Tampilkan postingan dengan label Rini Afri. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rini Afri. Tampilkan semua postingan

(H)Utang

 

Suasana malam semakin hening. Hanya terdengar suara jangkrik yang terus bernyanyi di gelapnya malam Desa Kemuning. Aku menunggu kata pertama yang akan diucapkan oleh Mahmud, saudara sepupuku walaupun dalam hati aku sudah bisa menebak apa keperluan Mahmud mendatangi rumahku malam-malam begini. Upaya Mahmud membelah sepi dan gelapnya malam dari Desa Melati menuju Desa Kemuning adalah perjuangan yang lumayan berat.

“Anak-anak sudah tidur?” tanya Mahmud berbasa-basi. Ia sudah tahu kalau isteri dan anak-anakku sudah tidur semua di jam seperti ini.

“Sudah,” jawabku pendek.

“Mau minum apa? Kopi, teh?” Aku mencoba menawarkan minuman sebagai basa-basi untuk kepantasan percakapan dengan tamu.

“Nggak usah, Mas. Aku sudah ngopi tadi di rumah,” tolak Mahmud.

“Tumben malam-malam ke sini. Ada apa, nih? Keluarga sehat, kan?” tanyaku lagi.

“Alhamdulillah, sehat semuanya.”

Mahmud terdiam. Pandangannya menerawang ke atas langit-langit rumah. Aku pun terdiam, menanti ucapan Mahmud selanjutnya. Suara jangkrik terdengar semakin keras.

“Sebentar lagi kan tahun ajaran baru, Mas ….

Mahmud kembali terdiam. Sepertinya ia ragu untuk melanjutkan pembicaraannya. Aku masih menunggu ucapan Mahmud.

“Si Nabil dan Mitha harus daftar ulang, sedangkan jualanku lagi sepi ini karena ada toko perabot baru yang lebih lengkap di dekat Kantor Kecamatan. Banyak pelangganku yang pindah ke toko itu,” terang Mahmud.

“Berapa yang kamu butuhkan?” tanyaku akhirnya.

Kulihat wajah Mahmud berseri mendengar pertanyaanku. Mungkin pertanyaan itu yang diharapkannya keluar dari mulutku.

“Kalau boleh, aku mau pinjam tiga juta saja, Mas. Nanti kalau tanah warisanku terjual, aku akan segera mengembalikannya. Sekarang sih sudah ada beberapa peminat yang serius, Mas. Aku tinggal menentukan saja mau dikasih ke siapa tanah itu.”

Aku terdiam sejenak. Kupandangi wajah Mahmud yang sepertinya berharap sekali aku memenuhi keinginannya.

“Lagi pula kenapa sih kamu nggak nurut aja sama aku. Kamu itu harusnya memasukkan anak ke sekolah negeri, jadi kamu nggak bingung bayar SPP. Kalau setiap semester begini, kan kamu juga yang repot,” ujarku setengah mengomel.

Mahmud menunduk mendengar ucapanku. Melihat Mahmud seperti itu membuatku iba. Walaupun aku sering kesal dengan perilaku Mahmud, tapi aku sering merasa tak tega terhadap saudara sepupuku yang satu ini.

“Kalau soal uang, aku harus tanya isteriku dulu. Semua uang kami dia yang simpan. Jadi, aku nggak bisa menjanjikan apa-apa ke kamu. Belum lagi, kemarin isteriku nanya pinjaman kamu sebelumnya belum dibayar. Waktu itu kamu juga janji akan segera dibayar kalau motor kamu terjual. Sayangnya, motor kamu entah ke mana, utangmu ke aku nggak terbayar juga. Aku harus bilang apa sama Ranty? Padahal kami juga punya anak yang harus masuk kuliah nih bulan depan,” sambungku. Aku berusaha menolak secara halus permintaan Mahmud.

“Tolong banget, Mas. Kepada siapa lagi aku harus datang kalau bukan ke Mas,” ujar Mahmud dengan wajah dibuat memelas.

“Gini deh, aku bilang dulu sama Ranty. Nah kalau Ranty setuju, baru aku bisa kasih kabar. Sekarang pulang dulu, aku ngantuk. Besok aku harus pergi pagi-pagi, ada rapat guru di sekolah,”usirku.

“Iya, Mas. Aku pamit dulu. Sekali lagi aku minta kebaikan hati Mas untuk menolongku. Kali ini aku nggak ada ingkar janji,” ujar Mahmud.

“Jangan kebanyakan buat janji!” ujarku sedikit kesal.

Kalau kuingat entah berapa kali Mahmud melakukan hal yang sama kepadaku. Padahal dia tahu kalau aku itu tak memiliki banyak harta apabila dibandingkan dengan kakak kandung dan adik kandungnya. Ia lebih sering meminta bantuanku daripada kepada mereka.

Kulepas Mahmud di kegelapan malam. Setelah itu, aku kembali masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu depan. Entah apa lagi alasan yang harus kusampaikan kepada Ranty agar ia bisa mengeluarkan uang tabungan kami. Terlebih yang meminjam uang itu adalah Mahmud, yang sering ingkar janji dan seringkali tidak mengembalikan uang yang dipinjamnya kepada kami.

                                                       ***

“Siapa yang bertamu malam-malam, Mas?”

“Lho, kirain udah tidur,” ujarku mendengar pertanyaan Ranty.

“Aku agak sulit tidur nih. Mahmud, ya? Mau minjem uang, kan? Tiga juta kan?” tanya Ranty seolah menerorku

Dugaan Ranti jarang meleset apabila ada tamu datang ke rumah. Ia bisa menebak apa maksud kedatangan tamu itu ke rumah. Terlebih kalau yang datang Mahmud, Ranty bisa memperkirakan apa keperluan Mahmud bahkan beberapa hari sebelum kunjungannya.

“Kok tahu?” tanyaku pura-pura kaget.

“Ya tahu aja. Soalnya aku ngecek berapa biaya daftar ulang di sekolah Nabil dan Mitha,” jawab Ranty.

“Hehehe, kamu itu tapi bener kok, tadi dia datang ke sini mau minjem uang sejumlah tiga juta. Kita ada uang segitu?” pancingku.

“Ada sih, Mas tapi kan kita juga butuh untuk biaya Amira daftar-daftar ke perguruan tinggi,” jawab Ranty.

“Kalau gitu, kasih aja separuhnya,” pintaku.

“Mahmud itu masih punya utang sama kita sejumlah empat juta rupiah lho. Kita belum ada deklarasi mengikhlaskan. Ini masih mau nambah utang lagi, gimana sih, Mas? Oke lah kita kasih setengahnya tapi kan sama aja nambah utang dia lagi. Kita ini bukan orang kaya, Mas. Nggak bisa lho dia terus menggantungkan pemenuhan kebutuhannya kepada kita. Kakak sama adiknya kan bisa juga dimintain tolong,” ujar Ranty dengan suara agak meninggi.

“Kasian lho si Mahmud itu. Usahanya lagi sepi.” Aku mencoba membujuk Ranty. Bagamana pun, Mahmud adalah saudaraku juga.

“Mas selalu begitu.”

Ranty membaring di tempat tidur dan membelakangiku. Akhir-akhir ini ia memang sering tak ramah kalau ada kunjungan dari saudara-saudaraku. Aku akui, banyak saudaraku selain Mahmud yang sering meminta bantuan kepadaku. Menurutku itu wajar karena aku dianggap orang yang paling bisa diandalkan. Sayangnya, itu membuat Ranty agak kesal.

“Jangan gitulah. Kalau kita bisa bantu, ya dibantu saja. Siapa tahu suatu hari kita yang butuh bantuan mereka,” bujukku.

Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Ranty. Aku tak tahu apa yang ada di dalam pikiran Ranty mendengar ucapanku.

“Mas, sebelumnya kita udah ngasih pinjaman ke Fauzi lho.” Ranty membalikkan badannya dan menghadap ke arahku.

“Lho Fauzi kan adik kandungku, wajar dong kita bantu. Waktu Si Neneng, sepupumu itu minta bantuan aja kita kasih, kan?” Aku agak kesal juga mendengar Ranty mengungkit bantuan yang diberikan kepada adik kandungku.

“Lho kok jadi bawa-bawa si Neneng, Mas?” tanya Ranty dengan kesal. Ia bangkit dari tidurnya.

“Kamu sih yang pertama bawa-bawa Fauzi,” timpalku.

“Mas itu hitung-hitungan kalau sama keluargaku.”

“Bukannya kamu yang sering hitung-hitungan kalau ada saudaraku yang butuh bantuan?”

Aku mulai marah dengan sikap Ranty. Kenapa ia bisa mengungkit apa yang sudah kuberikan kepada saudaraku sendiri.

“Berapa banyak kukeluarkan uang yang kusimpan sedikit demi sedikit untuk keperluan kita sendiri yang akhirnya diberikan kepada saudara-saudaramu. Apa pernah aku mempermasalahkannya?” tanya Ranty. Mukanya terlihat marah kepadaku.

“Lha barusan apa namanya kalau bukan mengungkit-ngungkit? Kamu itu memang perhitungan kalau sama keluargaku. Beda kalau yang minta bantuan keluargamu pasti kamu akan berikan walaupun jumlahnya banyak. Belum lagi sikap kamu yang sering nggak ramah sama keluargaku.”

Akhirnya aku tak tahan lagi. Aku mengeluarkan unek-unekku kepada Ranty. Kulihat wajah Ranty memerah. Air mata mulai jatuh di pipinya. Saat itu aku agak menyesal juga mengeluarkan kata-kata yang menyakiti hati Ranty tapi rasa ego mencegahku meminta maaf kepada Ranty.

“Mas kok gitu sama aku? Gara-gara si Mahmud kenapa Mas jadi marah sama aku?”

Tangis Ranti pecah. Ia kembali berbaring dan membalikkan badannya membelakangiku. Aku bingung harus berbuat apa. Ketika tanganku hendak membelai rambutnya, egoku mencegahnya.

Akhirnya aku juga membalikkan badan saling memunggungi. Percakapan selesai sampai di situ. Aku cegah diriku membalas ucapan Ranty. Malam itu berlalu dengan perasaan dingin di hatiku. Mungkin itu juga yang dirasakan oleh Ranty. Kemarahan kami berdua terbawa ke alam mimpi.

                                                            ***

Pagi-pagi ketika aku hendak berangkat ke sekolah, Ranty sudah tak ada di kamar. Kucari ke seluruh sudut rumah, tak kutemukan sosok yang telah menemaniku selama dua puluh tahun itu. Kubuka tudung saji di meja, tersaji sepiring nasi goreng dengan sebuah telur ceplok di atasnya.

“Mama ke mana, Mi? tanyaku kepada Almira yang sedang mencuci piring.

“Nggak tahu, Pa. Tadi pagi udah rapi tapi nggak bilang mau pergi ke mana,” jawab Amira sambil terus mencuci piring.

Ponsel yang kupegang berbunyi. Ada pesan masuk yang ternyata dari Ranty.

Mas, Aku mau pulang ke rumah Ibu dulu. Biarkan aku tenang beberapa hari. ATM kusimpan di meja kerjamu. Silakan kamu beri pinjaman ke Mahmud atau siapa pun. Mau dihabiskan pun uang yang ada di ATM, silakan. Jangan telepon atau kirim pesan. Aku akan pulang sendiri kalau pikiranku sudah tenang.

Aku tak tahu harus berkata apa. Sekesal apa pun aku kepada isteriku, tak pernah sedikit pun terpikir olehku untuk meninggalkannya. Membaca pesan dari Ranty, aku merasa sedih.

“Kenapa, Pa? Kok sedih begitu?” tanya Almira.

“Mama ke rumah Nenek,” jawabku.

“Ya biarin aja, Pa. Kan Nenek itu ibunya Mama, wajar dong Mama pengen nengok,” ujar Almira polos.

Assalamualaikum

Walaikum salam

Dari pintu belakang muncul Mahmud dengan muka yang penuh harap. Ia tersenyum ke arahku.

“Belum berangkat, Mas?” tanyanya.

Aku hanya menatap mukanya dengan kesal.

Bagaimana Mas? Mbak Ranty sudah ngasih kan uangnya?” Aku melotot kepada Mahmud.

“Pulang sana. Jangan pernah balik lagi ke sini. Pikirkan saja urusanmu sendiri!” teriakku sambil menyeret Mahmud ke pintu. Setelah itu kututup pintu dengan keras. Almira hanya melihatku dengan pandangan heran.

                                                          ***

Depok, 11 Juni 2020

Ibu

 Ibu, apa kabar?

Sehatkah di sana?

Apakah Ibu merindukanku?

Seperti aku di sini yang sangat merindukanmu


Aku rindu belaianmu

Aku  rindu semua pertanyaan-pertanyaanmu

Aku rindu masakanmu

Aku rindu kemarahanmu


Ibu, maklumi aku

Hanya Bisa bersapa lewat untaian kata

Lewat layar yang membisu tanpa rasa

Yang sering tak ramah karena tak ada sinyal dan pulsa


Ibu, maafkan aku

Tahun ini sungguh kelabu

Aku terkurung tak berdaya

Tertahan dalam ketidakpastian


Ibu, tersenyumlah

Doakan aku dan seisi penghuni bumi

Agar bisa tabah menjalani semuanya

Agar tetap berjuang dan bertahan


Ibu, tak ada kata yang sanggup melukiskan

Betapa aku khawatir

Betapa ku resah

Dengan keadaan yang membingungkan ini


Ibu, hanya doa yang bisa kupanjatkan

Agar kau selalu sehat dan kuat

Untuk  menyambutku di depan pintu

Ketika semua ketidakpastian ini berakhir


Ibu, bersabarlah

Semuanya hanya ujian yang semakin merekatkan tali kasih kita

Kuingin bumi kembali ceria

Agar aku bisa berlari ke pelukanmu dengan canda dan tawa



Puisi ditulis pada bulan Maret 2020



TEMAN NGOBROL

Suasana masih gelap gulita ketika aku turun dari mobil yang mengantarku sampai di lobi kantor tempatku bekerja. Aku melangkah masuk melewati pintu yang terbuka dengan sendirinya tanpa harus kupencet tombol atau pun kubuka dengan tanganku. Belum ada seorang pun yang hadir di lobi. Hanya ada seorang satpam yang baru bersiap berjaga di meja resepsionis.

Aku mengambil kunci ruangan yang tergantung di bawah meja resepsionis. Kutuliskan namaku di buku sebagai tanda bahwa aku telah mengambil kunci ruangan. Aku masuk ke dalam lift sendirian. Suasana gelap terpampang di depanku ketika lift terbuka. Kepalaku menoleh ke kiri dan ke kanan. Aku sendiri tak tahu kenapa kepalaku harus menoleh ke kanan dan ke kiri seperti seorang pencuri yang sedang memastikan keadaan sekeliling aman dan terkendali.

Aku duduk di sofa yang berada tepat di depan kubikel. Angin dingin pagi menyentuh lembut tubuh ketika kubuka jendela agar sinar mentari bisa leluasa menyentuhku. Sejenak aku terdiam tanpa ada niat menyalakan lampu. Aku masih ingin termenung memikirkan apa yang akan kukerjakan sepanjang hari ini di kubikel.  

Pertanyaan rutin muncul dalam hatiku, apakah aku bisa berkontribusi sepanjang hari ini ataukah aku hanya jadi parasit yang duduk diam di kursi empuk dengan fasilitas modern terkini yang selalu setia menemani hari-hariku di kantor. Tak kutemukan jawaban yang pasti, hanya sebait doa yang bisa kulantunkan agar aku bisa bekerja dengan baik sehingga tak ada rasa malu ketika aku berdiri di depan ATM, mengambil uang gaji bulananku.

Kutatap jam dinding yang tak pernah bosan tergantung di dinding ruang kerjaku. Saat itu, baru ku sadar kalau aku berada di kantor terlalu pagi. Untuk melaporkan kehadiran pun masih belum diperbolehkan. 

Tiba-tiba Donita, teman kerja dari ruangan sebelah muncul di hadapanku. Wajahnya terlihat ceria. Kami berdua larut dalam obrolan seru. Setelah beberapa saat, datanglah Sarah dan Indah yang muncul dari pintu kaca ruang kerjaku. Berempat kami larut dalam obrolan seru. Kami tertawa bersama sehingga membuat suasana pagi itu sangat ceria.

"Aku balik ke ruangan dulu, ya. Ada pekerjaan yang harus kuselesaikan," pamit Donita sambil berdiri dan meninggalkan kami bertiga.

Aku mengiyakan. Tinggallah kami bertiga bercengkrama. Tak berapa lama kedua temanku pamit kembali ke ruangannya masing-masing. Setelah keduanya pergi, rasa kantuk menyerangku. Kupikir tak ada salahnya aku tidur sejenak karena hari masih pagi. Kurebahkan badan di sofa panjang yang empuk. Betapa indahnya duniaku saat itu.

                               *** 

Alarm ponselku berbunyi dengan kencang pertanda aku harus bangun. Aku membuka mata dan melihat sekeliling, ternyata suasana masih sepi, tak ada seorang pun yang berada di ruangan. Cahaya mentari sudah tak malu-malu lagi muncul dan menerangi bumi. Aku masuk ke dalam kubikel dan menyalakan komputer. 

Ponselku berdering. Ternyata Donita yang menelepon.

"Halo Rika, aku lagi di tukang bubur ayam nih, kamu mau? Biar kubeliin," ujar Donita.
 "Bubur yang di mana? Kantin bawah?"tanyaku.
"Bukan. Tukang bubur ayam yang mangkal di depan tempat kos-ku,"jawab Donita.
"Cepet banget gerakanmu, tahu-tahu udah balik ke kos-an aja," godaku.
"Maksudnya apa, ya? tanya Donita. Suara Donita terdengar heran atas ucapanku.
"Tadi kan kita masih ngobrol di ruanganku. Tiba-tiba sekarang udah balik ke kos-an buat beli bubur ayam."
"Aku baru mau berangkat ke kantor, lho," ujar Donita.
"Lha, emangnya aku tadi ngobrol sama siapa? Bercandanya jangan kelewatan, ah," tukasku.
"Aku baru keluar dari kos-an lho. Terus mau mampir ke tukang bubur ayam."
"Beneran kamu belum ke kantor?" tanyaku mulai panik.
"Bener, aku belum ke kantor," jawab Donita memastikan.

Aku menelepon Sarah dan Indah untuk memastikan kalau aku memang mengobrol bersama mereka. Bulu kudukku berdiri ketika mereka menjawab bahwa mereka berdua masih berada di atas bis menuju ke kantor. 

Aku keluar dari kubikel. Kuintip ruang sebelah dari kaca pemisah. Kulihat Pak Sena sudah datang dan sedang menatap komputernya. Perasaanku lega karena akhirnya ada orang lain yang menemani.

Aku berjalan keluar dari ruanganku. Rasanya aku perlu menghirup udara segar. Aku masih belum bisa berpikir tenang dengan kejadian tadi. Aku berjalan menuju lift tanpa ada keinginan menoleh ke belakang.  Mukaku pucat ketika lift terbuka. 

"Selamat pagi, Mbak! Rajin banget pagi-pagi sudah di kantor."


Aku berbalik. Tak ada sepatah pun kata yang keluar dari mulutku. 

"Kenapa, Mbak?" tanya Pak Sena ketika melihatku membalikkan badan. 

Suaranya membuatku ketakutan. Pikiranku buntu. Badanku lemas. Entahlah, apakah saat ini aku berada di dunia nyata atau di dunia lain. Aku ingin lari tapi sendi-sendiku terasa lemas  dan membuatku  tak berdaya.

Jakarta, 6 Agustus 2020

 

Hujan Di Bulan Juli

Riana memandangi saldo rekening di layar ponselnya. Senyum lebar mengembang di bibirnya. Sejenak ia menyenderkan tubuh di kursi kerjanya. Ia tak peduli orang lalu lalang di depan kubikelnya. Beberapa orang mengajaknya makan siang di kantin tapi Riana menolaknya. Ia terlalu bahagia hari ini jadi perutnya terasa penuh dan tak perlu diisinya.

“Hei, dari tadi kulihat kamu senyum-senyum sendiri nggak jelas gitu. Ada apa?” tegur Dina. Ia melongok dari belakang kursi Riana.

“Enggak kenapa-kenapa sih. Cuma aku lagi happy aja soalnya apa yang kumimpikan sejak lama akan segera terwujud,” jawab Riana.

“Ke Seoul?” bisik Dina.

“Heeh.” Riana membalikkan kursinya sehingga ia berhadapan dengan Dina.

“Jangan berisik, ya! Aku belum minta ijin sama Bu Tiur. Tahu sendiri kan Bu Tiur kayak gimana orangnya,” pinta Riana.

“Tenang, aku jagonya simpan rahasia penting,” ujar Dina.

“Besok aku mau ambil cuti. Urus visa. Mudah-mudahan semuanya lancar. Nggak sabar rasanya ketemu Bayu. Udah setahun ini kami cuma berbalas email. Dia terlalu sibuk untuk sekedar membalas chat-ku. Apalagi videocall. Aku ingin memberinya kejutan dengan tiba-tiba muncul di Seoul,” terang Riana bersemangat.

“Kamu nggak ngabarin Bayu dulu?” tanya Dina heran. Riana menggelengkan kepalanya.

“Gila, ya! Kalau misalnya pas kamu ke Seoul si Bayu-nya pergi ke kota lain atau pulang ke Jakarta, apa nggak sayang tuh uang dan  tenaga yang kamu habiskan selama ini?”

“Enggak mungkinlah! Bayu nggak akan pulang kalau kuliahnya belum selesai. Ia juga nggak bakalan main-main ke luar kota karena dia bukan tipe yang seneng jalan,” jawab Riana dengan yakin.

“Ya sudahlah, kudoakan semuanya lancar, ya.”

“Terima kasih,ya” ujar Riana.

Bagi Riana waktu sebulan itu rasanya terlalu lama untuk ditunggu. Ia tak sabar ingin segera memeluk Bayu, lelaki yang bertahun-tahun telah mengisi hatinya. Sayangnya sejak tiga tahun yang lalu, Bayu mengucapkan selamat tinggal kepada Riana karena ia akan melanjutkan kuliahnya di Seoul.

Riana sengaja memilih waktu bulan Juli untuk bertemu  karena pada bulan itu Bayu mendapat libur semester sehingga ia dan Bayu bisa menghabiskan waktu berdua lebih tenang tanpa mengganggu waktu belajar Bayu. Riana merasa bangga karena Bayu mendapat beasiswa untuk melanjutkan  S-2 ke Korea Selatan walau sebetulnya ia merasa kehilangan karena selama ini ke mana-mana mereka selalu berdua. Mulai dari berangkat sampai pulang kerja.

Mereka berdua merencanakan pernikahan apabila Bayu telah lulus kuliah. Semuanya telah direncanakan dengan matang oleh Riana dan keluarga Bayu. Riana tak sabar menanti saatnya nanti ketika ia dipersunting oleh Bayu.

“Jangan senyum-senyum sendiri, Non! Aku jadi takut. Ayo ke kantin dulu,  lapar nih,” ajak Dina sambil menggeser kursi ke kubikelnya.

“Ayuk, deh.”

Kali ini Riana tak bisa menolak permintaan temannya itu. Ia mengambil dompet dari dalam tasnya. Kemudian berdiri dan mengikuti langkah Dina menuju kantin. Bahagia mengiringi langkah Riana saat itu.

                                      ***

 

Siang itu cuaca sangat terik. Matahari menyinari bumi dengan segenap kekuatannya. Riana merasa seluruh langkahnya diberkahi karena cuaca cerah yang mendukungnya. Ia memasukkan barang bawaannya ke dalam koper besar yang baru saja dibelinya.

Tak lupa ia membawa beberapa jenis makanan kesukaan Bayu. Riana sudah membayangkan kalau Bayu akan lahap memakan makanan Indonesia yang dibawanya. Sepanjang siang itu Riana terus bendendang riang.

“Na, apa kopermu nggak overweight nanti? Bawaanmu kok banyak banget. Bawa apa saja, sih?” tanya mamanya Riana sambil memeriksa isi koper anaknya.

“Aku bawa makanan kesukaan Bayu, Ma. Lumayan, bisa buat stok juga. Mudah-mudahan sih nggak overweight.”

“Ya terserah kamu, Na. Cuma Mama heran aja, kenapa kamu nggak ngabarin Bayu sih?”

“Kan aku mau kasih surprise, Ma.”

“Mudah-mudahan Bayu bisa menerima surprise dari kamu, Na,” ujar Mama.

“Ah Mama, bukannya dukung aku malah ngomong kayak gitu,” balas Riana kesal.

“Mama kan cuma nanya, nggak ada maksud apa-apa kok. Semua kan harus dibicarakan dengan Bayu. Jangan sampai Bayu malah keganggu dengan kedatangan kamu.”

“Mama! Kok gitu sih? Dukung aja anaknya,” bentak  Riana kesal.

“Ya udah, Mama nggak akan ikut campur lagi.”

Mama keluar dari kamar Riana meninggalkan. Riana  kesal kepada mamanya. Ia merasa mamanya tega kepada dirinya, bukannya mendukung malah bicara yang tidak-tidak. Riana mengepak kembali barang-barang yang akan dibawanya.

                             ***

Riana duduk di bagian depan bis yang akan membawanya ke bandara Soekarno Hatta. Matanya menatap ke arah luar bis. Dalam pikiran Riana tergambar rencana-rencananya untuk menghabiskan musim panas bersama Bayu di Seoul. Ia sudah browsing di internet, beberapa tempat yang akan dikunjunginya berdua. Senyum Riana semakin mengembang ketika membayangkan kegembiraan yang akan dibaginya berdua.

Riana juga membayangkan kalau Bayu akan membicarakan rencananya ke depan menghabiskan waktu denganya. Membeli rumah bersama, memiliki anak dan menjalani masa depan bersama. Rasanya semua indah di mata Riana.

Entah kenapa tiba-tiba hujan turun membasahi bumi. Riana takjub melihat titik-titik air membasahi jendela bisnya. Selama musim kemarau beberapa bulan , inilah pertama kalinya hujan turun membasahi bumi.

Saat turun dari bis di terminal tiga Bandara Soekarno Hatta, Riana berhenti sejenak karena menikmati  aroma tanah yang tersiram hujan setelah sekian lama kering. Riana selalu senang dengan bau itu.

Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ia membuka tasnya dan mengambil ponsel. Rupanya ada pesan dari Sean, teman kuliah  Bayu di Seoul.

Kok bisa nyambung gini? Apakah Sean yang meneleponnya ataukah Bayu yang meminjam ponsel Sean? Atau Bayu punya firasat kalau aku akan datang ke Seoul?

Riana masih ragu membuka pesan yang masuk. Ia takut Bayu mengetahui kalau ia akan datang ke Seoul. Riana berjalan ke arah tempat duduk yang berada di depan pintu masuk bandara. Ia duduk di kursi. Koper yang dibawanya diletakkan di sampingnya.

Berita duka cita

Telah meninggal sahabat kami Bayu Gemilang pada hari ini jam 9 pagi di Solo, Jawa Tengah. Jenazah akan dikebumikan pada jam ….

Seluruh persendian Riana terasa kaku. Ia tak sanggup lagi membaca pesan selanjutnya. Nafasnya terasa berhenti saat itu juga. Riana tak tahu apa yang akan dilakukannya selanjutnya. Dunianya terasa berhenti seketika.

                                   ***

“Sudah sebulan ini Bayu pulang ke Solo. Ia di rawat di rumah sakit. Maafkan Ibu, Nak. Bayu melarang Ibu memberitahumu. Ibu bertanggung jawab penuh ke kantor karena merahasiakan kabar Bayu sakit.”

“Kenapa, Bu?” suara Riana serak mendengar penjelasan ibunya Bayu.

“Bayu tak ingin kamu sedih, Nak. Dia tak ingin membuyarkan mimpi-mimpimu. Dia sangat mencintaimu, Nak. Sekali lagi maafkan Ibu,” suara ibunya Bayu tercekat menahan tangis.

“Aku merasa dibohongi. Ibu tahu, saya mendapat kabar kalau Bayu pergi pada saat saya sudah di bandara lho, Bu. Saya mau mengunjungi Bayu di Seoul padahal ternyata Bayu sudah ada di Solo. Pikiran Ibu di mana? Salah saya apa, Bu?” Suara Riana bergetar menahan emosi.

“Maafkan, Ibu.”

Riana terduduk lemas di depan pusara Bayu. Hujan mengiringi kepedihan hati Riana. Ia merasa semua orang jahat kepadanya.

Satu per satu orang meninggalkan tempat pemakaman Bayu. Hanya Riana yang tertinggal di sana.

Semua mimpinya kandas begitu saja tanpa bekas. Yang lebih menyakitkan adalah ia sama sekali tak tahu tentang kondisi Bayu selama ini. Pantas saja selama ini Bayu tak pernah mau kalau diminta melakukan videocall dengan Riana.

“Kenapa, Bayu, kenapa?”  tanya Riana sambil terus menangis. Hanya sunyi di tengah rintik hujan yang menemani Riana.

                                        Selesai


Terkurung

Bertahun-tahun kau bebas

Kau bebas pergi ke mana pun yang kau inginkan

Kau bebas mendaki gunung dan menyeberangi lautan luas

Kau bebas pergi melintasi benua

 

Saat itu kau lupa berterima kasih

Kau lena dengan kebebasanmu

Kau abai akan kenikmatanmu

Kau nikmati semua dengan suka cita

 

Saat ini kau terkurung di dalam ruang

Tak bisa lagi kau nikmati kebebasanmu

Apa yang kau lakukan?

Kau sibuk berkeluh kesah tak karuan

 

Berapa lama kau bebas?

Berapa lama kau terkurung?

Kutanya sekali lagi

Apakah waktu bebasmu lebih sedikit daripada waktu terkurungmu

 

Ya, aku tahu jawabannya

Waktu bebasmu lebih banyak daripada waktu terkurungmu

Tapi kenapa kau selalu mengeluh atas apa yang tak kau dapatkan

Dan kau abai berterima kasih atas apa yang telah kau dapatkan

 

