Empat




 



Seberapa jauh kita mengenal diri sendiri?


Beberapa minggu yang lalu saya mengulas mengenai konsep Johari Window, yaitu teori mengenai hubungan interpesonal dimana Joseph Ingham dan Harry Luft berpendapat bahwa akan selalu ada 4 sisi manusia yang diketahui atau tidak diketahui mengenai dirinya atau orang lain selama berinteraksi satu sama lain. Kuadran arena, façade, blindspot dan unknown ... keempatnya tidak terlepas satu sama lain dan akan selalu bergeser, membesar atau mengecil sepanjang hidup kita ... bahkan mungkin setelah kita tiada di bumi ini lagi. Apabila ditengok ke dalam buku sejarah, kita akan melihat betapa suatu peristiwa akan terasa lain bila diceritakan dari sudut pandang orang-orang yang berbeda ... meskipun mereka sama-sama mengalami peristiwa itu secara bersamaan.


Mengapa angka 4 istimewa? Sebab, banyak sistem di dunia ini yang pada dasarnya bekerja dalam 4 kategori. Ada musim panas, musim dingin, musim semi, dan musim gugur. Ada waktu pagi, siang, sore, dan malam. Ada dimensi panjang, lebar, tinggi, dan waktu ... meski kini fisika quantum mengenal ada 11 dimensi. Ada mata angin utara, selatan, timur, dan barat (meski kemudian ditambahkan lagi dengan 4 sub kategori barat laut, timur laut, tenggara, dan barat daya). Alkemi kuno memperkenalkan kita kepada 4 elemen yaitu air, api, tanah, dan udara ... meski kini kita mengenal ada 103 elemen di alam semesta ini (dan jumlahnya mungkin akan bertambah). Omong-omong, angka 1 + 0 + 3 = 4 😋


Melihat kecenderungan ini semua, saya tertarik untuk membuat 4 tulisan dengan 4 tema yaitu manusia, alam, dunia ide (abstrak) dan dunia fisik (konkrit). Supaya tidak terkesan serius, 1 dari tulisan tersebut akan bersifat sebagai hiburan dimana saya akan membuat review film dari 1 yang pernah saya lihat. Namun demikian, pembaca akan melihat bahwa setiap tulisan mempunyai benang merah dengan tulisan yang ada sebelum dan sesudahnya.



Selamat menikmati tulisan di penghujung tahun ini 🙂


Terompet Malam Tahun Baru

 
     Seluruh tubuh Parmin berkeringat setelah berkeliling dari kampung ke kampung seharian ini. Parmin menjajakan terompet yang dibuatnya beberapa hari yang lalu bersama istrinya.
     Setiap menjelang tahun baru, Parmin mencoba peruntungan dengan berjualan terompet. Berhari-hari Parmin dan istrinya membuat terompet-terompet cantik. Harapan memenuhi pikirannya bahwa tahun ini dia akan mendapatkan tambahan penghasilan dari berjualan terompet. 
      Sehari-hari Parmin berjualan gorengan di depan Sekolah Dasar Negeri Pelangi. Sambil menunggu anak-anak masuk sekolah kembali, Parmin mencoba perntungan menjual terompet untuk merayakan tahun baru. Tahun sebelumnya, Parmin mendapatkan hasil yang lumayan dari terompetnya. 
     Dua hari sebelum tahun baru, Parmin sudah mangkal di tempat keramaian dengan harapan orang akan tertarik membeli terompetnya yang berwarna-warni. Namun sayang, setelah Parmin mangkal dari pagi sampai sore, baru dua buah terompetnya yang laku terjual.
     Akhirnya Parmin memutuskan untuk berkeliling kampung agar terompetnya bisa terjual. Beberapa anak kecil melihat-lihat dagangan Parmin, namun orang tuanya tidak mengizinkan anaknya membeli terompet.
     Parmin terus berjalan menyusuri pemukiman penduduk. Penolakan yang sama didapatnya dari orang-orang yang ditawari terompet.
    Parmin tak mengerti kenapa tak satupun orang yang mau membeli terompetnya. Parmin bingung apa yang akan dikatakan kepada istrinya nanti apabila dagangannya tidak laku.
     Tahun baru tinggal menghitung jam, namun belum ada satupun orang yang memanggilnya untuk berhenti. Parmin terus berjalan tanpa tahu akan diapakan terompet dagangannya yang masih terus dibawanya.
***
     Pesan berseliweran di grup media sosial tentang bahaya membeli terompet dari pedagang keliling. Donna terus menerus membahas hal itu dengan teman-temannya di dunia maya. Bahasan tentang bahaya meniup terompet bertepatan dengan peringatan pemerintah tentang bahaya penyakit yang sedang merebak di masyarakat.

