Tampilkan postingan dengan label Rini Afri. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rini Afri. Tampilkan semua postingan

Anakku (Tidak) Belajar

Tarra, anak lelakiku yang duduk di bangku kelas akhir sekolah dasar berkata kalau ia akan belajar malam ini sehingga ia menutup pintu kamarnya. Ia memberikan isyarat tak ingin diganggu siapa pun. Aku menerima keputusannya dengan senang hati. Sikapnya membuat rasa stres-ku berkurang sedikit.

Dari luar kamarnya terdengar bunyi tombol ditekan oleh anakku. Kemudian dari balik jendela kecil kaca yang berada di atas pintu kamar, sebuah cahaya terang memancar. Sepertinya ia menyalakan lampu belajarnya menandakan kalau Tarra serius belajar.

Tak berapa lama aku membuka pintu kamar Tarra dengan maksud ingin memberinya semangat. Ternyata yang kulihat tidak sama dengan apa yang kubayangkan. Kulihat Tarra sedang menendang-nendang bola futsal di kamarnya. Entahlah, aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Apakah memarahinya ataukah kubiarkan saja?

Tamat

Rindu

Ruang ini sunyi walaupun banyak orang berlalu lalang
Hati ini sepi menantimu yang tak kunjung datang
Detik berganti menit mengisi hari
Menyiksaku dalam penantian tak bertepi

Sebuah pertanyaan mendera kalbu
Apakah dirimu baik selalu?
Betapa hanya cemas yang kurasakan
Menyimpan penyesalan tiada akhir kenapa rindu ini tak kusampaikan

Kunanti dirimu di ruang yang sama
Diantara rasa pedih dan lara
Demi satu asa yang menggelora di dalam diriku
Kau akan kembali padaku




Kau Pikir Hanya Kau?

Kau pikir hembusan angin hanya menggoyangmu?
Kau pikir guyuran hujan hanya membasahimu?
Kau pikir deru petir hanya menyergapmu?
Kau pikir sapuan ombak hanya menenggelamkanmu?
Kau pikir dunia ini kejam hanya kepadamu?
Aku, dia, dia, dia, dan dia dia yang lain pun sama
Namun mengapa hanya kau yang panik
Hanya kau yang gugup
Hanya kau yang takut
Hanya kau yang berlindung
Hanya kau!

Utang Bapak


 “Mas, kapan mau bayar utang? Udah setahun lho, jawabnya kok selalu besok-besok terus,” ujar seorang laki-laki kepada bapakku di ruang tamu.

Malam itu aku sedang belajar untuk tes masuk sebuah perguruan tinggi yang semua biaya kuliahnya ditanggung pemerintah. Aku memang sengaja memilih sekolah seperti itu untuk meringankan beban Bapak.

Aku mendengar dengan jelas percakapan Bapak dengan tamunya karena kamarku berada di depan dan pintunya berhadapan langsung dengan ruang tamu. Apalagi kamarku tak berpintu, hanya ditutupi gorden.

Akhir-akhir ini kulihat Bapak sedang kesulitan dalam hal keuangan. Apalagi ditambah utang yang menumpuk karena dulu Bapak banyak meminjam uang untuk modal pemilihan lurah di kampung kami. Jumlahnya sangat banyak sampai bapak menggadaikan rumah yang kami tempati.

Memang Bapak menang dan menjadi lurah, tapi utang yang terlanjur menumpuk sulit dibayar. Penghasilan Bapak sebagai lurah tak cukup banyak untuk menutupi utang.

“Kalau Mas Tarjo nggak bayar utang, terpaksa rumah ini saya ambil. Saya masih baik kali ini, masih mau kasih kesempatan. Tiga bulan lagi saya datang .”

Setelah itu aku tidak mendengar lagi percakapan antara Bapak dengan tamunya. Tak terbayangkan dari mana Bapak dapat uang untuk membayar utangnya. Bagaimana hidup kami kalau sampai rumah yang sudah kami tinggali bertahun-tahun sejak aku kecil berpindah tangan kepada orang lain. Di mana kami akan tinggal?

Kepalaku sungguh pening memikirkan keadaan keluargaku saat ini. Konsentrasiku terpecah karena memikirkan kata-kata tamu tadi. Aku adalah anak sulung, sehingga  harus bertanggung jawab atas keluargaku. Aku sudah tak sanggup lagi belajar karena pikiranmu melayang ke mana-mana. Malam itu akhirnya aku tertidur dengan segala permasalahan yang bermain di kepala.
                              ***
Selama tiga bulan aku ikuti proses penerimaan mahasiswa baru dengan harapan aku tetap bisa melanjutkan kuliah Walau ekonomi keluarga pas-pasan, aku tetap bertekad untuk bisa lolos seleksi. Harapanku tinggi agar dapat membantu Bapak dan Ibu keluar dari masalah ekonomi. Juga agar adik-adikku dapat sekolah setinggi-tingginya.

Akhirnya hari yang dinanti tiba. Waktu pengumuman tes seleksi datang juga. Dengan perasaan yang tak karuan aku membuka pengumuman pada website di warnet yang berada dekat rumahku. Tanganku gemetar memainkan mouse komputer untuk mencari laman pengumuman.

Mataku nanar menatap huruf-huruf kecil yang berisi nama-nama orang yang lolos menjadi calon mahasiswa Sekolah Tinggi Idaman Semua Orang disingkat STISO. Degup jantungku serasa berhenti ketika nomor ujianku bersanding dengan namaku, Satria Pratama, sebagai peserta seleksi yang lolos dan diterima sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Idaman Semua Orang.

Setelah memastikan bahwa aku benar-benar lolos, aku berlari kencang menuju rumah. Rasanya berita ini patut diberitakan kepada seluruh penghuni rumah.  Aku ingin memberikan sedikit kesejukan ditengah suasana panas yang kerap terjadi di rumah.

“Pak, Bu, alhamdulillah aku lolos masuk STISO,” ujarku dengan gembira. Saat itu Bapak dan Ibu sedang duduk di teras rumah. Tak ada obrolan diantara keduanya.

“Ya Allah, alhamdulillah.”
Tiba-tiba terdengar suara tangisan Ibu. Tangisannya cukup keras sehingga beberapa orang lewat menatap kami bertiga dengan heran.

“Nggak ada apa-apa. Istriku nangis bahagia,” begitu perkataan bapak kepada setiap orang lewat yang heran melihat Ibu.

“Beneran?” tanya Bapak setengah tak percaya.

Kuperlihatkan pengumuman yang tertera namaku di HP. Kebetulan aku memotretnya tadi sebelum aku pulang ke rumah. Setelah kutunjukkan, barulah Bapak percaya kalau aku memang lolos seleksi.

“Bapak seneng banget, Sat. Akhirnya kamu bisa juga kuliah. Alhamdulillah. Belajar yang bener ya, biar cepet lulus,” ujar Bapak.

“Doain aja, Pak,” jawabku.

“Oya, Bapak tahu kemarin kamu dengar percakapan bapak dengan Pak Kardi. Nggak usah dipikir ya. Bapak sudah punya uang untuk membayar utang. Kamu fokus belajar saja.”

Aku mengangguk. Dalam hati aku berpikir keras , dari mana Bapak mendapatkan uang untuk membayar utang. Ingin sekali aku bertanya tapi aku nggak ingin merusak suasana yang sedang bahagia.
                               ***
Aku menjalani kuliah dengan penuh semangat. Aku berusaha selalu mendapat nilai yang bagus agar aku menyelesaikan kuliah tepat waktu sehingga bisa lulus tepat waktu. Aku berharap bisa segera membantu ekonomi keluarga.

Kuhabiskan waktu selama kuliah dengan belajar. Jarang sekali aku pergi hangout bareng teman-temanku. Tak masalah bagiku dianggap kuper oleh teman-temanku. Tujuanku datang ke Jakarta dari kampung memang hanya untuk kuliah, bukan bersenang-senang.

Akhirnya masa empat tahun kuliah dapat kuselesaikan dengan baik. Aku lulus dengan nilai terbaik. Keluargaku kembali diliputi kegembiraan atas kelulusanku ini, atau tepatnya Bapak lega karena aku bisa segera bekerja dan mendapatkan gaji.

Aku ditempatkan di kota yang jauh dari keluarga, di luar pulau Jawa. Bagiku ini pengalaman baru yang menarik. Bapak dan Ibu mengantarkan kepergianku dengan penuh haru.

Ada harapan baru yang dibebankan di pundakku untuk seluruh keluargaku. Aku tahu diri bahwa aku harus membiayai keperluan sehari-hari seluruh anggota keluarga karena Bapak sudah pensiun jadi lurah. Aku menerimanya dengan ikhlas, toh utang Bapak sudah lunas.

