Tangga

Hai tangga, apa kabarmu?
Kemarin kita bersua hari ini pun juga.
Hai tangga, sepertinya, kita akan banyak berjumpa.
Aku akan sering mengunjungimu di masa depan.
Hai tangga, maafkan aku.
Jika aku menyalahgunakanmu untuk sejenak, melepas penat pekerjaan.
Hai tangga, temani aku.
Menghisap satu-dua batang rokok, melemaskan otot-otot yang kaku.
Hai tangga, terima kasih.
Kamu telah setia menjalankan tugasmu, sebagai perlintasan antar lantai.
Tempat kami para pencari nafkah bercengkrama melepas lelah dari jenuhnya ruang kerja yang dingin.

Kirlian


Energi tidak dapat diciptakan. Energi tidak dapat dimusnahkan. 
(First Law of Thermodynamics) 

Hukum Kekekalan Energi membawaku ke sini. Kuletakkan telapak tanganku di pelat metal berbentuk jemari manusia itu. Dingin. Sesungguhnya aku merasa sedang duduk di kursi listrik seperti di film-film misteri. Apabila saat itu aku tahu bahwa pelat di kedua telapak tanganku ini terhubung dengan kabel voltase tinggi, tentu aku akan ciut mengundurkan diri dari sesi foto ini. Tapi dorongan untuk mengetahui lebih tinggi daripada kecemasanku.  

“What color is my aura?” That is the question. 

Beberapa bulan yang lalu aku sudah “mengetahui” jawabannya dari sebuah sesi quiz online. 

Tapi jelas ada bedanya antara bukti empiris dengan data intepretatif. Quiz tersebut menafsirkan warna aura dari beberapa pilihan yang kita ambil dari serangkaian pertanyaan mengenai preferensi pribadi di dalam beberapa simulasi situasi. 

Foto aura tidak banyak bertanya. Ia hanya memberikan hasil. Hanya kita sendiri yang mengambil kesimpulan dari serangkaian pantulan gelombang warna yang tercetak pada kertas film itu. Dalam 10 detik, semua hal tentang diriku akan tercetak di selembar kertas berukuran 8 x 10 cm. 

Pelat metal berfungsi menghantarkan listrik dari tangan melalui kabel ke arah kamera Kirlian di hadapanku ini. Sejenak petugas bergeming melihatku seperti orang bingung setelah mengecek kameranya. 

“Tolong bersandar ke dinding, ” katanya. Aku baru mengerti bahwa grounding atau melekatkan anggota tubuh ke dinding atau lantai membantu kualitas gelombang warna yang dihasilkan oleh tubuh kita. 

Aura. Bagi yang skeptis, fenomena ini hanya isapan jempol belaka. Bak fenomena paranormal seperti rasi bintang, bola kristal, fengshui dan lain-lain, untuk beberapa orang aura hanyalah satu topik pengisi waktu luang sambil minum kopi atau mengusir kejenuhan. 

Tapi, seperti orang lain, aku pernah belajar fisika, dan sedikit banyak mengetahui mengenai sifat-sifat dasar dari energi, cahaya, optik, dan spektrum warna. Satu topik saja yaitu “energi” dapat dibagi lagi ke dalam beberapa sub topik misalnya energi cahaya, energi bunyi, energi listrik, energi panas, energi terbarukan, energi tak terbarukan, dan banyak lagi. Apapun bentuk energi, satu hal sudah jelas, yaitu energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan. Energi hanya berubah bentuk. Setidaknya begitulah Hukum Kekekalan Energi yang sering kita pelajari di sekolah-sekolah dasar dan menengah. 

Aura hanyalah salahsatu bentuk energi dihasilkan manusia. Seorang manusia dapat menghasilkan energi suara, energi gerak, energi listrik, energi panas, energi cahaya, dan banyak lagi. Seperti halnya panas tubuh manusia dapat dengan mudah terdeteksi dengan kamera inframerah di tempat yang tergelap sekalipun, begitu juga aura semua makhluk (hidup dan mati) dapat terdeteksi dengan kamera Kirlian. Satu koin uang Rp500 mempunyai aura. Satu lembar daun di pohon mempunyai aura. Bahkan untuk beberapa mata yang terlatih, aura dapat terlihat tanpa bantuan kamera. Seorang kenalan pernah bercerita bahwa ia menikmati lalu-lalang manusia di tempat keramaian karena ia dapat melihat indahnya warna-warni aura seiring pergerakan mereka. 