     "Pokoknya Mama tidak akan mengizinkan kamu membeli terompet untuk malam tahun baru ini," ujar Donna kepada Lana, anaknya yang merengek meminta terompet ketika seorang pedagang terompet keliling didepan rumahnya.
     "Ma, beli dong. Biar malam tahun baru kita nggak sepi," Lana mencoba membujuk Donna.
     "Tidak, Lana!" Donna tidak bergeming mendengar rengekan Lana.
     Lana berlalu dari hadapan Donna dengan perasaan kecewa. Muka Lana cemberut menahan kesal terhadap ibunya.
     Donna kembali disibukan dengan diskusi seru tentang bahaya yang ditimbulkan dari terompet di telepon genggamnya.

Depok, 31 Desember 2017


Efisiensi Pak Jokowi (Tanggapan atas tulisan SuamiSIAGA)

Sedikit tergelitik untuk menanggapi tulisan SuamiSIAGA disini. Dalam tulisannya disebutkan bahwa berdasarkan analisa data yang ada, kegiatan-kegiatan Kementerian/Lembaga masih tergolong kegiatan produktif; dalam artian komposisi biaya utama dan biaya pendukung masih dalam rasio yang wajar. Hal ini tentunya berbeda dengan pernyataan Pak Jokowi yang menyatakan bahwa belanja pendukung lebih dominan daripada belanja inti, dengan memberikan contoh kasus biaya pemulangan TKI. Meskipun hal tersebut merupakan pendapat pribadi si penulis, tapi menurut saya pendapatnya menarik untuk dikritisi.
.
Pertama, tentang data. Pak Jokowi secara gamblang membandingkan antara biaya pemulangan TKI yang hanya 500 milyar dengan biaya rapat dan lain-lain yang berjumlah 2,5 milyar. Data ini menurut penulis adalah data di tingkatan komponen dalam artian berbicara di level input.  Masih menurut penulis, sesuai konsep Penganggaran Berbasis Kinerja, seharusnya kita tidak berbicara di level input lagi;
.
Kedua, tentang sudut pandang. Masih terkait dengan hal yang pertama, dalam pendapatnya, penulis memiliki sudut pandang yang berbeda dengan Pak Jokowi. Penulis secara tersirat mengharapkan agar kasus pemulangan TKI tidak hanya dilihat dari perbandingan biaya pemulangan dengan biaya rapat dan lain-lain, tetapi seyogyanya juga dilihat ke dampak yang lebih besar dari sekedar perbandingan tersebut;
.
Menanggapi hal tersebut di atas, menurut saya apa yang disampaikan Pak Jokowi sudah tepat. Meskipun apa yang disampaikan beliau ada di dalam komponen/level input namun saya yakin beliau sudah mengetahui dan mempertimbangkan kasus pemulangan TKI tersebut secara komprehensif. Ketika beliau membandingkan biaya pemulangan TKI (yang menurut beliau biaya inti) dengan biaya rapat dan lain-lain, seharusnya Kementerian/Lembaga menangkap keinginan dan pesan beliau tentang efisiensi, tentang rasionalisasi belanja untuk menghasilkan suatu output dan outcome.  Sehingga saya berkesimpulan bahwa pendapat beliau tersebut hanyalah penyederhanaan permasalahan agar pesan yang disampaikan dapat diterima dengan jelas.
.
Terlepas dari hal tersebut di atas, saya mengapresiasi tulisan kritis SuamiSIAGA karena hal tersebut dapat membuka suatu diskusi baru mengenai justifikasi biaya utama dan biaya pendukung beserta komposisi yang ideal-nya. Dari beberapa referensi yang pernah saya baca, komposisi tersebut ditetapkan melalui suatu perhitungan statistika dengan asumsi-asumsi tertentu.

