Tampilkan postingan dengan label Indra Koerba. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Indra Koerba. Tampilkan semua postingan

Perjalanan adalah Tujuan


Catatan Perjalanan Menuju Jamselinas Palembang

Bulan September adalah bulannya Jambore Sepeda Lipat Nasional atau dikenal sebagai Jamselinas. Tahun 2019 adalah Jamselinas ke-9. Ide gowes menuju Jamselinas 9 awalnya dimulai oleh Om Diki Rahman sang kompor api biru dari Cilegon. "Ayolah Om In, sekalian pulang kampung," ajaknya saat itu. Saya sih iya-iyain aja, secara sudah terbayang betapa jauhnya jarak Lampung ke Palembang. Makin mendekati hari H, om Diki pun mulai aktif japri-japri rute dan ‘teaser’ penggoda 😃. Iman saya pun mulai goyah, apalagi ada pilihan start dari Tanjung Karang. Istri mulai dilobi agar visa gowes keluar. "Malu lah Mi, masak wong Palembang gak hadir acara di Palembang," begitu alasan saya waktu mohon ijin gowes Jamselinas 9 ini. Singkat cerita, ijin pun diberikan. Peserta yang awalnya saya sendiri yang berencana ‘nebeng’ rombongan SCAM om Diki akhirnya bertambah. Para senior turing ID Dahon yaitu Mang Dewa, Koh Handoko Candra, dan Makcan Lily menunjukkan militansinya, harus gowes dari Jakarta. “Nanggung amat!” ujar Mang Dewa. “Yo wis,” akhirnya saya pastikan total 10 orang peserta dimana 3 goweser akan start dari Jakarta dan 7 goweser dari Bakauheni.

Etape 1 (Jakarta-Merak) dimulai Senin 9-9-2019: Pukul 6.30 pagi rombongan Mang Dewa, Koh Handoko, dan Makcan mulai bergerak mengayuh pedal dari kantor Blibli.com selaku sponsor acara gowes Jakarta-Palembang. Target perjalanan gowes hari pertama adalah sejauh kurang lebih 147 km sampai Merak, menyebrang Selat Sunda, lalu mencari penginapan di Bakauheni untuk kemudian bergabung dengan 7 goweser lainnya. Kami pun memantau perjalananan 3 turinger militan melalui komunikasi di grup WA. Etape 1 ini benar-benar menjadi ujian kebulatan tekad untuk Mang Dewa, Koh Handoko dan Makcan Lily. Cuaca panas, jalanan yang padat kendaraan ditambah musibah pecah ban-pun dialami mereka secara bergantian. Bahkan Makcan harus mengganti ban luar karena ban yang lama sudah tidak dapat digunakan lagi. Akibatnya, jadwal molor, waktu digunakan untuk beristirahat. Tim Jakarta baru tiba di Merak nyaris bersamaan dengan Bis Damri yang saya tumpangi dari Bekasi. Bis Damri menyeberang ke Bakauheni, saya tersadar terlanjur sendirian di ujung Pulau Sumatera. Tim Cilegon yang menunggu Tim Jakarta di Merak akhirnya juga memutuskan untuk menginap di Merak dan baru menyeberang keesokan harinya.

Etape 2, (Bakauheni - Tanjung Karang) Selasa 10-9-2019: . Akibat terlanjur menyeberang sendiri, saya akhirnya ‘berpetualang’ di Bakauheni. Tiba pukul 2.30 dini hari, tidak membuat saya jeri. Bakauheni sekarang sudah berbeda 180 derajat dari Bakauheni puluhan tahun yang lalu. Saya pun akhirnya berpindah-pindah tempat tongkrongan; mulai ibu-ibu penjual popmie pinggir jalan, pos satpam, warung nasi padang sampai akhirnya tertidur di terminal eksekutif. Cukup lama saya berkelana sendiri di pelabuhan, sampai akhirnya total 9 goweser menginjakkan kaki di Bakauheni pukul 9.30 pagi. Setelah bertukar kangen dengan Om Diki dan Makcan selesai, kami-pun mulai mempersiapkan diri dan mulai gowes dari pelabuhan ke arah Tanjung Karang berjarak 89km. Keluar dari pelabuhan kami langsung dihadang oleh tanjakan tinggi. "Tenang aja" kata Om Diki menghibur Makcan. "Tanjakannya cuma ini kok yang tinggi, nanti ada lagi menjelang Kalianda tapi Cuma kayak flyover." Matahari benar-benar obral siang itu. "Empat puluh satu derajat Mak!" konfirmasi Om Prayuda Agniyana saat Makcan bertanya suhu saat itu. Kami pun memutuskan untuk ishoma di sebuah warung makan di desa Sukamaju. Menu ikan goreng, sayur asem plus telor asin pun tandas kami santap. "Telor asin ini enak," kata Makcan. "Bermanfaat sebagai sumber garam agar tidak kram," lanjutnya lagi. Selepas ishoma, ‘drama’ pun terjadi. Kondisi jalanan yang rolling membuat kami ‘khilaf’. Kami bagai anak-anak PAUD bertemu perosotan. Belum lagi "gowes nebeng angin truk" ala om Yudha dan Kang Agus 'ajay' Jayadi di belakang pantat-pantat truk lintas Sumatera. Saya pun terbawa ugal-ugalan. Sampai menjelang turunan panjang menuju Tarahan, saya sadar bahwa Makcan Lily tertinggal di belakang. Kang Darsono Eno yang biasanya mengawal Makcan pun ternyata ikut balap liar. Benar saja, Makcan marah besar. "Kalian ini turing kok kayak ngejar COT sih!?" teriaknya. Sebagai satu-satunya perempuan di tim gowes, wajar kalau Makcan marah. Setelah kejadian itu, kami pun tersadar dan mulai menjaga pace agar rombongan tidak terpecah. Menjelang waktu maghrib, kami tiba di perbatasan Kota Bandar Lampung. Semangat kami mengayuh ke arah penginapan di tengah kota untuk beristirahat dan menyiapkan diri di Etape-3 esok hari.
Etape 3: (Tanjung Karang-Menggala) Rabu, 11-09-2019: Kami tidak memulai awal, rencana start jam 7.30 pagi mundur. Ternyata beberapa anggota rombongan masih harus sarapan dan mengisi angin ban sepeda masing-maisng. Jalanan kota Tanjung Karang mulai ramai dengan aktivitas warga. Kami gowes beriringan menuju ke arah Menggala melalui jalur lintas timur, rencana menempuh jarak 115 km. Jalur lintas timur ke arah Menggala relatif datar sehingga kami dapat melaju dengan cukup kencang di rute ini. Satu-satunya kendala adalah cuaca panas sepanjang perjalanan tanpa payung awan. Saat ishoma, kami optimalkan untuk mendinginkan suhu tubuh dan memejamkan mata sejenak. “Lumayan untuk modal melanjutkan perjalanan,” usul saya ke tim. Kami juga mulai mencari informasi lebih lengkap mengenai daerah yang akan kami lalui, mengingat daerah Menggala cukup rawan terutama jika sudah masuk gelap. Rasa lelah yang mulai melanda terbayar dengan keramahan warga yang menyemangati kami di sepanjang jalur gowes. Bahkan Kang Eno berhasil mendapatkan satu termos air panas dari rumah warga untuk menyeduh kopi saat mata kami mulai kiyip-kiyip membutuhkan kafein. "Coba gowes di Jawa, dicuekin kita," komentar Mang Dewa. Di satu titik, satu angkot penuh berisi anak SMA meminta kami untuk berfoto bersama, yang tentunya kami penuhi dengan suka cita. Gak pake lama, follower IG Om Diki langsung bertambah. Harapan mulai terbit ketika dari jauh sudah terlihat satu bangunan tinggi dan tower SUTET. “Kalo sudah ada tower, biasanya disitu ada kota,” optimisme Kang Eno muncul. Kami pun mempercepat kayuhan karena tak lama lagi adzan maghrib akan mengumandang. Alhamdulillah rombongan kami tiba di Hotel Sarbini sebelum gelap mulai pekat. “Aman Pak,” tegas Bapak pemilik warung makan depan hotel menjawab pertanyaan kami untuk konfirmasi kondisi jalan ke arah Tulang Bawang. “Tapi baiknya Bapak menginap di sini saja dahulu karena kondisi jalanan gelap, tidak ada penerangan dan kendaraan cenderung ngebut dan ugal-ugalan saat malam,” lanjut si Bapak. Malam itu, sambil mengistirahatkan badan, kami pun mendiskusikan rencana perjalanan Etape 4. Semangat kami sama: Perjalanan ini harus mementingkan keselamatan dan keamanan. Terbayang kebiasaan Om Alwis Darwis yang selalu menyempatkan diri video call dengan si buah hati dan istri kesayangan yang sedang hamil. Dengan semangat itu muncul opsi untuk loading sampai ke titik aman untuk kemudian gowes lagi. Opsi lainnya Etape 4 full loading sampai ke Kayu Agung agar kami bisa lebih cepat sampai Palembang. Pilihan opsi ini membuat Kang Diki tidak bisa tidur. “Temen-temen masih kuat dan masih ingin gowes Om,” curhatnya pada saya. Mendengar itu saya pun segera ambil keputusan. “Ok Kang, besok kita akan tetap gowes, berangkat lebih pagi dan kita akan mampir ke Polsek Simpang Pematang untuk konfirmasi kondisi rute yang akan kita lewati”. Ide silaturahmi ke Polsek ini sudah dikomunikasikan dengan Om Rano Prayonda dari SeLPi (SEPEDA LIPAT PALEMBANG). Kebetulan Pak Yanto, Kapolsek Simpang Pematang adalah kakak kandung Om Rano.