Warna-warna aura tercipta karena adanya karakteristik dasar dari “cahaya”. Dahulu, terdapat anggapan bahwa cahaya merupakan gelombang yang dapat diukur frekuensi dan kecepatannya. Cahaya mempunyai kecepatan yang sangat tinggi, yaitu 299.792.458 m/detik. Begitu tingginya kecepatan cahaya sehingga jarak objek antariksa seringkali diukur bukan lagi dengan satuan kilometer melainkan tahun cahaya, 9.4605284e15 m atau hampir mencapai 10 triliun kilometer. Warna yang terlihat merupakan gelombang cahaya yang dipantulkan oleh permukaan benda yang sedang kita amati. Dengan kata lain, sebuah apel berwarna merah bukan karena ia berwarna merah tapi karena permukaan apel telah memantulkan gelombang cahaya berwarna merah. 

Belakangan, juga diketahui bahwa cahaya merupakan partikel bermuatan energi yang dinamakan “photon”, dimana sifatnya sangat unik yaitu tidak mempunyai massa (berat) namun mempunyai energi. Photon pada setiap warna berbeda-beda, sehingga energi satu warna akan berbeda juga dengan energi pada warna lainnya. Apabila cahaya dapat didefiniskan sebagai gelombang sekaligus juga sebagai partikel … bayangkan seberapa banyak informasi yang dapat diperoleh dari satu lembar foto. Kita dapat mengetahui energi yang ada pada saat itu. Kita juga dapat mengetahui frekuensi yang terjadi pada saat itu. 

Dengan pengetahuan dasar mengenai warna, cahaya, optik, listrik, dan energi inilah kemudian kita dapat memahami fenomena aura.

Seperti hati, antri ...

Ini Judulnya Lupa


Tak banyak yang kukenang,
Itupun remang-remang,
Tak lengkap, sepotong-sepotong,
Aku lupa apa dulu kamu bilang iya,
Tak ingat pula apa aku pernah meminta,
Hanya sentuhan biasa,
Lalu terbakar birahi membara,
Lalu lagi,
Terus lagi,
Terkadang mau akhiri, tapi ingin lagi,
Tak bisa berhenti.
Ingat tapi tak lengkap,
Kutemukan sepotong tercecer sepotong,
Kurangkai ingatan, buyar terjaga,
Aku cuma ingat memberimu mantera,
Jangan minum dari cangkir yang sama,
Nanti kamu tak bisa lupa,
Kamu tak percaya,
Lalu kuberi lagi mantera,
Jangan cium aku pakai rasa,
Nanti namaku tak bisa hilang dari darah,
Kamu cuma tertawa,
Aku lupa ada berapa mantera,
Seingatku tiga,
Kamu bilang lima,
Ingin kutarik, tak ingat caranya,
Salahku tak menuliskannya,
Salahmu juga tak mengingatkannya,
Jadilah kita melayang-layang,
Terjebak kenangan dimana-mana,
Ingin lupa tapi tak bisa,
Ingin ingat tapi harus lupa,
Sebentar kucoba,
Siapa tau ada mantera tersisa,
Kututup mata, merapal mantera,
Satu....dua....tiga,
LUPA LUPA LUPA LUPA LUPA,
Wussss….
Ajaib,
Bayangmu ada dimana-mana,
Kulihat lagi apa yang salah,
Owalah, harus kebalikannya,
Baiklah,
Kupejam lagi mata, satu... dua... tiga,
INGAT INGAT INGAT INGAT INGAT,
Wusssss…
"Loh, kok masih ada?"
"Astagaaaa..!!", aku salah,
Harusnya baca APUL APUL APUL APUL APUL,
Mana mantera sekali baca,
Ya sudahlah,
Silahkan ada dimana-mana,
Asalkan bisa saling menjaga,
Tanpa harus selalu bersama.

Jakarta, 14012020

"Jangan Mencuri, Nanti Kamu Terbiasa..!"


Menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) itu tak mudah. Kebutuhan hidup sama dengan profesi lainnya, tapi kekayaan tidak boleh sama. “Kalau mau kaya jangan jadi PNS!”, ujar seorang Menteri di Republik ini dahulu kala. Aku mungkin masih terlalu muda saat memutuskan untuk bersekolah di sekolah kedinasan yang menjadikanku berstatus PNS . Terlalu muda juga untuk memahami bahwa hidup ini butuh banyak biaya sedangkan PNS tak boleh kaya.
Aku bukan berasal dari keluarga berada, meski ayahku seorang pedagang besar dulunya. Saat aku lahir sebagai bungsu dari dua belas bersaudara, ayahku mulai kehilangan masa kejayaannya. Tapi beliau yakin dan percaya bahwa banyak anak banyak rejeki, patah tumbuh hilang berganti. Kewajiban membiayai hidup pun beralih ke anak-anaknya.
Tak banyak yang kuingat di masa kecil. Biasa saja, cukup makan cukup pakaian. Ketika mulai sekolah, hanya satu pesan ayah: dapat negeri atau tidak sekolah sama sekali. Aku merasa tidak ada masalah, tidak merasa kekurangan walau sering menahan keinginan. Uang sekolah lancar, buku pelajaran lengkap tersedia, juara kelas dapat hadiah. Tak pernah ada beban, meski lambat laun aku sadar bahwa aku menanggung harapan yang besar. Aku adalah si bungsu yang disayang, dimanja dan diharapkan jadi permata keluarga. Ketika SMA nilaiku turun, jangankan jadi juara, masuk lima besarpun tak pernah. Kakakku marah karena aku memilih ilmu sosial daripada eksakta. Meskipun akhirnya aku bisa juara, tapi kekecewaan itu tetap terasa.
Kuputuskan meninggalkan tanah tumpah darah, menuju ibukota. Cukup setahun pertama, lalu aku akan terbiasa. Tapi aku tetap si bungsu, tak akan lepas dari keluarga, mereka tetap menjaga walaupun harapan telah berubah.
“Pergilah, baik-baik di tempat kerja, jangan sampai tak makan karena uang tak bersisa, berhutang dulu tak apa, tapi jangan mencuri karena nanti kau jadi terbiasa”. Itulah pesan orang tua dan sanak saudara ketika aku pamit ke penempatan pertama, Kantor Perwakilan di pelosok nusantara. Setahun tidak terasa. Makan minum tidak masalah, tapi ada hati yang mulai mendua. Tak mungkin menikah tanpa biaya, apalagi masih ada cita-cita. Akal sehat mulai terjaga, amplop dari mitra pun mulai diterima.
Kembali ke ibukota, mengejar cita-cita. Hidup mulai berubah, PNS semakin jaya walau tetap tak boleh kaya. Ibu tiada, hanya isak tersisa karena tidak sempat membuatnya bahagia. Hanya ayah yang ada, namun beliau tetap tidak minta aku untuk jadi kaya. “Carilah istri orang Jawa”, hanya itu pintanya. Akupun menikah dengan kondisi apa adanya. Mertua bisa terima. Tak perlu kaya, jujur saja, semua rejeki dari Allah.
Jadi PNS itu susah, saat ingin berbeda, berbagai godaan datang menerpa. Honor, jalan dinas, fasilitas dan berbagai harta benda sangat menggoda. “Jangan mencuri, nanti kau jadi terbiasa”, terngiang lagi nasehat lama. “Kamu kan menerima, tidak meminta, sekali dua kali boleh saja”, setan jahat mulai menyapa. Nasehat orang tua benar adanya, aku pun mulai terbiasa. Tetap tidak meminta, tapi tak menolak untuk menerima dan mulai berharap adanya.
PNS tidak boleh kaya tapi hidup kan butuh banyak biaya. Saat rakus mulai meraja, mata hati mulai terjaga. Tetap menerima tapi tidak mengharap adanya. Apa setan lalu berdiam saja?. “Bukan curian itu yang kamu terima!”, demikian bisiknya. “Anakmu mulai sekolah, istrimu perlu belanja, sedang gajimu tidak seberapa!”, demikianlah lanjutnya. Nafsu mulai bicara. Sedikit saja takkan dipenjara. Dilema.
PNS ternyata ada yang kaya, meski lebih banyak yang tidak kaya. Apa yang kaya selalu menerima dan meminta? Apakah yang tidak kaya, tidak pernah menerima, tidak pernah meminta? Aku kembali terjebak dalam dilema. Jangan mencuri nanti kau jadi terbiasa harusnya menjadi mantera. Alhamdulillah doa diijabah, kerja berpindah, tak mungkin meminta dan jarang sekali menerima meskipun sah. Mudah-mudahan jadi terbiasa.
Jadi PNS memang susah, tapi semua hanya masalah terbiasa atau tak terbiasa. Kaya bukan yang utama, tapi hidup jujur lebih berkah. Saat hidup banyak asa, berserah diri kepada Allah sambil membaca mantera: “Jangan mencuri nanti kau jadi terbiasa!”.

Jakarta, 14012020
*Tulisan ini pernah dimuat dalam buku "kerDJA, 46 kisah inspiratif membangun negeri", DJA@2017


Manah yang mendua ...

“Kamu tau kenapa hati kita ada dua?,” tanyamu saat itu.
Aku menggeleng.