Semoga bermanfaat.


Jakarta, 28 Desember 2017

   

Membeli Masa Lalu

Kemarin, ketika sedang beres-beres rumah, saya menemukan sebuah walkman milik istri saya. Sepanjang ingatan saya, saya belum pernah melihat istri saya memakai benda tersebut, baik ketika pacaran maupun setelah menjadi istri saya. Benda itu tergeletak begitu saja bersama handphone-handphone bekas, kamera lama dan berbagai perangkat elektronik tidak terpakai lainnya. Penasaran apakah benda tersebut masih berfungsi, iseng saya cari kaset lama, headset dan masukkan baterai....voilaaaa, ternyata walkman tersebut masih berfungsi dengan baik. Istri saya kelihatan senang sekali dan penasaran apa yang sudah saya lakukan untuk membuat salah satu benda kesayangannya kembali berfungsi. Meskipun yang saya lakukan hanya memasukkan 2 buah baterai, tapi saya merahasiakan hal tersebut agar istri saya tetap percaya bahwa saya punya magic hands dalam memperbaiki benda-benda di rumah.
.
Seumur-umur punya mobil, saya hanya punya mobil tua. Mungkin ini pengaruh dari orang tua dan abang-abang saya. Waktu saya kecil, mobil yang saya kenal ya Fiat, Jeep Wilys, Volkswagon, Taft, Corolla. Pada jamannya mobil-mobil tersebut memang tergolong mobil baru, tapi entah mengapa, ketika saya memiliki kemampuan untuk membeli mobil, yang terbayang di kepala saya hanya mobil-mobil tersebut. Buat saya, memiliki mobil-mobil tersebut bagai mengembalikan kenangan masa lalu saya. Meskipun tidak mudah merawat sebuah mobil tua, tapi memiliki dan mengendarainya di jalan raya adalah sebuah prestige tersendiri. Pemilik mobil tua pun memiliki nilai lebih sendiri. Umumnya sangat mengerti dengan segala kondisi mobilnya. Buat saya pribadi, memiliki manual book seri mobil yang saya miliki adalah hal utama, karena dari situ saya bisa memecahkan masalah-masalah di mobil saya. Ini pun saya pelajari dari Bapak saya. Dulu beliau bisa 'menghidupkan' sebuah bangkai volkswagon hanya dengan bermodalkan manual book volkswagon yang beliau beli di pasar onderdil senen.
.
Saya punya teman yang hampir setiap hari ada acara reuni. Reuni sekolah, kuliah, diklat, grup lari, komplek perumahan, umroh dan masih banyak lagi. Saking penasarannya saya pernah bertanya tentang apa yang dia obrolkan dalam setiap acara. "Ya masa lalu lah, Bang, trus bikin-bikin rencana baru lagi...begitu" jawabnya.
.
Di jaman now dimana kata-kata move on  menjadi mantera dimana-mana, ternyata masa lalu masih menjadi sesuatu yang dirindukan, bahkan kalau ada yang jual, orang pasti mau membeli masa lalu-nya. Membeli masa lalu?. Ya, bukankah apa yang kita syukuri hari ini kebanyakan adalah hal-hal yang dulu kita tangisi?. Bukankah apa yang sekarang kita tangisi adalah hal-hal yang dulu kita syukuri dan membuat kita bahagia?. Disukai atau tidak, semua orang pasti mempunyai masa lalu dan merindukannya, bahkan mau membayar berapa saja untuk kembali ke masa itu. Nyatanya, yang sudah berlalu tetap akan berlalu, tidak pernah akan kembali dan tidak akan terbeli.
.
Walkman bekas, mobil tua, nostalgia sekolah hanyalah sedikit cara kita membeli masa lalu. Hanya mengenang untuk apa yang pernah terjadi dan tak mungkin untuk diganti. Apakah masa lalu memiliki pengaruh ke masa depan?. Di salah satu serial film James Bond yang berjudul The World Is Not Enough ada satu percakapan yang menurut saya sangat inspiratif. Saat itu Bond bertanya kepada Elektra, putri seorang konglomerat dan pengusaha minyak, mengapa dia (Elektra) tidak meneruskan saja proyek pembangunan pipa minyak meskipun diprotes oleh masyarakat setempat. Elektra punya kekuasaan yang besar yang dapat membungkam semua protes tersebut. Atas pertanyaan tersebut Elektra menjawab singkat "daerah dan masyarakat di sini adalah masa lalu saya, saya tidak akan pernah menggapai sukses masa depan saya dengan merusak/mengorbankan masa lalu saya".
.
Jawaban Elektra tersebut di atas membuat saya berfikir apakah masa lalu sedemikian penting sehingga tidak boleh diganggu gugat meskipun itu berarti pengorbanan yang lebih mahal, waktu yang lebih panjang. Entahlah. Satu yang pasti adalah kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Yang bisa kita lakukan adalah menciptakan masa lalu-masa lalu yang layak dikenang dengan senyuman, tawa bahagia, kepala tegak dan lapang dada, sehingga kita hanya perlu membayarnya dengan rasa syukur atas apa yang kita punya dan nikmati di masa kini.