Ibu menangis melepasku pergi. Bapak terlihat tegar. Begitu juga kedua adikku.

“Belajar yang giat, ya. Kalau ada perlu apapun telpon aja mas. Sering-sering bantu Ibu!” pesanku kepada adik-adik. Kulihat tangis Ibu semakin keras mendengar perkataanku kepada adik-adik.

“Sudah, Bu. Jangan nangis. Aku pasti sering telepon kok. Kapan-kapan aku ajak Bapak, Ibu dan adik-adik naik pesawat,”pesanku.

Kucium tangan Bapak dan Ibu. Berat memang meninggalkan mereka, tapi tugas negara memanggil, aku dan keluarga harus ikhlas.

Kutinggalkan mereka berempat dengan senyum. Aku tak tahu apakah Ibu masih menangis atau tidak. Aku berusaha untuk tidak  lagi  menengok ke belakang, takut langkahku menjadi berat. Kuusap air yang menetes di pipi dengan ujung kemeja.

Hatiku penuh dengan rasa penasaran seperti apakah rasanya melakukan perjalanan dengan pesawat . Hari ini adalah kali pertama aku naik pesawat . Hari ini adalah awal dari tahap kehidupanku selanjutnya. Bismillah.
                                 ***
“Sat, Bapak mau bicara!”
Bapak mendatangiku setelah aku selesai salat Isya di kamar. Aku melipat  sajadah dan menyimpannya di ujung kasur.

“Ada apa, Pak?” tanyaku.

“Duduklah!”

Bapak duduk di pinggir kasur. Aku pun mengikuti bapak duduk di pinggir kasur. Aku dan Bapak duduk berhadapan di kasur.

Saat itu kebetulan aku sedang pulang ke kampung karena aku mendapat tugas untuk mencari data di kota sekitar kampung halamanku. Kusempatkan untuk mampir ke rumah menengok keluargaku.

“Bapak mau minta tolong,” ujarnya pelan.

“Apa, Pak?” tanyaku.

“Kalau kamu punya uang tolong lunasi utang bapak ke Pak Darma.”

“Berapa, Pak?”

“Seratus juta.”

Jawaban Bapak membuatku kaget. Kugaruk kepala walaupun tak gatal. Aku berusaha bersikap tenang.

“Utang apa lagi, Pak? Bukannya kata Bapak dulu utangnya sudah lunas?”tanyaku heran.

“Sst, jangan keras-keras! Nanti ibumu denger.”  Telunjuk bapak menempel di bibirnya.

“Jadi, waktu itu Bapak melunasi utang itu ya dari hasil utangan ke Pak Darma. Sekarang udah jatuh tempo,” ujar Bapak.

“Ya Allah, Bapak!”

“Kamu punya, kan?”

“Ya ada sih, Pak. Aku nabung setiap bulan, tapi juga nggak sebanyak itu ….”

“Nggak apa-apa, nanti sisanya kamu cicil ya!” potong Bapak.

Setiap bulan sedikit demi sedikit uang kutabung untuk keperluan adikku sekolah atau kuliah. Aku juga ingin sedikit memperbaiki rumah di kampung agar tidak bocor. Sebagiannya akan kupergunakan untuk membeli keperluanku sendiri. Utang Bapak menghancurkan keinginanku saat ini.

Sayangnya aku tak tega melihat muka Bapak yang penuh dengan harapan. Aku juga tak ingin Bapak mendapatkan masalah karena utang ini. Dengan berat hati kupenuhi permintaan Bapak untuk membayar utangnya sebagian. Sisanya akan kucicil kemudian.

“Terima kasih banyak, Sat. Kamu memang anak kebanggaan bapak.”
Bapak memelukku erat. Aku hanya tersenyum kecil melihat Bapak yang merasa lega karena bebannya selama ini dibawanya kemanapun ia pergi.

Aku tersenyum kecut. Bulan-bulan selanjutnya aku harus semakin berhemat karena aku berjanji kepada Bapak untuk mencicil utangnya.
Mungkin ini adalah jalanku untuk berbakti kepada Bapak. Masalah rumah, Ibu dan adik-adik akan kupikirkan belakangan.


                                              ***













Sendiri

Sunyi adalah teman setiaku
Dia tak pernah memintaku 'tuk berbicara
Sepi adalah darahku
Dia tak pernah memaksaku 'tuk tertawa
Hening adalah jiwaku
Dia tak pernah menuntutku 'tuk jadi sempurna
Sendiri adalah nafasku
Karena ku tak sudi terluka

Berapakah Harga Dirimu?

Berpakaian necis seolah orang penting
Bertindak heroik seakan ada hal yang genting
Ketika ada yang penting kau menghilang
Pada saat pembagian jatah, kau berteriak lantang
Harga diri sudah kau injak di alas kaki
Tak peduli lagi pada orang yang meneriaki
Sampai kapan kau akan terus begini?
Mungkin sampai kau merasa keinginanmu terpenuhi
Tapi kapan?
Ya kapan-kapan


Lelah Adalah Inspirasiku

Aku terkurung dalam bangunan yang penuh dengan selasar

Segelintir orang berteriak depresi

Terkurung dalam ketidakpastian ruang dan waktu

Segelintir lainnya menangis meratapi kenyerian hebat melanda

Raungan dan teriakan berbaur tanpa bisa dikendalikan

Orang dengan baju putih mencoretkan pena sambil berbicara dengan orang-orang yang sedang gundah

Petugas lainnya hilir mudik mengusahakan yang terbaik dalam lelah berkelanjutan

Aku, yang harus lebih sabar dari semua orang, berdiri di samping ‘gravitasi hidupku'

‘Sang Gravitasi' sedang terkulai menunggu jawaban atas ketidakpastian ruang dan waktu

Kuperhatikan orang-orang yang lalu lalang, kemudian kuciptakan kaveling di otak dan pikiranku

Kucatat, suatu saat akan kutuangkan dalam kisah mendalam tentang perasaan mereka berada dalam kecemasan

Tiga ratus enam puluh menit terkurung dalam ruangan itu, aku memahami betapa cemasnya orang menunggu kepastian apa yang akan terjadi selanjutnya pada hidupnya atau hidup orang yang dicintainya atau 'pusat kehidupan' keluarganya

Selama itu pula aku memahami betapa lelah dan tertekannya para petugas yang dituntut tetap ramah kepada orang-orang yang sedang depresi

Yang kulakukan saat itu adalah menumpahkan pikiran dalam tulisan sederhana dan tentu saja tak seindah garis pena para pujangga

Satu hal yang kurasa adalah menanti itu merupakan proses yang sangat melelahkan

Berjuanglah wahai jiwa-jiwa yang lelah, keluarkan segala gundahmu
Bertahanlah, lakukan yang terbaik yang kau sanggup

Kuberikan juga bunga mawar merah untukmu para petugas yang masih sabar memberikan harapan atas hidup orang lain

Di akhir bait, pertanyaan yang ingin kusampaikan adalah mampukah aku bertahan jika aku adalah orang yang berbaju putih

Somewhere, 14 Januari 2020

Purnama Terakhir


“Tya, kamu lagi di mana?”
“Udah makan belum? Jangan sampai telat makan, nanti kamu sakit. Ayah juga kan yang repot.”
“Kalau keluar malam, jangan lupa pakai jaket!”
Selalu dan selalu Ayah menelepon atau video call aku. Belum sempat aku berpindah dari kegiatan yang satu ke kegiatan yang lain di kampus, Ayah kembali menelepon. Biasanya ia akan bertanya dan bicara hal-hal yang menurutku tak penting bahkan bisa jadi itu nasihat yang diulang-ulang terus.
Entah apa yang ada di pikiran Ayah, kenapa ia begitu protektif.  Sepertinya Ayah tidak mempercayaiku. Padahal aku selalu berusaha membanggakan Ayah. Aku selalu menjadi yang terbaik dari mulai duduk di bangku sekolah dasar sampai kuliah di universitas terbaik di negeri ini.
Aku tinggal berdua saja dengan Ayah karena Ibu sudah meninggalkan kami berdua ketika aku masih berusia lima tahun. Ibu pergi entah ke mana. Sejak itu ayahlah yang mengurusi sampai saat ini.
Tak pernah terpikir di benakku untuk mencari Ibu. Aku merasa sudah cukup mendapat kasih sayang dari Ayah yang bertindak juga sebagai ibu bagiku.
Tuut … tuut
Ayah calling …
Ayah ngapain lagi sih. Tadi pagi ia sudah meneleponku.  Ayah hanya bertanya nanti malam mau dimasakin apa.
“Ayah, Tya kan udah bilang kalau Ayah nggak perlu masak. Capek kan pulang kerja. Nanti Ayah sakit. Tya juga yang repot.” Aku bicara menirukan kata-kata Ayah kalau menasihatiku.
“Bukan itu, Tya,” ujar Ayah.
“Apa Yah?”
“Mau dibawain makanan apa? Sekalian Ayah pulang kantor, lewat Food Court nanti.”
“Ya ampun, Ayah. Nggak usahlah, Tya beli aja di kampus,” jawabku.
“Kok gitu?” tanya Ayah.
“Tya pulang agak malam. Ada tugas yang harus diselesaikan besok pagi.
“Jadi Ayah sendiri dong di rumah,” ujar Ayah merajuk.
“Ah Ayah, kayak anak kecil aja.” Agak kesal juga aku menghadapi tingkah Ayah. Ini dilakukannya setiap hari.
“Ya udah, ya. Tya mau masuk kelas dulu.”
“Lha kan masih ada lima belas menit lagi.” Sulit memang membuat Ayah menyerah. Ayah tahu pasti kapan saja aku berkegiatan. Tak ada satupun yang terlewat dari catatannya.
“Ah Ayah. Tya kan mau baca-baca dulu materinya sebelum dosen masuk. Udah ya, Ayah.  Nanti malam kalau ngantuk tidur duluan aja. Ayah nggak usah nunggu Tya,” ujarku.
“Oke, Nak.”
Kututup handphone. Aku tahu Ayah tidak akan pernah atau menutup handphone-nya sebelum aku menutup terlebih dahulu.
Aku berjalan menuju kelas. Mata kuliah pertama akan segera dimulai. Rugi rasanya kalau aku terlambat.
                             ***
Hari telah malam ketika aku meninggalkan kampus. Aku berlari mengejar kereta terakhir yang akan membawaku pulang.
Ketika turun dari motor yang mengantarku sampai di depan pagar rumah, rasa kantuk mulai menyerang. Secepatnya aku masuk ke dalam pekarangan.
Aku membuka pintu perlahan. Dengan mengendap-ngendap aku masuk ke dalam rumah yang sebagiannya sudah gelap.
“Baru pulang, Tya?”
Aku kaget. Rupanya Ayah masih berjaga menungguku. Ayah bangkit dari duduknya dan menghampiriku.
“Ya ampun, Ayah. Kenapa sih harus nunggu Tya. Kan udah malam, Yah.”
“Ayah hanya memastikan saja kamu pulang selamat, Nak,” ujarnya.
“Ayah, Tya Aman kok. Malam ini di luar terang sekali. Tya pulang ditemani bulan purnama.”
Ayah menepuk pundakku.  Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Betapa Ayah sangat protektif.
“Oya, ibumu meninggalkanmu dan Ayah saat bulan purnama juga,” ujar Ayah dari pintu kamar. Setelah itu ia masuk ke dalam.
Aku terdiam sejenak. Ayah takut kehilangan diriku. Menurutku Ayah sangat berlebihan. Aku berjalan menuju kamarku yang letaknya bersebelahan dengan kamar Ayah. Aku harus istirahat karena besok aku harus bangun pagi supaya tak kesiangan sampai kampus.
                             ***
“Bangun, Nak!”
Rasanya enggan sekali mata ini terbuka. Aku masih belum mau bangun. Masih ingin menikmati hangatnya tempat tidur.
“Tya, sarapan dulu. Ayah mau berangkat kerja nih,” ajak Ayah sambil menepuk kakiku.
“Ayah, Tya masih ngantuk. Lima belas menit lagi, ya?”
“Jangan ditunda-tunda, Nak. Ayo bangun, Ayah tungguin. Kita sholat Subuh berjamaah. Abis itu kita  sarapan bareng. Udah dibikinin nasi goreng kunyit.”
“Aduh Ayah, sarapannya kok pagi banget sih,” ujarku kesal.
“Ayah harus sampai kantor pagi. Ada yang harus diselesaikan,” jawab Ayah sambil tersenyum.
Akhirnya aku bangkit dari tempat tidur. Kurentangkan tangan ke atas. Rasanya nikmat sekali. Itu sudah menjadi kebiasaanku sejak kecil ketika bangun tidur.
Setelah mandi, aku menghampiri Ayah di kamarnya  untuk sholat berjamaah. Setelah itu kami berdua sarapan bersama. Sejak Ibu pergi, Ayahlah yang setiap hari memasak untukku.
                           ***
Hari sudah gelap ketika semua aktivitas di kampus berakhir. Bulan yang bulat dan bundar menghiasi langit yang semakin bercahaya. Aku memesan ojek online di sekitar kampus. Beberapa saat kemudian si pengemudi ojek mengirimkan pesan kepadaku.
Pengemudi ojek: Saya sudah di lokasi
Aku: Tunggu sebentar
Aku berjalan menuju tempat yang kupilih untuk penjemputan. Aku melihat motor dengan nomor yang sama dengan ojek yang kupesan. Aku mendekat ke arah motor itu. Langkahku terhenti melihat pengemudi ojek yang kupesan  sedang berkomunikasi dengan seseorang. Aku tak ingin mengganggu. Kutunggu di samping motornya.
“Tunggu, ya Sayang. Sebentar lagi Bapak pulang,” ujarnya.
Sekilas kuintip dari balik punggung si pengemudi ojek, seorang anak perempuan dengan wajah mungil sedang berbinar-binar di layar handphone si pengemudi ojek yang kutahu namanya Pak Kasim. Aku merasa seperti Ayah yang sedang video call denganku. Ada rasa hangat menjalari hatiku.
“Eh, maaf Mbak. Sudah lama nunggu ya?” Pak Kasim. Sepertinya ia baru menyadari keberadaanku.
“Belum kok, Pak,” jawabku
“Maaf, ya Mbak,” ujar Pak Kasim  sambil memberikan helm kepadaku. Setelah memasang helm di kepala, aku menaiki motor.
“Tadi anaknya, Pak?” tanyaku diantara deru suara kendaraan di jalan raya.
“Iya, Mbak. Umurnya masih lima tahun. Dia nggak mau belajar kalau yang nyuruh ibunya. Harus saya yang turun tangan. Sekali lagi maaf, ya Mbak,” ujar Pak Kasim.
“Nggak apa-apa kok, Pak. Saya juga punya bapak yang setiap saat nelpon. Sampai kadang saya suka kesal.”
“Kok kesal, Mbak?” tanyanya.
“Soalnya bapak saya sering banget nelpon saya. Sering nggak kenal tempat waktu. Padahal tiap pagi saya selalu kasih tahu apa kegiatan saya seharian,” jawabku dengan suara meninggi. Aku heran juga kenapa aku harus meninggikan suara.
“Maaf, ya. Kalau anak saya nggak suka saya telepon, aduh nggak kebayang deh. Saya pasti sedih banget. Satu-satunya alasan kenapa saya bersemangat nyari uang, ya anak saya itu.”
“Iya sih, Pak. Saya paham, bapak saya itu sayang banget sama saya tapi ya nggak berlebihan seperti sekarang ini,” balasku.
“Sekali lagi maaf, apa Mbak masih punya ibu?”
Aku terdiam mendengar pertanyaan . Aku paling benci kalau ada orang yang bertanya tentang ibuku. Tak ada bahan yang bisa kuceritakan tentang ibu.
“Ibu sudah nggak ada, Pak. Ia pergi meninggalkan saya dan Ayah,” jawabku pelan.
“Itulah kenapa bapak Mbak sering menelepon. Ia kesepian, Mbak.
Mendengar perkataan Abang Ojek, aku tersentak. Betapa selama ini aku tak pernah memperhatikan Ayah. Sepertinya benar yang diucapkan Pak Kasim kalau Ayah kesepian, makanya Ayah sering sekali menghubungiku. Ayah butuh teman untuk berbagi.
“Pak, turunin saya di depan gang aja,” pintaku kepada Pak Kasim.
“Lha kan rumah Mbak masih agak jauh,” ujar Pak Kasim sambil menghentikan laju motornya.
“Nggak apa-apa, saya pengen olah raga, Pak. Menikmati cahaya bulan purnama,” jawabku. Malam ini bulan terlihat bundar sempurna dan indah di mataku.
“Jangan lupa bintang lima ya, Mbak!” pinta Pak Kasim ketika aku berjalan menjauhinya.
“Nggak ada yang bintangnya delapan?” candaku sambil mengacungkan jempolku. Pak Kasim hanya tersenyum membalas candanku.
Aku berjalan menyusuri gang yang menuju ke rumahku. Sengaja aku minta berhenti agak jauh dari rumah agar suara motor tak mengagetkan Ayah. Biasanya kalau sudah malam begini, Ayah menungguku pulang di ruangan depan. Ayah akan membuka pintu jika mendengar suara motor.
Aku berjalan dengan perasaan riang. Sesekali kepalaku menengadah ke langit menikmati bulan purnama yang sangat terang. Malam ini aku ingin menikmati bulan purnama berdua saja dengan Ayah. Malam ini aku akan memasak untuk makan berdua. Ah, tak pernah kusadari kalau cintaku kepada Ayah begitu besar.
                                               ***
“Ayah … Ayah,” aku memanggil Ayah. Malam ini tidak seperti biasanya, Ayah tidak menungguku di ruang depan.
“Ayah … Ayah.”
Aku mencari Ayah ke seluruh ruangan. Dari mulai kamar, dapur, kamar mandi, ruang belakang tak kutemukan Ayah. Aku mulai panik. Sesaat kesadaranku muncul, biasanya kalau malam purnama begini Ayah sering duduk di ruang kecil yang berada di atas rumah. Tempat itu  biasanya kupakai untuk menjemur pakaian.
Aku berlari menaiki tangga yang terbuat dari papan  satu per satu. Tak sabar hati ini ingin sekali bertemu dengan Ayah untuk meminta maaf. Aku akan berjanji untuk selalu menjaganya.
“Ayah … Ayah …,” lidahku seakan kelu melihat tubuh Ayah tergeletak di lantai. Wajahnya tampak pucat. Tubuh Ayah tak bergerak sama sekali.
Kudekati tubuh Ayah. Kupanggil namanya, Ayah tak bergeming. Kugoncangkan badannya, ternyata sudah kaku.
“Ayah, buka mata Ayah!” ujarku sambil menepuk-nepuk pipinya. Tetap tak ada jawaban.
“Ayah ….”
Tetap tak ada jawaban. Kesadaranku hilang. Aku berharap ini hanya mimpi belaka. Sayangnya aku terbangun ketika rumahku telah dipenuhi orang yang ingin menyampaikan duka citanya. Aku seperti masuk ke dalam lorong gelap yang dingin dan sunyi. Entah bagaimana aku akan menjalani hidupku ke depan tanpa sosok Ayah.  Aku sungguh tak tahu. Semuanya gelap dan sunyi..
                                               ***
*Cerpen ini dibukukan dalam Antologi Cerpen: The Moon on The Darkest Night, Penerbit: Ellunar 

