Tunggu pembalasan gue ya pak boss ...

“Aduh ...” aku meringis pelan ketika merasakan cubitan kecil Ratu mendarat di lenganku. “Banguuun... dengerin si boss tuh, tidur aja,” dia berbisik pelan di telingaku. “Gw lagi ga enak badan nih, pusing,” jawabku sambil sekilas mendaratkan telapak ku ke punggung tangannya. “Ih, badan lu panas, udah turun aja sana istirahat,” Ratu masih berbisik. Lalu kami sama-sama terdiam ketika menyadari beberapa pasang mata memandang ke arah kami.

“Salah satu makna dari Surah Al-Jumu’ah 9-10 adalah mengingatkan kita bahwa dalam bekerja kita hendaknya selalu ingat kepada Allah, sehingga tidak terperosok ke dalam perbuatan yang tidak diridhai NYA ...”, suara Pak As yang pagi ini mengisi tausyiah, menjelaskan panjang lebar tentang keutamaan mengingat Allah dalam bekerja.

Sejak pak Asmuni menjabat, beliau mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan staff dan jajaran pimpinan hadir dalam pengajian rutin setiap Jum’at pagi yang dilanjutkan dengan tausyiah. Saat itu, hanya aku yang berkomentar sinis di depan sesama kolega. “Aturan apalagi ini? Masa’ ibadah aja harus dipaksa sih? Pake anceman SP pula, terus gimana niatnya itu? Biar belajar agama, mendapat kebaikan atau biar ga kena SP?”, sungutku yang hanya dibalas senyum beberapa kolega, senyum membenarkan namun jelas pilih tidak menanggapi daripada cari penyakit.

“Waalaikummussalam warrahmatullahi wabarakatuh ...”, lamunanku buyar seiring jawaban salam penutup dari majelis.

Aku ikut berdiri bersama yang lain, akan kembali ke ruangan kami masing-masing di lantai bawah ketika terdengar suara bu Didi setengah berteriak dari bibir tangga atas. “Bu ... dipanggil Bapak, katanya ada yang mau ditanyain itu berkas yang mau ditanda tangan”.  Sebelum pengajian tadi aku memang menitipkan beberapa berkas kepada salah seorang staff sekretariat.

Aku menoleh ke arah bu Didi, menanggapi, “Nanya apa?, aku doank apa ada yang lain yang diminta menghadap?”, tanyaku sambil berbalik kembali menaikki satu persatu anak tangga dengan sedikit gontai karena agak pusing dan meriang.  “Wah saya ga tau bu, saya sih cuma diminta manggil ibu aja, mungkin ada yang penting,” jawab bu Didi ketika aku sudah sampai kembali ke atas berdiri bersejajar dengannya. “Yuk temenin,” ajakku menarik pelan tangannya, namun, dengan cepat dia menepis,” Maaf bu, saya mau buru-buru ini, ada kerjaan,” tolaknya halus sambil tersenyum.

Aku menyapu ruang rapat yang tadi digunakan untuk pengajian. Lengang. Lalu menatap sekilas satu persatu ruang 3 wakil pimpinan yang berjejer di sayap muka. Pintu ruang bu Asmah yang terbuka setengah tak berpenghuni. Pintu ruang pak Sodikin tertutup rapat, tidak jelas apakah beliau ada di ruangannya atau tidak. Lalu, tampak pak Ahmad yang sedang mengetik duduk menghadap komputernya membelakangi pintu yang terbuka lebar. Hufft, aku menarik nafas lega. Setidaknya ada orang di lantai ini, batinku.

Aku berjalan pelan ke ruangan pak Asmuni yang letaknya berseberangan dengan ruangan para wakilnya, agak di sudut. Ruangan yang cukup luas untuk seorang pimpinan di levelnya. Interior ruangan itu juga cukup mewah dengan berbagai fasilitas; 2 unit AC, 1 set kursi tamu kulit seharga puluhan juta, 1 lemari pendingin yang penuh dengan berbagai jenis minuman, vitamin, kudapan, lalu ada dispenser, TV berlayar datar dan 1 rak pajang terisi berbagai plakat, foto-foto beliau bersama orang-orang penting dalam beraneka kegiatan.

Pak Asmuni duduk relaks di balik meja kerjanya, di pojok ruang dekat pintu masuk, dengan mata terpejam menikmati pijatan dari kursi kerja berbusa tebal. Iya, kursi kerjanya pun kursi pijat. “Biar ga perlu keluar kalau saya mau pijat,” selorohnya saat meminta staff umum membelikan kursi tersebut sambil menyerahkan selembar brosur yang dia dapat malam sebelumnya ketika sedang berbelanja di salah satu mall bersama istrinya.

Salamku membuatnya membuka mata, namun masih pada posisi yang sama. Aku menarik kursi di depan mejanya, duduk berhadapan. Sudah kuduga, dia tersenyum genit, mengedipkan mata ke arahku. Dan seperti biasa, aku tidak mengindahkan, mengalihkan pandang ke tumpukan berkas di depannya. “Sudah ditanda tangan, pak?, kata bu Didi ada yang bapak mau tanyakan, apa ya?”, aku mulai merasa tidak nyaman dengan pandangan tajamnya ke arahku. “Dasar muka c*bu*,” gerutuku beberapa kali kepada Ratu, jika kami sedang membahas si bapak pimpinan ini.

“Udah saya tanda tangan kok ... situ lagi sakit ya?,” dia bertanya dengan panggilan khususnya kepadaku jika sedang tidak ada orang lain di dekat kami. Lalu mematikan kursi pijatnya, mengatur posisi duduk, bertambah lekat memandangku.

Beugh ... muak sekali rasanya. “Ga enak badan aja pak. Berkasnya saya bawa aja ya,” jawabku cepat meraih tumpukan kertas-kertas itu ketika sejurus kemudian aku rasakan sentuhannya pada salah satu tanganku.  Reflek aku menatap tajam ke arahnya, menunjukkan rasa tidak suka. Saat berdiri,   kulihat dia tersenyum lebih lebar, memainkan bibirnya menggodaku. “Maaf pak, kalo ga ada yang ditanyakan, saya pamit, mau makan, lapar,” kataku sedikit ketus dengan wajah dingin lalu berjalan ke arah pintu.

“Situ tambah cantik kalo marah, hehehe ...,” suaranya terdengar sangat berbeda dengan ketika dia memberikan tausyiah beberapa menit yang lalu. Aku tidak paham, apakah itu suaranya atau suara setan yang bersemayam di tubuhnya.

Setengah berlari aku kembali ke ruang kerjaku, meletakkan tumpukan berkas sekenanya di meja, meraih tas lalu keluar kantor bergegas menuju mobil. Baru dalam hitungan detik aku menyalakan starter, telpon selulerku berbunyi; 1 kali, 2 kali, Video Call dari pak As tak kujawab. Kepalaku terasa semakin berat, pelan aku melajukan kendaraan, ketika tak beberapa lama kemudian terdengar nada pesan singkat pada WhatsApp ku. “Bu, nanti ba’da Jum’at makan siang ke ruangan saya ya,” ajak pak As. Hanya kubaca. Saat itu aku hanya ingin segera pulang. “One day, You’ll get what you have done to me several times, Boss... ,” bisik hatiku penuh dendam.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar