Hikayat

(untuk tetehnumaketiung : Mahadewi)


ku selalu ingin ke sini,

Suatu tempat di ujung jalan paspati

Merawat ingatan tentang masa itu,

Kita yang duduk berhadapan 

Terpisahkan oleh meja panjang,

Makanan pesanan  yang dibiarkan dingin,

oleh percakapan dan tatapan yang hangat

Sesekali waktu itu 

Kali kaki kita yang berayun 

Di bawah kaki meja

saling bertubrukan,

Lalu kitapun tertawa bersama

Seperti kanak yang baru tahu cinta


Aku selalu ingin ke sini,

Mengingat caramu memuji 

atau menguji ku pertama kali 

 "Kamu tak tampan, 

tapi aku suka dengan dua bola matamu, 

yang kecoklatan lucu seumpama mata kelinci,

 dan alis matamu  yang tebal, seperti ulat bulu"


Sungguh,  waktu itu kupikir  kamu 

hanya basa basi,

Hingga dua puluh satu tahun hari ini,

kau tak pernah berhenti

Memuji dua mata kelinci itu 


Yang menatapmu takjub, setiap hari


(Puisi yang belum selesai, mungkin tak akan pernah selesai )

LELAKI INI DAN PEREMPUAN ITU, DAN JEDA YANG MENYIKSA

"Aku tidak suka sore ini!" rajuk Perempuan Itu. 
"Hujan, senja, dan kita akan berjeda" lanjutnya dengan mata yang mulai basah. 
Suaranya parau. Putus asa. Seketika hampa menerpa. Hanya jemari bertaut mengungkapkan rasa.
"Hei, sayang....ini hanya jeda, bukan pisah" bujuk Lelaki Ini. Ada ragu yang coba dikuatkan disana. 
"Lagian, kita kan bukan Agnes Monica", Lelaki Ini tiba-tiba bergaya menirukan Agnes Monica. Menyanyikan Tak Ada Logika. Perempuan Itu tertawa. Lelaki Ini selalu bisa mengubah lara jadi ceria. Mungkin itu yang membuatnya tergila-gila. Membuatnya gundah, meski hanya berjeda. 
"Hanya berjeda ya?" yakin Perempuan Itu lagi. Lelaki Ini hanya mengangguk sambil membentuk mulut Badtz-Maru. Minta digigit banget gak sih?. Lucu tauk!

***
Pagi masih muda. Perempuan Itu memarkir mobilnya di halaman kafe itu. A simple hidden favourite place.  Langkahnya terhenti ketika titik air menyentuh lengannya. Perempuan Itu menengadah. Hujan. Gerimis terjun bebas tanpa sayap. Menyergap embun yang masih menggeliat. Menitiki pori-porinya. Menyentak saraf, mengingatkannya akan jeda yang sudah terlalu lama. Menyiksa. Sejenak dinikmatinya pesan rindu dari langit ini. Setengah berlari segera masuk. Pengunjung pertama pagi itu.
... 
But I know this, we got a love that is hopeless
Why can't I hold you in the street?Why can't I kiss you on the dance floor?I wish that it could be like thatWhy can't it be like that?'Cause I'm yoursWhy can't I say that I'm in love?I wanna shout it from the rooftopsI wish that it could be like thatWhy can't it be like that?'Cause I'm yours
...

Bait lagu yang dinyanyikan Little Mix ft Jason Derulo menyergap hatinya. 

"Harus banget ya pagi-pagi lo muter lagu ini Sa?" tegur Perempuan Itu ke Raisa, barista cantik cafe itu. Setengah kaget, Raisa terbahak. 

"Harus banget ya Kak pagi-pagi lo dah bawa gembolan ke sini?" balasnya. Perempuan Itu memang berencana kerja di sana hari ini. Makanya semua "peralatan tempur" terpaksa dibawanya.

"WFH lagi?" tanyanya. Perempuan Itu hanya mengangguk sambil menuju pojok favoritnya. Tempat dia bisa terlindung, tapi tetap leluasa melihat seisi kafe. Dia juga tidak perlu bilang lagi ke Raisa. Raisa sudah tahu harus menyeduh pepermint tea favoritnya. Plus, cheese toast bread tentunya.

"Woi bengong aja" kaget Raisa. Perempuan Itu tak sadar kalo dari tadi Raisa sudah duduk di depannya. Harum pepermint tea menyergap inderanya. 

"Gue temenin ya Kak" sambung Raisa. Perempuan Itu tersenyum. Raisa sudah dikenalnya sejak pertama kali ke kafe itu. Bertahun yang lalu. Gadis cantik ini dulu hanya magang. Mengisi waktu luang sambil mencari tambahan uang jajan. Keluarganya kurang beruntung. Sehingga Raisa harus sambil kerja untuk menyelesaikan sekolahnya. Perempuan Itu langsung cocok dengannya ketika pertama bertemu. Kepolosan dan kebaikan hati Raisa membuatnya jatuh sayang. Itu juga yang membuatnya meminta kepada pemilik kafe untuk mengangkat Raisa menjadi pegawai tetap. Pemilik kafe itu setuju. Selain kerjanya yang bagus dan cekatan, kehadiran Raisa membuat tamu-tamu kafe itu merasa nyaman.

"Emang kenapa sih Kak lo baper banget kalo gue nyetel lagu tadi?" tanya Raisa. 

"Eh lo gak sibuk kan?"

"Dari tadi gue liat lo bengong doang depan laptop" cerocosnya. Anak ini memang. 

Perempuan Itu mendelik. "Eh anak kecil kepo aja deh" jawabnya. Berusaha menyamarkan rasa yang tiba-tiba menyeruak hatinya. Jeda ini sudah terlalu lama. Akhirnya pagi itu dihabiskannya dengan ngobrol ngalor ngidul dengan Raisa. Lebih banyak mendengar tepatnya. Dari mulai cita-citanya pengen ke Korea sampai tidak sengaja ketemu cowok mirip Hyun Bin di Jaklingko. Random banget hahaha. 

***

Pagi ini, awal minggu ke sekian. Perempuan Itu kembali duduk di pojok favoritnya. Tempat yang sama, jam yang sama, hujan yang sama. Entah. Dunia ini seperti bercanda. Perempuan Itu tersenyum. Getir. Dibiarkannya sedikit tempias hujan mengusap pipinya. Teringat akan Lelaki Ini. Lelaki yang suka tiba-tiba mengirimkan voice note Yang membuat pipinya bersemu merah di tengah-tengah rapat yang serius. Lelaki yang bisa tiba-tiba mencipta puisi saat sedang serius nyetir.  Menerbangkannya. Kutuliskan rindu di laut biru. Berharap awan menjadikannya hujan, yang membasahi tubuhmu dengan rinduku. Perempuan Itu mendesah. Tak terhitung sudah berapa awal minggu. Berapa banyak hujan yang lelah, berlalu karena rindu yang tak kunjung berlabuh. Cinta itu masih ada, sayang itu kuat terasa. Tak terasa matanya basah. Tiba-tiba Raisa datang membawa secangkir kopi susu di mejanya. Perempuan Itu bingung.

"Eh, siapa yang pesen Sa?" bingung Perempuan Itu. 

"Kan gue gak ngopi, ngadi-ngadi lo" omelnya. 

Raisa hanya mengedikkan bahu. Lalu berbisik, "Jason Derulo". Lalu sesosok tubuh muncul.

"Nggak bilang-bilang Bun mau kerja di sini" tiba-tiba suara itu menyapa. Perempuan Itu terkesiap. Lalu cepat berpura-pura. 

"Ayaaahh..." teriaknya sambil merentangkan tangan. Memberi tanda agar suaminya masuk ke pelukannya.

"Iya, iseng aja. Bunda bosen di kantor, jadinya melipir kemari. Maaf ya lupa ngasih tau" Perempuan Itu melanjutkan dramanya.

***

Hujan. Secangkir kopi susu harusnya teman yang sempurna. Lelaki Ini memilih  menahan langkah. Jeda ini memang sungguh menyiksa. Entah harus berapa lama lagi. Entah harus berapa banyak rasa yang ditumpahkannya ke laut biru. Sambil berharap, pesan itu tersampaikan. Rindu.


Jakarta, 26122022




Istana Pasir


Kanak kanak, 
Jenak dalam keriuhan berulang 
Membangun istana pasir luas membentang, 
Megah meski tak menjulang, 
Indah meski tak berumur panjang 
Lekas tanggal disapu ,badai dan riak gelombang 
Gegas ditinggal berlalu, seusai teriak pulang 

kanak kanak itu juga, 
Bermukim di tubuh kita yang dewasa 
jenak bermain istana pasir hingga lupa 
senja telah lama memberi tanda 
waktu pulang mungkin akan segera tiba 
Istana pasir akan terlupa 
Istana pasir akan poranda

(ujung harapan, 271122)

LELAKI INI DAN PEREMPUAN ITU, DAN LELAKI ITU

"Melasi Ndhuk"* lirih Lelaki ini, dengan logat non Jawa-nya. Perempuan itu tidak peduli. Hangatnya pelukan Lelaki ini sudah cukup. Paling tidak, dia bisa berlabuh sesaat. Meluruhkan lelah, menumpahkan air mata. Perempuan itu juga tidak peduli, sudah berapa perempuan bersandar di sana. Baginya, saat ini Lelaki ini miliknya. Pemenang hatinya. Perempuan itu sadar, jalan hidupnya tidak sederhana. Apalagi cerita cintanya. Dia bukanlah puteri raja ataupun Cinderella. Tapi, apa tak pantas, sekali saja dalam hidupnya, menyerahkan hati kepada pemenangnya?. 

***

Di sudut lain dunia. Lelaki itu gelisah. Perempuan itu mulai tidak biasa. Telpon tak dijawab, pesan singkat tak berbalas. Arogansinya terganggu. Apa kekangnya sudah tak mempan?. Tapi ego-nya segera berbisik "sudahlah, bagaimanapun kamu tetap penakluknya, kamu pemiliknya". Bisikan yang menenangkannya. Menerbitkan sesungging senyum. Senyum kemenangan semu.

***

Ibarat syair lagu. Cinta Lelaki ini dan Perempuan itu bukan sekedar cinta biasa, yang sesaat dan trus hilang**. Tak terhitung hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Tahun-tahun berganti. Ada masa dimana setangkai mawar putih dan sepotong coklat  menerbangkan diri. Ada saat diri hilang kendali. Lalu, asing. Namun, akarnya begitu kuat. Tak mati terpanggang panas timur matahari. Pun beku dalam salju abadi. Cinta mereka terhubung. Pesan rindu tersampaikan melalui mendung kelabu. Dahaga nafsu terpenuhi dalam deru hujan yang memburu. Mereka tak mencari akhir, karena memang tak perlu. Tak ada yang tahu.

***

Lelaki ini terus memeluk Perempuan itu. Erat. Hangat. Kemejanya sudah bersimbah air mata. Biar saja. Jika itu bisa mengurangi beban di dada. Andai bisa, jangankan kemeja, seluruh hatinya akan menampung semua air mata. Perempuan itu kesayangannya. Sosok sederhana namun sempurna. Meski ikhlasnya di luar nalar manusia, namun dia tempat sempurna untuk menghambakan cinta. Malam semakin tua. Gawai menjerit menyela romansa. "Mas, nyanyi dong" bisik Perempuan itu. Sedu reda goda menjelma. "Suara Mas sexy" rayunya. Lelaki ini hanya tergelak. Si gembil ini memang pintar merayu. Satu dua jangkrik mulai mengerik. Anak-anak muda bersantai di trotoar, menyesap kopi murahan dengan bahagia. Lelaki ini dan Perempuan itu tetap berpelukan, hingga masa tak kuasa lagi menunda. 


Jakarta, 25112022

* kasihan 

** Rasa Yang Tertinggal (ST-12)

SERPIHAN 'HIBAT'

 “I miss you, so bad …”

 

Jemariku seketika begetar. Pesan teks yang telah kurangkai, seketika buyar. Aku bergeming. Aku tau kata-kata semacam ini gurauan yang biasa dia lontarkan kepada perempuan manapun jika dia suka. Tanpa tedeng aling-aling. 

 

Wajah tengilnya berkelabat sesaat lalu aku merasakan semburat merah memenuhi parasku. 

 

“Hey, kok diem? Kaget ya dikangenin?”, kalimatnya kembali menyerangku diakhiri dengan emoji terbahak. 

 

Alih-alih mengetikkan beberapa kata-kata balasan, aku hanya mampu mengirimkan emoji tertawa membalas gurauannya.

 

Aku mencaci dalam hati. “Kemunafikan macam apa ini? Bukankah kata-kata itu yang selalu kau rindukan? Sejak 11, 10 atau 9 tahun yang lalu? Mengumpulkan potongan-potongan kenangan yang timbul tenggelam alurnya karena tergerus ingatan yang semakin lemah daya. Menikmati serpihan ‘hibat’ ketika membutuhkan kekuatan dan sandaran rasa. Mengunci rapat-rapat rongga hati dan berserah pada jalan takdir bagi asa yang tersisa.”

 

Aku mengusap permukaan gawaiku, menikmati ucapan tulismu. Aku tidak peduli jika hal ini tidak lagi boleh terjadi. Yang aku tau, rasa rinduku kini terobati.  

 

 

 

 

 

LELAKI INI DAN PEREMPUAN ITU DAN BUNCAHAN RINDU

Lelaki ini rindu. Perempuan itu juga. Membuncah. Hujan mengalir tanpa spasi. Layaknya skripsi yang tak kunjung jadi. "Pakkkk....!", jengah Perempuan itu. Mata bulat indahnya melotot penuh. Alih-alih seram, malah menggemaskan. Lelaki ini tertawa. Jahil. "Whaaat...!?, balasnya. "Gak usah usaha deh", rajuk Perempuan itu. Lelaki ini tergelak lagi. Lelaki ini tau pasti. Dalam situasi yang berbeda, tatapannya tadi akan menciptakan medan magnet yang kuat. Perempuan itu akan menjadi seganas kobra memangsa korbannya. Tanpa dikomando Lelaki ini dan Perempuan itu terbahak. Mengundang tatap heran dari sekitar. Mereka tak peduli. Pipi Perempuan itu memerah. Bersungut-sungut menuntaskan gelato terakhirnya. Lelaki ini masih menahan tawa. Sungguh, rasanya sudah bukan ratusan purnama lagi mereka tak jumpa. 

Senja sudah semakin tua. Udara dingin mulai menyergap. Sisa-sisa hujan masih menyisakan genangan. Satu dua jangkrik sudah menuju pos jaga. Lelaki ini dan Perempuan itu masih di sana. Saling menatap tanpa kuasa menerjemahkan makna. Dua cup gelato dan secangkir americano tandas tak bersisa. Lalu mereka berebut bicara. "Bapak dulu aja", Perempuan itu mengalah. Menyebalkan memang. Perempuan itu selalu memanggil "Bapak". Kalau diprotes selalu jawabnya "kan emang Bapak sudah tua". Arrggh. "Bagaimana kalau .. Bagaimana kalau Bapak tidak baik-baik sajaaaaa?* Perempuan itu memotong kata-kata Lelaki ini dengan potongan sebait lagu. Lalu tergelak. Menggemaskan. 

Malam merangkak lelah. Menyaksikan polah manusia. Ada yang terkantuk-kantuk mencari nafkah. Banyak yang sudah lelap berselimut mimpi. Tak sedikit yang menikmati surga dunia. Lelaki ini dan Perempuan itu enggan beranjak. Tidak banyak kata malam itu. Resonansi rasa tercipta. Mereka tidak terpisah jarak ribuan kilo jauhnya. Pun, tidak pula tak saling berkabar. Tapi entah mengapa, jarak semakin membentang rasa. "Kamu tak rindu?" tanya Lelaki ini. "Hmm, ini perlu banget dijawab ya Pak?", Perempuan itu balik bertanya. Lalu kata-kata bertebaran di udara. Memenuhi ruang hampa dengan asa. 

