Mimpi Buruk Karenina

 

Fitra membuka sebuah amplop yang sedang dipegangnya. Matanya terpusat pada satu tulisan besar yang berada di tengah kertas. Kekesalan tergurat jelas di wajahnya. Kemudian kertas itu diremasnya.

Tak ingin berlama-lama di bangunan sekolah bertingkat itu, Fitra melangkah keluar dari sekolah itu. Langkahnya cepat karena menahan kekesalan.

Sesampainya di tempat parkir Fitra masuk ke dalam mobilnya. Ia tidak langsung menyalakan mesin mobilnya melainkan duduk di depan setir. Kemudian ia membuka tasnya dan mengambil ponsel. Dicarinya sekolah-sekolah dasar yang dipikirnya bisa mendaftarkan Karenina, anaknya.

Sudah setengah jam lebih, Fitra berada di dalam mobilnya, namun belum ada satu pun sekolah yang menurutnya cocok untuk Karenina. Dari mulai waktu pendaftaran yang sudah selesai, lokasi yang jauh dari rumahnya sampai biaya yang terlalu mahal baginya.

Perasaan stres mulai menyerang pikiran Fitra. Ia bingung harus ke mana lagi mencari sekolah untuk Karenina. Akhirnya Fitra memutuskan akan mendatangi sebuah sekolah swasta yang letaknya agak jauh dari rumahnya. Ia menjalankan mobilnya meninggalkan gedung megah sekolah itu.

“Selamat pagi, Bu!”  Fitra menyapa seorang perempuan setengah baya yang sedang duduk di sebuah ruangan.

“Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?” jawab perempuan itu dengan ramah.

“Saya ingin mencari informasi pendaftaran masuk ke sekolah ini, Bu,” ujar Fitra.

“Silakan duduk, Bu!”

Fitra duduk di depan perempuan itu. Ia mulai berbicara tentang kemungkinan anaknya bersekolah di sekolah yang menurut banyak orang adalah sekolah yang paling bagus di daerah tempat tinggalnya. Sayangnya semakin lama ia mendengarkan perkataan perempuan dihadapannya, ia semakin pusing.

“Biaya masuknya sekitar empat puluh juta dan SPP-nya adalah dua juta per bulan. Ibu bisa mendaftarkan anaknya sekarang kemudian lusa bisa ikut tes masuk.”

Fitra tak tahan lagi berada di situ. Ia tak membayangkan mengeluarkan uang segitu banyak untuk pendidikan di sekolah dasar. Belum lagi biaya bulanannya. Gaji Fitra dan Tommy, suaminya akan habis untuk biaya sekolah, transportasi dan cicilan-cicilan saja. Tak akan tersisa untuk makan sehari-hari. Belum lagi tanggungan keluarga mereka berdua. Fitra bergidik membayangkannya.

“Saya pikirkan dulu ya, Bu,” ujar Fitra dengan lemas.

“Ini kesempatan terakhir, lho. Besok pendaftaran sudah kami tutup,” jawab perempuan itu.

“Iya, Bu. Saya permisi!” Fitra pamit setelah bersalaman dengan perempuan itu.

Sampai ia mendatangi sekolah yang keempat, barulah Fitra merasa telah menemukan sekolah yang cocok bagi Karenina. Sayangnya, ia tak dapat memutuskan sendiri. Fitra harus melibatkan Tommy untuk mengambil keputusan. Baginya yang penting adalah ia sudah menemukan calon sekolah bagi Karenina.Itu sudah membuatnya sedikit lega.

                                      ***

“Tom, masak sih Karenina bisa nggak lolos masuk sekolah negeri favorit,” ujar Fitra kesal.

“Ya nggak apa-apa dong. Emang harus ya lolos masuk SD favorit?” tanya Tommy dengan tenang.

“Bukan begitu, Tom. Aku nggak terima aja. Karenina itu cerdas lho. Bahkan waktu di TK, gurunya sering memuji Karenina. Dia juga udah pinter baca,” timpal Fitra.

“Nggak boleh lho masuk SD pake tes. Di TK juga seharusnya nggak perlu diajarin baca tulis,” ujar Tommy.

“Iya sih, tapi kan kita harus mempersiapkan pendidikan Karenina sejak dini, Tom. Biar nanti dia bisa masuk sekolah lanjutan yang bagus.”

“Kali aku nggak sependapat, Fit. Kupikir sih nggak perlu lah Karenina belajar di sekolah favorit dulu. Aku malah pengen masukin Karenina ke sekolah negeri yang di sekitar sini aja,” ujar Tommy.

“Maksudmu SD Melati gitu? Ya ampun Tom, tega banget sih mau sekolahin Karenina di situ. Bangunannya aja jelek gitu mana tempatnya kumuh pula,” tukas Fitra.

Fitra merasa kaget mendengar usul Tommy untuk menyekolahkan anaknya di SDN Melati. Tak ada seorang pun penduduk kompleks perumahan yang mereka tinggali bersekolah di SDN Melati. Kebanyakan anak yang bersekolah di situ adalah penduduk perkampungan yang berada di sekitar tempat tinggal mereka.

“Lho memangnya kenapa?” tanya Tommy masih dengan suara yang datar dan tenang.

“Karenina, Tom. Anak kita satu-satunya sekolah di tempat yang jorok. Kasihan dong,” jawab Fitra dengan kesal.

“Ah menurutku semua sekolah sama aja. Apalagi masih tingkat dasar, pelajarannya pasti sama.”

“Tom, aku nggak setuju! Kasihan Karenina.”

“Kasihan Karenina atau kasihan kamu sendiri?”

“Maksudmu apa, Tom?”

“Sebenarnya yang kamu kasihani itu adalah dirimu sendiri, bukan Karenina. Menurutku sih Karenina akan senang sekolah di mana pun. Yang penting baginya adalah memiliki teman bermain ….”

“Kamu kok menentang aku memberikan yang terbaik bagi anak kita sih!”