Menjenguk Orang Sakit

Apakah kamu pernah sakit sampai dirawat di rumah sakit? Mudah-mudahan belum, ya. Atau mungkin kamu pernah menjenguk orang sakit di rumah sakit atau juga menunggu orang yang sakit? Nah semua pertanyaan ini, saya pernah mengalami ketiga peristiwa itu.
Saya ingin membahas tentang perilaku orang yang menjenguk orang sakit di rumah sakit. Kalau kita pernah atau sering pasti kita bisa mencatat beberapa perilaku orang menjengukorang sakit (belibet amat ya bahasanya).

Tipe pertama, orang datang menjenguk murni untuk memberi semangat dan mendoakan si pasien. Tak ada nasihat yang keluar dari mulutnya, hanya doa dalam hati dan kata-kata yang membesarkan hati pasien dan keluarganya.

Tipe kedua, orang yang sok tahu, hehehe. Banyak banget yang kayak gini. Contoh template kalimatnya adalah, “ Coba deh minum ramuan ini, banyak yang sembuh. Apapun penyakit yang diderita pasti sembuh. Itu Pak Dawet juga sembuh minum ramuan biji A dicampur dengan buah B. 
Mungkin benar, kalau untuk orang yang sehat ramuan itu akan menambah kebugaran, tapi untuk orang yang sedang menjalani perawatan medis, please atuh lah jangan sok tahu. Ketika seorang pasien sampai terbaring di rumah sakit, keluarga kan sudah memutuskan itulah yang terbaik bagi si pasien. Jangan nambah-nambahin atau ngerecokin. Bayangkan kalau saran orang itu diikuti, terus ternyata ramuannya bertentangan dengan obat yang diberikan dokter, gimana coba kalau si pasien bukannya sembuh malah tambah parah sakitnya, mau tanggung jawab?

Tipe ketiga, orang yang heboh sendiri. Contoh dialognya seperti ini.
A: Sakit apa? Kenapa bisa dirawat?
P alias Pasien: Jadi gini …
A: Sama kayak gue, waktu itu gue lagi di jalan tiba-tiba dada gue sakit, trus gue langsung ke rumah sakit. Dokter bilang #***&&&### … bla …bla … bla. 
P: Oh (mulai sadar diri)
A: Gue aja nggak nyangka kalo gue bisa  sakit kayak gitu ####++++&&&--@@@@ … bla … bla … bla
P: kok jadi dia yang cerita soal sakitnya sendiri (dalam hati tentunya).

Tipe keempat, suudzon sama yang sakit atau mengadu domba, contohnya seperti ini:
B: Jangan suka marah-marah makanya. Gue denger juga kemarin lu berantem di kantor sama si Nganu sampe lu kolaps begini.
P: Kata siapa?
B: Kata si Ngene begitu. Dia lihat kejadiannya..

Tipe kelima, suka menasihati. 
C: Sudah jangan terlalu capek kerja, jangan stres. Anggap saja sakitnya ini sebagai penghapus dosa. Yang ikhlas saja, yang sabar.
P: Kurang sabar dan ikhlas gimana ya saya? (hatinya menjerit)

Tipe keenam, yang pertama dilakukannya adalah foto bersama pasien, terus dishare ke WA Grup. Namanya sudah dicatat sebagai penjenguk. Padahal mungkin saja si pasien nggak mau wajahnya diabadikan ketika sedang sakit.

Tipe ketujuh, orang yang sangat dermawan. Selalu membawa oleh-oleh yang banyak. Dari mulai buah, makanan, sampai gado-gado (eh itu kan makanan juga).

Tipe kedelapan, silakan tambahkan sendiri.
Kalau kamu masuk tipe yang mana?

