Tampilkan postingan dengan label Indra Koerba. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Indra Koerba. Tampilkan semua postingan

LELAKI INI DAN PEREMPUAN ITU DAN ALASAN CINTA


Lelaki ini terdiam. Setentang tanya perempuan itu; mengapa kamu cinta aku?. Mata perempuan itu membulat, hitam tajam menghunjam. Alis hitam lebatnya merapat siaga. Menanti kata. Lelaki ini masih merangkai kata, mencari celah, akankah rasa mengatasi gundah menggantikan kata. “Apa aku harus punya alasan untuk cinta kamu?” lelaki ini membalas tanya dengan tanya. Perempuan itu mulai gelisah. Dia tak ingin dicinta karena mata indah. Dia tak mau dirayu sebab jelita. Dia tak suka dirindu seolah dibutuh. “Iya, tak mungkin kamu cinta aku tanpa alasan” cecarnya. Sunyi. 2 cangkir hot cappucino belum tersentuh. Hati yang tergambar disitu bahkan masih utuh. Cinta karena cinta. Jangan tanyakan mengapa? Tak bisa jelaskan, karna hati ini telah bicara[1].

Lelaki ini tak pernah suka ditanya perihal cinta. Bukan tidak piawai bicara atau menyusun kata. Hanya tidak suka. Baginya, cinta pada perempuan itu adalah rahasia hatinya. Cuma dia dan Sang Empunya yang boleh tahu mengapanya. Hal dia suka mata indah atau paras jelita itu bukan alasan cinta. Meski kerap terungkap rasa. Perempuan itu bukan tak memahami. Lelaki ini pasti berdusta soal mata indah. Dia sudah punya mata yang lebih indah. Alis lebat pun basa basi belaka, dengan alasan yang sama. Tapi terkadang perempuan itu tetap memaksa. Hanya karena lelaki ini hilang tanpa berita bahkan sapa. Lalu tiba-tiba datang mengaduk rasa, ibarat badai mengusik seriatnya samudra. Tanpa siap bersiap usahkan bertahan. Ku tak bahagia melihat kau bahagia dengannya aku terluka tak bisa dapatkan kau sepenuhnya aku terluka melihat kau bermesraan dengannya ku tak bahagia melihat kau bahagia[2].

Perempuan itu tahu, tanyanya takkan bersambut kata. Selalu begitu. Ada tanya lalu amarah. Lalu pergi tanpa kata-kata. Kali ini pun sama. Lelah. Perempuan itu lelah. Menata hati laksana rumah dipenuhi anak-anak TK. Rapi sebentar tak lama bubar. Tersusun tepat lantas buyar. Makanya dia butuh alasan. Alasan agar dia bisa tetap di landasan saat lelaki ini membawanya terbang. Tetap terjaga meski lelaki ini melenakannya. Meski dia tahu alasan apapun takkan membantu, karena dia butuh lelaki ini pun tanpa alasan. Katamu cintaku berlebihan. Cemburuku tak beralasan[3].

Ini harus berakhir. Perempuan itu sudah bulat. Biar saja lelaki ini pergi entah kemana, perempuan itu takkan tanya. Lupakan saja kata-kata cinta, perempuan itu tak butuh cinta. Cukup sudah lelah. Air mata. Diam dimalam kelam. Membatin rindu yang harus menunggu. Cinta macam apa tanpa asa. Pergi saja engkau pergi dariku. Biar kubunuh perasaan untukmu, meski berat melangkah, hatiku hanya tak siap terluka[4].

Sehari. Hati perempuan itu panas meredam bara. Menjaga rasa agar tak tertumpah. Seminggu. Perempuan itu dilanda rindu. Menelisiki pori-pori, mengharu biru menunggu datang kata-kata itu. Sebulan. Samudera tenang tak bergejolak. Sauh diangkat kapal bertolak. Lupakah perempuan itu akan cintanya?

Lelaki ini berteriak tanpa suara. Terkurung di palung terdalam dasar samudera. Tak terdengar meski sudah bingar. Immature love says: 'I love you because I need you.' Mature love says 'I need you because I love you.'[5]

Ku hanya diam menggenggam menahan segala kerinduan,
Memanggil namamu di setiap malam,
Ingin engkau datang dan hadir di mimpiku,
Rindu[6]

Jakarta, 03032020


[1] Cinta karena cinta, Judika
[2] Harusnya aku, Armada
[3] Aku takut, Repvblik
[4] Waktu yang salah, Fiersa Besari
[5] The Art of Loving, Erich Fromm
[6] Tentang Rindu, Virzha

Cinta Tanpa Asa


Aku melirik lelaki itu. Pulas. Dengkur halusnya terdengar keras di telingaku. Terhempas kenikmatan yang kami renggut bersama beberapa saat lalu. Dingin. Kutarik selimut menutupi tubuh telanjangku. Mencoba memejamkan mata. Tapi bayangan itu seperti mengejekku. Berputar lambat layaknya film dokumenter. Hitam putih, samar tapi jelas pemerannya. Hujan di luar sana masih menghunjamkan panah-panah airnya tanpa ampun ke daratan yang tanpa daya hanya pasrah menerima. “jangan jatuh cinta saat hujan….”[1]
***
Aku berlari-lari menerobos hujan. Fiuh. Tumpahan airnya begitu rapat. Padahal tak sampai 3 meter jarak mobil temanku dengan mobilnya, tetap saja tak terhindar aku kuyup. “Lo ada handuk nggak?” tanyaku yang disambut gelak tawanya. “Lo kira nih kamar hotel apa?” jawabnya masih sambil tertawa. Entah apa yang terlintas di pikiranku. Tengah malam. Hujan yang tak henti menghunjami kota ini dari sore tadi. “Mau kemana kita?” tiba-tiba dia memecah kekakuan kami. Aku tiba-tiba gugup. Tangannya sudah berpindah dari tongkat persneling ke tanganku. Kaget, tapi tak kuasa menolak. “terserah” jawabku. “yang jelas gue basah ini” lanjutku.
***
Aku belum lama mengenalnya. Belum ada 3 bulan. Kenal pun karena urusan pekerjaan. Kantorku kebetulan mendapatkan proyek pengadaan di kantornya dan aku yang ditunjuk menjadi penghubungnya. Sejauh ini kami hanya berkomunikasi masalah pekerjaan. Tidak lebih. Bagaimanapun aku harus menjaga jarak. Aku adalah perempuan yang sudah bersuami sedangkan dia masih setia membujang di usia yang sepantasnya sudah memiliki keluarga kecil. Dia pun tampaknya juga menyadari kondisi ini. Tak sekalipun dia mengirimkan pesan-pesan di luar urusan kantor pun bahkan di luar jam kerja. Malam ini harusnya aku ke luar kota bersama teman-teman sekolahku. Biasa. Mendadak reuni karena aku tidak setiap saat bisa berada di kota ini. Kebetulan ada urusan kantor, dan teman-teman pas ada waktu, jadilah. Aku pun sudah menelpon suami dan anak-anakku, mengabarkan aku malam ini tidak kembali ke hotel kalau-kalau mereka menelponku ke sana. Alur cerita berbelok begitu cepat. Kami yang sudah bergerak ke luar kota harus berbalik arah karena ada satu temanku yang tertimpa kemalangan. In the middle of nowhere, aku tak tahu kenapa tiba-tiba aku minta dia menjemputku di meeting point. Tengah malam. Saat hujan.
***
Aku sudah tidak bisa berpikir. Perasaanku ingin berontak, tapi badanku tidak. Entahlah. Apa badanku yang ingin menolak tapi perasaanku menjadi nyaman. Campur aduk. Dia mulai menciumiku. Dahi, mata, hidung. Udara hangat menyapu seluruh wajahku. Aku cuma mendesah saat bibir hangatnya menyentuh bibirku. Lembut. Hangat. Lama. Lalu mulai memagutiku dengan nafsunya. Aku benar-benar pasrah. Rasa dingin berubah jadi panas. AC kamar sempit ini tidak membantu. Tubuhku basah, bukan lagi oleh air hujan tadi tapi karena keringat birahi.
***
Jedeeerrr…tiba-tiba suara geledek mengejutkanku. Menghentikan putaran film dokumenter. Tepat saat lelaki di sebelahku terbangun. “Kamu tidak tidur?” selidiknya. “nggak, mau lagi yang tadi” jawabku genit sambil menindih tubuhnya. Sisa malam itu ku memuaskan nafsu. Melampiaskan cumbuku pada bayangan yang tak henti menggodaku. Hujan sudah reda. Menyisakan genangan, rumput dan tanah basah. Menutup kenangan yang tak akan terulang.


[1] Tere Liye

CaLisTung (Yang Tersisa Dari Pendidikan Kita)

“Pendidikan itu (seharusnya) memanusiakan manusia” – Tan Malaka
Kemacetan lalu lintas sudah sangat akrab bagi sebagian besar orang-orang yang tinggal di Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek). Pertukaran arus manusia terjadi setiap hari, dari mulai pagi buta sampai dengan tengah malam. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurai masalah kemacetan ini tapi sepertinya belum menunjukkan hasil yang signifikan.
Sebagai seorang pekerja yang tinggal di pinggiran Jakarta, saya pun terbiasa dengan situasi ini. Waktu tempuh 1 - 1.5 sampai dengan 2 jam untuk  jarak 25 km menjadi ukuran normal untuk mengatakan “lumayan lancar”. Lalu lintas macet adalah ketika waktu tempuh menjadi lebih dari 2 jam, lucu bukan?. Untuk menghindari kemacetan, saya lebih memilih untuk bersepeda (meskipun tidak setiap hari) ke kantor daripada menggunakan angkutan umum. Buat saya, menggunakan angkutan umum adalah tidak ekonomis dan mengharuskan saya untuk berangkat lebih pagi. Lokasi rumah yang lumayan jauh dari stasiun kereta api juga membuat saya tidak menggunakan moda kereta api sebagai pilihan alat transportasi.
Kembali ke soal kemacetan. Saat terjebak macet, saya berusaha untuk selalu berfikir positif dan tidak ‘terpancing’ dengan kondisi yang ada. Salah satu ‘kegiatan’ yang saya lakukan adalah mengamati perilaku pengemudi kendaraan bermotor, baik motor ataupun mobil. Seringkali saya menemukan bahwa kemacetan lebih banyak disebabkan oleh tidak disiplinnya pengemudi selain memang debit kendaraan yang melebihi daya tampung jalan raya.
Sudah bukan pemandangan aneh apabila ada motor/mobil yang menyerobot lampu/rambu lalu lintas, mengemudi melawan arus, berhenti/parkir di tempat yang dilarang, menyalip dari kiri, berjalan pelan di jalur paling kanan, dan yang lebih mengerikan lagi belakangan ini adalah sering terlihat pengemudi motor yang menggunakan handphone pada saat mengemudi.
Ada suatu ungkapan yang menyatakan bahwa perilaku berlalu lintas di suatu negara mencerminkan tingkat pendidikan di negara tersebut. Apabila merujuk ke ungkapan tersebut maka akan timbul pertanyaan: “apakah tingkat pendidikan di Jabodetabek sedemikian rendah sehingga kondisi dan perilaku berlalu lintas sangat semrawut?”
Walaupun belum melakukan survei, tapi saya berani bertaruh bahwa sebagian besar pengemudi kendaraan bermotor adalah orang-orang berpendidikan, minimal berlatar belakang pendidikan menengah. Data dari Korps Lalu Lintas juga menunjukkan bahwa 57% korban kecelakaan lalu lintas berlatar belakang pendidikan SLA. Lalu apakah tertib lalu lintas tidak pernah diajarkan di sekolah-sekolah? Bukankah sejak TK anak-anak sudah diajak field-trip ke taman lalu lintas? Kegiatan-kegiatan polisi cilik juga sudah banyak. Meskipun tertib lalu lintas tidak masuk secara resmi dalam kurikulum, tapi selalu ada muatan untuk menghargai hak orang lain, patuh pada peraturan dan saling menghormati sesama manusia.
Lalu mengapa semua muatan, nilai-nilai dan kegiatan-kegiatan tersebut tidak “berbekas” di jalan raya? Semua menjadi boleh sepanjang tidak menabrak atau ditabrak. Semua bebas asal tidak tertangkap petugas. Jangankan peduli keselamatan orang, keselamatan diri pribadi pun diabaikan. Alih-alih memikirkan emisi karbon, membuang tiket tol di tempat sampah saja tidak pernah dilakukan.
Sesuai dengan aliran Behaviorisme, seluruh perilaku manusia selain insting merupakan hasil belajar (Syam, M.Noor dkk. 2003. Pengantar Dasar-dasar Pendidikan). Teori Belajar atau Behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilaku manusia dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan (Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Psikologi Komunikasi).
Berdasarkan teori di atas, dapat disimpulkan bahwa secara sadar atau tidak sadar, formal maupun informal, perilaku manusia merupakan hasil belajar dan pengaruh lingkungan yang membentuk sikap dan cara pandang yang berbeda terhadap sesuatu.
Lalu darimana para pengemudi tersebut belajar? Dari sekolah? Dari lingkungan? Bukankah lingkungan mereka juga terpelajar? Pertanyaan yang sangat sulit terjawab, namun perlu kita lihat kembali seluruh sistem pendidikan dan lingkungan belajar kita. Tentunya kita tidak ingin pendidikan hanya menyisakan kemampuan baca-tulis-hitung (Ca-Lis-Tung) dalam arti harfiah; membaca tapi tidak paham apa yang dibaca; menulis tapi tidak tahu apa yang ditulis; berhitung tapi tidak mengerti apa yang dihitung. Pendidikan (seharusnya) memanusiakan manusia, bukan malah menciptakan 'monster pembunuh' di jalan raya.

Ini Judulnya Lupa


Tak banyak yang kukenang,
Itupun remang-remang,
Tak lengkap, sepotong-sepotong,
Aku lupa apa dulu kamu bilang iya,
Tak ingat pula apa aku pernah meminta,
Hanya sentuhan biasa,
Lalu terbakar birahi membara,
Lalu lagi,
Terus lagi,
Terkadang mau akhiri, tapi ingin lagi,
Tak bisa berhenti.
Ingat tapi tak lengkap,
Kutemukan sepotong tercecer sepotong,
Kurangkai ingatan, buyar terjaga,
Aku cuma ingat memberimu mantera,
Jangan minum dari cangkir yang sama,
Nanti kamu tak bisa lupa,
Kamu tak percaya,
Lalu kuberi lagi mantera,
Jangan cium aku pakai rasa,
Nanti namaku tak bisa hilang dari darah,
Kamu cuma tertawa,
Aku lupa ada berapa mantera,
Seingatku tiga,
Kamu bilang lima,
Ingin kutarik, tak ingat caranya,
Salahku tak menuliskannya,
Salahmu juga tak mengingatkannya,
Jadilah kita melayang-layang,
Terjebak kenangan dimana-mana,
Ingin lupa tapi tak bisa,
Ingin ingat tapi harus lupa,
Sebentar kucoba,
Siapa tau ada mantera tersisa,
Kututup mata, merapal mantera,
Satu....dua....tiga,
LUPA LUPA LUPA LUPA LUPA,
Wussss….
Ajaib,
Bayangmu ada dimana-mana,
Kulihat lagi apa yang salah,
Owalah, harus kebalikannya,
Baiklah,
Kupejam lagi mata, satu... dua... tiga,
INGAT INGAT INGAT INGAT INGAT,
Wusssss…
"Loh, kok masih ada?"
"Astagaaaa..!!", aku salah,
Harusnya baca APUL APUL APUL APUL APUL,
Mana mantera sekali baca,
Ya sudahlah,
Silahkan ada dimana-mana,
Asalkan bisa saling menjaga,
Tanpa harus selalu bersama.

Jakarta, 14012020

"Jangan Mencuri, Nanti Kamu Terbiasa..!"


Menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) itu tak mudah. Kebutuhan hidup sama dengan profesi lainnya, tapi kekayaan tidak boleh sama. “Kalau mau kaya jangan jadi PNS!”, ujar seorang Menteri di Republik ini dahulu kala. Aku mungkin masih terlalu muda saat memutuskan untuk bersekolah di sekolah kedinasan yang menjadikanku berstatus PNS . Terlalu muda juga untuk memahami bahwa hidup ini butuh banyak biaya sedangkan PNS tak boleh kaya.
Aku bukan berasal dari keluarga berada, meski ayahku seorang pedagang besar dulunya. Saat aku lahir sebagai bungsu dari dua belas bersaudara, ayahku mulai kehilangan masa kejayaannya. Tapi beliau yakin dan percaya bahwa banyak anak banyak rejeki, patah tumbuh hilang berganti. Kewajiban membiayai hidup pun beralih ke anak-anaknya.
Tak banyak yang kuingat di masa kecil. Biasa saja, cukup makan cukup pakaian. Ketika mulai sekolah, hanya satu pesan ayah: dapat negeri atau tidak sekolah sama sekali. Aku merasa tidak ada masalah, tidak merasa kekurangan walau sering menahan keinginan. Uang sekolah lancar, buku pelajaran lengkap tersedia, juara kelas dapat hadiah. Tak pernah ada beban, meski lambat laun aku sadar bahwa aku menanggung harapan yang besar. Aku adalah si bungsu yang disayang, dimanja dan diharapkan jadi permata keluarga. Ketika SMA nilaiku turun, jangankan jadi juara, masuk lima besarpun tak pernah. Kakakku marah karena aku memilih ilmu sosial daripada eksakta. Meskipun akhirnya aku bisa juara, tapi kekecewaan itu tetap terasa.
Kuputuskan meninggalkan tanah tumpah darah, menuju ibukota. Cukup setahun pertama, lalu aku akan terbiasa. Tapi aku tetap si bungsu, tak akan lepas dari keluarga, mereka tetap menjaga walaupun harapan telah berubah.
“Pergilah, baik-baik di tempat kerja, jangan sampai tak makan karena uang tak bersisa, berhutang dulu tak apa, tapi jangan mencuri karena nanti kau jadi terbiasa”. Itulah pesan orang tua dan sanak saudara ketika aku pamit ke penempatan pertama, Kantor Perwakilan di pelosok nusantara. Setahun tidak terasa. Makan minum tidak masalah, tapi ada hati yang mulai mendua. Tak mungkin menikah tanpa biaya, apalagi masih ada cita-cita. Akal sehat mulai terjaga, amplop dari mitra pun mulai diterima.
Kembali ke ibukota, mengejar cita-cita. Hidup mulai berubah, PNS semakin jaya walau tetap tak boleh kaya. Ibu tiada, hanya isak tersisa karena tidak sempat membuatnya bahagia. Hanya ayah yang ada, namun beliau tetap tidak minta aku untuk jadi kaya. “Carilah istri orang Jawa”, hanya itu pintanya. Akupun menikah dengan kondisi apa adanya. Mertua bisa terima. Tak perlu kaya, jujur saja, semua rejeki dari Allah.
Jadi PNS itu susah, saat ingin berbeda, berbagai godaan datang menerpa. Honor, jalan dinas, fasilitas dan berbagai harta benda sangat menggoda. “Jangan mencuri, nanti kau jadi terbiasa”, terngiang lagi nasehat lama. “Kamu kan menerima, tidak meminta, sekali dua kali boleh saja”, setan jahat mulai menyapa. Nasehat orang tua benar adanya, aku pun mulai terbiasa. Tetap tidak meminta, tapi tak menolak untuk menerima dan mulai berharap adanya.
PNS tidak boleh kaya tapi hidup kan butuh banyak biaya. Saat rakus mulai meraja, mata hati mulai terjaga. Tetap menerima tapi tidak mengharap adanya. Apa setan lalu berdiam saja?. “Bukan curian itu yang kamu terima!”, demikian bisiknya. “Anakmu mulai sekolah, istrimu perlu belanja, sedang gajimu tidak seberapa!”, demikianlah lanjutnya. Nafsu mulai bicara. Sedikit saja takkan dipenjara. Dilema.
PNS ternyata ada yang kaya, meski lebih banyak yang tidak kaya. Apa yang kaya selalu menerima dan meminta? Apakah yang tidak kaya, tidak pernah menerima, tidak pernah meminta? Aku kembali terjebak dalam dilema. Jangan mencuri nanti kau jadi terbiasa harusnya menjadi mantera. Alhamdulillah doa diijabah, kerja berpindah, tak mungkin meminta dan jarang sekali menerima meskipun sah. Mudah-mudahan jadi terbiasa.
Jadi PNS memang susah, tapi semua hanya masalah terbiasa atau tak terbiasa. Kaya bukan yang utama, tapi hidup jujur lebih berkah. Saat hidup banyak asa, berserah diri kepada Allah sambil membaca mantera: “Jangan mencuri nanti kau jadi terbiasa!”.

Jakarta, 14012020
*Tulisan ini pernah dimuat dalam buku "kerDJA, 46 kisah inspiratif membangun negeri", DJA@2017


Cinta Tak Pernah..


Cinta tak pernah menjanjikan akhir bahagia,

Pun kecewa, Tak pernah.

Sejatinya bahagia dan kecewa hanya berganti-ganti masa,

Mencintai dan dicintai adalah kodrat,

Mencintai yang tak mencintai adalah suratan,

Dicintai yang tak dicintai juga tulisan takdir,

Berbahagia untuk keduanya adalah keniscayaan,

Memendam kecewa karenanya juga hal biasa,

Apapun pilihannya, cinta tak pernah menjanjikan apa-apa,

Jatuh cinta bukanlah keputusan dengan logika,

Apa yang tampak di mata tak selalu sama dirasa,

Apa yang dirasa di dada, tak melulu tertuang dalam aksara,

Sesungguhnya, manusia bukanlah pemilik hati,

Tak ada hak kecewa karena pilihan yang salah,

Hati manusia sudah dipertautkan, berpasang-pasangan,

Takkan luput dari pena-NYA, tinggal jalani saja.

Cinta tak pernah menjanjikan apa-apa,

Tapi DIA menjanjikan kekekalan jannah bagi yang mencinta karena-NYA


Jakarta, 13012020

#saatwarasberkarya

STOP COMPARING

"Hidup ini baik-baik saja, sampai kita mulai membanding-bandingkan" 
-unknown-




"Kak, nanti kalo ada pertanyaan: kamu punya saudara nggak yang pernah sekolah disini?, adik jawab apa?" tanya sang adik kepada sang kakak. Sang adik saat itu sedang persiapan tes masuk sekolah menengah pertama, sedangkan sang kakak adalah alumni sekolah tersebut, lulusan terbaik tahun kemarin. "Ya jawab aja punya" aku memotong jawab mendahului sang kakak yang masih bingung. "Adik takut nanti mereka expect me like kakak" lanjut sang adik. Sejenak aku terdiam. "Ya nggaklah dik, kan beda adik sama kakak" aku mencoba menenangkan. "ish adik mah...!!" sang kakak teriak. "nilai adik kan jelas-jelas lebih bagus dari kakak". Lalu mulailah perdebatan seru sang kakak dengan sang adik. Sang kakak merasa adiknya lebih pintar, sang adik bilang kakaknya yang terbaik. Dengan berbagai argumen kekanakan mereka. "girls...please" aku memotong. "still it cannot be compared. you have a different age, different grade and different school". "Adik pinter, kakak juga pinter. Papa-Mama kan nggak pernah minta kalian jadi juara 1?" lanjutku. "We accepted all of your results, as long as you got it fairly". Meskipun masih menggerutu, perdebatan itu sejenak terhenti. Tiba-tiba sang adik nyeletuk "soalnya di sekolah adik ada tuh Pa yang begitu. Bu guru selalu bilang kakak kamu dulu nggak bandel loh" Sang adik lalu menceritakan tentang Nayla, salah satu teman sekelasnya yang dulu juga mempunyai kakak alumni sekolah tersebut. "Ya nanti kalo  ada guru yang bilang begitu nanti Papa datengin  ke sekolah" Aku mencoba menenangkan lagi.

***
Perbincangan tadi terus terang mengesalkanku. Betapa tidak?. Di usia yang masih sangat belia, anak-anak sudah harus dihadapkan dengan rumitnya kehidupan orang dewasa. Investasiku menyekolahkan mereka ke sekolah dengan embel-embel agama rasanya sia-sia. Bukan karena mereka tidak bisa sholat atau mengaji, tapi karena mereka masih disuguhi pola laku yang sama sekali tidak sesuai ajaran agama. Mirisnya hal tersebut dilakukan oleh sang pendidik.

***
Persoalan ini bukan monopoli persoalanku sendiri. Secara umum banyak sekali keluhan serupa dari para orang tua jaman now terhadap pola pendidikan dan pergaulan di sekolah-sekolah. Aku sepakat bahwa pendidikan terbaik tetaplah dari keluarga, orang tua dan orang-orang terdekat di rumah. Tapi tidak salah juga jika mengharapkan adanya nilai tambah dari pendidikan di sekolah. Keprihatinan ini bahkan sudah sering kusampaikan langsung ke guru-guru bersangkutan, namun hanya jawaban normatif yang kuperoleh. Akhirnya ya menunggu anak sampai lulus saja kemudian cari lagi sekolah yang lebih nyaman pola pengajaran dan pendidikannya buat anak-anak.

***
Sudah banyak tulisan tentang hal ini, tapi tetap saja tidak terimplementasi dengan baik. Semua orang tahu bahwa Matematika atau IPA bukan segalanya, tapi tetap saja anak yang pintar Matematika/IPA lebih disayang. Semua orang tahu kesuksesan hidup tidak ditentukan oleh juara tidaknya semasa sekolah, tapi tetap saja selalu ada peringkat dan predikat di sekolah-sekolah. Anak secara sadar ataupun tidak sadar diajarkan dengan nilai kompetisi yang tidak sehat: menganggap orang lain adalah saingan. Padahal yang harus ditanamkan adalah bagaimana menjadi versi terbaik dirinya sendiri. Hidup bukanlah zero sum game. Kita tidak menjadi baik karena orang lain buruk. Kita tidak menjadi kaya karena orang lain miskin. Kita tidak menjadi pintar karena orang lain bodoh.

***
Manusia memang tidak selalu dalam kondisi terbaiknya. Kadar keimanan pun naik turun. Hati pun sangat mudah dibolak balik. Dalam kondisi seperti itu, menjadi depresi karena tidak mampu apa-apa, tidak punya apa-apa, seringkali terjadi. Membandingkan pencapaian pribadi dengan orang lain sangatlah melelahkan. 

***
Kembali ke kegalauan sang adik. Aku pribadi berharap ketakutannya tidak terbukti; baik akibat harapan guru-gurunya kelak ataupun dari alam bawah sadarnya. Bagaimanapun sang kakak dan sang adik tetap dua orang yang berbeda, meskipun dalam tubuh mereka mengalir darah yang sama. Tidak ada satu mengungguli yang lain, tidak ada persaingan karena senyatanya mereka tidak pernah diperbandingkan.


Jakarta, 13012020

Mencari Cinta Yang Tak Termiliki

tak henti-henti orang bercerita tentang cinta,

berkesah pada hujan,

mengeluh tentang kenangan,

tak lelah...

saat jaga berangan, waktu lelap memimpi

sibuk mencari apa yang sudah tertulis di hati tapi 


tak mampu dimiliki.


Jakarta, 07012020

Apalah Cinta



Ada banyak kisah cinta,
Aku tak ingin jadi extra,
Ambil satu atau beberapa,
Anggap itu kisah kita

Sebut aku Romeo, dirimu Julia[1],
Aku berpaling dari Rosaline, karena cintamu, Julia,
Tragisnya cinta kita,
Takdir memilih kita mati bersama

Atau aku Lancelot, kamu Guinevere[2] istri sang raja,
Cinta kita terlarang, namun bergelora,
Meski tak berkorban jiwa,
Tapi tetap tidak bisa bersama

Bisa juga aku si Syamsul Bahri, kamu Siti Nurbaya[3],
Terhalang Datuk Maringgih si tua renta,
Kasih tak sampai apalah cinta,
Hanya menutup ajal dalam dendam membara

Sebut lagi sesiapa, atau kamu mau menjadi apa,
Bahkan air hujan tak lagi mampu menyamarkan air mata,
Tak mampu mengenyahkan Dewa Madana Atmika[4],
Atau menjadikanku Bambang Nagatatmala[5]


Jakarta, 06012020







[1] Romeo and Julia, William Shakespeare;
[2] Le Morte d’Arthur, Malory;
[3] Siti Nurbaya, Marah Rusli;
[4] Dewa Madana Atmika adalah simbol cinta kasih seorang perempuan pada laki-laki. Bila sedang jatuh cinta, maka hanya laki-laki yang dicintainya akan selalu ada di benaknya.
[5]  Bambang Nagatamala putra Sang Hyang Antaboga, Dewa Penguasa bumi.

When I'm Sixty Four*


“Ti[1], Aung[2] subuhan ke masjid ya, assalamu’alaikum” pamit Aung kepada Uti. Sudah jadi kebiasaan Aung sejak bertahun yang lalu untuk sholat subuh berjamaah di masjid dekat rumah mereka. Dulu sih tidak rutin, sesempatnya Aung saja, tapi semenjak pensiun Aung rutin setiap subuh ke masjid, kecuali ada uzur yang tidak bisa dihindarkan. “wa’alaikum salaam, iya Ung, tiati” sahut Uti yang sedang bersiap-siap juga untuk sholat subuh. Begitulah rutinitas Aung dan Uti di pagi hari. Selepas dari masjid biasanya Aung akan menyempatkan diri jogging 30-40 menit atau sekedar mengajak Uti jalan pagi keliling komplek perumahan mereka. Di usia-nya yang 64 tahun Aung masih terlihat segar dan atletis. Tidak heran, karena semasa muda Aung terkenal rajin berolahraga sepeda dan lari. Sampai sekarang aktivitas tersebut masih tetap dilakukan walaupun dengan intensitas rendah. Uti yang hanya berbeda 4 tahun dari Aung juga masih terlihat segar. Selain jalan pagi bersama, Aung juga sering mengajak Uti bersepeda bersama komunitasnya. Kalau sedang malas, biasanya Uti dibonceng Aung dengan sepeda tandem-nya.

***
Aung dan Uti mempunyai 2 orang anak perempuan yang sudah berkeluarga; Audy dan Hana. Mereka tinggal tidak jauh dari rumah Aung – Uti. Pada saat masih aktif Aung sengaja membelikan mereka rumah yang berdekatan supaya kalau Aung – Uti rindu gak perlu jauh-jauh. Letak rumah mereka yang tidak berjauhan juga menguntungkan buat Audy dan Hana karena mereka bisa menitipkan anak-anaknya ke rumah Aung – Uti. Lebih aman dan lebih tenang dibandingkan harus menitipkan anak-anak ke asisten rumah tangga atau ke day care. Aung – Uti pun dengan senang hati dititipin cucu-cucu yang lucu dan cerewet. Bahkan hampir setiap hari Aung lah yang bertugas mengantar jemput sekolah cucu-cucunya. Rutinitas lain di pagi hari sebelum Aung – Uti sibuk dengan  kedai kopi kecil milik mereka.

***
Memiliki kedai kopi adalah cita-cita Aung sejak lama, namun baru terealisasi beberapa tahun sebelum Aung purna bhakti. Kedai kopi itu sederhana saja. Letaknya masih di sekitar komplek perumahan mereka. Kedai tersebut buka di pagi hari setelah Aung selesai mengantar cucu-cucunya ke sekolah. Aung sendiri yang menjadi barista-nya, sementara Uti yang akan membuatkan menu sarapannya. Menu sarapan yang dibuat Uti juga sesuai dengan keinginan Uti hari itu, sehingga kedai kopi tersebut tidak memiliki menu makanan tetap. “biar tidak bosan” alasan Uti. Seperti hari ini, Uti membuat sandwich telor sebagai menu sarapan, sementara Aung siap dengan americano atau cappucino. Sama sekali tidak ngoyo, karena memang kedai kopi ini hanya untuk mengisi kegiatan Aung – Uti. Kedai kopi biasanya tutup siang hari karena Aung harus menjemput cucu-cucu-nya, dan Uti biasanya istirahat siang atau pergi ke majelis taklim bersama teman-teman pengajiannya. Kedai akan buka kembali menjelang sore sampai menjelang waktu maghrib.

***
Audy, anak tertua mereka, berprofesi sebagai dokter gigi. Sudah memiliki klinik sendiri, yang meskipun tidak terlalu besar tapi cukup ramai. Sementara Hana, keukeuh dengan cita-cita masa kecilnya: menjadi komikus dan penulis. “kan bakatnya turun dari Papa “ begitu selalu kilahnya ketika ditanya mengapa memilih profesi tersebut.