Jakarta, 27 Desember 2017 

Sedikit Pendapat Untuk Pidato Presiden Joko Widodo Dalam Acara Penyerahan DIPA TA 2018

Entah kenapa jadi ada ide buat nulis lagi walaupun peristiwanya sudah beberapa minggu yang lalu, tapi baru sempat ditulis sekarang. Awal mulanya karena rekan diruangan ada yang lagi ngobrolin pidatonya Presiden Joko Widodo saat acara penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) pada tanggal 6 Desember 2017 di Istana Kepresidenan Bogor. Sebelumnya saya sudah sempat lihat video itu, tapi jadi semakin penasaran mau menggali lebih dalam khususnya saat Pak Jokowi menyampaikan butir terkait dengan efisiensi. Pak Jokowi kurang-lebih mengatakan seperti ini, “efisiensi perlu dilakukan pada belanja operasional, honorarium, perjalanan dinas, rapat, dan lain sebagainya. Teliti saat pertama kali menyusun RKA-K/L. Setiap kegiatan terdiri dari tahap persiapan, pelaksanaan, dan pelaporan, dan kegiatan intinya adalah pada tahap pelaksanaan, sedangkan yang terjadi di K/L adalah anggaran lebih besar di tahap persiapan atau dapat dikatakan bahwa belanja pendukung lebih dominan dibandingkan belanja intinya. Contohnya adalah pemulangan TKI dengan anggaran Rp3 miliar, biaya pemulangan sebesar Rp500 juta, sedangkan sisanya sebesar Rp2,5 miliar digunakan untuk kegiatan rapat dalam kantor, rapat koordinasi, perjalan dinas, keperluan ATK, dan lain sebagainya.”

Berdasarkan pernyataan beliau, muncul penasaran dibenak saya, apakah memang demikian kondisi yang terjadi pada Kementerian/Lembaga di negeri ini. Kalau pun memang demikian, apa yang harus dilakukan?????

Saya mencoba menggali dengan data yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Anggaran, dalam menghasilkan suatu output berupa barang atau jasa, maka diperlukan biaya komponen yang sifatnya utama dan pendukung. Sebelum menunjukan data yang ada, saya akan sedikit menyampaikan mengenai definisi komponen utama dan komponen pendukung sesuai dengan PMK Nomor 94 Tahun 2017 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan RKA-K/L dan Pengesahan DIPA.