Suara Fitra terdengar parau bercampur dengan tangisan yang tertahan di matanya. Ia merasa Tommy tak menghargai upayanya untuk mencari sekolah yang bagus bagi Karenina. Ia merasa telah mengorbankan waktu dan tenaganya demi mencari sekolah. Ia rela mengambil cuti dari kantor padahal ia sebenarnya ditugaskan ke luar kota oleh atasannya. Ia tolak semua itu demi Karenina.

“Gini deh, untuk sekolah dasar, beri aku kesempatan untuk memilihkan sekolah untuk Karenina. Kalau misalnya Karenina tidak senang dengan sekolahnya, maka bolehlah kamu memindahkan Karenina ke sekolah yang bagus menurutmu,” ujar Tommy.

“Tom, kamu kok ngotot sih?” tanya Fitra.

“Lha bukannya kamu juga ngotot?” Tommy balik bertanya.

“Bukan gitu, apa kamu nggak kepengen Karenina tumbuh cerdas dan pintar sehingga nanti dia nggak kesulitan masuk ke jenjang sekolah yang lebih tinggi,” terang Karenina. Ia mencoba mempertahankan keinginannya.

“Pengen banget, Fit. Pengen. Satu hal yang perlu kamu ketahui, aku punya alasan kuat menyekolahkan Karenina di SDN Melati adalah biar Karenina punya pengalaman hidup yang berwarna. Ia bisa melihat kehidupan lain. Bukan hanya kehidupan yang didapatnya sekarang. Aku ingin Karenina jadi anak yang tangguh dan juga anak yang peduli dengan sesamanya,” jelas Tommy.

Fitra terdiam sejenak mendengar penjelasan Tommy. Ia tahu maksud Tommy baik tapi ia berpikir apakah sekolah seperti itu tepat untuk Karenina.

“Kalau Karenina di-bully gimana?”

“Di sekolah bagus pun sering ada bullying juga, kok.”

“Tom, please!

“Kali ini aku akan bertahan, Fit,” ujar Tommy ngotot.

“Mama, Papa, kok bertengkar sih?”

Tiba-tiba Karenina muncul di depan mereka berdua. Karenina mengucek-ngucek matanya. Kemudian ia duduk diantara Fitra dan Tommy.

“Karenina kok bangun, sih?” tanya Fitra.

“Karenina mimpi buruk, Ma.”

“Mimpi apa?” tanya Fitra sambil mengusap kepala Karenina.

“Mama dan Papa bertengkar,” jawab Karenina polos.

“Karenina, Mama dan Papa nggak bertengkar kok. Mama dan Papa sedang membicarakan tentang sekolah Karenina setelah dari TK,” ujar Fitra lembut.

Tommy memberi isyarat kepada Fitra agar tidak membicarakan masalah sekolah kepada Karenina. Fitra merasa inilah kesempatan yang bagus untuk mengungkapkannya kepada Karenina.

“Karenina suka kan sekolah yang gedungnya bagus, ruangannya bersih dan temannya yang baik-baik?” tanya Fitra.

“Suka, Ma,” jawab Karenina.

“Kalau sekolah dekat, temannya lebih banyak suka ngga, Nak?” tanya Tommy.

“Karenina juga suka, Pa.”

“Tommy!” bentak Fitra.

“Biar Karenina yang memilih, Fit. Dia pasti tahu lah yang baik untuknya,” balas Tommy.

“Karenina masih kecil, Tom!” balas Fitra.

“Ma … Pa, kok jadi ribut gara-gara Karenina sih?” tanya Karenina polos.

“Nggak kok. Mama sama Papa nggak ribut,” ujar Fitra dengan lembut.

“Gini deh, Papa mau tanya. Karenina mau sekolah di pilihannya Mama atau Papa?”

“Tom, masak Karenina dibawa-bawa ke masalah ini sih. Harusnya kita yang menentukan untuk kebaikan Karenina,” tukas Fitra.

“Ya nggak apa-apa dong biar Karenina udah dibiasakan ngambil keputusan sejak dini,” balas Tommy.

“Karenina, bagaimana jawabannya?” tanya Tommy lagi.

“Karenina bingung, Pa.”

“Tuh kan anaknya bingung. Kamu sih. Udah masuk sekolah yang kucari tadi siang aja!” pinta Fitra.

“Enggak dong! SDN Melati dekat. Kita jadi nggak khawatir,” balas Tommy.

“Nggak bisa, aku nggak mau anakku masuk sekolah negeri!” balas Fitra.

“Lha kamu juga kan produk sekolah negeri, Fit.”

“Tapi aku nggak mau anakku masuk sekolah negeri!”

“ … “

“ … “

Karenina hanya bengong melihat perdebatan kedua orang tuanya. Ia juga tak mengerti apa masalah perdebatannya. Ia pun tak tahu apa yang harus dilakukannya. Akhirnya ia meninggalkan kedua orang tuanya yang terus berdebat dengan suara yang sama-sama kerasnya. Karenina berpikir kalau mimpi buruknya itu ternyata menjadi kenyataan malam ini.

Lelaki Ini dan Perempuan Itu dan Kenangan Tersisa Abu

Perempuan itu berdiri, gelisah. Sejuknya pusat perbelanjaan mewah ini tak juga menenangkan hatinya. Terlihat sekali usaha kerasnya terlihat biasa. Mondar-mandir tak tentu arah. Membuang senyum menjawab sapa pramuniaga. Lelaki ini menatapinya dari jauh. Sudah 5 menit berlalu dari janji temu, tapi dia berusaha memastikan dulu. Pahatan memori bertahun lalu masih lengkap liku ukirnya. Perempuan itu dengan kuncir kuda dan ransel biru muda, kikuk menapaki dunia dewasa penuh serakah. Kasat mata tak banyak yang berubah. Tapi lelaki ini terlalu perasa untuk tak menduga. Perlahan didatanginya perempuan itu. "Assalamu'alaikum", salamnya lirih. Hanya sejengkal di belakang telinga. Perempuan itu terlonjak, menoleh untuk memastikan. "Wa'alaikumussalaam..." jawabnya setengah tercekat. Sedetik jeda sebelum lelaki ini memeluknya, diantara tatap praduga. Perempuan itu membalasnya. Sejenak tersengat karena ini kali pertama sepanjang persahabatan mereka. "Gaya bener lu ngajak ketemuan disini" seloroh perempuan itu menutupi jengah. Lelaki ini terbahak. "Kan elu masih jetlag kebanyakan keju, kalo gue ajak di warung indomie ntar mules lagi" balas lelaki ini tangkas. Lalu mereka tergelak. Ingat masa-masa dimana warung indomie adalah kemewahan yang hakiki. "Cari makan  yuk" lelaki ini memecah suasana. "Masakan itali doyan kan lu? gue punya resto itali favorit disini" lanjut lelaki ini sambil sedikit menarik tangan perempuan itu. Perempuan itu menatap aneh lelaki ini. Sekilat cemburu membersit di matanya. "Gue cewek ke berapa yang lu ajak kesini?" selidiknya. Gelak lelaki ini kembali pecah. Memalingkan beberapa kepala yang ingin tahu kenapa.