Panggilan Dari Abah


“Belum pulang, Mbak?” tanyaku pada Mbak Sandra.
“Belum,” jawab Mbak Sandra.
Mbak Sandra adalah pegawai senior yang berada pada ruangan yang sama denganku. Sebagai pegawai yang belum terlalu lama bekerja, aku harus ramah kepada semua pegawai senior di kantor.
Saat itu suasana kantor sudah sepi. Tersisa aku dan Mbak Sandra saja di ruangan. Waktu telah menunjukkan jam 19.50. Kebetulan aku mendapat tugas tambahan dari Pak Bayu, atasanku sehingga aku pulang agak malam.
“Aku pulang duluan, Mbak Sandra. Pekerjaanku udah selesai.” Aku pamit kepada Mbak Sandra yang masih asyik memandangi monitor komputernya.
Tubuh Mbak Sandra berbalik kepadaku yang berdiri di samping kursinya. Sekilas kulihat layar komputer Mbak Sandra. Wajah seorang artis yang kukenal terpampang di layar monitor.
“Mbak Sandra nonton sinetron Terperangkap Cinta Tukang Siomay Yang Aneh?” tanyaku.
“Iya, ngisi waktu pulang,” Mbak Sandra tersenyum kecil.
“Kirain Mbak kerja.”
“Enggaklah. Kerjaanku udah selesai tadi.”
“Kok nggak pulang aja?” tanyaku.
“Hari ini kan tanggalnya ganjil, sedangkan nomor mobilku genap. Jadi kutunggu sampai malam,” jawab Mbak Sandra.
“Oh ….”
“Kamu ngapain pulang jam segini. Sepuluh menit baru bisa dihitung lembur. Sayang lho.”
“Nggak apa-apa, Mbak. Kerjaanku udah selesai kok. Aku pamit, ya.”
Aku mengambil tas dan ke luar dari ruangan. Sebentar lagi AC akan dimatikan oleh teknisi. Aku tak mengerti kenapa Mbak Sandra betah berada di dalam ruangan sendiri.
                                    ***
“Kamu ngapain pulang ke kos? Mending nunggu di kantor aja. Ada temannya. Di tempat kos kan sendirian, bengong,” ujar Mbak Sandra. Saat itu aku bersiap pulang.
Kupikir, seharusnya saat ini Mbak Sandra juga pulang karena hari ini tanggal genap, jadi cocok dengan nomor kendaraannya. Namun, walaupun hari ini tanggal genap, Mbak Sandra tetap berada di kursinya. Sedikitpun tak nampak tanda-tanda ia  bersiap pulang.
Kuperhatikan sejak aku masih anak baru sampai aku jadi kakak bagi pegawai-pegawai baru, Mbak Sandra selalu pulang malam. Alasan yang dikemukakan selalu sama, menghindari ganjil genap. Pertanyaan sering muncul di kepala, apakah setiap hari nomor kendaraan Mbak Sandra selalu berbeda dengan aturan ganjil genap? Misterius memang.
“Iya sih, Mbak. Di kamar kos-an aku sendirian. Ada sih yang dikerjakan, belajar Bahasa Inggris,” jawabku.
“Nah, kan. Udah pulang malam aja. Kan bisa pake komputer kantor. Lumayan hemat kuota,” sambung Mbak Sandra.
Dipikir-pikir benar juga sih apa yang dikatakan oleh Mbak Sandra. Setiap malam aku tidur sendirian. Selain itu kuota  internet cepat sekali habis karena aku selalu membuka  akun YouTube untuk belajar Bahasa Inggris. Aku lakukan itu tiap malam sebelum tidur, agar aku bisa mengikuti seleksi beasiswa sekolah di luar negeri.
Akhirnya aku mengikuti saran Mbak Sandra. Kusimpan tasku kembali di atas meja. Aku duduk dan menyalakan komputer yang sudah kumatikan tadi. Kubuka YouTube dan mulai belajar Bahasa Inggris di komputer.
Saking asyiknya belajar, aku sampai lupa waktu. Aku tersadar ketika Mbak Sandra pamit kepadaku.
“Emangnya udah jam berapa, Mbak?” tanyaku
“Jam sebelas, Neng.” Mbak Sandra tersenyum kecil.
“Ya ampun! Perasaan baru sejam aku belajar,” ujarku kaget.
Kumatikan komputer. Baru sekarang terasa hawa panas di dalam ruangan. Kuambil tas dan ke luar mengikuti Mbak Sandra dari belakang. Ruangan benar-benar sudah gelap karena lampu-lampu sudah dimatikan.
“Tuh kan, kamu keasyikan. Paket datamu utuh pula,” ujar Mbak Sandra.
Pintu lift terbuka. Kami berdua masuk ke dalamnya. Mbak Sandra senyum-senyum melihatku.
                                                                 ***
Sebulan berlalu, aku masih tetap dengan kebiasaanku pulang malam setiap hari. Aku belajar Bahasa Inggris dengan menggunakan fasilitas kantor. Tak ada seorangpun yang menegurku. Terlebih Mbak Sandra, Ia malah mendukungku. Kami berdua jadi dekat karena seringnya kami pulang bersama ketika kantor sudah sepi.
“Pulang malam terus nih. Banyak kerjaan?” Sapta bertanya padaku. Sapta adalah teman satu ruangan tapi berbeda bagian denganku.
“Uh … iya. Aku selalu diberi kerjaan tambahan, jadi aku sering menyelesaikannya sampai malam,” jawabku ragu.
“Setiap hari?” tanya Sapta.
“Eh … iya.”
“Hati-hati, jaga kesehatan!” ujar Sapta. Ia berlalu dari hadapanku.
Saat Sapta datang, aku sedang menyelesaikan pekerjaan yang diberikan oleh Pak Dody, atasanku. Mataku mengantuk karena semalam aku kurang tidur karena pulang kemalaman.
HP-ku berbunyi. Rupanya  ada pesan masuk. Aku mengambil HP yang berada di samping keyboard komputer.
Pesan dari: Bank Antariksa
Pada rekening anda ada dana masuk sebesar Rp2.000.000 untuk pembayaran lembur bulan Oktober 2019.
Mataku terbelalak kaget membaca pesan yang masuk. Aku heran kenapa aku bisa mendapat uang lembur sebanyak itu. Aku terdiam dan berpikir, dari mana staf Bagian Keuangan menghitung pembayaran uang lembur buatku?
“Kamu udah dapat uang lembur, Nis?” Tiba-tiba Mbak Sandra berdiri di sampingku.
“Iya, Mbak. Kok dapat uang lembur banyak ya? Aku kan nggak lembur?” tanyaku heran.
“Ya nggak apa-apa lah. Itu kan rejekimu tiap hari pulang malam,” jawab Mbak Sandra dengan entengnya.
“Tapi, aku kan nggak kerja …,” ujarku bingung.
“Terima aja. Memangnya kenapa aku sering pulang malam, ya karena lumayan pemasukan setiap bulannya,” jawab Mbak Sandra tanpa merasa bersalah.
Jadi, dari jaman dulu Mbak Sandra begini? Pulang malam, nonton sinetron atau film di YouTube memakai fasilitas kantor, setelah itu mendapat SMS Banking di awal bulan. Hatiku bergolak. Disebabkan oleh sikap lemahku, aku melakukan sesuatu yang bodoh .
“Ya udah ya, aku mau ke bank dulu. Uangnya mau kupindah ke rekening lain buat bayar cicilan mobil.”
Aku hanya terpaku mendengar perkataan Mbak Sandra. Uang lembur yang diterimanya setiap bulan dipakainya untuk membeli mobil. Berarti Mbak Sandra sudah melakukan hal ini selama bertahun-tahun. Setahuku tak pernah sekalipun Mbak Sandra pulang malam untuk menyelesaikan pekerjaannya. Monitor komputernya selalu berisi tayangan sinetron atau film.
Batinku bergolak. Sebulan ini aku menghabiskan kuota kantor hanya untuk kepentingan pribadi. Bahkan, aku mendapat bayaran uang lembur di akhir bulan. Betapa Aku tak punya rasa malu.
Tuut … tuut …tuut
Abah calling
Dengan cepat kusambar HP. Entah kenapa kalau Abah menelepon, tabu bagiku menundanya. Aku selalu kangen mendengar suara Abah yang lembut.
“Halo, Assalamualaikum Abah. Apa kabar?”
“ Waalaikum Salam warrahmatullahi wabarakatu.” Abah selalu menjawab salamku dengan lengkap.
“Kabar Abah baik. Gimana kerjaannya, Neng? Mudah-mudahan Eneng*) selalu betah ya kerja di Jakarta,” sambung Abah.
“Eneng betah, Bah. Sayangnya Eneng belum bisa pulang ke rumah. Maaf, ya,” balasku. Ada rasa haru yang tertahan di dada setiap mendengar suara Abah.
“Nggak apa-apa, yang penting Eneng selalu sehat.
“Iya, Bah.”
“Abah juga pesan, Eneng jangan bikin macam-macam di kantor. Pikirin kerjaan aja. Kerja yang benar. Jangan pernah ambil sesuatu yang bukan haknya Eneng. Nggak ada keturunan Abah yang begitu.”
Suara Abah yang tegas menyentak kesadaranku. Aku heran, sepertinya Abah selalu punya insting kalau aku berbuat sesuatu yang tak baik.
“Neng … Neng. Kok diam saja?”
“Eh … iya, Bah. Eneng denger kok,” jawabku agak gugup.
“Udah, ya. Abah mau ke pasar dulu sekalian jalan-jalan biar tetap sehat. Ingat pesan Abah. Assalamualaikum.”
Abah mengakhiri percakapan. Aku terdiam sejenak. Perasaanku tak enak setelah bercakap-cakap dengan Abah.
“ Waalaikum salam,” jawabku pelan. Kututup HP dan kuletakkan kembali di atas meja kerjaku.
Aku terdiam sejenak, menyesali apa yang kulakukan sebulan belakangan ini. Aku merasa sudah mengkhianati kepercayaan yang diberikan kantor kepadaku. Aku juga merasa sudah mengkhianati perasaan bangga Abah memiliki anak sepertiku. Air mata menetes di pipiku. Aku benar-benar menyesal. Ya Allah, ampuni aku.
                                                                ***
            “Nisa, kok tumben udah mau pulang?” tanya Mbak Sandra yang melihatku mengambil tas.
            “Aku mau pulang, Mbak. Belajar di rumah aja.”
            “Kenapa?” tanya Mbak Sandra.
            “Aku nggak mau menggunakan barang yang bukan hakku. Aku juga nggak mau mendapatkan uang dengan cara nggak baik, Mbak. Aku akan lembur kalau memang ada tugas kantor yang harus kuselesaikan,” jawabku tegas.
            “Ah, sok idealis.”
            “Nggak apa-apa, Mbak. Lebih baik aku dibilang sok daripada setiap hari aku dihantui perasaan bersalah. Emangnya Mbak enggak?” sindirku.
            Mbak Sandra terdiam. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Aku sudah tak peduli lagi. Mudah-mudahan dia bisa segera kembali sadar bahwa apa yang dilakukannya selama ini tidak benar dan merugikan organisasi.
            Aku berjalan meninggalkan ruangan dengan perasaan tenang dan damai. Taka da lagi ketakutan yang membebani pikiranku.