***
“Waduh enak kali tidurmu ya…!?” suara Pak Direktur tiba-tiba menggelegar. Aku tergagap kaget. Tidak sadar headset masih terpasang di telinga:

When I get older losing my hair
Many years from now
Will you still be sending me a Valentine
Birthday greetings bottle of wine
If I'd been out till quarter to three
Would you lock the door
Will you still need me, will you still feed me
When I'm sixty-four
You'll be older too
And if you say the word
I could stay with you
I could be handy, mending a fuse
When your lights have gone
You can knit a sweater by the fireside
Sunday mornings go for a ride
Doing the garden, digging the weeds
Who could ask for more
Will you still need me, will you still feed me
When I'm sixty-four
Every summer we can rent a cottage
In the Isle of Wight, if it's not too dear
We shall scrimp and save…[3]


*Judul lagu The Beatles


[1] Uti atau Eyang Putri, nenek dalam bahasa Jawa
[2] Aung atau Eyang Kakung, kakek dalam bahasa Jawa
[3] When I’m Sixty Four, The Beatles


LELAKI INI DAN PEREMPUAN ITU DAN PATAH HATI


Lelaki ini duduk gelisah di sudut gelap ruangannya. Hari masih dini. Mesin presensi belum berfungsi. Tak terhitung kali lelaki ini menatap gawainya. Membaca lagi pesan singkat petang kemarin “besok kita jumpa ya, pengen ngobrol”. Pesan singkat yang membuat lelaki ini mengutuk bulan menjadi mentari. Menggebah ayam untuk segera bernyanyi. Dikuatkan jarinya memulai sapa. “hai, aku sudah di sini”. Centang satu. Lama. Sementara, lift mulai bekerja. Mengangkut pekerja yang datang dengan penuh asa. Derap langkah diiringi suara tawa dan canda mulai menggema. Hari sudah memulai hitungannya. Masih centang satu. Lelaki ini hanya bisa menghela; Mungkin benar, cinta itu tak lagi berharga.[1].

Perempuan itu bukanlah makhluk bumi paling indah. Tapi lelaki ini tergila-gila padanya. Baginya perempuan itu sangat istimewa. Namun jangan ditanya mengapanya. Baik? banyak yang lebih baik; Cantik? ah, semua perempuan juga cantik kalau kamu sedang jatuh cinta. Lalu apa?. Lelaki ini dan Perempuan itu tidak pernah tahu. Awal mula, tahun berapa, bagaimana dan setumpuk kata tanya takkan berjawab. Lelaki ini dan perempuan itu tidak pernah berkomitmen cinta. Tidak pernah. Lelaki ini ada ketika perempuan itu meminta. Perempuan itu pun bersedia tatkala lelaki ini lelah. Tak mungkin menyalahkan waktu, tak mungkin menyalahkan keadaan[2]

Masih centang satu. Lelaki ini sedih tapi tak peduli. Tak mengapa, ini tak hanya sekali dua.  Lambat sang waktu berganti, endapkan laraku disini, coba tuk lupakan bayangan dirimu yang selalu saja memaksa tuk merindumu[3] Bertahun bersama membuat lelaki ini terbiasa. Bagai 4 musim yang silih berganti; terkadang panas membara bagai mentari namun bisa membeku layaknya salju, sejuk semilir angin berhembus namun tak jarang berguguran bagai daun layu.

Sudah kukatakan, aku ini tak sendiri[4] Perempuan itu berkata. Lelaki ini hanya tertawa. Ini bukan cinta kan? Perempuan itu ganti terbahak. Mungkin ini memang jalan takdirku, mengagumi tanpa dicintai[5] batin lelaki ini. Sabarlah. Musim dingin akan berlalu, selalu begitu. Dia bilang “kau harus bisa seperti aku, yang sudah biarlah sudah[6] Lelaki ini kecut.

Centang dua. Lelaki ini tak sadar meloncat gembira. Tak hirau tatap aneh rekan sekerja. Tik tok tik tok tik tok. Hanya centang dua. Tidak berbalas sapa. Lelaki ini mulai patah hatinya. Aku hanyalah manusia biasa. Bisa merasakan sakit dan bahagia[7] siang beranjak senja. Aku menyayangimu, tapi lagi-lagi kau sakitiku[8]. Apa ini akhir kisah?

Lelaki ini mengulang hari, berharap balas sapa walau telah lewat masa. Kuawali hariku dengan mendoakanmu, agar kau selalu sehat dan bahagia disana. Sebelum kau melupakanku lebih jauh, sebelum kau meninggalkanku lebih jauh[9]. Mengetik. Lelaki ini tersentak. “kamu jadi pergi? Ini aku bawakan coklat dan kopi”. Lelaki ini tersenyum. Dipungutnya serpihan hati yang terserak. Disatukannya lagi. Tak sempurna, tapi tetap bentuk hati.

Jakarta, 20122019





[1] Kekasih bayangan, Cakra Khan
[2] Melepasmu, Drive
[3] Terendap laraku, Naff
[4] Kedua, Drive.
[5] Cinta dalam hati, Ungu
[6] Mudah saja, Sheila On 7
[7] Cinta karena cinta, Judika
[8] Salah apa aku, ILIR7
[9] Pemuja rahasia, Sheila On 7