***

"Hidup gue hancur" perempuan itu memulai ceritanya. Sisa-sisa salad di piringnya diaduk tak tentu arah. Lelaki ini terkesiap. Tak tahu bagaimana meresponnya. Perlahan disodorkannya tisu untuk menahan titik-titik yang mulai tumpah. Perempuan itu dan lelaki ini sudah bersahabat lama. Persahabatan yang hampir sama tuanya dengan separoh hidup mereka. Tidak ada rahasia di antara mereka, kecuali mungkin rahasia hati yang tak jua mau jujur dibuka. Masih terbayang acara pernikahan yang mewah di gedung yang megah. Wajah-wajah sumringah, penuh cinta dan suka cita. Tak dinyana, bahkan sebelum hari H, sang suami sudah mendua. Lelaki ini bahkan sudah merasa, ada yang tak biasa di pemandangan mata. Tapi suka cita dan bahagia perempuan itu lebih bermakna dibanding rasa yang disangka cemburu semata.

***

Hentakan irama musik menghanyutkan segala lara. Melupakan sejenak duka dan luka. Perempuan itu meluapkan segalanya. Menikmati menit-menit terbebas dari segala nestapa. Merayakan rasa yang dulu dianggap salah. Pun, lelaki ini. Semua tertumpah. Lupa sudah masa-masa yang terjaga. Yang ada hanya sir panas membakar semua etika.


***

"I miss you", lelaki ini mengadu khilaf. Lama. "I don't", balas perempuan itu. Lelaki ini tersenyum. November ini hujan lagi. Setahun? dua tahun? entah sudah berapa lama. Tidak ada tanda-tanda dimana perempuan itu berada. Lelaki ini pun tak memaksa. Ikatan itu sudah cerai berai, tak mungkin dipintal ulang atau sekedar direntang. Benar adanya, semua datang dan pergi, memberi arti yang mungkin sulit untuk dipahami. Tidak ada yang menetap pasti, kecuali takdir yang berjanji.


Jakarta, 06112020


Kangen Emak ...

 

Tuhan Mengambil Dengan CaraNya


Satu per satu diambilNya

Apa yang masih lekat dalam dirimu

Semata karena kasih sayangNya

Untuk orang yang merindu


Beratmu akan terasa ringan
Bila kau ikhlas melepaskannya
Sadar semua hanya titipan
Suatu saat diambil pemilikNya

Milikmu bukanlah sepenuhnya punyamu
Itu hanya rasa yang membelenggu
Fikirmu dipengaruhi perasaanmu
Jangan sampai semua itu mengganggu

Lepaskan dengan ikhlas
Pintu-pintu akan terbuka
Aliran cahaya akan memancar
Aliran ilmu juga terpancar

Lepaskan dengan ikhlas
Agar nol selalu mizanmu
Neraca seimbang, alat ukur yang pas
Adil dan bijak tidaklah semu

Lepaskan dengan ikhlas
Nuranimu akan berkata
Hadapi semua tanpa was was
Yakin dengan tuntunanNya

Lepaskan dengan ikhlas
Berdengung dalam dada bertalu-talu
Melepas rasa yang membelenggu
Butuh kesadaran dan perjuangan

Lepaskan dengan ikhlas
Terus ditanam dalam tindakan
Bukan ucapan di bibir saja
Semua harus dalam kenyataan

Lepaskan dengan ikhlas
Menjadi pondasi hati yang tenang
Menerima ketentuan dan ketetapan
Tanpa gejolak yang tak karuan

Lepaskan dengan ikhlas
Adalah kemenangan
Berperang dalam diri
Untuk meraih sukses hakiki.

Yogyakarta, 29 Oktober 2020




DESIR

Berdesir pagi

Membelaiku tertegun

Menatap angka


Terus bertambah

Naik mendaki hari

Tak kenal henti


Beralih pandang

Pada jalanan lengang

Di waktu lapang


Berjalan tenang

Kerumunan terlarang

Masker menggantang


Di pekuburan

Tukang gali merintih

Peluhnya habis


Di pertokoan

Tukang peti mengeluh

Kayunya tandas


Di rumah sakit

Tukang suntik menjerit

Tak bisa minum


Dibalut baju

Putih tertutup rapat

Masker menutup


Di rumah sakit

Tukang rawat meringis

Tak bisa pipis


Dibalut baju

Putih tertutup rapat

Masker menutup


Di mana-mana

Tukang bantah membebal

Tak bisa mikir


Di mana-mana

Tukang ngeyel membandel

Tak juga sadar


Larisnya kafan

Buah banyaknya dosa

Sikap mereka


-Ekpan-

30

Dahulu, seringkali ku bertanya pada sejawat, tentang ukiran rasa, pada permulaan lembaran bahtera rumah tangga. Bagaimana pernikahanmu? Seru! Pungkasmu. Tanpa memahami sejatinya, ku hanya mengangguk, tersenyum mengikuti sumringahmu.


Dahulu, seringkali ku bertanya, apakah "seru" kita masih dalam satu makna, atau sudah berbeda warna? Beberapa tahun silam, seorang sahabat berkata ingin menikah, bagaimana pendapatmu? Saat itu Ia bahkan belum menyelesaikan studi. Menikah di umur 21 tahun, berprofesi sebagai pekerja keras. Ya, pekerja keras. Semua hal Ia lakukan, mulai dari imam masjid, guru ngaji, tukang fotokopi, hingga menjaja ikan.


