Lelaki ini dan Topengnya

Sepi. Lelaki ini selalu suka sepi. Suasana yang membuatnya bebas melepaskan topeng. Topeng yang selama ini menjadi wajahnya. Topeng yang selalu dilihat teman-temannya. Menjadi puja-puji sanak saudara. Topeng yang menghadirkan keamanan dan kenyamanan keluarga. 

Saat sepi, saat sendiri, semua topeng itu ditanggalkannya. Mengistirahatkan kelelahan jiwa. Mengembalikan kesadaran yang hampir hilang entah kemana. Manusia hina, penuh aib dan dosa. Selalu penuh tipu daya dan pura-pura.

Sepi ini selalu dirindunya. Saat-saat dimana dia berteriak, menjerit, menangis, menyesali semua kebajingannya. Atau, dia malah tertawa terbahak, mengenang betapa panggung hidup mengelu-elukannya. Tertipu oleh ciamiknya topeng dan peran yang dibawakannya. 

Tidak, lelaki ini tidak merasa bersalah. Hanya lelah. Itupun tidak selalu mengganggu pikirannya. Bukankah menurut Ahmad Albar, hidup ini memang panggung sandiwara? Tiap manusia punya peran, entah wajar entah pura-pura.

Manusia selalu punya topeng. Minimal tiga. Satu topeng selalu dipakai saat di masyarakat, bertemu teman dan kolega. Satu topeng yang dilihat oleh handai taulan dan keluarga. Satu lagi yang mungkin hanya dia sendiri mampu melihat dan menyadarinya.

Lelaki ini terus menikmati kesepiannya. Tak hirau sesekali terdengar gonggong anjing tetangga atau teriakan paket yang diantarkan kurir ke tetangga ujung rumah. Lelaki ini diam, duduk memutar ingatan. Lalu sadar, "aku ini ternyata manusia yang punya lebih banyak masa lalu, daripada masa depan", atau, "bahkan aku tidak punya masa depan?"

Sayup azan berkumandang. Dari TOA Masjid yang sudah menyesuaikan himbauan pemerintah. Sudah saatnya, menunaikan kewajiban, lalu kembali memakai topeng yang lama.


Jakarta, 02062021

#saujana

#nulislagi

#tantangBnD

Tidak ada komentar:

Posting Komentar