Depok, 14 Mei 2020


Cinta Dalam Semangkuk Sup Kaki Sapi


Kuperhatikan dengan segenap konsentrasi langkah demi langkah Syarif, orang yang telah mendampingiku mengarungi kerasnya kehidupan selama puluhan tahun. Aku mencoba menahan perasaan sedih karena melihatnya berjuang mencapai tempat yang telah ditentukan oleh terapis yang biasa dipanggil ke rumah.
Masih lekat dalam ingatanku betapa gagahnya Syarif berjalan dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mendorong roda yang penuh dengan sayuran dari satu rumah ke rumah yang lain tanpa lelah. Impiannya hanya ingin membuat anak-anak kami mengenyam pendidikan yang tinggi. Bukan untuk kebaikannya sendiri tapi untuk kebaikan anak-anak kami sendiri.
Tak pernah ada kata lelah dalam kamusnya saat itu. Ia hanya ingin yang terbaik untuk keluarganya.
Saat ini ia sedang berjuang meraih kembali apa yang dulu dimilikinya, yaitu pijakan kakinya agar kuat kembali menjelajah dunianya tanpa merepotkan orang lain.
Kuusap air mata di pipi agar Syarif bisa melihatku semangat mendampinginya melewati hari-hari yang sangat berat baginya. Aku ingin ia kembali ceria seperti dulu walaupun langkahnya semakin terbatas.
                                        ***
“Kang, jangan terlalu capek gitu dong. Biar saja aku yang masak,” ujarku melihat Syarif sibuk meracik bumbu untuk memasak sup kaki kegemaran anak-anak kami yang berjumlah tiga orang.
“Nggak apa-apa. Aku bahagia melihat keceriaan mereka menyedot tulang sumsum sapi yang kumasak. Itulah masa yang membahagiakan bagiku. Ketika mereka makan lahap, itu bagaikan sebuah persembahan istimewa sebagai ucapan terima kasih atas jerih payahku menyediakan makanan bergizi bagi mereka,” terang Syarif sambil terus meracik bumbu.
Sesekali aku membuka panci, memastikan apakah kulit kaki sapi yang menempel di kaki sapi itu sudah empuk. Sambil menunggu kulit sapinya matang, kucuci beras dan kutanak nasi di kompor.
“Mudah-mudahan, ketika anak-anak pulang sekolah, sup kita sudah jadi ya, Bu.” Aku hanya mengangguk. Syarif selalu bersemangat ketika memasak untuk anak-anak.
Betapa aku beruntung memiliki suami yang sayang kepada keluarganya. Walaupun hidup kami pas-pasan tapi Syarif selalu berusaha menyisihkan uang untuk menyajikan makanan penuh gizi bagi keluarganya.
                                                        ***
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam.”
Aku menjawab salam ketika kudengar suara ketiga anakku serempak memasuki rumah. Mereka bertiga berlarian dan berebut memelukku.
“Ayah di mana, Bu?” tanya Nina sulungku yang duduk di bangku kelas enam SD.
“Di dapur.”
“Pasti lagi masak sup kaki sapi, wanginya enak banget,” ujar Dita ceria. Ia adalah anakku yang kedua dan masih duduk di kelas lima SD.
“Hore, makan enak lagi!” teriak Amir, si bungsu terlihat gembira mendengar ucapan kakaknya.
“Ayo ganti baju dan salat Dzuhur dulu, abis itu kita makan siang bareng!”
Mendengar perintah ayahnya, mereka bertiga berlari ke kamar. Setelah itu mereka melakukan salat Dzuhur bersama-sama. Aku tersenyum bahagia melihat perkembangan mereka bertiga yang tak pernah menyusahkanku dan Syarif. Sekali lagi peran Syarif sangat besar menjadikan anak-anak seperti sekarang ini.
“Nah supnya sudah siap!”
Syarif muncul dari dapur membawa semangkuk besar sup kaki sapi yang dimasaknya tadi. Aku menuangkan nasi dari dandang ke tempatnya. Asap masih mengepul dari nasi dan sup kaki sapi yang dimasak Syarif. Baunya sangat sedap di hidung sehingga membuat perut meronta-ronta ingin segera mencicipi makanan favorit keluarga.
Tiba-tiba Amir tersedak. Syarif menyodorkan gelas berisi minuman kepada Amir.
“Makannya pelan-pelan. Tunggu sampai dingin dulu!” tegur Syarif lembut.
“Iya, Ayah,” jawab Amir.
“Ayah, supnya enak pake banget lho,” puji Nina.
“Iya, Yah,” timpal Dita sambil menyendok kembali sup ke dalam mangkuknya.
“Alhamdulillah kalau kalian suka. Cuma maaf, ya. Ayah tak bisa sering-sering memasak sup kaki sapi, soalnya harus kumpulin uang dulu. Kaki sapi mahal.”
“Nggak apa-apa kok, Yah. Nina ngerti kok. Makan dengan tempe goreng juga enak kok, asal kita barengan begini.”
Syarif tersenyum mendengar ucapan Nina. Aku memandangi suami dan anak-anakku dengan perasaan yang sulit dilukiskan. Tak ada lagi yang kuminta selain Syarif dan anak-anak selalu sehat agar kami bisa selalu membagi cinta kepada anggota keluarga.
                                        ***
Aku ingat, betapa bahagianya Syarif ketika menyaksikan wisuda ketiga anak kami. Walau berusaha menahan keharuan, aku menyaksikan Syarif selalu mengusap air mata yang menetes ketika Nina, Dita, dan Amir maju ke depan memakai toga untuk menerima ucapan selamat dari rektor.
Begitu juga ketika satu per satu anak-anak kami menikah, Syarif selalu berusaha tegar walau aku tahu ia sedih melepas anak-anak yang sangat dicintainya meninggalkan rumah. Akulah saksinya ketika malam-malam Syarif mengusap-usap foto ketiganya.
Cintanya yang dalam, membuat Syarif tak ingin merepotkan anak-anak. Ia tak pernah meminta apapun dari mereka walau berulang kali ketiga anak kami menanyakan apa yang diinginkan ayahnya. Jawabannya selalu sama, “Kebahagiaan Ayah itu adalah ketika melihat kalian bahagia.”
Bahkan Syarif tetap berjualan sayur, walau anak-anak sudah memintanya istirahat. Segala biaya hidup kami akan ditanggung mereka tapi Syarif bersikukuh dengan alasan, “ Ayah bosan kalau nggak melakukan apa-apa.”
Akhirnya sebagai jalan tengah karena kekhawatiran anak-anak, Syarif membuka warung sayuran di rumah. Itu pun setelah melalui bujuk rayu yang tak sebentar sampai Syarif luluh. Aku tak bisa memaksanya untuk berhenti berjualan karena itu adalah hiburannya apalagi anak-anak sudah tidak ada lagi yang tinggal serumah dengan kami.
Sampai suatu ketika, Haji Darmin, pemilik kios daging di pasar mendatangi rumah. Dengan nafas terengah-engah ia memanggil namaku. Saat itu, aku sedang membereskan warung sambil menunggu Syarif datang dari pasar membawa belanjaan sayur untuk dijual.
“Aisyah … Aisyah!”
“Ada apa Pak Haji?” tanyaku kaget. Tak biasanya Haji Darmin mendatangi rumahku ketika Syarif tidak berada di rumah.
“Syarif … Syarif ….”
“Ada apa dengan Kang Syarif?” tanyaku mulai risau.
“Syarif jatuh di pasar ….”
“Jatuh gimana?” tanyaku panik.
“Ya jatuh ke bawah, pingsan! Dibawa orang pasar ke RSUD ….”
Belum selesai Haji Darmin menjelaskan, aku masuk ke dalam rumah. Kuambil tas yang tergantung di tembok. Setelah itu aku memesan ojek online. Rasanya waktu berjalan lambat sampai akhirnya ojek datang.
                       ***
Anak-anak memindahkan Syarif ke rumah sakit yang lebih besar dengan alasan agar ayahnya bisa mendapatkan penanganan yang lebih baik. Saat itulah Syarif tak berdaya menolak keputusan anak-anak.
Siang malam, aku mendampingi Syarif yang terbaring tak berdaya karena terkena stroke. Sering kali kulihat Syarif memandangi wajahku, kemudian ia akan meneteskan air mata.
“Maafkan aku, ya! Aku merepotkanmu.”
“Kang, jangan bicara gitu. Aku ikhlas kok. Bertahun-tahun Akang menyayangiku dengan tulus, masak karena ini Akang harus minta maaf. Aku yang harus minta maaf, nggak bisa jaga Akang dengan baik.” Aku berusaha tegar agar Syarif tenang. Kuusap tangan keriput Syarif. Dalam hati aku berjanji akan selalu menjaganya.
Janji itu kutunaikan dengan mendampinginya melalui hari-hari yang sungguh berat dan melelahkan bagi Syarif. Seringkali aku tak sanggup menahan tangis ketika melihatnya tertatih-tatih mencoba berjalan selangkah demi selangkah seperti yang kulihat hari ini.
Seperti hari ini ketika terapis datang ke rumah untuk melatih gerak Syarif, aku menemaninya untuk memberi semangat padanya. Walau kutahu Syarif harus berjuang keras untuk kembali bisa berjalan.
Tak ingin kuperlihatkan kesedihan melihatnya berjuang mengikuti petunjuk terapis. Walaupun langkah Syarif berat tapi yang kulihat saat ini adalah semangat yang sama dengan  puluhan tahun yang lalu ketika Syarif berkeliling kompleks perumahan menjajakan sayur.
         ***
Hari demi hari, Syarif semakin pulih. Aku berusaha ceria mendampinginya menjalani terapi demi terapi agar ia tetap bersemangat. Sampai akhirnya Syarif dapat berjalan kembali setelah satu tahun menjalani terapi walau masih harus menggunakan tongkat.
“Aki … Aki!” suara cucu-cucu kami menciptakan senyum indah di wajah Syarif. Satu per satu cucu kami yang berjumlah lima orang dipeluknya dengan cara yang sama ketika ia memeluk anak-anak.
“Kalian main dulu, ya! Aki sama Nini mau masak dulu sup yang enak buat kalian. Mau kan?”
“Mau, Aki!” serempak anak-anak dan cucu-cucu kami menjawab
Aku membantu Syarif melakukan sesuatu yang sudah lama tak dilakukannya. Saat itu kulihat semangat Syarif memberikan yang terbaik untuk orang-orang yang dicintainya. Aku melihat Syarif yang sama dengan yang kulihat puluhan tahun yang lalu.
Kebahagiaan semakin bertambah ketika anak, menantu, dan cucu berebutan mengambil sup kaki sapi dari mangkuk besar. Kutatap wajah Syarif yang ceria. Hatiku tergetar oleh cinta yang kembali timbul di usia senja kepada seorang laki-laki yang pandai memasak sup kaki sapi.