SELESAI

*) Eneng: Panggilan untuk anak perempuan dari Suku Sunda         

Demi Masa (3), Pegawai Baru

Pukul 22.00

Tina membaca ulang pekerjaannya. Matanya terasa berat karena dari sore ia fokus mengerjakan tugas yang dititipkan oleh Ponco kepadanya. Dibawanya kertas kerja yang telah diselesaikannya ke cubicle Adnan.
Setelah dipersilakan, Tina duduk menghadapi Adnan. Kertas yang dipegangnya beralih ke tangan Adnan.
“Pak, boleh saya bicara dulu?” tanya Tina.
“Boleh-boleh aja sih, cuma kan ini udah larut, kamu nggak pengen pulang?”
“Ah, Bapak. Biasanya juga nggak peduli kok saya pulang malam  atau bahkan pagi,” sindir Tina
“Hehehe, ya nggak gitu juga kali,” Adnan tertawa kecil.
“Oke…oke, apa yang mau dibicarakan?” sambung Adnan.
“Masalah sensitif sih pak. Bapak jangan marah ya…..,” Tina agak ragu melanjutkan bicara.
“Kamu hamil?” mata Adnan melotot ke arah Tina.
“Makanya jangan bergaul bebas gitu, Tin. Nanti jadi aib semuanya. Kan saya juga…..,” belum sempat Adnan melanjutkan omongannya Tina memotong perkataan Adnan.
“Ya Allah, Pak. Tega ya Bapak nuduh sembarangan. Amit-amit jabang bayi,” tangan Tina mengetuk-ngetuk meja.
“Gini-gini rumah saya deket mushola, Pak.”
“Lha apa hubungannya?” jidat Adnan yang udah penuh kerutan alami semakin berkerut.
“Bapak sih. Fokus pak ke masalah. Ini udah malam juga,” Tina menarik nafas sejenak.
Suasana hening karena semua pegawai sudah meninggalkan kantor, menyisakan mereka berdua. Adnan memandang Tina, menunggu kalimat apa yang akan keluar dari mulut Tina.
“Gini Pak, akhir-akhir ini kan sering banget nih saya pulang malam, padahal kan saya juga punya kehidupan lain selain kantor. Saya juga pengen bersosialisasi dengan keluarga dan juga pacar saya, tapi kok ya sekarang ini kerjaannya jadi dobel gitu. Saya kewalahan, Pak.”
Tina terdiam sesaat. Tangannya mempermainkan pulpen yang dipegangnya. Adnan masih diam, menunggu kalimat selanjutnya.
“Di sisi lain, Mas Ponco kok enak bener ya. Sering ijin dan nggak pernah selesai kalau dikasih tugas, tapi penilaian kinerjanya selalu bagus. Parahnya lagi, dia mendapatkan bonus atas pekerjaan yang tidak dikerjakannya. Bukan soal bonusnya sih Pak, tapi kejadian tadi pagi bikin saya sedikit terganggu,” terang Tina.
Tina merasa lepas dari beban yang dirasakannya sejak pagi saat Ponco memamerkan jumlah bonus yang didapatnya. Tina mengharapkan Ponco bisa berlaku tegas terhadap Ponco.
“Gini ya, Tin. Mungkin karena kamu belum menikah jadi kamu nggak paham,” ujar Adnan.
Raut wajah Tina berubah dari plong menjadi bingung kemana arah pembicaraan Adnan. Ia merasa tak hubungannya antara status pernikahannya dengan kondisi yang terjadi di ruang kerjanya saat ini.
“Kenapa Ponco tetap mendapatkan haknya penuh walau dia nggak perfom akhir-akhir ini?”
“Ya mana saya tahu….,” suara Tina meninggi.
“Kamu nih emang tukang ngebut ya, sukanya ngegas kalo bicara. Sabar.”
“Langsung aja ke pokok masalah, Pak,” wajah Tina cemberut.
“Ponco itu punya istri dan anaknya banyak. Bayangin kalau dia nggak dapet bonus? Ya mereka nggak bisa dapet tambaha. Siapa tahu dia perlu buat bayar sekolah atau bayar utang atau juga dia pengen sesekali nyenengin istrinya.”
Tina melongo mendengar perkataan Adnan. Ia heran dengan pola pikir atasannya itu.
“Terus Bapak nggak kasihan sama saya?” tanya Tina.
“Kamu kan belum punya tanggungan apa-apa, Tin. Toh kamu dapat juga kan?”
“Pak, mohon maaf banget bukan saya lancang. Tapi tolong Bapak resapi, apakah orang yang sehari-harinya tidak bekerja tapi dia selalu dapat keuntungan, apakah bisa dikatakan kantor ini sehat?”
“Sudahlah Tin, berbaik sangka aja. Bekerja ikhlas aja ya. Udah malam ini. Pulanglah, langsung tidur biar pikiranmu jadi tenang,” ujar Adnan.
“Bukan soal ikhlas atau tidak ikhlas, juga bukan soal saya iri dengan bonus yang didapat Mas Ponco, saya ingin kantor ini jadi tempat kerja yang nyaman buat semua pegawai, Pak.” Tina berdiri dari kursi.
“Saya pamit ya, Pak.”
“Oya, Tin kayaknya besok bakalan datang pegawai baru. Lumayan lah walau jumlahnya nggak sesuai yang kita minta, minimal bisa bantu kamu, biar kamu nggak stress. Oya kamu jadi mentornya ya, sampai dia bisa kerja,” senyum Adnan diujung kalimat bikin Tina tambah sebal.
“Kenapa bukan Ponco sih, Pak?”
“Nggak bakalan bener dan nggak ada discuss ya.”
“Hmm,” Tina keluar cubicle Adnan dengan perasaan kesal.
“Sampai jumpa besok, Tin. Take care,” teriak Adnan ketika Tina sudah mengambil tasnya. Tina tidak menyahut salam Adnan, hanya mengangkat tangan kanannya dari belakang diatas punggungnya. Ia berjalan keluar ruangan meninggalkan Adnan sendirian.
“Anak itu terlalu idealis, tapi apa yang diomongin bener juga sih. Gue juga nggak puas dengan  si Ponco. Cuma kalo ngotak ngatik si Ponco alamat bos besar marah nanti,” Adnan bergumam dengan perasaan tak menentu.
*****
Keesokan Harinya, Pukul 08.00

“Selamat pagi, Bu.”
Tina kaget ketika ada seorang perempuan muda yang keluar dari cubicle Adnan.
“Pagi, kamu siapa?” tanya Tina sambil menghampiri perempuan itu.
“Sebelumnya mohon maaf lahir dan batin, perkenalkan nama saya Priscilla Adinata, biasa dipanggil Cilla. Saya pegawai baru yang ditugaskan di divisi ini untuk membantu Bu Tina,” ujar Cilla dengan logat Jawa yang masih medok.
Tina meneliti Cilla dengan seksama. Cilla berperawakan mungil. Lumayan rapi penampilannya. Hijabnya senada dengan pakaian yang dikenakannya. Sikapnya antara malu atau takut berhadapan dengan Tina yang kelihatan sangar pagi itu.
“Kamu nggak usah takut gitu lihat saya. Saya nggak galak kok. Kamu lulusan dari mana?” tanya Tina.
“Sebelumnya mohon maaf lahir batin, bolehkah saya duduk. Dari pagi saya belum sarapan, minumpun tak sempat sehingga saya agak lemas pagi ini.”
Cilla berkata dengan pelan dan lambat membuat Tina melongo. “Mudah-mudahan anak ini cuma ngomongnya aja yang lambat bukan kerjanya,” doa Tina dalam hati.
“Duduk deh, kamu duduk didepanku aja. Lain kali sebelum kerja, perutmu harus udah full, jangan kerja dalam kondisi lemes, nanti nggak konsentrasi. Oya, panggil aku mbak Tina aja nggak usah formal-formalan manggil Ibu, oke?” Cilla duduk di kursi yang ditunjukkan Tina.
“Bu, eh Mbak, apa saya boleh menyimpan tas diatas meja?”
“Ya simpan aja, itu kan mejamu. Selama kamu bekerja di sini, mejamu itu wilayah kekuasaanmu. Kalau mau minum minta gelas ke Mamang Jajang, OB di sini. Nah galon di sebelah sana,” Tina menunjukkan tempat menyimpan galon.
“Terima kasih banyak, Mbak Tina. Mohon maaf lahir batin kalau saya merepotkan.”
“Ngapain sih kamu minta maaf melulu sama aku. Kan kita baru ketemu, dosamu belum banyak ke aku.” Cilla tersenyum dan meletakkan tasnya diatas meja.
Tina memberikan beberapa bahan untuk dipelajari Cilla. Ia mulai mengajari Cilla bagaimana membuat surat penawaran sederhana kepada klien perusahaan mereka.
Sampai akhirnya Tina membiarkan Cilla bekerja sendiri. Tugasnya sendiri harus segera diselesaikan dalam waktu dekat. Tina berusaha konsentrasi sambil menunggu hasil kerja pertama dari Cilla.
Tak terasa sudah dua jam waktu berlalu dan Cilla belum juga menyerahkan hasil pekerjaannya. Tina berdiri menengok ke arah Cilla.
“Mohon maaf lahir batin Mbak Tina, belum saya kerjakan. Ada tulisan yang ndak terbaca. Saya takut sekali mengganggu Mbak Tina yang sedang kerja,” suara Cilla pelan dan terdengar ketakutan.
“Masya Allah, cobaan apa lagi ini?” Tina berteriak ke arah Cilla.