Bagaimana pernikahanmu?


Semenjak pindah, malam ku tak pernah panjang. Bukan karena begadang, melainkan pada nyanyian pria-pria kesepian yang tak jauh dari kontrakan. Di malam yang lain, pernah juga ada pasangan muda-mudi bertengkar di tengah malam. Lagi-lagi di depan kontrakan. Saling maki dan berteriak. Dari jendela lantai 2 ku amati, satu per satu warga keluar, bukannya melerai, mereka justru menjadikan muda-mudi tadi sebagai tontonan. Di lain hari, seorang tetangga sepuh bertanya, apakah kalian terganggu? Kami hanya tersenyum. Sejauh ini tidak masalah, Nek.


Di hari-hari pertama pernikahan, ku bertanya padanya, suami seperti apa yang kau inginkan? Ku lihat dia sejenak diam, sepasang bola matanya balas menatapku. Tak banyak yang ku inginkan, banyak hal yang ku suka darimu, tentu juga ada yang tak ku suka, jika kau berkenan mendengarkan.


Bagaimana pernikahanmu?


Ah, iya, pernikahan. Rasanya terlalu banyak kebetulan yang menuntunku pada takdirnya. Kebetulan diklat DTSD bareng. Kebetulan teman kuliah menikah di kota kelahirannya. Kebetulan sama-sama suka. Eh.. Hmm, sepertinya hal ini perlu saya tanyakan kembali padanya.


Proses yang kami jalani tidaklah lama. Januari 2020, kali pertama ku bertemu orang tuanya. Sebulan berselang, entah angin musim apa, tiba-tiba saja Ayah ku bilang ingin ke Jakarta. Akhirnya, sebelum pulang ke Dharmasraya, kami putuskan untuk mampir sejenak di Bandar Lampung.


Masih jelas dalam ingatanku. Siang itu, saat ku utarakan niatku di hadapan kedua orang tuanya, terlihat sedikit gurat keberatan dari sang Ayah. Bukan terhadap pribadiku, melainkan… Tidak kah terlalu cepat? Bagaimana jika tahun depan? Ruang tamu mendadak sunyi, menyisakan suara detik jam dinding yang tak peduli dan masih saja berbunyi. Tik.Tok.Tik.Tok. Sesaat ku lirik gadis yang ku pinang. Ku kira Ia tertunduk diam seperti di film dan novel cinta. Nyatanya, Ia balas melirik ku, seakan berkata, hayoo, wani ora?


Aku tak mendekati putri Om dan Tante hanya untuk bermain semata. Keseriusanku, dibuktikan dengan melabuhkan perasaan ini ke tempat yang seharusnya. Berlama-lama dalam hubungan yang tidak pasti selain mudharatnya, aku tak menginginkannya. Dan aku yakin, putri Om dan Tante juga berpendapat demikian.


SE 22 bisa dikatakan sebagai tiket pinanganku. Pertunangan yang direncanakan dilaksanakan pada minggu terakhir bulan Mei, usai lebaran Idul Fitri, terpaksa mundur sebab pandemi. Kehadiran SE 22 saat itu bagaikan cupid perjodohanku dengannya. Bermodal WFHb 10 hari kerja, terlaksanalah pertunangan di Tanjung Karang Pusat, Bandar Lampung, pada 26 Juni 2020.


Bagaimana pernikahanmu?


Ah, iya, pernikahan. Malam ini adalah malam ke-30 terhitung saat para saksi bersaksi SAH atas pernikahan kami. Masih terngiang dalam benak saat ku bertanya, bagaimana perasaanmu? Sembari menyudahi tilawah, Ia tersenyum, saat ini hatiku bagai kebun bunga, dengan lebah-lebah yang memanen sari, dan seorang petani yang berlalu lalang sembari bernyanyi, kau tahu siapa itu si petani? 


Suatu waktu, sekembali dari masjid, Ia antusias menyambutku, terburu-buru mencium tangan. Dengan masih menggunakan mukenah, Ia sumringah, memamerkan gigi kecil putih yang berjejer rapi, aku buat takoyaki. Di lain hari, masih sekembali dari masjid, ku temui Ia tertidur dalam keadaan memeluk mushaf coklat hadiah pernikahan. Memang benarlah kata para alim, istrimu adalah hadiah yang diturunkan surga untukmu. Padahal Ia juga bekerja. Tapi, selalu saja kudapati makanku tersedia, pakaianku rapi, serta rumah yang selalu bersih. 


Belakangan, sesekali ku temui, selepas dari masjid, kulihat Ia khusyuk berdoa. Tak ingin mengganggu, ku duduk tak jauh dari tempat sujudnya. Sejenak kemudian, sedu perlahan terdengar menjadi tangis. Segera ku beranjak ke hadapannya. Melepas tangan yang menutupi wajahnya, menatap, lantas bertanya, apa ada hal yang ingin kau ceritakan padaku? Ia masih saja menangis, terisak, dekapku pun semakin erat. Adakah yang tidak kau suka dariku? Lama ku menunggu, hingga suara lirih keluar dari mulutnya, kau tau kenapa bayi yang lahir selalu menangis? Tidak, jawabku. Saat ini aku adalah bayi, yang tak satupun tahu kenapa Ia menangis, bahkan diriku sendiri


Jadi, bagaimana pernikahanmu? Tanyaku pada sosok di seberang cermin. Ku lihat kau sejenak diam, mungkin bingung, atau menggali rasa, entah lah. Sesaat kemudian, kau sumringah. Seru!




Jakarta, 7 September 2020

Aku Harus Bahagia

 

        “Wah alhamdulillah anaknya sehat,” ujar seorang tetangga yang datang menemuiku ketika aku baru saja pulang dari rumah sakit selepas melahirkan Sakina.

“Alhamdulillah,” balasku dengan tersenyum

Sebenarnya kalau aku ditanya terlebih dahulu sebelum ada orang yang ingin menjengukku dan Sakina, aku lebih memilih tak ada seorang pun yang mendatangiku. Apalagi kalau aku baru saja kembali dari rumah sakit.

Aku letih. Seluruh badanku terasa pegal dan tak bertenaga. Aku malas sekali menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Terlebih apabila mereka menceritakan pengalamannya ketika melahirkan kepadaku.

“ASI-nya lancar, Mbak?” tanya tetanggaku yang satunya lagi.

“Belum keluar dari pertama lahiran. Sampai beberapa hari ini masih sedikit sekali air susu yang keluar.” Tanpa diminta, ibuku menjelaskan jawaban yang membuatku kesal.

“Banyak makan daun katuk, Mbak! Terus jangan banyak berpikir yang enggak-enggak, nanti jatuhnya stres lho. Coba tenangin pikiran biar air susunya lancar.”

Aku hanya bisa tersenyum tipis mendengar nasihat seperti ini. Memangnya gampang selepas lahiran, seorang ibu yang baru mempunyai anak tak berpikir apa pun.

“Setiap hari saya buatkan sayur daun katuk, kok. Nggak tahu juga kenapa air susunya sulit keluar,” ujar Ibu.

“Terus bayinya minum apa selama beberapa hari ini?” tanya yang lain membuatku semakin pusing.

Ibu diam tak menjawab. Pikirku, tumben kali ini Ibu tak bersuara. Sepertinya Ibu malu mendapati anaknya belum berhasil mengeluarkan air susunya.

“Anak saya udah minum susu formula, ibu-ibu.” Akhirnya terpaksa aku menjawab pertanyaan yang disampaikan tetanggaku itu.

“Aduh Mbak Feni, jangan dikasih susu formula dong! Nanti anaknya jadi bodoh. ASI itu adalah makanan terbaik bagi bayi. Selain itu juga akan menciptakan bonding yang kuat antara anak dengan ibunya. Nanti imunnya nggak bagus lho kalau minum susu formula.”

Duh Gusti, rasanya aku tak sanggup menghadapi ibu-ibu ini. Bukannya aku jadi tenang dapat nasihat-nasihat ini tapi malah membuatku jadi seperti seorang ibu yang jahat kepada anaknya sendiri.

Saat itu, perasaanku hancur sekali mendengar kalimat-kalimat yang pedas seperti itu. Ingin rasanya kuusir semua orang itu dari hadapanku. Tangis Sakina menyelamatkanku dari penghakiman para ibu-ibu super di hadapanku ini.

Aku berpamitan dan masuk ke dalam kamar. Entah apa lagi yang dibisikkan para penjenguk itu kepada ibuku karena kudengar masih ada percakapan yang terjadi tapi dengan suara yang lebih pelan. Aku tak ingin mendengar apa yang mereka ucapkan.

                                ***

Setelah seminggu berlalu, aku tetap tak sanggup memproduksi ASI. Pikiranku semakin kalut apalagi kalau mendengar kalimat miring dari orang tentang anak yang minum susu formula.

“Dicoba lagi, Fen,” bujuk Ibu.

“Aku nggak bisa, Bu. Aku sudah berusaha keras tapi tetap tak bisa.”

Rasanya aku ingin menjerit mendapati kenyataan ini. Upaya apa lagi yang harus kulakukan agar aku bisa mendapatkan pengakuan kalau aku adalah ibu yang sejati.

“Mungkin Ibu harus terus membuatkanmu sayur daun katuk setiap hari,” ujar Ibu.

“Cukup, Bu. Aku sudah capek tiap hari makananku itu-itu saja. Aku bosan.” Suaraku mulai berat menahan tangis yang tertahan di tenggorokan.

“Sabar, Fen!”

“Maafkan aku, Bu. Sepertinya usaha kita ini harus kita hentikan. Aku nggak mau konsentrasi jadi terbelah karena aku sibuk mengupayakan agar ASI keluar tapi aku lupa memperhatikan Sakina. Aku ingin ceria merawat Sakina, Bu. Bukan seperti sekarang ini, aku sering merasa kecewa dengan diriku sendiri.”

Aku tak sanggup lagi menahan tangis yang terpendam di dada. Kutumpahkan semuanya pada saat itu. Andai saja Mas Dito ada di sampingku saat ini, pastilah aku akan lebih tegar menghadapi masalah ini.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikum salam,” jawab Ibu.

Aku menghapus air mata yang bercucuran di pipi dengan ujung kemeja. Aku tak ingin orang lain melihatku rapuh seperti ini.

“Masuk, Bu Danang!” ujar Ibu.

“Eh Mbak Feni, mana dede bayinya?” ujar Bu Danang sambil menyerahkan sebuah kotak yang dibungkus dengan kertas warna-warni.

“Ayo lihat!” ajak Ibu sambil berjalan menuju kamar.

“Sakina sedang tidur, Bu,” ujarku.

“Sakina cantik. Mirip mamanya,” puji Bu Danang.

“Terima kasih,” balasku berbasa-basi.

“Bagaimana Mbak Feni, apa ASI-nya lancar?”

Hal seperti inilah yang aku tidak sukai ketika ada orang yang melihat Sakina. Pasti ujung-ujungnya menanyakan soal ASI kepadaku.

“Nggak keluar, Bu.”

Ibu selalu mewakiliku untuk memberikan jawaban kepada siapa pun yang bertanya tentang ASI. Aku sama sekali tidak meminta Ibu untuk menjawab pertanyaan yang sama dari beberapa orang yang niat awalnya adalah melihat anak bayiku.

“Terus minumnya gimana?” tanya Bu Danang lagi.

“Minum susu formula,” jawab Bu Danang.

“Aduh sayang sekali ya, anaknya tidak menyusu kepada mamanya. Biasanya sih kalau anak yang tidak minum air susu ibunya, gampang sakit, Mbak.”

Entah apa yang harus kuperbuat mendengar ucapan Bu Danang. Aku bisa depresi kalau setiap hari mendengar kata-kata ASI ditanyakan kepadaku.

“Emang ada yang salah ya dengan susu formula?” tanyaku ketus.

