membuatku jadi seperti seorang ibu yang jahat
kepada anaknya sendiri.
Saat itu,
perasaanku hancur sekali mendengar kalimat-kalimat yang pedas seperti itu.
Ingin rasanya kuusir semua orang itu dari hadapanku. Tangis Sakina
menyelamatkanku dari penghakiman para ibu-ibu super di hadapanku ini.
Aku berpamitan dan
masuk ke dalam kamar. Entah apa lagi yang dibisikkan para penjenguk itu kepada
ibuku karena kudengar masih ada percakapan yang terjadi tapi dengan suara yang
lebih pelan. Aku tak ingin mendengar apa yang mereka ucapkan.
***
Setelah seminggu
berlalu, aku tetap tak sanggup memproduksi ASI. Pikiranku semakin kalut apalagi
kalau mendengar kalimat miring dari orang tentang anak yang minum susu formula.
“Dicoba lagi,
Fen,” bujuk Ibu.
“Aku nggak bisa,
Bu. Aku sudah berusaha keras tapi tetap tak bisa.”
Rasanya aku ingin
menjerit mendapati kenyataan ini. Upaya apa lagi yang harus kulakukan agar aku
bisa mendapatkan pengakuan kalau aku adalah ibu yang sejati.
“Mungkin Ibu harus
terus membuatkanmu sayur daun katuk setiap hari,” ujar Ibu.
“Cukup, Bu. Aku
sudah capek tiap hari makananku itu-itu saja. Aku bosan.” Suaraku mulai berat
menahan tangis yang tertahan di tenggorokan.
“Sabar, Fen!”
“Maafkan aku, Bu.
Sepertinya usaha kita ini harus kita hentikan. Aku nggak mau konsentrasi jadi
terbelah karena aku sibuk mengupayakan agar ASI keluar tapi aku lupa
memperhatikan Sakina. Aku ingin ceria merawat Sakina, Bu. Bukan seperti
sekarang ini, aku sering merasa kecewa dengan diriku sendiri.”
Aku tak sanggup
lagi menahan tangis yang terpendam di dada. Kutumpahkan semuanya pada saat itu.
Andai saja Mas Dito ada di sampingku saat ini, pastilah aku akan lebih tegar
menghadapi masalah ini.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam,”
jawab Ibu.
Aku menghapus air
mata yang bercucuran di pipi dengan ujung kemeja. Aku tak ingin orang lain
melihatku rapuh seperti ini.
“Masuk, Bu
Danang!” ujar Ibu.
“Eh Mbak Feni,
mana dede bayinya?” ujar Bu Danang sambil menyerahkan sebuah kotak yang
dibungkus dengan kertas warna-warni.
“Ayo lihat!” ajak
Ibu sambil berjalan menuju kamar.
“Sakina sedang
tidur, Bu,” ujarku.
“Sakina cantik.
Mirip mamanya,” puji Bu Danang.
“Terima kasih,”
balasku berbasa-basi.
“Bagaimana Mbak
Feni, apa ASI-nya lancar?”
Hal seperti inilah
yang aku tidak sukai ketika ada orang yang melihat Sakina. Pasti ujung-ujungnya
menanyakan soal ASI kepadaku.
“Nggak keluar,
Bu.”
Ibu selalu
mewakiliku untuk memberikan jawaban kepada siapa pun yang bertanya tentang ASI.
Aku sama sekali tidak meminta Ibu untuk menjawab pertanyaan yang sama dari
beberapa orang yang niat awalnya adalah melihat anak bayiku.
“Terus minumnya
gimana?” tanya Bu Danang lagi.
“Minum susu
formula,” jawab Bu Danang.
“Aduh sayang
sekali ya, anaknya tidak menyusu kepada mamanya. Biasanya sih kalau anak yang
tidak minum air susu ibunya, gampang sakit, Mbak.”
Entah apa yang
harus kuperbuat mendengar ucapan Bu Danang. Aku bisa depresi kalau setiap hari
mendengar kata-kata ASI ditanyakan kepadaku.
“Emang ada yang
salah ya dengan susu formula?” tanyaku ketus.
“Enggak sih, Mbak.
Bagus-bagus aja. Susunya merek apa? Kalau keponakan saya minumnya susu merek ST 13. Mahal itu,” ujar Bu Danang lagi.
“Kalau Sakina sih
saya kasih susu yang murah aja, Bu. Sama saja, yang penting anaknya mau dan
nggak alergi.”
“Ah masak sih Mbak
Feni nggak sanggup beli susu yang mahal.”
Aku semakin kesal
mendengar ucapan Bu Danang yang semakin melantur. Aku melirik ke arah Ibu dan
memberikan kode agar aku ditinggal sendiri.
“Ayo, Bu. Kita
ngobrol di luar aja. Feni ini kurang istirahat. Tadi malam begadang. Sakina
nggak mau tidur,” ajak Ibu.
“Mungkin dede bayi
pengen mimi air susu ibunya,” ujar Bu Danang dengan suara tanpa dosa. Ia tak
sadar kalau perkataannya sungguh menyakiti perasaanku.
Setelah Ibu dan Bu
Danang keluar dari kamar, aku membaringkan badan di samping Sakina yang
terlelap. Kupandangi wajah Sakina dalam-dalam. Betapa damainya Sakina. Kuelus
tangannya yang berlipat dengan lembut.
Tiba-tiba ponselku
berdering. Rupanya Mas Dito mengajakku mengobrol melalui videocall.
“Mas, aku kangen,”
rajukku setengah menangis.
“Sabar, ya.
Seminggu lagi kita akan ketemu.”
“Lama sekali, Mas.
Lain kali jangan ambil dinas yang kelamaan, ya!” pintaku manja.
“Iya. Mana
bidadari kecilku yang cantik?” tanya Mas Dito.
Aku mendekatkan
ponsel ke arah Sakina sehingga wajah Sakina terlihat di layar. Kulihat Mas Dito
mengusap air mata yang menetes di pipinya. Aku ikut terharu menyaksikan pertemuan
antara ayah dengan anak perempuannya.
“Sakina, ini
Papa.”
“Sakina tidur,
Mas.”
“Aku nggak sabar
deh nunggu seminggu lagi. Kangen kamu juga,” goda Mas Dito membuatku tersipu
malu.
“Tapi, Mas ….”
Aku ragu ketika
hendak menceritakan masalahku kepada Mas Dito. Aku tak ingin membebani
pikirannya dengan masalahku yang belum tentu dapat dipahaminya.
“Tapi apa? Mau
minta oleh-oleh?”
“Enggak kok, Mas.
Kamu pulang dengan selamat aja udah lebih dari sekedar oleh-oleh,” ujarku.
“Kamu tuh, ya.
Bakalan nggak bisa tidur nih aku kalau kamu gombalin begini.” Melihat wajah Mas
Dito yang ceria membuatku bahagia.
“Mas, jangan
marah, ya?”
“Feni, dari tadi
kamu tuh bikin kode-kode terus. Cerita aja, nggak apa-apa kok,” ujar Mas Dito
menenangkanku.
“Umm … air susuku
nggak keluar, jadinya Sakina kukasih susu formula. Seminggu ini aku udah
berusaha tapi gagal, Mas.” Akhirnya kuceritakan juga masalah yang kuhadapi.
“Ya ampun, Feni.
Kenapa kamu takut cerita soal itu? Bagiku nggak masalah, kok. Kamu fokus aja
mengurus Sakina dengan baik. Jangan sedih terus, nanti kamu sakit. Kasihan kan
Sakina … juga aku. Aku nggak mau mengurus Sakina sendirian, maunya berdua sama
kamu.”
Rasanya tenang
hatiku mendengar perkataan Mas Dito. Aku semakin yakin kalau anakku akan tumbuh
baik dengan kasih sayangku walaupun tanpa ASI.
“Fen, udah dulu
ya. Aku mau baca-baca materi seminar besok,” pamit Mas Dito.
“Iya, Mas. Daah.”
Aku membelai
tangan Sakina yang masih tidur. Aku berjanji kepada diriku sendiri bahwa aku
akan selalu bahagia tanpa harus selalu memikirkan apa pendapat orang lain.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam.
Silakan masuk, Bu Anna ….”
Aku tak ingin
terbebani dengan kewajiban untuk menemui orang saat aku lelah, makanya aku
memilih menutup pintu kamar. Aku tak tahu sejak kapan aku tertidur. Aku
terbangun ketika Ibu mengetuk-ngetuk kamarku mengingatkanku untuk makan sayur
daun katuk.
“Apa, Bu?”
“Makan sayur daun
katuk dulu, sebelum Sakina bangun!” perintah Ibu.
Aku bangun dan
duduk di pinggir tempat tidur. Aku melirik Sakina, ternyata dia masih tidur
dengan pulas.
“Boleh nggak aku
minta menu yang lain? Sayur yang lain. Aku bosan makan daun katuk melulu, Bu.
Sehari bisa sampai tiga kali.”
“Kamu nggak mau
berusaha lagi, Fen?” tanya ibu. Wajahnya terlihat sedih.
“Aku mau berusaha
menyayangi Sakina dengan caraku, Bu. Boleh ya? Ini hari terakhir ya menuku cuma
sayur daun katuk. Aku mau makanan yang bervariasi biar aku sehat, jadi aku bisa
merawat Sakina dengan baik. Maaf ya, Bu.”
“Feni ….”
Ibu memelukku. Ia
mengelus kepalaku. Sepertinya Ibu mulai menangis.
“Maafkan Ibu, Nak.
Selama ini Ibu nggak peka.”
Ada rasa hangat
menjalari hatiku ketika berada dalam pelukan Ibu. Aku semakin yakin, Sakina
akan tumbuh dalam lingkungan yang baik dengan orang-orang dewasa yang saling
memahami.
***
(H)Utang
Suasana
malam semakin hening. Hanya terdengar suara jangkrik yang terus bernyanyi di
gelapnya malam Desa Kemuning. Aku menunggu kata pertama yang akan diucapkan
oleh Mahmud, saudara sepupuku walaupun dalam hati aku sudah bisa menebak apa
keperluan Mahmud mendatangi rumahku malam-malam begini. Upaya Mahmud membelah
sepi dan gelapnya malam dari Desa Melati menuju Desa Kemuning adalah perjuangan
yang lumayan berat.
“Anak-anak
sudah tidur?” tanya Mahmud berbasa-basi. Ia sudah tahu kalau isteri dan
anak-anakku sudah tidur semua di jam seperti ini.
“Sudah,”
jawabku pendek.
“Mau minum
apa? Kopi, teh?” Aku mencoba menawarkan minuman sebagai basa-basi untuk
kepantasan percakapan dengan tamu.
“Nggak usah,
Mas. Aku sudah ngopi tadi di rumah,” tolak Mahmud.
“Tumben
malam-malam ke sini. Ada apa, nih? Keluarga sehat, kan?” tanyaku lagi.
“Alhamdulillah,
sehat semuanya.”
Mahmud
terdiam. Pandangannya menerawang ke atas langit-langit rumah. Aku pun terdiam,
menanti ucapan Mahmud selanjutnya. Suara jangkrik terdengar semakin keras.
“Sebentar
lagi kan tahun ajaran baru, Mas ….
Mahmud
kembali terdiam. Sepertinya ia ragu untuk melanjutkan pembicaraannya. Aku masih
menunggu ucapan Mahmud.
“Si Nabil
dan Mitha harus daftar ulang, sedangkan jualanku lagi sepi ini karena ada toko
perabot baru yang lebih lengkap di dekat Kantor Kecamatan. Banyak pelangganku
yang pindah ke toko itu,” terang Mahmud.
“Berapa yang
kamu butuhkan?” tanyaku akhirnya.
Kulihat
wajah Mahmud berseri mendengar pertanyaanku. Mungkin pertanyaan itu yang
diharapkannya keluar dari mulutku.
“Kalau
boleh, aku mau pinjam tiga juta saja, Mas. Nanti kalau tanah warisanku terjual,
aku akan segera mengembalikannya. Sekarang sih sudah ada beberapa peminat yang
serius, Mas. Aku tinggal menentukan saja mau dikasih ke siapa tanah itu.”
Aku terdiam
sejenak. Kupandangi wajah Mahmud yang sepertinya berharap sekali aku memenuhi
keinginannya.
“Lagi pula
kenapa sih kamu nggak nurut aja sama aku. Kamu itu harusnya memasukkan anak ke
sekolah negeri, jadi kamu nggak bingung bayar SPP. Kalau setiap semester
begini, kan kamu juga yang repot,” ujarku setengah mengomel.
Mahmud
menunduk mendengar ucapanku. Melihat Mahmud seperti itu membuatku iba. Walaupun
aku sering kesal dengan perilaku Mahmud, tapi aku sering merasa tak tega
terhadap saudara sepupuku yang satu ini.
“Kalau soal
uang, aku harus tanya isteriku dulu. Semua uang kami dia yang simpan. Jadi, aku
nggak bisa menjanjikan apa-apa ke kamu. Belum lagi, kemarin isteriku nanya
pinjaman kamu sebelumnya belum dibayar. Waktu itu kamu juga janji akan segera
dibayar kalau motor kamu terjual. Sayangnya, motor kamu entah ke mana, utangmu
ke aku nggak terbayar juga. Aku harus bilang apa sama Ranty? Padahal kami juga
punya anak yang harus masuk kuliah nih bulan depan,” sambungku. Aku berusaha
menolak secara halus permintaan Mahmud.
“Tolong
banget, Mas. Kepada siapa lagi aku harus datang kalau bukan ke Mas,” ujar Mahmud
dengan wajah dibuat memelas.
“Gini deh,
aku bilang dulu sama Ranty. Nah kalau Ranty setuju, baru aku bisa kasih kabar.
Sekarang pulang dulu, aku ngantuk. Besok aku harus pergi pagi-pagi, ada rapat
guru di sekolah,”usirku.
“Iya, Mas.
Aku pamit dulu. Sekali lagi aku minta kebaikan hati Mas untuk menolongku. Kali
ini aku nggak ada ingkar janji,” ujar Mahmud.
“Jangan
kebanyakan buat janji!” ujarku sedikit kesal.
Kalau
kuingat entah berapa kali Mahmud melakukan hal yang sama kepadaku. Padahal dia
tahu kalau aku itu tak memiliki banyak harta apabila dibandingkan dengan kakak
kandung dan adik kandungnya. Ia lebih sering meminta bantuanku daripada kepada
mereka.
Kulepas
Mahmud di kegelapan malam. Setelah itu, aku kembali masuk ke dalam rumah dan mengunci
pintu depan. Entah apa lagi alasan yang harus kusampaikan kepada Ranty agar ia
bisa mengeluarkan uang tabungan kami. Terlebih yang meminjam uang itu adalah
Mahmud, yang sering ingkar janji dan seringkali tidak mengembalikan uang yang
dipinjamnya kepada kami.
***
“Siapa yang
bertamu malam-malam, Mas?”
“Lho, kirain
udah tidur,” ujarku mendengar pertanyaan Ranty.
“Aku agak
sulit tidur nih. Mahmud, ya? Mau minjem uang, kan? Tiga juta kan?” tanya Ranty
seolah menerorku
Dugaan Ranti
jarang meleset apabila ada tamu datang ke rumah. Ia bisa menebak apa maksud
kedatangan tamu itu ke rumah. Terlebih kalau yang datang Mahmud, Ranty bisa
memperkirakan apa keperluan Mahmud bahkan beberapa hari sebelum kunjungannya.
“Kok tahu?”
tanyaku pura-pura kaget.
“Ya tahu
aja. Soalnya aku ngecek berapa biaya daftar ulang di sekolah Nabil dan Mitha,”
jawab Ranty.
“Hehehe,
kamu itu tapi bener kok, tadi dia datang ke sini mau minjem uang sejumlah tiga
juta. Kita ada uang segitu?” pancingku.
“Ada sih,
Mas tapi kan kita juga butuh untuk biaya Amira daftar-daftar ke perguruan
tinggi,” jawab Ranty.
“Kalau gitu,
kasih aja separuhnya,” pintaku.
“Mahmud itu
masih punya utang sama kita sejumlah empat juta rupiah lho. Kita belum ada
deklarasi mengikhlaskan. Ini masih mau nambah utang lagi, gimana sih, Mas? Oke
lah kita kasih setengahnya tapi kan sama aja nambah utang dia lagi. Kita ini
bukan orang kaya, Mas. Nggak bisa lho dia terus menggantungkan pemenuhan
kebutuhannya kepada kita. Kakak sama adiknya kan bisa juga dimintain tolong,”
ujar Ranty dengan suara agak meninggi.
“Kasian lho
si Mahmud itu. Usahanya lagi sepi.” Aku mencoba membujuk Ranty. Bagamana pun,
Mahmud adalah saudaraku juga.
“Mas selalu
begitu.”