(Bersambung)
*Tokoh dan Peristiwa Hanya Fiktif

Demi Masa (2)

Pukul 17.00

“Tin, gue tunggu di kafe  Mawar ya.”
“Iya Mas, segera meluncur,” Tina mengambil  tasnya. Ia bercermin ke ponselnya sambil menambahkan gincu di bibirnya.
“Yup, aku udah cantik.  Wait for me, Mas Agung  sayang…..,” Tina beranjak dari tempat duduknya.
“Tina…..,”
“Ya, Pak?” Tina berbalik mendengar Adnan memanggil namanya.
“Kamu jangan pulang dulu ya. Bantu saya selesaikan laporan penjualan. Walau ini sudah agak terlambat, nggak apa-apa yang penting laporan selesai. Bahannya sudah saya email ya. Pak Charles udah marah-marah. Please.”
Kedua tangan Adnan dikatupkan di dada pertanda ia sangat membutuhkan bantuan. Tina merasa serba salah. Sudah sering ia membatalkan janji dengan Agung, kekasihnya karena banyaknya tugas yang diberikan Adnan kepadanya. Sebagian besarnya adalah menyelesaikan pekerjaan yang ditinggalkan Ponco, teman kerjanya.
“Memangnya Ponco ke mana, Pak?” antara kesal dan bingung Tina bertanya kepada Adnan.
“Dia nggak masuk hari ini karena mengantar istrinya ke kampung.”
“Hmmmm…..,”Tina menarik nafas panjang.
“Oya, saya sudah pesan makanan lewat ojol ya. Kopi kesukaanmu juga sekalian. Jadi kamu bisa konsentrasi ngerjain laporannya.”
“Aku nggak minta,” Tina bergumam pelan.
Dengan lunglai Tina duduk kembali. Tina menyalakan kembali komputernya. Tangannya gemetar menulis pesan kepada Agung. Ia tak berani menelpon langsung kepada Agung.

Mas, maaf ya aku nggak jadi ke kafe. Ada kerjaan mendadak yang harus selesai hari ini.

Tina membuka email dengan terpaksa. Jari-jarinya menari diatas keyboard dengan lincah. Sesekali matanya melirik ponselnya menunggu balasan pesan dari Agung. Sampai sejam tak ada balasan dari Agung. Tina tahu kalau Agung marah padanya. Akhirnya Tina pasrah dan tenggelam dengan laporannya.
Malam Hari, Pukul 23.00
Perfect, Tin. Kamu memang luar biasa. Cepat dan teliti. Nggak ada kesalahan sekecil apapun. Terima kasih ya, kamu menyelematkan tim kerja kita.”
“Sama-sama, Pak,” jawab Tina tak bersemangat.
“Saya boleh pulang, Pak?”
“Iya. Sekali lagi terima kasih ya, Tin. Hati-hati di jalan. Ini udah larut.”
“Yaelah, anak TK juga tahu kalau jam sebelas itu udah larut. Mana besok tetep harus ngabsen pagi pula,” ujar Tina dalam hati dengan perasaan kesal.
“Permisi Pak,” Tina keluar dari ruangan Adnan dan berjalan menuju lift. Suasana sudah gelap dan sepi. Tak ada seorangpun yang berada di ruangan itu selain dirinya dan Adnan.
*****

“Tin….,”
Tina yang sedang bergegas dalam gelap malam, badannya. Ia kaget mendapati Agung berlari menyusulnya.
“Dari tadi kupanggil, nggak noleh. Serius amat sih, neng,” ujar Agung.
“Mas ngapain di sini malam-malam?” tanya Tina.
“Emangnya nggak boleh jemput pacar?” Agung balas bertanya.
“Bukan begitu, kupikir Mas marah karena dari sore nggak jawab pesanku.”
“Gue emang marah. Ngeselin tau, udah janji berulang-ulang selalu nggak ditepati,” Agung pura-pura marah sambil berjalan disamping Tina.
“Maaf, Mas. Ponco nggak masuk hari ini padahal laporan belum selesai……,”
“Nah kan lagi-lagi kamu ngerjain kerjaan orang. Kamu susah sendiri. Makanya jangan terlalu rajin jadi orang, akhirnya kan kamu selalu kebagian cuci piring,” Adnan memotong perkataan Tina.
“Bukan gitu, Mas. Kan kalo laporan penjualan nggak selesai nama baik timku tercemar. Tetep aja yang kena semprot Pak Charles semuanya bukan cuma si Ponco,” jawab Tina.
“Bilangin sama bosmu, harus tegas apalagi ngadepin pegawak yang kayak Ponco. Jangan juga karena kamu nggak pernah nolak kerjaan jadinya kamu yang dikerjain terus. Emang yang punya urusan si Ponco doang?” ujar Agung.
“Iya, iya lain kali aku bilangin ke Pak Adnan. Bawel banget sih, Mas,” balas Tina sambil tertawa.
 Di malam yang gelap itu mereka berjalan meninggalkan kawasan kantor. Tak berapa lama mereka menaiki taksi yang akan mengantarkan pulang.
*****

Beberapa Hari Kemudian, Pukul 7.30

“Tin, lu dapet transferan berapa?”
Ponco mencegat Tina di pintu ruangan kerjanya. Saat itu Tina baru saja datang.
“Apaan sih? Belum duduk udah nanya yang aneh-aneh aja.”
Tina mendorong Ponco yang menghalangi jalannya. Ia meletakkan tas di kursinya, kemudian pergi ke luar ruangan.
“Mau ke mana, Tin?” tanya Ponco.
“Toilet, mau ikut?” Tina berlalu dari hadapan Ponco.
“Jangan lama-lama ya,” ujar Ponco sambil  nyengir.
*****

“Jadi berapa, Tin?”
Tina menghela nafas. Ia membuka buku agendanya, mengecek apa yang harus dikerjakannya hari ini.
“Tin!”
“Ni orang ya, pagi-pagi udah ganggu orang. Bukannya kerja,” ujar Tina kesal.
“Nih jumlah transferan gue,” Ponco memperlihatkan pesan singkat di ponsel yang diterimanya dari bank. Jumlah yang tertera di pesan itu membuat mata Tina terbelalak. Seketika, ia mengecek ponselnya. Tina berusaha menahan diri sejenak.
“Wow, ternyata masih gedean gue. Tenang Tin, nanti gue beliin kopi susu dari kafe langganan lu,” ujar Ponco dengan gembira.
Tina menunduk. Betapa dunia tak adil baginya. Hanya karena Ponco lebih senior dia mendapatkan keuntungan yang lebih banyak, padahal jumlah yang tertera di ponselnya Ponco adalah hasil kerja kerasnya.
Hatinya tambah kesal mendengar Ponco terus nyerocos di telpon menanyakan jumlah bonus kepada pegawai dari unit lain. Air mata menetes di pipinya.
“Astaghfirullah al adzim. Kenapa harus kecewa? Semua ada takarannya. Tenang Tin, ikhlasin aja. Rejeki nggak selalu datang dalam bentuk sms banking,” Tina mencoba menenangkan hati. Akhirnya ia memutuskan untuk bekerja kembali dan berusaha melupakan percakapannya dengan Ponco.
*****

Pukul 16.30
“Tin, gue email kerjaan. Nitip ya. Tolong selesaikan. Deadline besok. Sedikit lagi kok. Besok gue mau survey lapangan di luar kota hehehe. Pulangnya gue beliin kopi ya. Bye!,”
“Eh aku punya kerjaan lain….,” belum selesi Tina bicara, Ponco sudah pergi meninggalkannya.
“Ya Allah, cobaan kok nggak berhenti datang.”
Tina membuka email yang dikirim Ponco. Rasa kesal semakin memuncak karena ternyata apa yang dikerjakan Ponco baru sedikit bukan tinggal sedikit lagi.
“Tin, jangan lupa ya kerjaan si Ponco besok pagi sudah harus dikirim ke Pak Charles. Kopi otewe.”
Mendengar suara Adnan dari balik cubicle, Tina menangis sejadi-jadinya.