“Enggak sih, Mbak. Bagus-bagus aja. Susunya merek apa? Kalau keponakan saya minumnya susu  merek ST 13. Mahal itu,” ujar Bu Danang lagi.

“Kalau Sakina sih saya kasih susu yang murah aja, Bu. Sama saja, yang penting anaknya mau dan nggak alergi.”

“Ah masak sih Mbak Feni nggak sanggup beli susu yang mahal.”

Aku semakin kesal mendengar ucapan Bu Danang yang semakin melantur. Aku melirik ke arah Ibu dan memberikan kode agar aku ditinggal sendiri.

“Ayo, Bu. Kita ngobrol di luar aja. Feni ini kurang istirahat. Tadi malam begadang. Sakina nggak mau tidur,” ajak Ibu.

“Mungkin dede bayi pengen mimi air susu ibunya,” ujar Bu Danang dengan suara tanpa dosa. Ia tak sadar kalau perkataannya sungguh menyakiti perasaanku.

Setelah Ibu dan Bu Danang keluar dari kamar, aku membaringkan badan di samping Sakina yang terlelap. Kupandangi wajah Sakina dalam-dalam. Betapa damainya Sakina. Kuelus tangannya yang berlipat dengan lembut.

Tiba-tiba ponselku berdering. Rupanya Mas Dito mengajakku mengobrol melalui videocall.

“Mas, aku kangen,” rajukku setengah menangis.

“Sabar, ya. Seminggu lagi kita akan ketemu.”

“Lama sekali, Mas. Lain kali jangan ambil dinas yang kelamaan, ya!” pintaku manja.

“Iya. Mana bidadari kecilku yang cantik?” tanya Mas Dito.

Aku mendekatkan ponsel ke arah Sakina sehingga wajah Sakina terlihat di layar. Kulihat Mas Dito mengusap air mata yang menetes di pipinya. Aku ikut terharu menyaksikan pertemuan antara ayah dengan anak perempuannya.

“Sakina, ini Papa.”

“Sakina tidur, Mas.”

“Aku nggak sabar deh nunggu seminggu lagi. Kangen kamu juga,” goda Mas Dito membuatku tersipu malu.

“Tapi, Mas ….”

Aku ragu ketika hendak menceritakan masalahku kepada Mas Dito. Aku tak ingin membebani pikirannya dengan masalahku yang belum tentu dapat dipahaminya.

“Tapi apa? Mau minta oleh-oleh?”

“Enggak kok, Mas. Kamu pulang dengan selamat aja udah lebih dari sekedar oleh-oleh,” ujarku.

“Kamu tuh, ya. Bakalan nggak bisa tidur nih aku kalau kamu gombalin begini.” Melihat wajah Mas Dito yang ceria membuatku bahagia.

“Mas, jangan marah, ya?”

“Feni, dari tadi kamu tuh bikin kode-kode terus. Cerita aja, nggak apa-apa kok,” ujar Mas Dito menenangkanku.

“Umm … air susuku nggak keluar, jadinya Sakina kukasih susu formula. Seminggu ini aku udah berusaha tapi gagal, Mas.” Akhirnya kuceritakan juga masalah yang kuhadapi.

“Ya ampun, Feni. Kenapa kamu takut cerita soal itu? Bagiku nggak masalah, kok. Kamu fokus aja mengurus Sakina dengan baik. Jangan sedih terus, nanti kamu sakit. Kasihan kan Sakina … juga aku. Aku nggak mau mengurus Sakina sendirian, maunya berdua sama kamu.”

Rasanya tenang hatiku mendengar perkataan Mas Dito. Aku semakin yakin kalau anakku akan tumbuh baik dengan kasih sayangku walaupun tanpa ASI.

“Fen, udah dulu ya. Aku mau baca-baca materi seminar besok,” pamit Mas Dito.

“Iya, Mas. Daah.”

Aku membelai tangan Sakina yang masih tidur. Aku berjanji kepada diriku sendiri bahwa aku akan selalu bahagia tanpa harus selalu memikirkan apa pendapat orang lain.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikum salam. Silakan masuk, Bu Anna ….”

Aku tak ingin terbebani dengan kewajiban untuk menemui orang saat aku lelah, makanya aku memilih menutup pintu kamar. Aku tak tahu sejak kapan aku tertidur. Aku terbangun ketika Ibu mengetuk-ngetuk kamarku mengingatkanku untuk makan sayur daun katuk.

“Apa, Bu?”

“Makan sayur daun katuk dulu, sebelum Sakina bangun!” perintah Ibu.

Aku bangun dan duduk di pinggir tempat tidur. Aku melirik Sakina, ternyata dia masih tidur dengan pulas.

“Boleh nggak aku minta menu yang lain? Sayur yang lain. Aku bosan makan daun katuk melulu, Bu. Sehari bisa sampai tiga kali.”

“Kamu nggak mau berusaha lagi, Fen?” tanya ibu. Wajahnya terlihat sedih.

“Aku mau berusaha menyayangi Sakina dengan caraku, Bu. Boleh ya? Ini hari terakhir ya menuku cuma sayur daun katuk. Aku mau makanan yang bervariasi biar aku sehat, jadi aku bisa merawat Sakina dengan baik. Maaf ya, Bu.”

“Feni ….”

Ibu memelukku. Ia mengelus kepalaku. Sepertinya Ibu mulai menangis.

“Maafkan Ibu, Nak. Selama ini Ibu nggak peka.”

Ada rasa hangat menjalari hatiku ketika berada dalam pelukan Ibu. Aku semakin yakin, Sakina akan tumbuh dalam lingkungan yang baik dengan orang-orang dewasa yang saling memahami.

                                            ***

(H)Utang

 

Suasana malam semakin hening. Hanya terdengar suara jangkrik yang terus bernyanyi di gelapnya malam Desa Kemuning. Aku menunggu kata pertama yang akan diucapkan oleh Mahmud, saudara sepupuku walaupun dalam hati aku sudah bisa menebak apa keperluan Mahmud mendatangi rumahku malam-malam begini. Upaya Mahmud membelah sepi dan gelapnya malam dari Desa Melati menuju Desa Kemuning adalah perjuangan yang lumayan berat.