Etape 4 (Menggala-Lubuk Seberuk) Kamis, 12-09-2019: Memulai gowes saat matahari masih belum muncul ternyata benar-benar menyegarkan. Hembusan angin dingin yang menerpa kami menambah semangat memulai hari. Kami pun membentuk peloton yang cukup rapat. Tidak boleh ada yang tertinggal jauh. Kalau pun terpisah, kami usahakan tetap terbagi dalam 2 peloton. Tanjakan yang lumayan tinggi diikuti rolling tetap membahagiakan kami namun kami tetap sadar untuk tidak khilaf sebagaimana Etape 2. Tidak terasa hampir 30 km kami jalani dengan penuh canda tawa bahagia sampai perut mulai menagih jatah sarapannya. Kami pun mampir ke warung nasi uduk yang cukup ramai di pagi itu. Benar saja, nasi uduk-nya enak. Kami pun sarapan dengan lahap. Setelah kenyang, dan Kang Diki menyelesaikan absen pagi di mini market terdekat, kami pun segera melanjutkan perjalanan. “30km lagi ya,” ingat Kang Diki yang langsung diamini kami semua. Matahari mulai tinggi. Kang Diki dengan sabar menjaga pace di depan rombongan. Sementara Om Alip dan Om Yudha menjadi sweeper di belakang. Kami pun perlahan mulai memasuki daerah Mesuji. Tak jauh dari sebuah mini market tempat mengisi bidon, berdiri tugu lambang kota Mesuji dengan semboyannya “Bumi Ragab Begawe Caram”. Saya yang penasaran dengan arti semboyan itu lalu bertanya pada petugas mini market. “Intinya Bhineka Tunggal Ika Pak” jelasnya. “Wah pas banget nih,” seru saya ke teman-teman. Kami harus terus bersatu dan berada dalam satu rombongan, apapun yang akan kami hadapi di depan. Belum sampai jam makan siang, kami tiba di Polsek Simpang Pematang. Sesuai arahan Om Rano, kami beristirahat sejenak di sana. Ternyata Pak Yanto, selaku Kapolsek telah menunggu kedatangan kami. Kami pun dijamu dengan suguhan nasi padang yang ueeenaaakkkk sekali. Goweser gak boleh kelaparan kata Pak Yanto. Pak Yanto bercerita bahwa sebenarnya beliau semalam telah menunggu kami sampai pukul 12 malam. Hanya saja beliau yakin kami pasti tidak akan berani gowes di tengah malam gelap gulita seperti itu. Beliau meyakinkan bahwa kondisi Mesuji aman dan kondusif. Walaupun demikian beliau telah menyiapkan pengawalan untuk kami sampai ke perbatasan. Setelah cukup beramah tamah di Polsek kami pun melanjutkan pergowesan. Kesigapan panitia Jamselinas IX patut diacungi jempol. Info adanya peserta yang gowes menuju Palembang ternyata sudah diketahui semua aparat keamanan di jalur yang kami lalui. Kami pun mendapat pengawalan di belakang maupun di depan rombongan seperti yang dijanjikan Pak Yanto. Alhamdulillah berkat pengawalan tersebut kami berhasil dengan selamat melewati perbatasan Mesuji tanpa ada sedikit pun gangguan keamanan. Sisa perjalanan kami lalui dengan perasaan lega, rasa kebersamaan dan kekeluargaan pun semakin erat di antara kami. Saking eratnya saya pun tidak sungkan mencarikan calon pendamping hidup Om Alip di setiap mini market yang kami singgahi . Akhirnya kami tiba di Lubuk Seberuk saat hari masih terang, beristirahat untuk menyiapkan diri di etape terakhir esok hari. Etape ini benar-benar menorehkan kesan yang sangat mendalam bagi kami.
Etape 5 (Lubuk Seberuk – Kayu Agung – Jakabaring, Palembang) Jumat, 13-09-2019: Tim SCAM memang luar biasa. Ketika saya keluar dari kamar jam ½ 6 pagi, semua sepeda sudah siap. Pannier sudah terpasang rapi, teman-teman pun sudah siap dan berjersey merah seragam Etape terakhir. Di etape ini kami anggota bertambah, yaitu Om Sahrie dari Cilegon yang datang malam itu bersama Om Ghafur dan Om Azhier dengan menggunakan mobil. Om Sahrie akan ikut gowes bersama kami, sedangkan Om Ghafur dan Om Azhier akan mengawal dengan mobil. Alhamdulillah. Kabar gembira juga datang dari Makcan. “Nanti kita sarapan di km-30 kemudian akan dikawal oleh Tim Waskita Karya sampai Kayu Agung”. Kami pun semakin semangat mendengar informasi bahwa di Kayu Agung akan disiapkan makan siang, lalu setelah makan siang dan Sholat Jumat kami akan gowes ke Palembang melalui jalan Tol Kayu Agung – Palembang yang masih dalam Tahap Konstruksi. Lagi-lagi ini berkat bantuan Tim Waskita. “Alhamdulillah ya Iko,” kata Makcan. Kami mensyukurinya. Semua ini berkat pertemanan sesama pesepeda, salah satunya Om DOP yang merupakan salah satu Direksi PT Waskita. Etape 5 ini benar-benar pemuncak perjalanan. Jamuan makan enak, bekal minum dan buah-buahan berlimpah, kawalan lengkap dengan tim medis serta liputan drone benar-benar berkah bagi kami. Perjalanan sudah menuju akhirnya, kekeluargaan dan persaudaraan makin erat. Kelelahan yang terakumulasi seolah hilang tergantikan kelegaan bahwa titik finish akan segera tiba. Kelegaan bahwa kami semua dapat tiba dengan sehat walafiat. Kelegaan bahwa kami dapat mengabarkan semua berita baik dan hikmah yang kami dapat kepada keluarga yang kami tinggalkan. Karena gowes tanpa hambatan di jalan tol, kami pun tiba di Jakabaring lebih cepat dari perkiraan. Om Ferry Usnizar dan Om Harun Hudari Dok dari SelPi yang berencana menyambut kami bahkan belum ada di posisi. Kami pun langsung menuju tempat panitia yang sudah ramai pendaftaran ulang dari seluruh pesepeda lipat Indonesia. Kehadiran muka-muka gosong kami menjadi kejutan yang dinanti panitia. Kami pun didapuk om Cahyo Pribadi untuk sekedar menyampaikan sedikit kesan selama perjalanan. "adek-adek tim medis sudah siap siaga nih om Iko" sambut Om Cahyo, "tapi alhamdulillah semua sehat ya" lanjut beliau. Euforia pun terjadi, namun tidak ada kata lain yang terucap selain Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah yang telah menjaga kami sepanjang perjalanan. Jamuan pempek dan traktiran pindang oleh Om Ferry, Om Harun dan Om Ikmal menjadi ucapan selamat datang Wong Kito kepada tim gowes kami. Alhamdulillah…Alhamdulillah…Allahu Akbar, begitu banyak yang kami dapat dari perjalanan ini. Semoga semua membawa berkah bagi kami dan semua yang bisa menarik manfaat dari catatan perjalanan ini. Bukan jauhnya jarak atau lamanya perjalanan tapi seberapa banyak kita mendapat manfaat dari perjalanan itu, karena “Perjalanan adalah tujuan.” (Diki Rahman, 2019).

DOA

Bahkan ayam belum terjaga
Saat kubisikkan lirih pada-NYA
"Ya Allah, jadikanlah kebaikan atas diriku, hilangkanlah sifat malas, dzalim, tamak, pelit, iri dan dengki dari hatiku"

...

Saat kurebahkan tubuh penatku,
menanti saat paling mustajab.
"Dengan nama-Mu Ya Allah, aku hidup, dan dengan nama-Mu aku mati"
Lalu dengan lirih kubisikkan lagi
"Ya Allah, aku gagal lagi hari ini"


Jakarta, 30072019

Mengapa Takut Kalah?

Kekalahan itu menyakitkan;
Kekalahan itu memalukan;
Kekalahan itu merugikan;
Kekalahan itu perih, pedih dan berdarah;

Ketika kalah, yang dibutuhkan bukan kata-kata penghibur, tepukan di pundak, pelukan hangat atau bentuk empati lain. Kekalahan hanya butuh satu hal: Kemenangan!.

Setiap orang pasti pernah merasakan kekalahan dalam hidupnya, atau bahkan ada yang merasa kalah seumur hidupnya?. Kekalahan adalah sebuah keniscayaan dalam hidup, dan (seharusnya) tidak perlu ditakuti. Banyak kata bijak tentang kekalahan, tentang bagaimana menyikapi kekalahan. Betapa bijak ketika kita mampu berkata "kekalahan itu adalah kemenangan yang tertunda". Tapi betapa terasa tidak adilnya ketika penundaan itu terjadi pada diri kita. Kata-kata bijak pun tak terhitung tentang kemenangan, perjuangan mencapai kemenangan, menghargai kemenangan dan sebagainya. Tapi betapa tidak mudahnya mengusir jumawa ketika kemenangan itu ada dalam genggaman.

Mengapa takut pada keniscayaan?. Mengapa harus memburu kejumawaan?. Syahwat manusialah penyebabnya. Nafsu duniawi yang tak ada habisnya. Tidak ada manusia yang mau kalah, manusiawi. Kedewasaan tingkat 'dewa' lah yang membuat manusia mau dan mampu menerima kekalahan. Bertarung...kalah, bertarung lagi...kalah lagi...bangkit lagi, bertarung lagi...kalah lagi dan lagi. Pertarungan yang tak pernah usai, entah mencari kemenangan untuk kekalahan yang sama atau kemenangan lain sebagai pelipur lara atas kekalahan yang berbeda.