"Kita mau seperti ini terus Pak?", tanya Perempuan itu sendu. Dingin mulai menelisik tulang. Malam ini mungkin menjadi malam terpanjang. Setan pun sudah enggan menggoda. Hanya duduk-duduk saja menatap rindu yang membuncah. Lelaki ini dan Perempuan itu tak lebih dari rekan kerja, mereka bicara tentang negara. Tapi, getaran rasa itu tak pernah sirna. Tidak oleh jarak. Tidak oleh waktu. Bahkan oleh diam yang membeku. Lelaki ini hanya diam. Percuma dijawab. Hanya berputar kata berakhir air mata. Hubungan ini ibarat jalan panjang tak berujung. Mereka tak butuh bertemu untuk bahagia. Tapi , mereka lebih bahagia jika bertemu. Tidak pula butuh kata-kata cinta. Karena, mereka bahkan bisa menuliskan kata cinta tanpa sedikitpun rasa. Jika begini saja bahagia, lalu untuk apa harus berubah? Jika rasa masih teresonansi dengan sempurna, lalu untuk apa hangatnya rasa?.

Lelaki ini dan Perempuan itu berdiam dalam khayalan rasa. Pengamen lusuh berjalan lesu. Menghitung receh entah berapa. "Bang, bisa pesan lagu?", iseng Lelaki ini kambuh. Pengamen sejenak kaget lalu mengangguk kuyu. Sekilas seperti mimpi melihat Perempuan itu bagai bidadari. Lalu mulai dengan suara serak basahnya memenuhi udara:

Bila asmaraku telah tibaMerenggut nafas dijiwaItu dia yang datang hadirkan cintaMenyebar ke dalam rasa
Dapatkah ku mengatakannyaPerasaan yang ku punyaUntuk dia mestinya ku ungkapkan sajaTuk dapat jawaban darinya
Dapatkah aku memeluknyaMenjadikan bintang di SurgaMemberikan warna yang bisaMenjadikan indahAku tak mampu mengatakanAku tak mampu tuk mengungkapkanHingga sampai saat iniPerasaan tlah tertinggal
Dapatkah dia merasakanSatu nafas yang tersimpanItu bukan cintaSekedar cinta biasaYang sesaat dan trus hilang
Dapatkah aku memeluknyaMenjadikan bintang di SurgaMemberikan warna yang bisaMenjadikan indahAku tak mampu mengatakanAku tak mampu tuk mengungkapkanHingga sampai saat iniPerasaan tlah tertinggal**

...

Jakarta, 08092022


*Bagaimana kalau aku tidak baik-baik saja, Judika

** Rasa yang tertinggal, ST12


You Did it Your Way

Mentari terbit, mentari tenggelam
Cakrawala merah jingga
Batas itu sebentar lagi tiba
Waktu akan segera menjadi figura

Pintu pertama yang engkau masuki dulu
Dan pintu yang akan kau tutup hari ini
Jelas berbeda, namun semua akhirnya
akan punya nama yang sama, kenangan

Tiba  dimuka, pulang paling belakang
Adalah salah satu yang akan kami kenang

Sebagian kami menghilang
Saat mendadak rapat menjelang pulang
Mungkin akan kau ingat dengan senyuman

Air tenang yang menyimpan banyak pusaran
Tak bisa diam, terus bergerak mencapai tujuan
Kerja, kejar, selesaikan...
Secepatnya, engkau tak suka menunda

Seringkali bagi kami, itu artinya adalah lembur
Bahkan kadang sampai mengurangi jam hari libur
Tentu ada yang menggerutu
atau hadir dengan keterpaksaan
Ada juga yang diam-diam menghilang
Namun itulah dinamika kerja, yang siap kau terima
Yang terpenting adalah menyelesaikan tugas, tuntas

Usai sudah, tak ada penyesalan
Terbaik atau bukan hanyalah perbandingan
Totalitaslah yang seharusnya diutamakan

Tak harus menjadi sempurna untuk menyelesaikan segalanya
Tetapi bagaimana berupaya dengan segala daya yang ada

Lebih kurang kadang hanya soal sudut pandang
Jangan dipertentangkan karena yang terbaik adalah mengambil pelajaran

Jabatan rendah tinggi adalah soal rejeki
Mampu menuntaskan urusan hingga ujung jalan itulah kehormatan
 
Sudah kau berikan, semua yang bisa kau berikan
Kini tibalah saat untuk mengikat kenangan
Menalikan maaf pada setiap kekurangan
Membingkai terima kasih untuk semua pengorbanan
Karena engkau dan kami saling berutang maaf itu pasti
Dan saling berterima kasih akan menjadi hadiah indah bagi hati
Kenangan terbaik adalah mengenang dengan cara yang baik