Ranty
membaring di tempat tidur dan membelakangiku. Akhir-akhir ini ia memang sering
tak ramah kalau ada kunjungan dari saudara-saudaraku. Aku akui, banyak
saudaraku selain Mahmud yang sering meminta bantuan kepadaku. Menurutku itu
wajar karena aku dianggap orang yang paling bisa diandalkan. Sayangnya, itu
membuat Ranty agak kesal.
“Jangan
gitulah. Kalau kita bisa bantu, ya dibantu saja. Siapa tahu suatu hari kita
yang butuh bantuan mereka,” bujukku.
Tak ada
sepatah kata pun yang keluar dari mulut Ranty. Aku tak tahu apa yang ada di
dalam pikiran Ranty mendengar ucapanku.
“Mas,
sebelumnya kita udah ngasih pinjaman ke Fauzi lho.” Ranty membalikkan badannya
dan menghadap ke arahku.
“Lho Fauzi
kan adik kandungku, wajar dong kita bantu. Waktu Si Neneng, sepupumu itu minta
bantuan aja kita kasih, kan?” Aku agak kesal juga mendengar Ranty mengungkit
bantuan yang diberikan kepada adik kandungku.
“Lho kok
jadi bawa-bawa si Neneng, Mas?” tanya Ranty dengan kesal. Ia bangkit dari
tidurnya.
“Kamu sih
yang pertama bawa-bawa Fauzi,” timpalku.
“Mas itu
hitung-hitungan kalau sama keluargaku.”
“Bukannya
kamu yang sering hitung-hitungan kalau ada saudaraku yang butuh bantuan?”
Aku mulai
marah dengan sikap Ranty. Kenapa ia bisa mengungkit apa yang sudah kuberikan
kepada saudaraku sendiri.
“Berapa banyak
kukeluarkan uang yang kusimpan sedikit demi sedikit untuk keperluan kita
sendiri yang akhirnya diberikan kepada saudara-saudaramu. Apa pernah aku
mempermasalahkannya?” tanya Ranty. Mukanya terlihat marah kepadaku.
“Lha barusan
apa namanya kalau bukan mengungkit-ngungkit? Kamu itu memang perhitungan kalau
sama keluargaku. Beda kalau yang minta bantuan keluargamu pasti kamu akan
berikan walaupun jumlahnya banyak. Belum lagi sikap kamu yang sering nggak
ramah sama keluargaku.”
Akhirnya aku
tak tahan lagi. Aku mengeluarkan unek-unekku kepada Ranty. Kulihat wajah Ranty
memerah. Air mata mulai jatuh di pipinya. Saat itu aku agak menyesal juga
mengeluarkan kata-kata yang menyakiti hati Ranty tapi rasa ego mencegahku
meminta maaf kepada Ranty.
“Mas kok
gitu sama aku? Gara-gara si Mahmud kenapa Mas jadi marah sama aku?”
Tangis Ranti
pecah. Ia kembali berbaring dan membalikkan badannya membelakangiku. Aku
bingung harus berbuat apa. Ketika tanganku hendak membelai rambutnya, egoku
mencegahnya.
Akhirnya aku
juga membalikkan badan saling memunggungi. Percakapan selesai sampai di situ.
Aku cegah diriku membalas ucapan Ranty. Malam itu berlalu dengan perasaan
dingin di hatiku. Mungkin itu juga yang dirasakan oleh Ranty. Kemarahan kami
berdua terbawa ke alam mimpi.
***
Pagi-pagi
ketika aku hendak berangkat ke sekolah, Ranty sudah tak ada di kamar. Kucari ke
seluruh sudut rumah, tak kutemukan sosok yang telah menemaniku selama dua puluh
tahun itu. Kubuka tudung saji di meja, tersaji sepiring nasi goreng dengan
sebuah telur ceplok di atasnya.
“Mama ke
mana, Mi? tanyaku kepada Almira yang sedang mencuci piring.
“Nggak tahu,
Pa. Tadi pagi udah rapi tapi nggak bilang mau pergi ke mana,” jawab Amira
sambil terus mencuci piring.
Ponsel yang
kupegang berbunyi. Ada pesan masuk yang ternyata dari Ranty.
Mas, Aku
mau pulang ke rumah Ibu dulu. Biarkan aku tenang beberapa hari. ATM kusimpan di
meja kerjamu. Silakan kamu beri pinjaman ke Mahmud atau siapa pun. Mau
dihabiskan pun uang yang ada di ATM, silakan. Jangan telepon atau kirim pesan.