Kejumawaan akan membawamu lebih dekat ke neraka. Kemenangan demi kemenangan hanya menambah ketakutan akan kekalahan. Kekalahan yang pernah atau bahkan belum terbayang seperti apa. Kekalahan yang menguburkanmu dalam kejumawaan yang bahkan tak sempat kau sadari.

Selalu ada yang lebih baik dari diri kita. Di atas langit masih ada langit. Menyiapkan diri untuk menyambut kemenangan tidak semudah menyiapkan tampungan air mata kekalahan. Menundukkan kepala akan lebih mudah ketika kalah. 

Mengapa masih takut kalah? We never loose. Either We win or We learn.


Jakarta, 28052019
#magabut

THANOS DAN EGOIS-NYA AVENGERS

 -Mohon maaf bagi yang belum nonton Avengers: Endgame, tulisan berikut berpotensi spoiler -


Karena si sulung suka banget dengan film-film Marvel, terutama Avengers series, terpaksalah kami sekeluarga juga ikutan nonton. Alasannya sederhana, kalo kakaknya nonton, adiknya pasti pengen ikut nonton. Karena kakaknya belum berani nonton berdua doang dengan adiknya, terpaksalah papa- mama-nya ikutan juga. Akhirnya ya setiap kali ada film Marvel terbaru, kami berempat pasti nyempetin nonton :D


*

Awalnya gue pikir masing-masing judul film-film tersebut berdiri sendiri, tidak ada kaitannya satu sama lain. Baru ngeh setelah ngeliatin si sulung yang 'tertib' banget mengulang lagi nonton dari mulai Captain America: The First Avengers  sampai dengan Infinity War sebagai persiapan sebelum nonton Captain Marvel. Hal tersebut diulangi lagi sebelum nonton Avengers: Endgame. Setelah ngeh pun, sebenarnya gue gak juga ngerti-ngerti banget, maklum...tiap kali nonton pasti ada sesi dimana gue molor hehehe, jadinya pasti ada scene yang terlewat. 

*

Sebelum film Infinity War, gue masih bersimpati dengan Avengers dan para pahlawannya. Ibarat kata, kalo gak ada mereka cemanalah nasib kita-kita ini, yeekaaann. Mereka susah payah, abis-abisan mempertahankan bumi dari serangan makhluk-makhluk dari planet-planet lain. Pertempuran demi pertempuran yang dipicu oleh nafsu untuk menguasai infinity stones. Ya, infinity stones-lah yang menjadi pangkal mula semua ini. Enam batu dengan kekuatan luar biasa itu adalah space stone, mind stone, power stone, time stone, reality stone dan soul stone. Batu-batu tersebut secara sendiri-sendiri sudah memiliki kekuatan super yang luar biasa. Tidak sembarang makhluk mampu menahan kekuatan batu-batu tersebut. Pun demikian, kekuatan dan kekuasaan yang luar biasa dengan menguasai batu-batu tersebut telah membuat orang (alien) berusaha mencari dan memiliki batu-batu tersebut. Planet manapun yang ditengarai menyimpan batu tersebut pasti akan dijadikan sasaran serangan kelompok-kelompok alien yang mengincar kekuatan batu tersebut sekaligus menggunakannya untuk melakukan invasi dan mengakuisisi planet-planet lain, termasuk planet bumi.

*

Sejarah panjang perebutan infinity stones tersebutlah yang menciptakan sosok baik-sosok jahat, pahlawan-penjahat, Avengers-musuh avengers. Menjadikannya sekuel tontonan sepanjang 3000 menit dengan satu kesimpulan: Avengers adalah kumpulan pahlawan super yang baik versus Thanos gila yang dengan jentikan jarinya telah menghilangkan separoh isi semesta.  Avengers dengan segala drama, intrik dan semua kemegahan tak berbatas biaya versus Thanos yang cuma bermodalkan baju zirah dan helm non SNI.

*

Setelah menonton infinity war gue melihat sosok Thanos dari sudut yang berbeda. Apa yang salah dari seorang Thanos? Ambisi-nya kah? Kehancuran yang ditimbulkannya? Niat jahat-nya kah?. Benar bahwa Thanos ingin menguasai infinity stones, tapi apakah dia ingin menjadi penguasa alam semesta? apakah dia ingin mengakuisisi semua planet yang ada?. Jawabannya jelas TIDAK. Thanos tahu persis kekuatan dari infinity stones. Thanos juga paham niat dari semua yang ingin memiliki infinity stones yaitu ingin menjadi yang terkuat dan melakukan invasi kemana-mana. Semua itu menurut Thanos adalah masalah yang tidak akan pernah berakhir. Si kuat akan menindas yang lemah, yang lemah akan berusaha menjadi kuat untuk membalas. Begitu yang akan terjadi terus menerus dan tiada akhir. Keseimbangan alam semesta terganggu karena keserakahan penghuninya. Yang berlebih tidak mau berbagi jika tidak disembah, sehingga satu-satunya cara adalah dengan memiliki infinity stones; untuk mengamankan diri dan rakyat masing-masing. 

*

Kemampuan Thanos memahami masalah ini lah yang berbeda dengan Avengers. Avengers berinvestasi tiada batas (entah uang dari mana), mengumpulkan para pahlawan super, menciptakan senjata super canggih, semua demi bertahan dari serangan-serangan makhluk angkasa luar pimpinan Thanos. Avengers hanya tahu bahwa ditangan Thanos, infinity stones akan digunakan untuk menghilangkan separoh alam semesta. Avengers tidak mau tahu mengapa Thanos sangat berkeras melakukan hal tersebut.

*

Di akhir film infinity war, terlihat Thanos duduk tenang menikmati keheningan alam yang tenang dan damai. Tidak terlihat kepongahannya karena telah mengalahkan Avengers sekaligus berhasil memiliki ke-6 infinity stones. Apakah lantas Thanos menjadi raja? Apakah lantas Thanos menjadi penguasa di bumi? Atau di planet lainnya?. Apa yang dilakukan Thanos setelah menguasai infinity stones terjawab di film Avengers: Endgame yang semakin menguatkan keyakinan gue menjadi 'Tim Thanos'. Di film tersebut terlihat Thanos tinggal sendiri di planet terpencil. Bercocok tanam, menikmati keseharian dengan alam yang tenang dimana air mengalir jernih dan burung-burung berkicau merdu. Thanos bahkan memasak sendiri layaknya mahasiswa tahun pertama yang sok-sok berhemat saat jauh dari orang tua. Thanos memang menjentikkan infinity stones yang mengakibatkan separoh alam semesta hilang menjadi debu. Setelah melakukan itu dia lalu menghancurkan infinity stones, dengan risiko sakit dan cacat, syukur-syukur dia masih tetap bernyawa. Dia tak ingin masalah yang sudah dia selesaikan akan muncul lagi dengan keberadaan infinity stones. 

*

Apa yang terjadi kemudian adalah egoisme Avengers, baper dan gak bisa move on. Hawkeye yang tidak terima kehilangan anak istrinya kemudian menjadikan kehilangan tersebut sebagai pembenaran untuk membunuhi orang-orang jahat. Yang lainnya depresi karena tidak bisa menerima kenyataan mereka tidak cukup kuat untuk menghentikan Thanos. Mereka pun mengerahkan segala daya upaya untuk membalas kekalahan tersebut. Thanos dicari dan dihabisi, tapi itupun tidak membuat mereka bahagia. Mereka lalu mencari cara untuk kembali ke masa lalu, mengumpulkan infinity stones dan mengembalikan orang-orang kesayangan mereka ke posisi semula. Tindakan yang akhirnya memicu pertarungan epic antara Thanos dengan Avengers. Thanos datang dengan kekesalan yang sangat karena kedamaian alam semesta terusik kembali. Thanos kesal karena dia tidak pernah mempunyai sentimen pribadi dengan musuh-musuhnya. Dia tidak memilih siapa-siapa yang akan dihilangkan, semuanya acak sesuai keinginan infinity stones.  Thanos pun murka dengan keegoisan Avengers, sehingga dia memutuskan untuk menghapus semua sekalian, supaya tindakan Avengers tidak terulang lagi. Pertempuran Epic terjadi, singkat cerita Thanos kalah, Tony Stark pun akhirnya tiada, menyusul Nathalie yang mengorbankan dirinya demi mendapatkan soul stone. Kebahagiaan telah menyelamatkan alam semesta ternoda akibat kehilangan tersebut. Sebuah keadilan yang dipaksakan untuk menutupi sifat egois mereka terhadap Thanos.

*

Sikap gue mendukung Thanos ini mendapat protes dari anak istri di rumah, tapi pendirian gue tetap: Thanos hanyalah korban egoisme Avengers. 

Jakarta, 14 Mei 2019


Terima Kasih

Terima kasih adalah kata yang tidak asing bagi kita. Kata yang sederhana, sepele, bahkan saking sepelenya terkadang dalam satu hari kata tersebut dapat dihitung dengan jari terucap dari mulut kita. Coba saja hitung sendiri kalau tidak percaya 😊, dapat angka 10 saja sudah bagus banget.

Sesederhana dan se-sepele itu kah kata terima kasih? Kata yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti mengucap syukur/membalas budi setelah menerima kebaikan. Kata yang masuk dalam prioritas kosa kata yang kita ajarkan ke anak-anak kita.

Jujur gue baru kepikiran dengan kata terima kasih karena belakangan ini gue lebih sering menggunakan alat transportasi umum untuk berangkat ataupun pulang kantor. Lalu lintas yang makin padat, harga BBM dan tarif tol naik terus, cuaca sedang tidak bersahabat untuk gue yang tidak suka gowes hujan-hujanan adalah beberapa alasan gue akhirnya memilih naik bis setiap harinya. Alasan lainnya, dan mungkin ini jadi yang utama, adalah gue sekarang bisa mengantarkan 2 orang putri cantik gue ke sekolah masing-masing. It's heaven. Lalu apa hubungannya transportasi umum dengan terima kasih?.

Jadi pada saat gue kuliah di negeri kangguru, offcourse tentu saja gue kemana-mana naik public transport a.k.a nge-bis dan/atau nge-tram. Mobil hanya dipakai untuk saat-saat yang secara hitung-hitungan akuntan tidak ekonomis untuk pake angkutan umum. Saat-saat naik angkutan umum itulah gue memperhatikan kebiasaan penduduk lokal ataupun orang-orang yang sudah lama tinggal disana. Dari mulai menunggu, naik, di dalam kendaraan dan pada saat turun. Menunggu kendaraan umum disana pastinya di halte/stasiun atau di titik-titik yang diperlakukan sama seperti halte/stasiun, antrian jelas sudah menjadi budaya yang melekat dalam kondisi apapun. Pada saat naik, yang pertama kali dilakukan adalah mengucapkan salam dan berbasa-basi ke Pak/Bu Supir "good morning-afternoon-evening, how are you?"  lalu nge-tap atau memasukkan koin ke tempatnya. Di dalam kendaraan, orang-orang akan memilih tempat duduk sesuai kondisi dirinya. Tidak ada yang akan menempati tempat duduk/ruang untuk orang-orang penyandang disabilitas, orang-orang tua, wanita hamil atau orang yang bepergian dengan anak-anak balita. Kalaupun semua tempat yang disediakan untuk orang-orang tersebut sudah terisi semuanya, mereka juga dengan sukarela memberikan tempatnya jika masih ada lagi penumpang yang membutuhkan. Nah, pada saat turun, mereka akan "berteriak" ke Pak/Bu Supir "thank youuuuu" dengan berbagai ekspresinya. Maksud gue, terkadang mereka mengucapkan itu seperti mesin penjawab telpon yang sudah terprogram, datar, tapi ya tetep bilang "thank you".

Sebagai newbie di negeri orang, pastilah kebiasaan-kebiasaan tersebut gue ikutin. Dimano bumi dipijak disitu langit dijunjuang, bukan?. Gak cuma ucapannya yang gue ikutin, bahkan ekspresi ala-ala mesin penjawab telpon tadi juga kadang gue ikutin hehehe. Ya, saat sedang capek banget, pusing banget ataupun cekak banget.

Sekarang, kebiasaan mengucap terima kasih pada saat turun kendaraan umum itu gue praktekkan di Jakarta. Kalau kebiasaan ngucap salam atau basa-basi nanya kabar tentunya tidak. Bayangkanlah gue naik bis terus sok akrab bilang "pagi Bang, apa kabarnya nih?", bisa-bisa abangnya langsung nanya "margamu apa lae? sok akrab kali kau ku lihat, tak ada duitmu kah?". hihihi, yang bermarga jangan tersinggung ya...peace

Dan ternyata saudara-saudara, umumnya pak supir dan kondekturnya reaksinya terkejut menerima ucapan terima kasih dari gue. Mungkin mereka mikir jangan-jangan gue tadi gak bayar atau bayarnya kurang hahaha. Nggaklah, mereka bereaksi seperti itu karena memang sangat jarang sekali penumpang yang begitu turun di tempat tujuannya mengucapkan terima kasih kepada mereka. Dari pengalaman gue, apabila ucapan terima kasih gue keraskan, biasanya ada 1-2 orang yang mengikuti mengucapkan terima kasih juga. Selebihnya, yah cuek bebek sambil sibuk janjian dengan abang-abang ojek kesayangan melalui gawainya masing-masing.

Gue pribadi bisa membayangkan betapa capeknya mereka. Coba perhatikan raut wajah lelah mereka, terutama untuk perjalanan di malam hari. Mereka harus konsentrasi penuh membawa kendaraan dengan se-aman, senyaman dan secepat mungkin demi para penumpang yang sudah tak sabar bertemu orang-orang dikasihi, orang-orang yang penat seharian untuk merebahkan diri mereka ke kasur empuk di kamar yang sejuk, orang-orang yang bahkan terkadang harus mereka bangunkan karena tertidur dengan nyenyaknya sampai tidak sadar jika sudah sampai di terminal tujuan. Gue juga gak peduli dan maklum kalau mereka bahkan tidak menjawab ucapan terima kasih gue, karena tanpa itu pun gue tau ucapan itu sedikit banyak memberikan energi positif untuk mereka. Paling tidak mereka tau, masih ada orang yang menghargai profesi mereka. Syukur-syukur jika energi positif  itu terbawa sampai mereka sendiri bertemu dengan keluarga mereka. Energi yang mungkin akan menggantikan penat mereka dengan harga diri.

Terima kasih yang gue ucapkan saat turun kendaraan umum tentunya sangat sedikit jika sehari gue hanya 3-4 kali turun kendaraan umum. Untuk memperbanyak omzet, ucapan itu akhirnya gue berikan juga ke Pak Satpam yang membantu gue nyeberang di depan kantor, bahkan kalau sempat baca, ucapan itu gue tambahin dengan nama mereka. Lumayan kan kalau sehari gue 4 kali menyeberang jalan. Akhirnya, sekarang gue mengeksplorasi sebanyak mungkin ha-hal yang membuat gue berterima kasih, sekecil apapun itu, dari mulai membuka mata sampai mengistirahatkan mata. Semoga, mudah-mudahan, hal ini menjadi hitungan amal baik gue di hari akhir nanti, Aamiin YRA.


Gadog, 28112018 



CURANG ATAU MATI?



Selalu ada cerita berbeda dari sebuah lomba. Pun demikian dengan perhelatan Bank Jateng Borobudur Marathon (BJBM) 2018 yang baru berakhir hari minggu 18-11-2018 kemarin. Cerita-cerita yang selalu menarik untuk dicerna, ada drama, banyak tawa, suka ria, namun selalu ada duka. 

Cerita-cerita para pelari yang seru, dari mulai persiapan sampai dengan hari H. Ibarat orang pacaran bertahun-tahun yang akhirnya menjadi sah dengan ijab kabul yang hanya 10-15 menit. Demikian pula lomba, persiapan berbulan-bulan akan dituntaskan dalam kisaran 1 sampai 7 jam saja.

Pengalaman batin orang per orang boleh berbeda, tapi kelegaan ketika menyentuh garis finish tentunya sama, euforia pun bertebaran di udara.

Saya pribadi tidak ikut gelaran BJBM 2018, tapi adrenalin yang sama juga saya rasakan ketika melihat unggahan-unggahan teman-teman pelari di media sosial. Ikut merasakan kesakitan ataupun kebahagiaan yang mereka rasakan.

Ketika viral kabar ada seorang peserta BJBM 2018 yang pingsan hanya beberapa meter menjelang garis finish, lalu kemudian meninggal di rumah sakit, seketika euforia yang ada menjadi ungkapan duka yang mendalam. Ungkapan duka yg lalu menjadi pengingat diri bahwa lari adalah olahraga yg tidak main-main. Lari memang membuat tubuh kita sehat tapi untuk berlari yang baik kita butuh tubuh yang sehat.

Lari adalah olahraga yang demanding. Ibarat sebuah logika IF-THEN yg tak ada habisnya. Sekedar contoh, jika kita tidak enak tidur, maka kita juga tidak akan enak berlari. Jika kita tidak makan dengan baik maka lari kita pun tidak akan baik. Sehingga lari itu adalah sebuah siklus: lari baik-istirahat cukup-makan sehat dan bergizi.

Lalu kemudian, rasa duka yang belum usai digantikan dengan caci maki karena ada seorang peserta BJBM 2018 yang dengan bangga mengunggah kecurangannya yang membonceng sepeda motor untuk memperpendek jarak lari. Unggahan yang menyakitkan karena ribuan orang lainnya harus tertatih-tatih menahan sakit dan perih  demi menjunjung sportivitas olahraga ini. Tidak sedikit pula yang harus pulang tanpa medali karena mencapai garis finish melebihi waktu yg ditetapkan panitia.

Curang atau mati, adalah 2 hal yang mungkin akan selalu ada dalam setiap lomba.  Ada yang curang agar tidak mati, ada yang mati karena tidak mau curang.

Curang atau mati bukanlah pilihan yang harus dijalani. Seseorang yang aktif berolahraga haruslah memiliki jiwa sportif, tidak hanya dalam menjalani lomba, tapi juga dalam kehidupan sehari-harinya. Curang adalah hal yang haram, dalam bentuk apapun. 

Kematian adalah takdir, sudah tertulis di lauhul mahfuz jauh sebelum kita dilahirkan. Semua sepakat akan hal ini. Adapun penyebabnya hanyalah syarat yang tak dapat dipilih oleh manusia, hanya mampu berdoa untuk mendapatkan akhir usia yang baik.

Ketika kematian menghantui kegiatan olahraga lari, terlepas dari takdir, sebagai pelari kita harus mampu mengantisipasi penyebab-penyebab kematian saat berlari. Ketika kondisi kesehatan tidak memungkinkan, lari bukanlah satu-satunya olahraga yang dapat dilakukan, masih banyak olahraga lain sebagai pilihan. Hal ini yang bahkan oleh seorang pelari berpengalaman pun sering diabaikan. Cek kesehatan terutama jantung dan kekuatan tulang tetap harus dilakukan, karena akan selalu ada anomali dan hal-hal lain di luar kontrol kita.

Terlepas dari itu, kehidupan saat ini membutuhkan kedewasaan dan kecerdasan yang baik untuk menyaring semua informasi yg ada. Dunia ini baik-baik saja sampai kita mulai membanding-bandingkan. 

Ketika kita mulai membandingkan diri kita, kemampuan kita dengan orang lain, tanpa sadar timbul dengki dan motivasi negatif yang tidak terukur: yang penting saya mampu lebih baik dari dia, yang penting saya lebih hebat dari dia. Lupa bahwa kondisi tiap orang berbeda, lupa bahwa setiap orang hidup dalam zona yang berbeda-beda pula.

Kecurangan yang dilakukan salah seorang peserta BJBM 2018 tadi juga tidak terlepas dari hal tersebut. Keinginan untuk mengunggah foto diri lengkap dengan medali dengan caption “biar kayak orang-orang”, sudah mengalahkan akal sehat dan menafikkan jiwa sportivitas-nya. Hal ini jelas salah dan melanggar aturan yang ada.

Curang atau mati bukanlah pilihan. Namun kita jangan lupa, bisa jadi kita ikut andil membuat orang curang ataupun mendorong orang untuk mati.  


Introspeksi, saling mengingatkan orang-orang terdekat kita, teman-teman komunitas kita, followers akun media sosial kita, bahwa sesungguhnya kita berlari dengan motivasi, kondisi dan tujuan yang berbeda-beda. Medali, podium atau apapun itu hanyalah bonus duniawi. Yang terpenting dan utama adalah bagaimana kita mensyukuri nikmat sehat dan kuat yang diberikan Allah SWT dengan tidak mencurangi diri kita dan orang lain, dengan tidak menyiksa diri sampai mati. Wallahu a’lam 🙏🏻

Mimpi Yang Tak Sempurna

Sejumput mimpi tercecer di akhir lelap

Saat telinga tergagap gawai memekak

Terduduk dalam gelap, kupaksa kantuk mendekat

punguti mimpi yang terserak

Ada kamu di situ

Ada aku tentu

lalu gelap

Terkilas stasiun yang dingin

dengan roda-roda besi yang bisu dalam hening

Ada kamu di situ

Ada aku tentu

bayangan hitam memekat

Dahulu kita tidak berjarak

meskipun kita tidak selalu dekat

Dahulu kita tidak berjarak

walaupun badan tersekat-sekat

hati sudah terikat

Ada kamu di situ

Ada aku tentu

bibirmu mengukir kata

mataku menatap hampa

sia-sia

karena tak juga kutemukan makna

dari mimpi yang tak sempurna



Jakarta, 01102018

JANGAN LUPA (JALAN) PULANG

Dalam satu sesi ghibah di kantin, tiba-tiba topik obrolan beralih tentang seorang pejabat yang terkenal alim dan aktif dalam komunitas keagamaan tapi juga terkenal "lincah" dalam mencari tambahan penghasilan. "Ada apa yaaaa...?" tanya gue menirukan Dian Sastro dalam film Aruna dan Lidahnya. Maksud gue, kok bisa sesuatu yang sangat berlawanan bisa berjalan seiring. Tidak terlihat tanda-tanda penurunan semangat beribadah, pun, tidak sedikitpun ada risih untuk tetap "lincah" dalam mencari peluang menambah tabungan. "Justru itu bro!" sergah temen gue. "Dengan ketaatan beliau beribadah, beliau tahu betul caranya untuk tobat, gak kayak lo". Sebuah pernyataan yang menyebabkan kami ngakak bareng.

Di tahun 80-90 an, Abang gue paling senang berkendara ke Jakarta saat liburan. Perjalanan dari Palembang ke Jakarta saat itu paling cepat dapat ditempuh dalam waktu 15-18 jam. Di Jakarta biasanya Abang gue itu berkeliling mengunjungi kerabat yang kebetulan tinggal di Jakarta atau bertandang ke rumah teman-teman kerjanya. Selain muter-muter Jakarta, biasanya juga kami ke Bandung atau Cirebon. Semua dilakukan dengan berkendara. Saat itu kami belum kenal teknologi GPS, handphone juga belum jamannya. Namun tanpa itu semua, Abang gue dengan pede-nya nyetir kesana-kemari hanya berbekal alamat ataupun rambu-rambu jalan. Abang gue seolah-seolah sangat hapal jalanan di Jakarta, Bandung ataupun Cirebon. Karena penasaran, gue sempet nanya gimana Abang gue bisa menghapal jalanan di Jakarta, yang menurut gue sangat banyak dan membingungkan. Sambil tertawa Abang gue menjawab "ya pokoknya ikutin jalan aja, kalo buntu atau salah jalan ya tinggal balik lagi". "Yang penting kita ingat jalan yang sudah kita lewati, jadi nggak bingung kalau mau pulang" lanjut Abang gue.

Sebuah pertanyaan yang paling sering gue terima ketika obrolan tentang kota kelahiran gue, Palembang, adalah "sering pulang ke Palembang?" atau "kapan terakhir pulang ke Palembang?". Sebuah pertanyaan yang lazim dan gue pun sering melontarkan pertanyaan yang sama ke lawan bicara gue. Sebuah pertanyaan yang mendefinisikan bahwa setiap orang yang merantau pasti akan pulang ke tempat dari mana dia berasal. Orang Palembang pasti pulang ke Palembang, orang Medan pasti pulang ke Medan, orang Kalimantan pasti pulang ke Kalimantan, dan seterusnya dan seterusnya. Dulu, pada saat awal gue akan merantau, Almarhum Bapak saya cuma berpesan "cari istri orang Jawa, kabari kalo udah nikah atau mau nikah, dan jangan lupa pulang".

Jangan lupa pulang. Sebuah pesan sederhana yang sarat akan makna. Setiap orang pasti punya tempat, orang, moment atau satu titik untuk pulang. Jangan lupa pulang. Sebuah pesan yang mengingatkan kita bahwa sejauh apapun kita pergi, kita tetap harus pulang. Entah secara harfiah ataupun bukan. Apakah kita sudah menuju ke arah yang benar, atau kita telah menyasar entah kemana, tetap jangan lupa pulang, jangan lupa jalan pulang. Perjalanan pulang  tidak selamanya linier dengan perjalanan berangkat. Adakalanya lebih lama atau bahkan lebih cepat. Sebuah perjalanan yang tidak dapat kita pastikan waktunya, pun, tidak dapat kita pastikan apakah kita punya cukup waktu. Untuk pulang, kita hanya perlu kesadaran bahwa kita harus pulang. Kemanapun kita melangkah, apapun yang sudah kita kerjakan, ingatlah selalu untuk tetap pulang.

***

Jakarta, 01102018

Tak perlu menunggu untuk bersyukur

Alkisah ada seorang PNS meninggal dunia. Jabatan terakhir beliau adalah Eselon III. Dari sisi usia, beliau tergolong masih muda, tapi toh ajal tidak ada hubungannya dengan tua-muda.

Setelah selesai ritual awal alam kubur, Malaikat membawa sang PNS berjalan-jalan ke kerajaan Allah. Di Kerajaan Allah dia diperlihatkan dua ruangan yang sangat besar. Dua ruangan tersebut dijaga masing-masing oleh satu malaikat. Bedanya adalah yang satu malaikatnya sangat sibuk mencatat dan menyimpan berkas-berkas dalam rak-rak yang menjulang tinggi, sedangkan malaikat di ruangan yang satu lagi terlihat sangat santai bahkan nyaris tidak mengerjakan apa-apa.

Terdorong rasa heran yang sangat, si PNS bertanya "wahai Malaikat, ruangan apakah ini?" "mengapa malaikat penjaganya sangat sibuk?". Dengan tersenyum sang Malaikat menjawab, "ini adalah ruangan permohonan dan permintaan. Disini semua permohonan dan permintaan semua makhluk dicatat dan disampaikan ke Allah".

"Coba kau lihat laci yang dipojok sana, itu adalah kumpulan semua permohonan dan permintaanmu sewaktu masih hidup. Tirakatmu, puasamu, doamu pada saat kamu ingin menjadi pejabat, semua tercatat disana."

"Pada saat masih staf kamu meminta dan memohon untuk jadi pejabat eselon IV, dengan alasan posisi tersebut akan memberimu kesempatan untuk berbuat lebih baik. Hari pertama kamu dilantik, kami mencatat bahwa kamu sudah langsung memohon untuk diberikan umur panjang agar dapat menjadi pejabat eselon III karena kamu berpikir bahwa jabatan eselon IV belum dapat membuat kebijakan sehingga kamu perlu dapat membuat kebijakan untuk berbuat lebih baik."

"Permohonanmu terkabul, tapi apa yang terjadi? kamu kembali sibuk bermohon agar dapat diberi kesempatan menjadi pejabat eselon II bahkan sampai ajalmu tiba."

Si PNS terdiam. "Lalu ruangan apakah yang sepi itu wahai Malaikat?"

"Itu adalah ruangan ucapan terima kasih dan rasa syukur" jawab sang Malaikat. "Kau lihat sendiri kan perbandingannya?". "Jarang sekali Malaikat yang menjaga ruangan tersebut mencatat ucapan terima kasih ataupun rasa syukur manusia. Manusia hanya sibuk meminta dan memohon tapi lupa untuk berterima kasih dan bersyukur."

Si PNS menangis, "Ya Allah, ampunilah aku, seandainya tidak KAU cabut nyawaku dan aku masih punya kesempatan jadi pejabat eselon II, niscaya aku akan lebih baik dan lebih banyak bersyukur ya Allah."

Sang Malaikat menggeleng-gelengkan kepalanya dan sambil menarik kembali si PNS ke kuburannya dia berkata "maaf, umur itu rahasia Allah. Seharusnya kamu tidak perlu menunggu jadi pejabat eselon II untuk berbuat baik dan bersyukur, lagian pangkat kamu belum cukup jadi eselon II kamu sudah minta-minta aja."


***



Jakarta, 21 September 2018

GIVE WAY

Give Way atau memberi jalan adalah istilah yang baru gue kenal ketika akan nyetir di Australia. Akibat tuntutan keadaan, saat disana gue harus beli mobil dan nyetir sendiri. Secara teknis tidak ada kendala karena mobil-mobil disana sama seperti disini, posisi setir di kanan. Kelengkapan dokumen juga tidak masalah, karena ada ketentuan bahwa Surat Ijin Mengemudi (SIM) dari Indonesia cukup diterjemahkan oleh penterjemah tersumpah untuk dapat dipakai sebagai SIM lokal di Australia. Paling gue harus memperhatikan batas kecepatan kendaraan yang berbeda-beda di tiap ruas jalan, tapi ini pun tidak masalah karena ada menu peringatan speed camera di GPS.

"eh belajar give way dulu lu!" kata temen gue yang udah lama disana. "Main nyetir aje, kena denda langsung melarat lo!" lanjutnya lagi. "hah? give way? apaan tuh?" balas gue gak ngerti. Akhirnya temen gue ngejelasin kalo di Australia itu aturan untuk mendapatkan lisensi mengemudi itu tidak mudah. Harus ada tahapan-tahapan yang harus dilalui sebelum seseorang dinyatakan cakap untuk mengemudikan kendaraan di jalan raya. "Oh...ujian SIM" jawab gue sambil garuk-garuk kepala. Maklum, seumur-umur punya SIM gue belum pernah sekalipun ikut ujian SIM, jadi sebenarnya gue tidak tahu kecakapan yang bagaimana yang harus dimiliki seorang pengemudi kendaraan bermotor he he he.

"Indonesia banget lu..!" bentak temen gue dengan kesal. "Lu itu kalo bawa kendaraan di jalan raya tanpa kecakapan mengemudi itu sama aja dengan pembunuh yang berkeliaran" lanjut temen gue. Oops, kaget juga gue ngedengernya. "So, gue harus ambil SIM sini gitu? kan cukup SIM Indonesia gue terjemahin?" balas gue. "Ya harusnya sih begitu, tapi berhubung lu gak lama disini, paling nggak lu paham aturan-aturan lalu lintas disini" jelas temen gue. Akhirnya gue dikasih laman  https://www.raa.com.au/motoring-and-road-safety/learning-to-drive/give-way-questions untuk belajar give way.

Akhirnya gue bukalah laman tersebut buat belajar. www.raa.com.au adalah sebuah laman yang memberikan jasa bantuan terhadap segala kebutuhan kendaraan bermotor. Disana ada segmen online learner's test yang terdiri dari 3 bagian yaitu give way questions, multiple choices, dan hazard perception test. Sebenarnya untuk kualifikasi L atau status belajar, kita harus mengerjakan semua bagian tes tersebut, tapi karena gue hanya butuh untuk belajar 'adab' berkendara yang 'manusiawi' maka gue cuma fokus pada give way test.

Give way test ini ternyata adalah suatu tes yang menggambarkan simulasi keadaan yang pasti akan kita temui di jalan raya, baik kita sebagai pengemudi maupun pejalan kaki. Terdiri dari 8 soal yang wajib dijawab dengan benar semuanya. Kalau ada satu jawaban yang salah, kita harus mengulang kembali.

salah satu simulasi keadaan di jalan raya.


Pertanyaan dalam give way test ditampilkan dalam bentuk animasi gambar. Dari animasi gambar tersebut kita diberi 2 pilihan jawaban. Begitu kita klik jawaban yang kita pilih, maka animasi tersebut akan bergerak dan kita akan tahu akibat dari pilihan jawaban kita tersebut. Gue sangat takjub pada saat melakukan tes tersebut lalu mengerti pernyataan temen gue tentang "pembunuh berkeliaran" tadi. Dalam tes ini, kalau kita tidak memahami dengan baik siapa yang harus memberi jalan terlebih dahulu, maka kita akan diberi tahu akibat terburuk yang akan terjadi, yaitu kecelakaan. Disini saya tersadar mengapa tingkat pendidikan suatu negara tercermin dari kondisi lalu lintasnya. Bukankah orang yang berpendidikan itu akan sangat menghargai hak asasi manusia yang paling dasar yaitu hak untuk hidup. Hak untuk hidup tersebut dapat dengan sia-sia terenggut oleh orang-orang yang tidak mengerti etika memberi jalan di jalan raya.

Beberapa waktu lalu kakak gue membanggakan diri bahwa dia berhasil lulus ujian SIM di Polres setempat. Teringat dengan pengalaman di Australia, gue lalu bertanya tentang give way test ini. "Oh ada dong!" jawab kakak gue. Karena penasaran akhirnya gue googling "sistem ujian SIM online" dan ternyata memang benar, ada semacam give way test namun dengan format yang berbeda. Dalam laman korlantas.polri.go.id terdapat segmen latihan ujian SIM online, baik untuk SIM A maupun SIM C. Format pertanyaan adalah benar salah dan dilengkapi dengan animasi gambar. Jumlah soal latihan tersebut adalah 30 soal dan harus dikerjakan dalam waktu maksimal 16 menit. Tidak ada notifikasi apakah jawaban kita tersebut benar atau salah, tidak ada pula animasi yang menunjukkan akibat dari jawaban benar atau salah tersebut. Yang ada hanya notifikasi waktu pengerjaan ujian yang tersisa.

Secara konsep, apa yang terdapat dalam laman korlantas.polri.go.id tersebut sama dengan laman raa.com.au, yaitu mencoba menggambarkan kondisi riil yang dihadapi pengemudi di jalan raya. Yang berbeda adalah dampak yang ditimbulkan apabila kita memilih jawaban yang salah. Betul bahwa dampak tersebut bisa jadi berbeda dalam prakteknya, karena ada unsur kesigapan pengemudi dalam mengendalikan keadaan yang tiba-tiba dihadapi. Namun asumsi ini tidak dimasukkan dalam pertimbangan dalam membuat etika tersebut. Sekali lagi, ini berkaitan dengan nyawa manusia dan kerugian materil lainnya, tidak boleh ada asumsi disana. Adanya dampak yang ditimbulkan ketika kita menyalahi etika give way akan benar-benar membekas dalam ingatan ketika kita menjalankan kendaraan ataupun menjadi pengguna jalan lainnya di jalan raya. Give way juga akan meringankan atau memberatkan posisi kita ketika terjadi kecelakaan di jalan raya.

Di Indonesia, khususnya di Jakarta, terlihat sekali bahwa konsep give way ini tidak dipahami oleh sebagian besar pengguna jalan. Pokoknya, siapa yang duluan itu yang menang, siapa yang paling ngotot di jalan maka dia yang akan cepat sampai. Hal demikian dapat dipahami mengingat orang-orang seperti gue ini (punya SIM tanpa ujian) masih sangat banyak. Pengetahuan berlalu lintas di Indonesia lebih banyak didapat secara otodidak dan 'sekenanya'. Pokoknya kalo gak ditilang Pak Polisi berarti aman.

Rome was not built in a day. Membangun suatu sistem, peraturan ataupun budaya berlalu lintas tidak dapat dilakukan dalam sekejap, semudah menggosok-gosok ceret ajaib  lalu terkabul. Butuh waktu dan proses. Aturan legal formal yang telah ada pun tidak akan berarti apa-apa jika implementasinya tidak dilakukan dengan tepat. Dengan segala infrastruktur yang sudah tersedia, seharusnya pemerintah hanya perlu strategi implementasi yang baik. Langkah pertama yang bisa dilakukan adalah 'mempersulit' masyarakat untuk mendapatkan SIM, baik SIM pertama ataupun perpanjangan. Memahami peraturan lalu lintas serta cara berkendara dengan baik, aman dan sesuai peraturan yang dibuktikan dengan lulus ujian SIM adalah syarat wajib untuk mendapatkan/memperpanjang SIM. Akan lebih bagus jika metode ujian SIM tersebut dapat lebih disederhanakan sebagaimana contoh di Australia tadi. Berikutnya tentu penegakan peraturan yang tegas dan tidak pilih kasih sehingga benar-benar dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggar peraturan lalu lintas. Butuh waktu dan konsistensi memang, namun jika tidak pernah dimulai kita tidak pernah tahu kapan akan selesai.

Dari pengalaman yang gue alami, give way ini sebenarnya tidak hanya dipraktekkan masyarakat Australia ketika berkendara. Konsep tersebut ternyata berlaku dimana-mana, dan bahkan untuk hal-hal yang mungkin menurut kita sangat sepele seperti memberikan ruang untuk menyalip pada saat kita berada di eskalator. Disitu terlihat bahwa adanya kesadaran untuk tidak mempersulit orang lain, tidak menghalangi jalan orang lain telah menjadi suatu kebiasaan baik yang dibudayakan. Kebiasaan baik yang menjadi budaya tersebut kemudian 'diamankan' dalam peraturan-peraturan formal/non formal. Tidak mengetahui aturan-aturan tersebut atau melanggar aturan-aturan tersebut akan mendapatkan sanksi, baik sanksi sosial maupun sanksi hukum yang tegas.

