Tunggu pembalasan gue ya pak boss ...

Salimah & Halimah





Salimah, seorang wanita berusia lima puluh sedang mengaduk nasi yang baru tanak. Setiap mencuci beras dilantunkannya shalawat berharap berkah pada makanan untuk keluarganya. Sebelumnya, ia telah menyapu halaman bakda subuh, yang disusul dengan memasukkan air yang telah masak ke dalam termos.  Ia kini membuka tutup panci dan mulai mengupas telur ayam kampung yang telah direbusnya. Setelah telur terkupas tuntas, ia menumis sawi dan tahu. Dikerjakan semua dengan telaten dan ringan hati. Sampai sebuah suara dari ruang tamu menjeda kegiatannya.
Kupi mana kupii...”
“Iye Beh.. bentar ye” sahutnya Salimah.
“Lama amat, dah sepet mulut!”
Segera disiapkannya kopi untuk Babeh Rali, suaminya.
Pintu ruang tamu terbuka tiba-tiba.
Tanpa salam, Halimah datang sambil merengut. “Kenape muke kusut bener?” Tanya babeh kepadanya.
“Mahal Beh apa-apa sekarang” , ujarnya sambil diletakkannya plastik berisi belanjaan ke meja. Halimah, wanita kedua di rumah itu terlihat cemberut.
Ah, Salime kaga pernah ngomong ape-ape”, babeh melirik Salimah yang baru saja menyuguhinya pisang goreng sebagai teman kopi paginya.
Salimah tersenyum, tertawa kecil memperlihatkan kerut mata sayunya.“Iya beh, emang banyak barang pade naek si”
Tambahin apa Beh, duit bulanan”, rengut Halimah.
Tar.. gue jual tanah dulu. Pan lu tau bisnis bengkel gue segitu aje duitnye. Kebon juga segitu bae”
“Ah, payah Babeh mah...” Halimah menutup pintu kamar dengan agak dibanting.
“Bujug... galak amat bini. Puyeng !" babeh segera beranjak dari kursi dan menuju teras mencari udara segar.
Salimah mengekor dari belakang. Babeh memandangnya dengan tatapan serius.
Meh, gue tar malem kaga pulang. Mao ke Banten”
“Ngapain Beh?”
“Ketemu temen trus mancing bareng dah. Sedep banget tuh”
"Jauh bener Beh... Sendirian dari sini?"
"Maonya mah ngajak Halimeh. Ah die ngambegan. Ogah dah!"
“yaudah ati2 Beh”
Lu bae bae ye jaga rumah. Jan kangen ma gua...hahaha..eh iyak, urusin dah tu Halimeh. Reseh dia”
Iya Beh. Tar saya ajak ngobrol dah”
Babeh segera bersiap pergi. Tak lupa membawa alat pancing kesayangannya.
Salimah mengetuk pintu kamar Halimah. “Meh, ada pisang goreng nih. Lu pan belon nyarap Neng.”
Lama tak ada jawaban
Meh, gue kemaren beliin lu jilbab baru”
Tak lama pintu dibuka
Halimah yang cantik dan jauh lebih muda tersenyum kecil. “Makasih Mpok. Mane jilbab ma pisangnye?”
Salimah tersenyum memperlihatkan gigi depannya yang telah tanggal satu.
-----------
Malam ini Salimah tidak enak hati. Rasanya menyebalkan sekali karena bolak balik ia bangun.
Dilihatnya Halimah tertidur pulas di sampingnya. Si babeh ngga pulang malam ini.
Akhirnya diputuskan untuk solat dan ngaji saja. Jam masih menunjukkan pukul dua pagi. Sampai ketukan keras di pintu mengangetkannya setengah jam kemudian.
Bu Halimah... maaf Bu..itu.. ada ambulan katanya Babeh Bu..Babeh...”
“Babeh kenape?”
“Babeh gaa adaa Buu.....” Bang Irfan tetangga depan gang rumah mengabarkan berita sembari menangis.
"Pegimane sih Bang maksudnye?"
"Babeh dipanggil ilahiii...."
“Innalillahi wa inna ilaihi rooji’uun”
-------------------
Halimah menangis keras-keras di hadapan tubuh tak bernyawa babeh. “Halimeh, ikhlasin aja Meh,” Salimah merangkul pundak madunya itu. Halimah memeluk Salimah erat-erat. “Imeh belon minta maap ama Babeh, Mpok.. nyesel banget dah rasanya..huhuhu...”
Salimah sekilas mendengar bisik-bisik tetangga di belakangnya. “Babeh kenapa yak tiba-tiba ga ada?” “Au, angin duduk kayaknya dah! Orang kemarin aje masih ngopi” “Bahaya juga ya angin duduk kaya serangan jantung” “Au ah, hii ngeri emang”.
“Maap Mpok, ini kapan dimandiin. Dah siang..” Teh Jani mencolek bahu Salimah. “eh iya, karang aja dah..”
Jasad diangkut ke samping rumah yang telah disiapkan keranda pemandian dan sebuah gentong besar yang tercelup selang di dalamnya. Salimah memandikan suaminya sekaligus memegang badannya tuk terakhir kalinya. Rasanya tangis hampir pecah karena menahan rasa. Istigfarlah yang bisa dilakukannya. Terkenanglah ia akan senyum babeh saat menyeruput kopi buatannya.
Diusap badan si babeh dengan lembut, dikucurinya dengan air melalui selang, disabuninya badan tak bergerak itu. Dikecupnya kening dan pipi babeh, dicium punggung tangan dan kaki babeh.
Halimah kaga mandiin Mpok?”, Teh Jani bertanya pada Salimah.
“Kaga, takut ga kuat die. Jarin aja, sian..”
Entah mengapa bayangan rekaman hidup mereka datang dalam benak Salimah, memaksa air mata tanpa suara mengalir tak kuasa ditahannya lagi.
 ----------
“Semoga Allah maapin semua kesalahan babe..hik..hik” Halimah berkata sembari terisak. Salimah mengaminkan dan mengajak Halimah ikut menyolatkan Babeh. “Ayok neng..kite solatin Babeh..”
Namun Halimah pingsan melihat babeh sudah dipocong kain kafan. Babeh pun disholatkan tanpa Halimah, kemudian dikuburkan di pemakaman keluarga Babeh di kampung sebelah.
Yang tertinggal bersama Babeh di sana adalah tikar buat alas Babeh di keranda. Salimah dan Halimah tentu tak membersamai. Malem ini Babeh sendirian di sana.      
 ----Tak terasa, satu bulan telah berlalu... --
Sejak Babeh pergi, jarang ngomong si Eneng..” Salimah berujar sembari mengiris bawang merah.
"Iye Mpok..banyakan nyeselnye Aye soal Babeh."
Salimah melihat Halimah sekilas, "minta ampun ama Allah, doain babeh..insyaAllah dah.."
Lempeng amat Mpok.. kaga sedih Babe pergi?”
“Ya.. ada sedihnye.. tapi ini takdir Meh.. mau bilang ape kite..”
“Pasrah bae yak si mpok”
“Au dah...” ujar Salimah sambil mengelap air mata yang mengalir dengan bajunya
“Ngapa Mpok..terharu yak inget babeh?”
“Bukan, pedes bet ni bawang yak...” Salimah menjawab sembari tertawa ringan.




