Dongeng Musim Pandemi

# 1

Doa 


seorang lelaki 

semalam  berdoa,

Tuhan lindungilah orang orang baik

dari Corona,

Timpakan saja 

pada koruptor, 

pemimpin lalim,

preman  

serta  orang orang jahat lainnya saja

agar hidup ini tak makin berat akan coba


pagi tadi sang lelaki.

sesak nafas

dokter menyebut nya

hasil reaktif  atau  positif

yang tak terlalu jelas dia dengar,

karena dia bergegas hendak meralat doa-nya


( Bekasi,  Agustus 2021)





 

Riak

Keberadaan riak itu biasa

Pada sampan yang berlayar di Samudera kehidupan

Pabila riak berubah menjadi isak

Pastilah ia menyimpan apa yang tak dihendak

Oleh sebab manusia mudah lelah

Segera tuk mendekat padaNYA

Agar lelah DIA ubah menjadi Lillaah

Dengan caraNYA

Dengan keMaha AgunganNYA



MENCARI PUISI (di hari puisi)



kelopak mata belum juga terbuka lebar
gelagapan mencari puisi ke sudut-sudut kamar

ternyata sedang duduk-duduk santai di selasar
asyik berkelakar dengan mentari yang baru saja keluar

"Puisi yang satu lagi mana?"
aku menanyakan pada puisi pertama

di kejauhan tampak dia melambaikan tangan bersama dedaunan
hijau berkilau setelah semalaman mendesau

terdengar cicitcuit dari atap-atap rumah yang seperti saf salat
menemani puisi yang bersiap rapat

"Puisiku masih kurang satu, ada yang tahu?"
coba kutanya pada dunia dan mereka

"Dia masih lelap dalam gumpalan gelap 
di bawah rongga dada"
serempak jawaban terlontar kompak

kunyalakan lampunya
puisi terbangun dari gulita
dan bergegas menyiapkan rasa.



/ekp --- 26 Juli 2021

LINDAP


Dalam lelah
Kau resapi tanpa kesah
Dalam letih
Kau tuntaskan darma bakti

Dia laksana cahaya
senantiasa berpendar
menghalau gulita
Dia laksana embun
Menyerap dingin malam
Meneteskan kesejukan

Cahaya itu
Telah lindap
Embun itu
Telah meng-uap

Meski rindu
Tak dapat lagi berpadu
Lepaskan rasa itu
Biar ia tenang di sana
Tak ada lagi luka
Tak ada lagi nestapa

Halte

Siapa yang sebenarnya menunggu?

Karena jiwa jiwa yang merdeka
Membebaskan pikirannya untuk selalu melaju
Tanpa pola, 
 tanpa lintasan,
Tanpa tepi,  tanpa batasan

meski raganya tergeletak
di ruang tunggu

(wahidin , 3 januari 2020)



Genting

( 1)

wabah yang bermula di negeri asing

belum ada tanda  berpaling,

menghadirkan rona genting

pada wajah  kota yang compang camping


(2)

orang orang berkerumun di pintu samping,

pintu keluar masuk ditutup jaring

resiko terpapar yang mengiring

tak lebih menyeramkan dari periuk nasi yang terguling


(3)

air mata-air mata tak kunjung mengering

sahabat kerabat bergiliran diam terbaring 

tersengal sengal nafas di ujung laring

di teras depan, bunga duka cita kemarin belum lagi kering


(4)

sirene ambulance melengking

suara toa musala tak kalah nyaring

memecah malam  yang hening

atau menyobek siang yang bising


Kabari,

tangan maut datang teramat sering

Lelayu (2)

Seorang teman 

membagikan kabar,

telah pergi dengan tenang 

hari sabtu dan minggu,

dari kalender mejanya,


kamipun bersyukur,

masih punya,

meski sabtu dan minggu-kami  

mengajak selalu berdiam

di rumah saja


(4 Juli 2021)

Lelaki ini dan Topengnya

Sepi. Lelaki ini selalu suka sepi. Suasana yang membuatnya bebas melepaskan topeng. Topeng yang selama ini menjadi wajahnya. Topeng yang selalu dilihat teman-temannya. Menjadi puja-puji sanak saudara. Topeng yang menghadirkan keamanan dan kenyamanan keluarga. 

Saat sepi, saat sendiri, semua topeng itu ditanggalkannya. Mengistirahatkan kelelahan jiwa. Mengembalikan kesadaran yang hampir hilang entah kemana. Manusia hina, penuh aib dan dosa. Selalu penuh tipu daya dan pura-pura.

Sepi ini selalu dirindunya. Saat-saat dimana dia berteriak, menjerit, menangis, menyesali semua kebajingannya. Atau, dia malah tertawa terbahak, mengenang betapa panggung hidup mengelu-elukannya. Tertipu oleh ciamiknya topeng dan peran yang dibawakannya. 

Tidak, lelaki ini tidak merasa bersalah. Hanya lelah. Itupun tidak selalu mengganggu pikirannya. Bukankah menurut Ahmad Albar, hidup ini memang panggung sandiwara? Tiap manusia punya peran, entah wajar entah pura-pura.

Manusia selalu punya topeng. Minimal tiga. Satu topeng selalu dipakai saat di masyarakat, bertemu teman dan kolega. Satu topeng yang dilihat oleh handai taulan dan keluarga. Satu lagi yang mungkin hanya dia sendiri mampu melihat dan menyadarinya.

Lelaki ini terus menikmati kesepiannya. Tak hirau sesekali terdengar gonggong anjing tetangga atau teriakan paket yang diantarkan kurir ke tetangga ujung rumah. Lelaki ini diam, duduk memutar ingatan. Lalu sadar, "aku ini ternyata manusia yang punya lebih banyak masa lalu, daripada masa depan", atau, "bahkan aku tidak punya masa depan?"

Sayup azan berkumandang. Dari TOA Masjid yang sudah menyesuaikan himbauan pemerintah. Sudah saatnya, menunaikan kewajiban, lalu kembali memakai topeng yang lama.


Jakarta, 02062021

#saujana

#nulislagi

#tantangBnD