Di Indonesia, mungkin gue yang kudet, tapi gue belum menemukan adanya suatu kebiasaan baik masyarakat yang sedemikian pentingnya sehingga masyarakat bersama-sama dengan pemerintah sepakat untuk menjadikannya sebuah aturan legal formal yang mengikat semua orang. Entahlah untuk hal lain, tapi untuk kebiasaan give way saja gue sulit menemukannya dalam keseharian, baik itu memberi jalan secara harafiah maupun memberi jalan dalam artian memberikan kesempatan bagi yang lebih berhak.

***

Jakarta, 20 September 2018
  


SUDUT PANDANG

You never really understand a person until you consider things from his point of view...
until you climb inside of his skin and walk around in it
(Harper Lee, to kill a mockingbird) 

Ketika berat badan saya menyentuh angka 74kg, hasil cek kesehatan merekomendasikan bahwa saya kelebihan berat badan dan harus menguranginya minimal sebanyak 4kg. Ketika hasil tersebut saya mintakan pendapat ke seorang dokter, dokter tersebut sambil tertawa berkomentar "ah kalau cuma kelebihan 4kg diubah jadi otot aja Pak, gak perlu panik." Ketika akhirnya saya mencoba olahraga lari dan mendapati bahwa saya berhasil mengurangi berat badan bahkan sampai 7kg, teman-teman ada yang berpendapat saya terlalu kurus dan menanyakan kalau-kalau saya sedang sakit, padahal saya merasa sangat sehat dengan kondisi tersebut.
Ketika ada sebagian teman yang bertanya tentang badan saya yang terlihat kurus, terus terang saya agak kepikiran dan mulai introspeksi dengan aktivitas yang sedang saya geluti. Jangan sampai mau sehat malah jadi penyakit. Jangan sampai orang-orang melihat apa yang tidak saya lihat, meskipun orang lainnya tentunya tidak dapat merasakan apa yang saya rasakan.

Sudut pandang yang berbeda seringkali menimbulkan masalah, meskipun tak jarang justru memperkaya rasa. Seperti kutipan novel to kill a mockingbird di awal tulisan ini, kita tidak akan pernah benar-benar memahami sudut pandang seseorang sampai kita benar-benar menjadi orang tersebut. Berdiri di tempat yang sama pun pasti akan menghasilkan sudut pandang yang berbeda, katakanlah karena perbedaan tinggi badan, kemampuan penglihatan, cara berdiri dan lain sebagainya dan lain sebagainya. Lihat saja ketika Pemerintah menentukan titik-titik yang berbeda untuk melihat dan menentukan hilal pada saat awal atau akhir bulan Ramadhan. Bisa jadi di satu titik hilal terlihat namun di titik lain tidak terlihat. Dapat juga terjadi semua titik melihat hilal namun dengan derajat yang berbeda-beda. 

Masalah timbul ketika sudut pandang yang berbeda tidak dapat diterima untuk memperkaya rasa atau malah dianggap salah. Tidak saja timbul perdebatan yang saling menyalahkan malah tak jarang timbul pertikaian dan permusuhan. Hal yang banyak terjadi saat ini dalam kehidupan kita dan di sekitar kita.

Ketika disadari bahwa sudut pandang tidak mungkin sama apakah lalu harus dipaksakan sama?. Sudut pandang siapa yang kemudian harus dipercaya?. Mendapatkan sudut pandang yang mutlak sama tentunya tidak mudah kalau tidak dapat dikatakan tidak mungkin. Membiarkan perselisihan karena sesuatu yang sudah disadari tidak akan terjadi pun bukanlah hal yang bijaksana. Memahami sudut pandang seseorang kemudian menjadi sebuah keahlian manusia dewasa yang bijaksana. 


SPOILER

Belakangan ini media sosial sedang ramai dengan spoiler, terutama spoiler tentang film. Sesuai namanya, spoiler ini buat sebagian orang benar-benar 'merusak' suasana, menghilangkan mood bahkan membangkitkan amarah. Bagaimana tidak? rasa penasaran yang telah memenuhi benak dan berharap terpuaskan di empuknya kursi bioskop yang dingin, dengan ditemani popcorn dan minuman ringan, tiba-tiba hilang karena unggahan seseorang di media sosial yang dengan tanpa rasa berdosa menuliskan detil cerita film tersebut. Semua pertanyaan yang sekian lama diharapkan terjawab dalam durasi 120 menit tiba-tiba dituliskan hanya dalam beberapa baris unggahan.

Kesal? buat sebagian orang, iya. Sebagian? iya, karena ada juga yang menganggap spoiler adalah hal yang biasa saja. Tidak berpengaruh apa-apa, tidak mengurangi niat untuk tetap mengeluarkan sejumlah rupiah untuk tiket bioskop demi tontonan yang sebenarnya sudah diketahui jalan cerita atau kesimpulannya. Saya belum melakukan survei terhadap pendapat orang tentang spoiler ini, tapi dari berbagai unggahan di media sosial, percakapan di berbagai grup percakapan, sepertinya lebih banyak orang yang tidak suka dengan adanya spoiler ini. Saking kesalnya dengan spoiler, ada anggota yang keluar dari grup percakapan karena ada anggota lain yang mengunggah spoiler salah satu film yang sedang diputar di bioskop-bioskop. Belum lagi perang celoteh antara 'tukang' spoiler dan anti spoiler, seru pastinya. Saya hanya berdoa jangan sampai spoiler menyebabkan pertikaian yang konyol dan meningkat ke hal-hal yang merugikan secara materi, jiwa dan raga. Lebay? mungkin, tapi kita kan hidup di Indonesia, yang seringkali mendengar, membaca dan melihat nyawa terbuang sia-sia hanya karena uang seperak dua perak atau hanya karena tidak suka dengan tatapan mata. Naudzubillahi min dzaliik.

Fenomena spoiler film ini belum lama maraknya. Awalnya mungkin sekedar kelakuan iseng dan jahil antar teman. Menjahili teman yang terlambat menonton film kesukaannya pada kesempatan pertama. Adanya media sosial yang kemudian membuat apapun dapat viral dengan cepatnya. Kita bahkan bisa mendapatkan spoiler bahkan pada saat kita antri tiket untuk pertunjukan kedua di sebuah pemutaran perdana film tersebut. Lalu apakah perilaku spoiler ini dapat diubah?.

Menurut Kurt Lewin (1890-1947), yang terkenal sebagai Bapak Psikologi Sosial, perilaku manusia pada dasarnya adalah keseimbangan antara faktor-faktor pendorong dengan faktor-faktor penahan, sehingga perilaku manusia dapat berubah dengan mempengaruhi kekuatan faktor-faktor tersebut. Perubahan faktor-faktor tersebut dapat dilakukan dengan 3 (tiga) tahapan; pertama yaitu tahapan unfreezing. Dalam tahapan ini, faktor-faktor pendorong yang dapat merubah perilaku ditingkatkan, lalu faktor-faktor penahan dikurangi dan kemudian mencari kombinasi terbaik dari kedua hal tersebut. Kedua; mendorong perubahan cara berfikir atau perasaan atau perilaku atau ketiga hal tersebut ke arah yang lebih positif. Ketiga; refreezing yaitu tahapan dimana perubahan-perubahan yang telah dilakukan dikukuhkan menjadi sebuah kebiasaan. Tanpa adanya refreezing, perilaku-perilaku yang telah berubah dapat dengan mudah kembali menjadi perilaku lama sehingga keseimbangan baru yang telah terbentuk kembali berubah.

Berdasarkan teori perubahan perilaku tersebut di atas, maka perlu dilakukan peningkatan faktor-faktor yang dapat membuat orang-orang meninggalkan perilaku spoiler misalnya dengan mengedukasi bahwa sesungguhnya disadari atau tidak disadari spoiler itu dapat menghilangkan kebahagiaan orang lain, lalu bagaimana kalau hal itu terjadi dengan kita. Hal-hal yang menjadi penahan juga dikurangi misalnya adanya justifikasi bahwa spoiler itu justru menunjukkan niat baik pelakunya untuk berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Sepertinya orang akan lebih berbahagia dibelikan tiket deh daripada kita nonton gak ngajak-ngajak lalu cerita tentang film yang sangat ingin kita tonton tersebut. Kekuatan media sosial dan kedewasaan penggunanya sangat menentukan keberhasilan proses ini. 

Perilaku spoiler juga dapat diarahkan ke hal yang lebih positif, seperti membuat resensi yang cerdas dan berkualitas. Pihak sponsor, pengusaha perfilman bahkan semua pihak dapat mendorong perubahan perilaku ini, misalnya dengan mengadakan lomba menulis resensi film yang berhadiah tiket gratis ataupun dengan kegiatan-kegiatan lain yang akan membuat para pelaku spoiler mengalihkan kelebihan energi-nya  menjadi sesuatu yang positif.

Sekilas spoiler ini hanyalah sebuah fenomena sesaat, namun tidak ada salahnya bila kita mencermati fenomena-fenomena sesaat yang banyak terjadi di sekitar kita. Apakah itu betul hanya sebuah fenomena ataukah cerminan dari kualitas perilaku bangsa kita?


Jakarta, 28 April 2018

MOVE !