Komponen Utama merupakan semua aktivitas Keluaran (Output) Kegiatan teknis yang nilai biayanya berpengaruh langsung terhadap volume Keluaran (Output) Kegiatan. Komponen utama merupakan aktivitas yang hanya terdapat pada Keluaran (Output) Kegiatan teknis dan merupakan biaya variabel terhadap Keluaran (Output) Kegiatan yang dihasilkan.
Komponen Utama = Output Teknis (yang biayanya berpengaruh langsung terhadap volume output).
Komponen Pendukung merupakan semua aktivitas Keluaran (Output) Kegiatan generik dan aktivitas Keluaran (Output) Kegiatan teknis yang nilai biayanya tidak berpengaruh langsung terhadap volume Keluaran (Output) Kegiatan. Seluruh aktivitas dalam Keluaran (Output) Kegiatan generik merupakan komponen pendukung.
Komponen pendukung pada Keluaran (Output) Kegiatan teknis digunakan sebagai biaya tetap terhadap Keluaran (Output) Kegiatan yang dihasilkan, misalnya komponen desain, administrasi proyek, pengawasan, dan sejenisnya.
Komponen Pendukung = Output Generik + Output Teknis (yang biayanya tidak berpengaruh langsung terhadap volume output).

Sesuai dengan data yang dimiliki Direktorat Jenderal Anggaran, secara total belanja Kementerian/Lembaga selama periode TA 2016 dan TA 2017, komponen utama komposisinya lebih tinggi dari komponen penunjang, bahkan pada TA 2017, perbandingan komposisi antara komponen utama dengan komponen penunjang adalah 61,1% dibanding 38,9%. 




sumber : Direktorat Jenderal Anggaran


Data pada tingkat komponen menunjukan bahwa secara total anggaran Kementerian/Lembaga masih dalam kondisi yang baik apabila dilihat dari biaya komponen utama dan komponen pendukungnya. Ini artinya bahwa, belanja pemerintah pusat sebagian besar digunakan untuk membiayai hal-hal yang bersifat produktif. Secara teori, saya sendiri belum menemukan yang menyatakan secara terang-terangan komposisi yang ideal antara biaya utama dengan pendukung. Kesimpulan yang bisa saya ambil adalah semakin kecil biaya pendukung maka secara total belanja akan lebih efisien.


Kembali kepernyataan Pak Jokowi sebelumnya, yang disampaikan beliau adalah hal-hal rinci yang tingkatannya ada di dalam komponen. Dengan adanya konsep Penganggaran Berbasis Kinerja, seharusnya tidak lagi mengontrol input tetapi orientasi pada kinerja (output and outcome oriented). Input dapat dikontrol dengan mendorong Kementerian/Lembaga untuk menyusun Standar Biaya Keluaran secara penuh pada dokumen RKA-K/L. Kemudian pemantauan dan evaluasi dilakukan pada Kementerian/Lembaga dengan melihat kinerja melalui capaian indikator-indikator kinerjanya. Sehingga ketika dilakukan rasionalisasi anggaran saat tahun berjalan maupun penyusunan anggaran pada tahun yang direncanakan, efisiensi anggaran dapat dilakukan pada kegiatan (level komponen sampai dengan output) yang tidak berkinerja sesuai dengan hasil pemantaun dan evaluasi tanpa melihat input-nya.

Pendapat saya ini memang berbeda dengan apa yang disampaikan Pak Jokowi, saya tidak akan melihat input-nya, tetapi lebih jauh lagi, bagaimana outcome jangka pendek hingga outcome jangka panjang (impact) dapat tercapai. Ketika ada outcome yang tidak tercapai, maka evaluasi output-nya maupun activity didalamnya. Bahkan apabila terdapat output yang tidak memberikan dampak, maka dapat direkomendasikan untuk di-drop.

*ini hanya pendapat pribadi penulis, kondisi nyata yang terjadi pada penulis bisa saja tidak demikian adanya.