*Tokoh dan peristiwa hanyalah fiktif.



Demi Masa

Pukul 7.30

Adnan duduk menghadapi layar monitor di ruangan kerjanya. Pada waktu ini  seharusnya para stafnya yang berjumlah dua orang sudah duduk di kursinya masing-masing.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam,” Adnan menjawab sapaan Tina, salah satu stafnya yang baru saja muncul di ruangan. Tinggal Ponco yang belum datang. Adnan sangat mengharapkan kehadiran Ponco karena ada satu pekerjaan yang harus diselesaikan Ponco dan harus selesai besok.
“Kamu nggak bareng Ponco, Tin?”
“Nggak, pak. Paling dia lagi nongkrong di kantin. Ngopi,” jawab Tina.
Satu jam berlalu, Ponco belum juga menampakkan diri di hadapan Adnan. Adnan mulai was-was. Ia mengirimkan pesan kepada Ponco agar segera masuk ke ruangan. Sampai setengah jam berlalu tak ada jawaban dari Ponco.
Sebenarnya ini bukan kali pertama Adnan dibuat khawatir oleh Ponco. Banyak sekali pekerjaan yang akhirnya harus diselesaikan oleh Adnan sendiri karena Ponco tak sanggup menyelesaikannya.

Pukul 9.30
Ponco muncul di ruangan  dengan muka yang datar seperti biasanya. Adnan menghela nafas panjang berusaha menenangkan diri agar tidak emosional di hadapan Ponco. Dia tak ingin Tina menangis kalau melihatnya marah.
“Kamu nggak membaca pesanku ya?”
“Maaf pak, seru tadi bahasannya soal promosi staf jadi supervisor. Siapa tahu saya bisa masuk kriteria, hehe.”
Ingin sekali rasanya Adnan memukul kepala Ponco dan berkata,  “sadar diri kenapa, lebih sering malesnya daripada benernya,” tapi Adnan hanya bisa meringis ngilu-ngilu kesal mendengar omongan Ponco.
“Kerjaan kemarin mana? Besok due date lho. Kalo nggak selesai besok, tim kita bakal kena pengurangan poin dan itu akan mengakibatkan pengurangan bonus akhir tahun lho,” ujar Adnan sambil berdiri didepan meja Ponco.
“Sebentar, pak. Saya mau mandi dulu. Tadi abis olahraga,” Ponco mengambil tas ransel yang berada dibawah mejanya.
“Ya ampun, jadi dari pagi tadi belum mandi?” suara Adnan sudah mulai menaik. Tanpa menunggu lama lagi, secepat kilat Ponco berlari keluar dari ruangannya. Adnan hanya bisa mengelus dadanya.
****

 Pukul 10.00
Ponco kembali ke ruangannya. Ia membuka layar komputernya. Tiba-tiba ponselnya berdering. Ternyata istrinya menelpon. Ponco meninggalkan ruangannya dan menerima telpon di toilet.
“Kemana lagi si Ponco itu, Tin? Kerjaan dari kemarin nggak beres-beres.” Tanya Adnan dari tempat duduknya.
“Tadi ponselnya bunyi, pak. Terus dia nerima telponnya di luar. Rahasia kali, pak,” jawab Tina sambil terus mengetik dokumen.
“Ya Allah, salah apa saya selama ini hingga punya staf kayak begini?” Adnan berbicara dalam hatinya sambil garuk-garuk kepala.

Jangan  lupa selesaikan laporan penjualan besok ya Pak Adnan, biar bonus tim kita bisa naik, minimal nggak berkurang dari tahun lalu.
Adnan membaca yang pesan masuk dari Charles, kepala divisi yang merupakan atasan Adnan.

Baik, pak.
Adnan mengetik jawaban sambil terus memandangi meja Ponco yang masih kosong. Jarum jam terus melaju. Terasa sangat cepat bagi Adnan.

Pukul 10.30
Ponco masuk kembali ke ruangan. Adnan kembali menagih laporan yang harus diselesaikan Ponco.
“Tenang, bos pasti selesai kok. Sabar, ya. Orang sabar disayang Tuhan.”
“Cukup! Saya tak mau dengar lagi kamu bicara. Selesaikan laporannya!” suara Adnan mulai tinggi melihat Ponco begitu santai seakan tak ada deadline yang menunggu.

Pukul 11.00
“Pak, saya ijin makan dulu ya. Sebentar lagi kan jam istirahat. Abis itu saya mau sholat di mesjid.  Nah setelah itu saya selesaikan deh laporannya. Tenang aja sedikit lagi beres kok.”
Mata Adnan melotot melihat ketenangan Ponco. Rasanya tak yang lebih melelahkan di dunia ini selain berhubungan dengan Ponco.
“Bukannya tadi kamu menghabiskan waktu banyak di kantin? Masih belum cukup? Lagipula ini kan masih jam sebelas, waktu istirahat masih lama,” Adnan sudah lupa akan niatnya tak membuat Tina menangis. Emosinya meledak saat itu.
“Sabarlah, bos. Jangan juga bos menghalangi saya makan dan sholat. Kalau saya pingsan gimana? Trus kalo saya masuk neraka karena nggak sholat siapa yang dosa? Ya bos juga lah.”
“ Ya nggak gini juga, Ponco. Makan dan sholat itu ada waktunya.”
“Sudah ya bos, biar saya tenang ijinkan saya dulu. Kerjaan pasti kelar setelah ini.”
Tak menunggu Adnan bicara Ponco keluar ruangan meninggalkan Adnan yang semakin emosi.

Pukul 14.00
Ponco mulai mengerjakan laporannya. Adnan lega karena sesuai janjinya, Ponco akan menyelesaikan laporan sore ini. Tiba-tiba terdengar suara Ponco bicara sendiri.
“Rasain lu, pake rompi oranye. Koruptor gila nggak punya malu,  ngabisin uang rakyat.
Adnan bangkit dari kursinya dan menghampiri Ponco. Ia berdiri di belakang Ponco. Ternyata Ponco sedang menonton berita dari youtube.
“Laporanmu mana?”
“Ini juga penting, bos. Orang kok berani korupsi. Nggak takut apa anak bininya dikasih makan uang haram?”
“Lha, kalo kamu nggak kerja tapi digaji apa bukan korupsi juga?” tanya Adnan sebal.
“Beda dong, bos.”
“Sama aja! Kalo nggak bisa ngerjainnya sini biar saya yang ngerjain,” ujar Adnan.
“Nggak usah, saya aja. Dikit lagi kok,” jawab Ponco sambil nyengir.
“Mana wujudnya?”
“Sebentar,” Ponco mematikan youtube dan mulai mengetik kembali pekerjaannya.

Pukul 15.00
“Kok meja si Ponco kosong, Tin?”
“Katanya dia mau beli buku dulu buat anaknya, pak,”jawab Tina.
“Astaghfirullah, saya tinggal meeting sebentar saja si Ponco udah ngilang aja. Kepala saya langsung migren.”
Detik demi detik Adnan menatap jam di dinding. Ratusan pesan dia kirimkan  kepada Ponco tanpa ada jawaban. Sampai akhirnya hari telah gelap dan Ponco tak kembali ke kantor.

Keesokan harinya
“Halo. Ya Ponco? Udah selesai kan kerjaannya? Kirim ke saya sekarang ya.”
“Apa? Kamu nggak masuk? Hah? Nganter istri ke rumah mertua?”……dan ponsel Adnan pun jatuh dari genggamannya. Gelap terasa dunia…..

Awal tahun berikutnya
“Pak saya mau protes nih….”
“Ada apa?”
“Kok tahun ini saya nggak dapat bonus tahunan. Gimana dong saya udah janji mau beliin istri saya perhiasan.”
“Pikir aja sendiri, jangan tanya saya,” Adnan pun meninggalkan Ponco yang gundah.

Depok, 16 September 2019
*Tokoh dan kejadian hanyalah fiktif belaka