“Anak-anak sudah tidur?” tanya Mahmud berbasa-basi. Ia sudah tahu kalau isteri dan anak-anakku sudah tidur semua di jam seperti ini.

“Sudah,” jawabku pendek.

“Mau minum apa? Kopi, teh?” Aku mencoba menawarkan minuman sebagai basa-basi untuk kepantasan percakapan dengan tamu.

“Nggak usah, Mas. Aku sudah ngopi tadi di rumah,” tolak Mahmud.

“Tumben malam-malam ke sini. Ada apa, nih? Keluarga sehat, kan?” tanyaku lagi.

“Alhamdulillah, sehat semuanya.”

Mahmud terdiam. Pandangannya menerawang ke atas langit-langit rumah. Aku pun terdiam, menanti ucapan Mahmud selanjutnya. Suara jangkrik terdengar semakin keras.

“Sebentar lagi kan tahun ajaran baru, Mas ….

Mahmud kembali terdiam. Sepertinya ia ragu untuk melanjutkan pembicaraannya. Aku masih menunggu ucapan Mahmud.

“Si Nabil dan Mitha harus daftar ulang, sedangkan jualanku lagi sepi ini karena ada toko perabot baru yang lebih lengkap di dekat Kantor Kecamatan. Banyak pelangganku yang pindah ke toko itu,” terang Mahmud.

“Berapa yang kamu butuhkan?” tanyaku akhirnya.

Kulihat wajah Mahmud berseri mendengar pertanyaanku. Mungkin pertanyaan itu yang diharapkannya keluar dari mulutku.

“Kalau boleh, aku mau pinjam tiga juta saja, Mas. Nanti kalau tanah warisanku terjual, aku akan segera mengembalikannya. Sekarang sih sudah ada beberapa peminat yang serius, Mas. Aku tinggal menentukan saja mau dikasih ke siapa tanah itu.”

Aku terdiam sejenak. Kupandangi wajah Mahmud yang sepertinya berharap sekali aku memenuhi keinginannya.

“Lagi pula kenapa sih kamu nggak nurut aja sama aku. Kamu itu harusnya memasukkan anak ke sekolah negeri, jadi kamu nggak bingung bayar SPP. Kalau setiap semester begini, kan kamu juga yang repot,” ujarku setengah mengomel.

Mahmud menunduk mendengar ucapanku. Melihat Mahmud seperti itu membuatku iba. Walaupun aku sering kesal dengan perilaku Mahmud, tapi aku sering merasa tak tega terhadap saudara sepupuku yang satu ini.

“Kalau soal uang, aku harus tanya isteriku dulu. Semua uang kami dia yang simpan. Jadi, aku nggak bisa menjanjikan apa-apa ke kamu. Belum lagi, kemarin isteriku nanya pinjaman kamu sebelumnya belum dibayar. Waktu itu kamu juga janji akan segera dibayar kalau motor kamu terjual. Sayangnya, motor kamu entah ke mana, utangmu ke aku nggak terbayar juga. Aku harus bilang apa sama Ranty? Padahal kami juga punya anak yang harus masuk kuliah nih bulan depan,” sambungku. Aku berusaha menolak secara halus permintaan Mahmud.

“Tolong banget, Mas. Kepada siapa lagi aku harus datang kalau bukan ke Mas,” ujar Mahmud dengan wajah dibuat memelas.

“Gini deh, aku bilang dulu sama Ranty. Nah kalau Ranty setuju, baru aku bisa kasih kabar. Sekarang pulang dulu, aku ngantuk. Besok aku harus pergi pagi-pagi, ada rapat guru di sekolah,”usirku.

“Iya, Mas. Aku pamit dulu. Sekali lagi aku minta kebaikan hati Mas untuk menolongku. Kali ini aku nggak ada ingkar janji,” ujar Mahmud.

“Jangan kebanyakan buat janji!” ujarku sedikit kesal.

Kalau kuingat entah berapa kali Mahmud melakukan hal yang sama kepadaku. Padahal dia tahu kalau aku itu tak memiliki banyak harta apabila dibandingkan dengan kakak kandung dan adik kandungnya. Ia lebih sering meminta bantuanku daripada kepada mereka.

Kulepas Mahmud di kegelapan malam. Setelah itu, aku kembali masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu depan. Entah apa lagi alasan yang harus kusampaikan kepada Ranty agar ia bisa mengeluarkan uang tabungan kami. Terlebih yang meminjam uang itu adalah Mahmud, yang sering ingkar janji dan seringkali tidak mengembalikan uang yang dipinjamnya kepada kami.

                                                       ***

“Siapa yang bertamu malam-malam, Mas?”

“Lho, kirain udah tidur,” ujarku mendengar pertanyaan Ranty.

“Aku agak sulit tidur nih. Mahmud, ya? Mau minjem uang, kan? Tiga juta kan?” tanya Ranty seolah menerorku

Dugaan Ranti jarang meleset apabila ada tamu datang ke rumah. Ia bisa menebak apa maksud kedatangan tamu itu ke rumah. Terlebih kalau yang datang Mahmud, Ranty bisa memperkirakan apa keperluan Mahmud bahkan beberapa hari sebelum kunjungannya.

“Kok tahu?” tanyaku pura-pura kaget.

“Ya tahu aja. Soalnya aku ngecek berapa biaya daftar ulang di sekolah Nabil dan Mitha,” jawab Ranty.

“Hehehe, kamu itu tapi bener kok, tadi dia datang ke sini mau minjem uang sejumlah tiga juta. Kita ada uang segitu?” pancingku.

“Ada sih, Mas tapi kan kita juga butuh untuk biaya Amira daftar-daftar ke perguruan tinggi,” jawab Ranty.

“Kalau gitu, kasih aja separuhnya,” pintaku.