                                        SELESAI

Lelaki Tersayang

Nak, mendekatlah
Tawarkan ibumu yang renta ini secangkir teh hangat
Nak, duduklah di sebelah ibumu
Berbicaralah apapun yang kau ingin ceritakan

Nak, Ibu tahu kau sangat takut bulan April datang
Kita hadapi bersama-sama
Walaupun ayahmu tak bersama kita
Jalanilah April ini dengan berani

Nak, tak ada luka yang tak perih
Ibu mengerti perihmu itu kau tahan cukup lama
Sejak April pertama ayahmu meninggalkan kita
Kau tahan luka itu dengan berani

Nak, Ibu tahu kau tak mau terlihat lemah
Kau selalu ingin jadi penjaga ibumu
Kau tak pernah menangis di depan Ibu
Namun Ibu tahu kau sering menangis diam-diam di kegelapan

Keluarkanlah sedihmu, anakku
Jangan kau tahan sendiri
Tak mengapa pundak rapuh Ibu ini jadi tempatmu bersandar
Walaupun ibumu sering terjatuh tapi ibu lebih kuat daripada yang terlihat

Tak selamanya menangis itu milik anak perempuan, anakku
Tak mengapa terlihat lemah di hadapan ibumu ini
Kau pun perlu menghibur diri
Untuk sejenak melupakan April kelabu-mu

Nak, April yang ceria akan datang menghampirimu
Pulihkan hatimu, bergembiralah
Ada saatnya kau menjauh dari Ibu untuk sementara
Ibu akan baik-baik saja

Nak, kau tahu Ibu hanya memilikimu
Hanya kau satu-satunya
Tak ada dua, tiga, apalagi empat
Tak pula ada cadangan untuk menggantikanmu

Rehatlah sejenak, anakku
Hirup udara segar
Kambali lagi April mendatang
Dengan raga dan jiwa yang baru

Ibu takkan letih menunggumu kembali
Doa selalu Ibu panjatkan dalam setiap hembusan nafas
Untukmu lelaki tersayangku yang tersisa
Anak tumpuan harapanku.