Belakangan ini saya menekuni olahraga yang selama bertahun-tahun tidak saya sukai: lari. Ya, sebelumnya saya tidak pernah suka lari, indeed saya berlari, tapi biasanya hanya bagian dari sebuah pemanasan sebelum memulai olahraga yang lain. Saya tidak suka berlari karena nafas saya tidak kuat, gampang ngos-ngos an. Katanya sih lari bisa memperkuat nafas, lah ini baru lari aja sudah ngos-ngos an. Jadinya seperti mana dulu ayam dengan telur :). Lalu kenapa sekarang saya malah rutin berlari?.

Awalnya adalah ketika di suatu hari Car Free Day (CFD), istri saya mengajak saya jalan kaki saja karena bosan bersepeda; rutenya itu-itu saja dan menembus ribuan orang yang berjalan tanpa aturan di CFD adalah perjuangan tersendiri bagi pesepeda. Jadilah akhirnya kami berjalan kaki. Setelah beberapa ratus meter berjalan, saya bilang ke istri kalau saya akan menantang diri saya untuk berlari tanpa jeda dari mulai FX Senayan sampai dengan Bundaran HI, dan kemudian menunggunya disana. Ini jelas sebuah tantangan, karena saya tidak pernah berlari sejauh itu dan saya sendiri pun tidak yakin mampu melakukannya tanpa jeda. Singkat cerita saya pun mulai berlari; 100 meter...200 meter...500 meter....1 kilometer. Saya terus berlari, pelan, karena nafas mulai ngos-ngos an. Tapi saya tidak mau berhenti sambil terus self-talk bahwa saya bisa berlari tanpa jeda sampai Bundaran HI.

Ketika akhirnya saya bisa menyelesaikan tantangan tersebut, perasaan takjub dan tak percaya terus memenuhi hati saya. Kok bisa? Apakah karena selama ini saya rutin bersepeda? Apakah karena ego dan self-talk selama saya berlari?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus terdengar di otak saya, bercampur dengan euforia keberhasilan 'pelarian' pertama saya. Pelarian pertama yang membuat saya berjalan bagai robot selama seminggu. Pelarian yang kemudian memotivasi saya untuk mencoba berlari lagi, apalagi setelah saya hitung pelarian pertama tersebut kurang lebih berjarak 5 kilometer. Saya mampu!. Itulah yang kemudian saya tanamkan dalam otak saya untuk melakukan aktivitas lari ini secara rutin.

Lari dengan segala macam embel-embel nya saat ini memang sedang hits. Dari mulai lari cantik, finish cantik, finish strong dan segala macam istilah dalam dunia lari akhirnya akrab dengan telinga saya. Biasaaaa, namanya juga sedang semangat-semangatnya. Tapi bukan karena ikut-ikutan trend kalau akhirnya saya memiliki sebuah jam tangan pintar. Buat saya, olahraga apapun yang saya lakukan haruslah aman dan terukur, sehingga saya butuh sebuah alat yang bisa mengukur batas kemampuan saya. 

Selain fitur heart rate monitor, salah satu fitur yang saya suka dari jam tangan pintar adalah notifikasi untuk bergerak. Fitur ini akan mengingatkan kita untuk bergerak/berjalan/berlari ketika dalam kurun waktu tertentu kita terdeteksi dalam posisi diam. Agak lucu memang ketika fitur ini pun akan berfungsi ketika kita sedang berada dalam kendaraan atau bahkan sedang tidur :).

Mengapa fitur move! atau bergerak menjadi fitur yang dimiliki oleh hampir semua jam tangan pintar ataupun melekat pada aplikasi-aplikasi kebugaran/olahraga?. Bergerak, selain merupakan salah satu ciri makhluk hidup juga merupakan suatu aktivitas yang sangat bermanfaat untuk kesehatan. Berbagai lembaga kesehatan maupun penelitian-penelitian di bidang kesehatan merekomendasikan agar orang dewasa minimal melakukan latian aerobic 150 menit dengan intensitas sedang per-minggu atau 75 menit apabila dilakukan dengan intensitas tinggi. Aktivitas tersebut setara dengan 7,000 - 8,000 langkah sehari. Bahkan ada satu penelitian yang menyatakan bahwa wanita yang berjalan 10,000 langkah sehari dapat menurunkan tekanan darah dalam waktu 24 minggu dan meningkatkan kadar glukosa dalam tubuhnya.

Pertanyaannya adalah seberapa jauh kita harus berjalan untuk memenuhi rekomendasi tersebut?. Saya pribadi memiliki target 8,500 langkah per hari. Sebagai gambaran, untuk mendapatkan 5,000 langkah, kita harus berjalan paling tidak 3,2 kilometer sehingga untuk memenuhi target 8,500 langkah saya harus berjalan atau berlari sejauh 6 - 8 kilometer. Saya pernah menemukan fakta ketika di suatu hari kegiatan saya hanya berjalan dari rumah ke garasi, naik mobil, berjalan dari tempat parkir ke gedung kantor, kemudian berjalan seperlunya di dalam kantor termasuk ke kantin, saya hanya berhasil mendapatkan 1,900 langkah, dari pagi sampai malam. Bayangkan betapa tidak sehatnya saya jika hal tersebut terjadi setiap hari.

Move on dong!  kata anak jaman now kalau ada temannya yang selalu terjebak kenangan masa lalu. Move on...bergeraklah, karena jika tidak maka kamu akan sakit, kenangan masa lalu akan membuatmu sakit. Kira-kira seperti itulah jika dianalogikan dengan bergerak dalam artian aktivitas fisik yang saya tuliskan di atas. Manusia memang harus bergerak, bukan saja untuk menunjukkan bahwa mereka makhluk hidup, tapi lebih dari itu. Manusia bergerak tidak hanya berpindah secara fisik dari satu titik ke titik lainnya. Manusia bergerak juga dalam fikirannya, semangatnya, jiwanya, kebaikannya, amal ibadahnya. Sama hal nya badan yang sakit ketika tidak atau kurang bergerak, maka fikiran manusia pun akan sakit jika tidak bergerak, tidak akan ada pencapaian ketika semangat dan jiwanya tidak bergerak, tidak ada tambahan kebaikan ketika amal ibadahnya tidak bergerak.

Move move move...bergerak bergerak bergerak, ukurlah diri kita, ingatkan diri kita untuk selalu bergerak. Bergerak maju, bukan bergerak di tempat apalagi bergerak mundur, sampai saatnya kita tidak mampu lagi bergerak bahkan berfikir untuk bergerak.


Jakarta, 18 April 2018
Sekedar melemaskan jari yang sudah lama tidak bergerak di papan ketik.

Efisiensi Pak Jokowi (Tanggapan atas tulisan SuamiSIAGA)

Sedikit tergelitik untuk menanggapi tulisan SuamiSIAGA disini. Dalam tulisannya disebutkan bahwa berdasarkan analisa data yang ada, kegiatan-kegiatan Kementerian/Lembaga masih tergolong kegiatan produktif; dalam artian komposisi biaya utama dan biaya pendukung masih dalam rasio yang wajar. Hal ini tentunya berbeda dengan pernyataan Pak Jokowi yang menyatakan bahwa belanja pendukung lebih dominan daripada belanja inti, dengan memberikan contoh kasus biaya pemulangan TKI. Meskipun hal tersebut merupakan pendapat pribadi si penulis, tapi menurut saya pendapatnya menarik untuk dikritisi.
.
Pertama, tentang data. Pak Jokowi secara gamblang membandingkan antara biaya pemulangan TKI yang hanya 500 milyar dengan biaya rapat dan lain-lain yang berjumlah 2,5 milyar. Data ini menurut penulis adalah data di tingkatan komponen dalam artian berbicara di level input.  Masih menurut penulis, sesuai konsep Penganggaran Berbasis Kinerja, seharusnya kita tidak berbicara di level input lagi;
.
Kedua, tentang sudut pandang. Masih terkait dengan hal yang pertama, dalam pendapatnya, penulis memiliki sudut pandang yang berbeda dengan Pak Jokowi. Penulis secara tersirat mengharapkan agar kasus pemulangan TKI tidak hanya dilihat dari perbandingan biaya pemulangan dengan biaya rapat dan lain-lain, tetapi seyogyanya juga dilihat ke dampak yang lebih besar dari sekedar perbandingan tersebut;
.
Menanggapi hal tersebut di atas, menurut saya apa yang disampaikan Pak Jokowi sudah tepat. Meskipun apa yang disampaikan beliau ada di dalam komponen/level input namun saya yakin beliau sudah mengetahui dan mempertimbangkan kasus pemulangan TKI tersebut secara komprehensif. Ketika beliau membandingkan biaya pemulangan TKI (yang menurut beliau biaya inti) dengan biaya rapat dan lain-lain, seharusnya Kementerian/Lembaga menangkap keinginan dan pesan beliau tentang efisiensi, tentang rasionalisasi belanja untuk menghasilkan suatu output dan outcome.  Sehingga saya berkesimpulan bahwa pendapat beliau tersebut hanyalah penyederhanaan permasalahan agar pesan yang disampaikan dapat diterima dengan jelas.
.
Terlepas dari hal tersebut di atas, saya mengapresiasi tulisan kritis SuamiSIAGA karena hal tersebut dapat membuka suatu diskusi baru mengenai justifikasi biaya utama dan biaya pendukung beserta komposisi yang ideal-nya. Dari beberapa referensi yang pernah saya baca, komposisi tersebut ditetapkan melalui suatu perhitungan statistika dengan asumsi-asumsi tertentu.

Semoga bermanfaat.


Jakarta, 28 Desember 2017