Rindu

Aku didiami rindu, rinduku...dia baru saja hadir, tetapi sudah sedemikian sombongnya berdiri dengan sedikit mengangkangkan kaki, melipat tangannya di dada seperti centeng di pasar pagi, modal gertak.

kusiram air tak hanyut,
kuberi api tak terbakar,
kulumuri ikan asin biar dibawa kucing jalanan, kucing sial itu lebih tertarik bermain sapu ijuk, padahal kurus kering badannya

akhirnya kuajak dia bicara baik-baik
kubilang "kau terlarang", dia bergeming tersenyum sebelah bibirnya tertarik sedikit
"terus kau mau apa?" katanya dengan suara berat dan mata setengah tertutup, sepertinya habis mabuk
"aku mau kau pergi!" kataku keras, dihantamnya aku dengan belakang tangannya, aku langsung pingsan, yang kuingat terakhir ada beberapa batu akik besar di tangan kanannya, tapi sepertinya tadi tangan kiri...

Kemarin


kemarin itu....
mengapa tidak kita berbicara mata ke mata
sehingga bahasa hati tidak tersamarkan

atau adakah yg engkau sembunyikan sehingga aku tak (boleh) tahu?

jika tidak ada yg disembunyikan
tidak bisakah aku mendapat kehormatan untuk melihat matamu ketika berbicara

CaLisTung (Yang Tersisa Dari Pendidikan Kita)