Jakarta, 12 Maret 2020

Pendamping Hidup




“Sen, bagus ya model sepatu ini?”
Aku memperlihatkan gambar sepatu di ponsel kepada Sena, suamiku.  Saat itu kami berdua sedang duduk di teras rumah sambil menikmati secangkir kopi yang dibuat oleh Bi Upik. Sena melihat sekilas pada gambar yang kuperlihatkan kepadanya.
“Kayaknya bukan tipe kamu deh model sepatu seperti itu,” ujar Sena.
“Bagus Sen. Udah lama aku ngincer lho. Ke kantor pake ini kan bagus. Kelihatan kalau aku wanita karier. Trus buat kondangan juga bagus. Jadi aku kan bisa ngehits, namanya juga isteri manajer bank besar.”
“Emang sepatu yang biasa dipake selama ini nggak menunjukkan kalau kamu wanita karier? Bukankah yang penting adalah karya bukan aksesoris yang kita pakai? Kalau kondangan sih, nggak perlu juga sepatu runcing dengan hak tinggi gitu juga. Nggak usahlah terlalu memperlihatkan siapa kita juga!” Sepertinya Sena tidak terlalu senang mendengar alasanku kenapa harus membeli sepatu itu.
“Penampilan penting juga, Sen. Biar aku nggak dipandang sebelah mata,” ujarku bersikukuh.
“Masih mending lah sebelah mata, jadi masih dipandang. Kelihatan juga kan?”
“Ah kamu itu nggak pengen isterinya kelihatan cantik,” ucapku kesal.
“Bukan gitu, tanpa sepatu itu pun kamu itu udah cantik banget buatku.”
Perkataan Sena malah membuatku kesal. Apalagi melihat wajahnya yang tanpa ekspresi seakan tak peduli dengan keinginanku. Aku cemberut dan membalikkan badan darinya karena kesal.
Sena masih anteng duduk pada posisi semula sambil terus membaca buku. Bagiku, sikapnya itu sangat mengesalkan padahal  aku tidak memintanya membelikanku sepatu. Aku hanya menunjukkan bahwa aku menyukai sepatu yang ada di aplikasi belanja online.
“Jangan ngambekan! Nanti kubelikan sepatu yang cocok buat kamu biar bebas bergerak. Kamu kan sering pergi-pergi ke luar kota, beli sneaker aja,” ujar Sena.
“Kamu tahu, berapa banyak sneaker yang sudah kupunya?. Masih juga kamu mau nambahin sneaker di rak sepatu aku?” tanyaku semakin kesal.
“Ya kurangin lah penghuni rak sepatumu, Jeng. Jangan biarkan sampai numpuk-numpuk gitu!”
“Dibuang gitu? Masih bagus-bagus semua!” bentakku dengan volume suara yang meninggi.
“Siapa sih yang nyuruh kamu membuang sepatu, sayangku? Kemarin kulihat anaknya Bi Upik pergi ke sekolah dengan sepatu yang robek di bagian depan, sol bawahnya juga kulihat sudah lepas. Kayaknya ukuran kakinya sama dengan kamu, jadi alangkah baiknya kalau kamu kasih salah satu sepatumu ke dia. Pasti bakalan lebih bermanfaat,” pinta Sena.
“Ya sudahlah, Sen! Kamu memang keberatan aku beli high heel. Apapun, aku tetap akan beli sepatunya. Pake uang bonusku aja. Terserahlah kalau kamu mau ngasih sepatuku ke anaknya Bi Upik.”
Aku bangkit dari duduk. Tanpa melihat lagi ke arahnya, aku meninggalkan Sena sendirian di teras depan. Aku benar-benar tak peduli lagi pertimbangan Sena. Aku benar-benar menginginkan sepatu berhak tinggi yang dijual secara online.
                                  ***
Hatiku terasa lega ketika petugas ekspedisi sudah mengantarkan sepatu impian dengan selamat ke ke rumahku. Sudah terbayang olehku betapa anggunnya diriku ketika sepatu impian itu kupakai. Teman-teman kantor akan memuji ketika sepatu itu kukenakan untuk pertama kalinya.
Tak rugi rasanya aku menghabiskan lebih dari setengah bonus tahunanku untuk membeli sepatu bermerek yang banyak dipakai oleh banyak selebritis tanah air. Kupandangi sepatu cantik berwarna merah cabe berhak dua belas centimeter dengan perasaan puas dan bangga.
Aku berlenggak lenggok ke sana ke mari menggunakan sepatu baru. Mulai dari kamar tidur ke ruang tamu. Begitu terus berulang-ulang. Bahagia tak terkira di hati.
“Sepatunya bagus sekali, Bu,” puji Bi Upik melihatku berlenggak lenggok.
“Iya, Bi. Harganya aja mahal banget. Lima kali lipat gajinya Bi Upik,” terangku tanpa diminta.
Bi Upik berdecak kagum mendengarnya. Aku hanya tersenyum melihat wajah Bi Upik yang takjub mendengar betapa mahalnya harga sepatu yang sedang pakai.
“Bibi hati-hati ya! Jangan dilap sembarangan!”
“Iya, Bu. Saya nggak berani juga nyentuh, takut rusak. Tangan saya yang kasar ini kayaknya nggak cocok megang sepatu ibu,” ujar Bi Upik.
“Ya enggak gitu juga, Bi. Hati-hati saja!” balasku.
“Kalau di kampung saya uang segitu bisa buat beli tanah, Bu,” sambung Bi Upik.
“Hahaha, Bi Upik bisa aja.”
“Saya ke warung dulu ya, Bu. Mau beli telur, sudah habis. Bapak minta dibuatkan dadar,” pamit Bi Upik.
Aku mengangguk. Bi Upik meninggalkan diriku yang masih sibuk dengan sepatu baruku.
Tiba-tiba Sena muncul di depanku. Matanya tertuju ke bawah memperhatikan sepatu baruku.
“Akhirnya kamu beli juga, Jeng. Bagus memang sepatunya tapi hati-hati, ya! Tinggi banget dan runcing. Pegang tanganku aja, boleh kok.”
Sikap seperti inilah yang membuatku selalu jatuh cinta dengan Sena. Walaupun sebelumnya ia tidak menyetujui keinginanku membeli sepatu tapi tak pernah sekalipun ia menyalahkanku ketika aku berkeras memenuhi keinginanku.
“Sneaker mana yang boleh diberikan ke anaknya Bi Upik?” tanya Sena.
“Yang hitam aja, Sen. Kalau buat sekolah kan cocok,” jawabku. Sena tersenyum. Ia mencium pipiku.
“Terima kasih, Sayang! Mudah-mudahan kamu sering membagikan barang yang nggak sering kamu pakai ke orang yang lebih membutuhkan, ya.”
Aku tersenyum mendengar permintaannya. Sering sekali Sena memintaku untuk memberikan baju, sepatu atau tas yang jarang kupakai untuk orang lain. Sayangnya aku sering beralasan belum ada waktu untuk mengumpulkannya. Sena tak pernah bosan mengingatkanku walau sering kuabaikan.
Hari ini aku berjanji akan mulai mengumpulkannya karena Sena tak marah mengetahui isterinya tetap membeli sepatu walau sudah dicegahnya. Aku menghargai kesabarannya menghadapiku.
                                             ***
Sena menggenggam tanganku ketika kami berdua berjalan dari tempat parkir mobil menuju ke gedung tempat dilaksanakannya resepsi pernikahan salah satu teman kami. Aku berdandan maksimal untuk datang ke resepsi ini karena aku tahu teman-temanku pasti akan datang dengan penampilan yang wah dengan barang-barang bermerek.
Langkah kakiku agak tersendat-sendat karena sebenarnya selama ini aku tak terbiasa menggunakan sepatu berhak tinggi dan runcing. Makanya bantuan tangan Sena sangat kubutuhkan untuk menuntunku agar aku tak terpeleset.
“Hei Ajeng, Sena, apa kabar?”
Tissa, teman kuliahku yang juga mantan pacarnya Sena menyapa kami berdua. Otakku langsung bekerja menghitung berapa jumlah uang yang melekat di badan Tissa. Aku hanya bisa berdecak kagum dalam hati karena semua barang yang melekat di badannya kutaksir seharga satu mobil kelas menengah di tanah air.
“Sena, kamu semakin mature. Tambah ganteng pula,” puji Tissa.
“Ajeng pandai merawatku,” ujar Sena.
Aku tersenyum kesal mendengar pujian Tissa kepada suamiku. Aku merasa Tissa selalu genit kalau bertemu Sena.
“Kami permisi, ya. Mau salaman dulu dengan mempelai,” pamit Sena sambil menarikku.
Aku tersenyum setengah mengejek. Kudekatkan badanku ke badan Sena dengan maksud membuat Tissa kesal. Rasanya aku puas melihat Tissa memandangku dengan iri. Terlebih penampilanku tak kalah dengan penampilannya.
Setelah menyalami kedua mempelai, aku berjalan di belakang Sena menuju ke bawah panggung. Entah karena aku sedang melamun atau karena konsentrasiku buyar karena sibuk memikirkan Tissa, kaki kanankku terpeleset ketika menuruni anak tangga panggung. Aku lupa bahwa aku mengenakan sepatu berhak tinggi.
Pada saat itu Sena berada di belakangku sehingga tak sempat menahan tubuhku. Seketika badanku terjatuh ke bawah tangga. Sepatu mahalku terlepas dari kaki.
Sena bergegas turun dari panggung. Ia berjongkok dan memegang tanganku. Pada saat itu, hanya rasa malu yang mendera. Aku lupa kalau kakiku sakit.
Sena membantuku berdiri. Kupungut sepatu yang terlepas. Dengan terpincang-pincang aku berjalan perlahan dipapah Sena.
“Sudah jangan nangis, Jeng! Kita ke dokter, ya! Biar kakinya dirontgen.”
“Aku nggak mau dirontgen, Sen. Aku nggak apa-apa kok. Cuma keseleo sedikit aja,” ujarku.
“Aku takut tulang kakimu ada yang patah, Jeng!” ujar Sena sambil terus menyetir.
“Aku nggak apa-apa!” bentakku. Akhirnya Sena menyerah. Ia membelokkan mobil menuju ke rumah.
                                    ***
Sena membukakan pintu mobil untukku. Dengan susah payah aku mencoba keluar mobil. Setelah berdiri di samping pintu, aku mulai merasakan kalau kaki kananku sakit dan tak bisa kugerakkan.
“Sena, kakiku lumpuh. Aku nggak bisa jalan. Sakit banget ini!” ujarku dengan panik. Air mata bercucuran di pipiku. Apalagi ketika kulihat telapak kaki kananku membengkak, tangisku semakin kencang.
Tanpa berkata-kata lagi, Sena memasukkan aku ke dalam mobil kembali. Ia menjalankan mobilnya menuju ke rumah sakit.
Kupandangi wajah Sena dengan perasaan menyesal. Andai kata aku menuruti kata-katanya, kejadian seperti ini takkan pernah terjadi.
“Sabar ya, Sayang!”
Sena mengusap kepalaku lembut. Tak ada satu kata pun yang keluar dari bibirnya yang menyalahkanku karena tidak mendengar sarannya untuk membeli sepatu berhak tinggi. Ia terus menenangkanku. Betapa malu hatiku melihatnya terus bersikap baik.
“Sena, kenapa kamu baik kepadaku padahal aku selalu menyusahkanmu?” tanyaku terisak.
“Karena kamu juga memberiku banyak kebahagiaan,” jawab Sena.
Mendengar jawaban Sena, aku semakin terisak. Di luar sepatu, aku tak salah memilih pendamping hidup.