BK, 180222

Refleksi Merdeka

Kalau soal kapan merdeka,
kita punya tanggal yang sama
Tetapi soal jiwa-jiwa yang merdeka,
Kita harus lihat dulu,
satu-satu orang punya jiwa

Bahwa penjajahan adalah kezaliman
Kita semua sudah tahu itu

Bentuk perbudakan  besar-besaran
sebuah bangsa atas bangsa lainnya
Penindasan dan eksploitasi
Hak-hak asasi dikebiri
kemanusiaan yang adil dan beradab
terang-terangan diinjak-injak

Yang jarang kita sadari adalah
Jiwa-jiwa merdeka tak pernah bisa dijajah
Para pendiri bangsa, pejuang kemerdekaan
Mereka yang kini kita sebut pahlawan
Adalah orang-orang yang tak pernah dijajah

Mereka adalah para pemberani
Orang-orang dengan jiwa merdeka
Yang menjunjung tinggi kemanusiaan
Yang mengedepankan keadilan
Yang karenanya tak bisa menerima
Segala bentuk penindasan
Segala apapun yang namanya penjajahan

Kemerdekaan bagi mereka
Bukan ditandai dengan proklamasi
Proklamasi hanyalah bentuk tanggungjawab dari jiwa-jiwa yang merdeka
untuk juga memerdekakan jiwa-jiwa lainnya yang masih terjajah
untuk membawa bangsanya menjadi bangsa yang merdeka

Di masa kini kita tidak bicara lagi
kemerdekaan sebagai sebuah bangsa
Tetapi kemerdekaan dari tiap-tiap jiwa

Berapa banyak jiwa-jiwa yang resah
Melihat kantong pemilik modal bertambah tebal
Sedangkan buruh tetap diupah dengan murah

Berapa banyak jiwa-jiwa yang gelisah
Melihat kekayaan alam negeri berlimpah
Namun masih banyak rakyat yang hidup susah

Berapa banyak jiwa-jiwa yang peduli
Pada kebutuhan dasar yang masih belum bisa terpenuhi
Pada pemenuhan hak pendidikan dan kesehatan 
bagi rakyat di negeri yang gemah ripah lohjinawi ini

Berapa banyak jiwa-jiwa yang geram
Melihat uang negara di korupsi
Sementara masih banyak rakyat butuh subsidi

Berapa banyak orang-orang yang masih mau setidaknya berkata
Soal perlakuan tidak adil dan beradab yang dialami sesama manusia

Jiwa-jiwa yang merdeka tak akan tenang
Jika prikemanusiaan dan keadilan tidak ditegakkan
Mereka akan bicara, mereka akan bertindak
mereka akan berdiri di depan untuk memperjuangkan

Seperti para pejuang kemerdekaan yang ada dibarisan terdepan
memperjuangkan kemanusiaan dan keadilan
Mereka adalah para pemberani yang dengan lantang mengatakan kebenaran
meski di bawah ancaman amunisi

Sudahkah kita mewarisi jiwa-jiwa merdeka para pendiri bangsa
Para pejuang kemerdekaan dan pahlawan
Beranikah kita bicara, beranikah bertindak kita
Mari kita bertanya seberapa merdeka kita punya jiwa
Jika hanya untuk sekedar bicara saja kita tidak berani
meski konstitusi menjamin dan melindungi

Pada jiwa-jiwa yang merdeka kita berhutang kemerdekaan bangsa
Pada jiwa-jiwa yang merdekalah kita boleh berharap akan adanya perubahan
Pada merekalah semangat juang dan kemajuan patut kita sandarkan
dimana kemanusiaan dan keadilan berdiri menempati tempat yang tinggi

Tanpa semangat juang dan pengorbanan,
tanpa penghormatan pada prikemanusiaan dan prikeadilan
Jembatas emas kemerdekaan bisa hilang maknanya, bisa menjadi tak ada artinya
Kita bisa saja akan menjadi bangsa yang merdeka hanya karena stempel proklamasi
Namun gagal memenuhi esensi dari merdeka itu sendiri


Jakarta, 16 Agustus 2022