“Pendidikan itu (seharusnya) memanusiakan manusia” – Tan Malaka
Kemacetan lalu lintas sudah sangat akrab bagi sebagian besar orang-orang yang tinggal di Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek). Pertukaran arus manusia terjadi setiap hari, dari mulai pagi buta sampai dengan tengah malam. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurai masalah kemacetan ini tapi sepertinya belum menunjukkan hasil yang signifikan.
Sebagai seorang pekerja yang tinggal di pinggiran Jakarta, saya pun terbiasa dengan situasi ini. Waktu tempuh 1 - 1.5 sampai dengan 2 jam untuk  jarak 25 km menjadi ukuran normal untuk mengatakan “lumayan lancar”. Lalu lintas macet adalah ketika waktu tempuh menjadi lebih dari 2 jam, lucu bukan?. Untuk menghindari kemacetan, saya lebih memilih untuk bersepeda (meskipun tidak setiap hari) ke kantor daripada menggunakan angkutan umum. Buat saya, menggunakan angkutan umum adalah tidak ekonomis dan mengharuskan saya untuk berangkat lebih pagi. Lokasi rumah yang lumayan jauh dari stasiun kereta api juga membuat saya tidak menggunakan moda kereta api sebagai pilihan alat transportasi.
Kembali ke soal kemacetan. Saat terjebak macet, saya berusaha untuk selalu berfikir positif dan tidak ‘terpancing’ dengan kondisi yang ada. Salah satu ‘kegiatan’ yang saya lakukan adalah mengamati perilaku pengemudi kendaraan bermotor, baik motor ataupun mobil. Seringkali saya menemukan bahwa kemacetan lebih banyak disebabkan oleh tidak disiplinnya pengemudi selain memang debit kendaraan yang melebihi daya tampung jalan raya.
Sudah bukan pemandangan aneh apabila ada motor/mobil yang menyerobot lampu/rambu lalu lintas, mengemudi melawan arus, berhenti/parkir di tempat yang dilarang, menyalip dari kiri, berjalan pelan di jalur paling kanan, dan yang lebih mengerikan lagi belakangan ini adalah sering terlihat pengemudi motor yang menggunakan handphone pada saat mengemudi.
Ada suatu ungkapan yang menyatakan bahwa perilaku berlalu lintas di suatu negara mencerminkan tingkat pendidikan di negara tersebut. Apabila merujuk ke ungkapan tersebut maka akan timbul pertanyaan: “apakah tingkat pendidikan di Jabodetabek sedemikian rendah sehingga kondisi dan perilaku berlalu lintas sangat semrawut?”
Walaupun belum melakukan survei, tapi saya berani bertaruh bahwa sebagian besar pengemudi kendaraan bermotor adalah orang-orang berpendidikan, minimal berlatar belakang pendidikan menengah. Data dari Korps Lalu Lintas juga menunjukkan bahwa 57% korban kecelakaan lalu lintas berlatar belakang pendidikan SLA. Lalu apakah tertib lalu lintas tidak pernah diajarkan di sekolah-sekolah? Bukankah sejak TK anak-anak sudah diajak field-trip ke taman lalu lintas? Kegiatan-kegiatan polisi cilik juga sudah banyak. Meskipun tertib lalu lintas tidak masuk secara resmi dalam kurikulum, tapi selalu ada muatan untuk menghargai hak orang lain, patuh pada peraturan dan saling menghormati sesama manusia.
Lalu mengapa semua muatan, nilai-nilai dan kegiatan-kegiatan tersebut tidak “berbekas” di jalan raya? Semua menjadi boleh sepanjang tidak menabrak atau ditabrak. Semua bebas asal tidak tertangkap petugas. Jangankan peduli keselamatan orang, keselamatan diri pribadi pun diabaikan. Alih-alih memikirkan emisi karbon, membuang tiket tol di tempat sampah saja tidak pernah dilakukan.
Sesuai dengan aliran Behaviorisme, seluruh perilaku manusia selain insting merupakan hasil belajar (Syam, M.Noor dkk. 2003. Pengantar Dasar-dasar Pendidikan). Teori Belajar atau Behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilaku manusia dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan (Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Psikologi Komunikasi).
Berdasarkan teori di atas, dapat disimpulkan bahwa secara sadar atau tidak sadar, formal maupun informal, perilaku manusia merupakan hasil belajar dan pengaruh lingkungan yang membentuk sikap dan cara pandang yang berbeda terhadap sesuatu.
Lalu darimana para pengemudi tersebut belajar? Dari sekolah? Dari lingkungan? Bukankah lingkungan mereka juga terpelajar? Pertanyaan yang sangat sulit terjawab, namun perlu kita lihat kembali seluruh sistem pendidikan dan lingkungan belajar kita. Tentunya kita tidak ingin pendidikan hanya menyisakan kemampuan baca-tulis-hitung (Ca-Lis-Tung) dalam arti harfiah; membaca tapi tidak paham apa yang dibaca; menulis tapi tidak tahu apa yang ditulis; berhitung tapi tidak mengerti apa yang dihitung. Pendidikan (seharusnya) memanusiakan manusia, bukan malah menciptakan 'monster pembunuh' di jalan raya.

Nak, saat itu ... [Puisi Kenangan 3]

Ketika Kau Mengerang Sebelum Mati [Puisi Kenangan 2]

Ratap Pongah di Ujung Usia [Puisi Kenangan 1]