“Mahmud itu masih punya utang sama kita sejumlah empat juta rupiah lho. Kita belum ada deklarasi mengikhlaskan. Ini masih mau nambah utang lagi, gimana sih, Mas? Oke lah kita kasih setengahnya tapi kan sama aja nambah utang dia lagi. Kita ini bukan orang kaya, Mas. Nggak bisa lho dia terus menggantungkan pemenuhan kebutuhannya kepada kita. Kakak sama adiknya kan bisa juga dimintain tolong,” ujar Ranty dengan suara agak meninggi.

“Kasian lho si Mahmud itu. Usahanya lagi sepi.” Aku mencoba membujuk Ranty. Bagamana pun, Mahmud adalah saudaraku juga.

“Mas selalu begitu.”

Ranty membaring di tempat tidur dan membelakangiku. Akhir-akhir ini ia memang sering tak ramah kalau ada kunjungan dari saudara-saudaraku. Aku akui, banyak saudaraku selain Mahmud yang sering meminta bantuan kepadaku. Menurutku itu wajar karena aku dianggap orang yang paling bisa diandalkan. Sayangnya, itu membuat Ranty agak kesal.

“Jangan gitulah. Kalau kita bisa bantu, ya dibantu saja. Siapa tahu suatu hari kita yang butuh bantuan mereka,” bujukku.

Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Ranty. Aku tak tahu apa yang ada di dalam pikiran Ranty mendengar ucapanku.

“Mas, sebelumnya kita udah ngasih pinjaman ke Fauzi lho.” Ranty membalikkan badannya dan menghadap ke arahku.

“Lho Fauzi kan adik kandungku, wajar dong kita bantu. Waktu Si Neneng, sepupumu itu minta bantuan aja kita kasih, kan?” Aku agak kesal juga mendengar Ranty mengungkit bantuan yang diberikan kepada adik kandungku.

“Lho kok jadi bawa-bawa si Neneng, Mas?” tanya Ranty dengan kesal. Ia bangkit dari tidurnya.

“Kamu sih yang pertama bawa-bawa Fauzi,” timpalku.

“Mas itu hitung-hitungan kalau sama keluargaku.”

“Bukannya kamu yang sering hitung-hitungan kalau ada saudaraku yang butuh bantuan?”

Aku mulai marah dengan sikap Ranty. Kenapa ia bisa mengungkit apa yang sudah kuberikan kepada saudaraku sendiri.

“Berapa banyak kukeluarkan uang yang kusimpan sedikit demi sedikit untuk keperluan kita sendiri yang akhirnya diberikan kepada saudara-saudaramu. Apa pernah aku mempermasalahkannya?” tanya Ranty. Mukanya terlihat marah kepadaku.

“Lha barusan apa namanya kalau bukan mengungkit-ngungkit? Kamu itu memang perhitungan kalau sama keluargaku. Beda kalau yang minta bantuan keluargamu pasti kamu akan berikan walaupun jumlahnya banyak. Belum lagi sikap kamu yang sering nggak ramah sama keluargaku.”

Akhirnya aku tak tahan lagi. Aku mengeluarkan unek-unekku kepada Ranty. Kulihat wajah Ranty memerah. Air mata mulai jatuh di pipinya. Saat itu aku agak menyesal juga mengeluarkan kata-kata yang menyakiti hati Ranty tapi rasa ego mencegahku meminta maaf kepada Ranty.

“Mas kok gitu sama aku? Gara-gara si Mahmud kenapa Mas jadi marah sama aku?”

Tangis Ranti pecah. Ia kembali berbaring dan membalikkan badannya membelakangiku. Aku bingung harus berbuat apa. Ketika tanganku hendak membelai rambutnya, egoku mencegahnya.

Akhirnya aku juga membalikkan badan saling memunggungi. Percakapan selesai sampai di situ. Aku cegah diriku membalas ucapan Ranty. Malam itu berlalu dengan perasaan dingin di hatiku. Mungkin itu juga yang dirasakan oleh Ranty. Kemarahan kami berdua terbawa ke alam mimpi.

                                                            ***

Pagi-pagi ketika aku hendak berangkat ke sekolah, Ranty sudah tak ada di kamar. Kucari ke seluruh sudut rumah, tak kutemukan sosok yang telah menemaniku selama dua puluh tahun itu. Kubuka tudung saji di meja, tersaji sepiring nasi goreng dengan sebuah telur ceplok di atasnya.

“Mama ke mana, Mi? tanyaku kepada Almira yang sedang mencuci piring.

“Nggak tahu, Pa. Tadi pagi udah rapi tapi nggak bilang mau pergi ke mana,” jawab Amira sambil terus mencuci piring.

Ponsel yang kupegang berbunyi. Ada pesan masuk yang ternyata dari Ranty.

Mas, Aku mau pulang ke rumah Ibu dulu. Biarkan aku tenang beberapa hari. ATM kusimpan di meja kerjamu. Silakan kamu beri pinjaman ke Mahmud atau siapa pun. Mau dihabiskan pun uang yang ada di ATM, silakan. Jangan telepon atau kirim pesan. Aku akan pulang sendiri kalau pikiranku sudah tenang.

Aku tak tahu harus berkata apa. Sekesal apa pun aku kepada isteriku, tak pernah sedikit pun terpikir olehku untuk meninggalkannya. Membaca pesan dari Ranty, aku merasa sedih.

“Kenapa, Pa? Kok sedih begitu?” tanya Almira.

“Mama ke rumah Nenek,” jawabku.

“Ya biarin aja, Pa. Kan Nenek itu ibunya Mama, wajar dong Mama pengen nengok,” ujar Almira polos.

Assalamualaikum

Walaikum salam

Dari pintu belakang muncul Mahmud dengan muka yang penuh harap. Ia tersenyum ke arahku.

“Belum berangkat, Mas?” tanyanya.

Aku hanya menatap mukanya dengan kesal.

Bagaimana Mas? Mbak Ranty sudah ngasih kan uangnya?” Aku melotot kepada Mahmud.

“Pulang sana. Jangan pernah balik lagi ke sini. Pikirkan saja urusanmu sendiri!” teriakku sambil menyeret Mahmud ke pintu. Setelah itu kututup pintu dengan keras. Almira hanya melihatku dengan pandangan heran.

                                                          ***

Depok, 11 Juni 2020