Aku akan pulang sendiri kalau pikiranku sudah tenang.
Aku tak tahu
harus berkata apa. Sekesal apa pun aku kepada isteriku, tak pernah sedikit pun
terpikir olehku untuk meninggalkannya. Membaca pesan dari Ranty, aku merasa
sedih.
“Kenapa, Pa?
Kok sedih begitu?” tanya Almira.
“Mama ke
rumah Nenek,” jawabku.
“Ya biarin
aja, Pa. Kan Nenek itu ibunya Mama, wajar dong Mama pengen nengok,” ujar Almira
polos.
Assalamualaikum
Walaikum
salam
Dari pintu
belakang muncul Mahmud dengan muka yang penuh harap. Ia tersenyum ke arahku.
“Belum
berangkat, Mas?” tanyanya.
Aku hanya
menatap mukanya dengan kesal.
Bagaimana
Mas? Mbak Ranty sudah ngasih kan uangnya?” Aku melotot kepada Mahmud.
“Pulang
sana. Jangan pernah balik lagi ke sini. Pikirkan saja urusanmu sendiri!”
teriakku sambil menyeret Mahmud ke pintu. Setelah itu kututup pintu dengan
keras. Almira hanya melihatku dengan pandangan heran.
***
Depok, 11
Juni 2020
R.I.N.D.U
“I miz u soo bad”, ujarmu lalu memelukku erat.
“I
miz u even more,” aku melepas peluk lalu menatap wajahmu dalam. Ah, tak ada
yang berubah, kecuali guratan halus yang samar terlihat di sekitar wajahmu.
Lalu kita saling menatap dalam dengan senyum penuh kerinduan. Lagi-lagi, aku masih
menemukan hal yang tak pernah berubah, pandangan sayangmu.
“How’s
life?”, keingintahuanmu terdengar jelas saat melontarkan tanya itu. “Is everything
alright?”, tak sabar kau mengejarku lagi dengan pertanyaanmu, kali ini dengan
nada khawatir yang kau coba sembunyikan.
“Aku
tau kau jawaban apa yang kau harapkan,” aku berujar dalam hati.
Lalu
aku mengangguk sambil tersenyum, “Alhamdulillah, as you see, I’m pretty good”,
aku berusaha keras menunjukkan raut bahagia di wajahku.
“Owh,
syukurlah. Be a good girl ya,” kau mengusap lembut pipiku. Aku dapat merasakan
betapa kau sangat merindukanku.
“A
girl?”, aku terbelalak, dan baru akan melanjutkan, “I am not ...” ketika kau
dengan sigap meletakkan telunjukmu di bibirku sambil berkata, “Hey, for me, you
will always be a girl”, lalu kau terbahak dan mengusap pelan kepalaku.
Ya,
meskipun usia kita hanya terpaut 1 tahun beberapa hari, namun kau selalu
menganggapku seperti seorang anak perempuan yang selalu ingin kau manjakan.
Sepertinya
aku baru menikmati tawamu beberapa detik ketika tiba-tiba kau berkata,” I
should go,” lalu mengecup keningku hangat sejenak sebelum kau dengan tergesa
berbalik, melangkah cepat, dan berlalu.
Ada
ratusan kata yang ingin kuucapkan, namun tak satupun yang mampu kusuarakan. Aku
hanya diam menatapmu menjauh, berharap kau berubah pikiran lalu berbalik
berlari kearahku, mendekapku erat dan membisikan kata, “Go with me ...”. Aku
mematung, memandangi sosokmu yang semakin menghilang bersama butiran air mata
yang mulai luruh.
***
Aku
terisak, merasa sangat sesak, lalu terbangun dalam kegelapan malam.
MENGEREK BENDERA
Aku mengerek bendera,
Naik menggapai atap dunia,
Di balik silau sang surya,
Diiringi lamat-lamat berita durja,
Aku mengerek bendera,
Meraih temali menyusuri tiang tinggi,
Tercekat nada rintih air mata,
Berkibar setengah lalu terhenti,
Aku terus mengerek bendera,
Memaksa sekuat daya,
Acuhkan peluh tak reda,
Turun gemericik seirama Indonesia Raya,
Dua orang datang membawa seka,
Berhitung satu, dua, tiga,
Bersama mengantarkan sang saka,
Melihat merdeka dari atas sana.
Kami mengerek bendera.
(Ekpan, 17 Agustus 2020)