Berbagi Jalan, Berbagi Kehidupan

Beberapa waktu lalu terdengar lagi berita tentang seorang pesepeda yang meninggal karena tertabrak sepeda motor. Ini bukan kejadian pertama yang menimpa pesepeda. Sudah banyak kasus-kasus serupa, dari sekedar luka ringan sampai merenggut jiwa. Terlepas dari ajal yang bisa merenggut dimana saja dan dengan cara apa saja, kematian para pesepeda di jalan raya menunjukkan bahwa bersepeda di jalan raya bukanlah kegiatan yang aman. Harapan para pesepeda untuk memiliki infrastruktur yang memadai, aman dan nyaman bukannya tidak disuarakan dan diakomodir, tetapi memang belum bisa dikatakan memenuhi harapan yang paling minimal sekalipun. Jalur sepeda sudah ada di beberapa tempat, namun utilisasi-nya masih sangat minim. Okupasi jalur oleh pengendara kendaraan bermotor masih dominan. Diskusi mengenai hal ini berujung pada perdebatan tanpa akhir, seperti mempertanyakan mana lebih dulu? telur atau ayam?.

Harus diakui bahwa perilaku pengendara kendaraan bermotor belum sepenuhnya ramah terhadap pesepeda. Para penggiat bersepeda ke kantor pasti pernah mengalami tindakan "bullying" oleh pengendara kendaraan bermotor di jalan raya. Dari "sekedar" diklakson, dipepet bahkan sengaja ingin ditabrak. Dengan kondisi seperti ini, tidak heran apabila tingkat kecelakaan yang menimpa pesepeda akan meningkat dari waktu ke waktu.
Kampanye berbagi jalan sudah kerap dilakukan oleh komunitas-komunitas sepeda di tanah air. Ya, berbagi jalan, artinya jalanan bukanlah dominasi kendaraan-kendaraan tertentu (kecuali diatur demikian). Ruang jalan milik bersama; pesepeda, pesepeda motor ataupun pengendara mobil. Semua memiliki hak yang sama. Namun lagi-lagi, efektivitas kampanye tersebut masih belum bisa dirasakan.

Negara-negara yang terkenal sebagai "bike friendly countries" seperti Denmark, Netherlands, Sweden, Finland, Germany, Belgium, Austria, Hungary, Slovakia dan UK, awalnya juga mengalami masalah-masalah tersebut di atas. Namun mereka bisa mendapatkan solusi yang tepat yang menjadikan sepeda sebagai jenis kendaraan yang aman dan mendapat prioritas di jalan-jalan raya mereka. Mereka mengalami perjalanan yang panjang, usaha yang keras dan terus menerus, dorongan masyarakat yang tiada henti yang pada akhirnya menghasilkan kebijakan pemerintah yang cerdas dan solutif tanpa diskriminatif. Di Netherlands misalnya, ketika di tahun 1950-1960 jumlah pemilik mobil bertambah yang pada akhirnya meningkatkan jumlah orang yang tewas di jalan raya (lebih dari 3000 orang, 450 orang diantaranya anak-anak, di tahun 1971), masyarakat turun ke jalan meminta pemerintah untuk membuat kebijakan yang lebih baik, menyediakan infrastruktur yang lebih aman bagi pengguna jalan raya, khususnya pesepeda. Hasilnya bisa kita lihat sekarang. Meskipun secara persentase tingkat kesibukan bersepeda lebih tinggi dibanding infrastruktur bersepeda, kota-kota di Netherlands adalah "surga" bagi para pesepeda, sampai-sampai memakai helm pun tidak wajib disana karena mereka sangat percaya akan keamanan infrastruktur dan sistem lalu lintasnya. Ketika ditanyakan kepada mereka; "are you a cyclist?" mereka dengan bangga menjawab "No, I am just a dutch". Kesadaran yang tinggi dari pengendara kendaraan bermotor disana untuk menghormati pesepeda juga berangkat dari hal tersebut. Empati karena mereka pun pesepeda, orang tua, istri./suami, saudara, anak, dan teman-teman mereka juga pesepeda. Empati yang menghasilkan sesuatu yang mungkin membuat takjub ketika bahkan pejalan kaki pun harus menunggu pesepeda lewat sebelum menyeberang jalan.

Apakah Indonesia bisa seperti itu? Menjadi salah satu bike friendly country?. Bisa, apabila kesadaran berbagi hak di jalan raya sudah tumbuh di masyarakat kita. Bisa, apabila infrastruktur sudah siap dan tersedia dengan sempurna. Bisa, apabila kebijakan transportasi pemerintah dapat secara komprehensif membenahi permasalahan-permasalahan yang ada. Sangat bisa, ketika semua orang sudah sadar bahwa berbagi jalan adalah berbagi kehidupan, setiap orang di jalan memiliki orang-orang yang dicintai, dikasihi yang menunggu kehadiran mereka di rumah.

*tulisan ini juga dimuat di https://wordpress.com/post/ikoerba.wordpress.com/830

Bis Jemputan dan Perilaku Ekonomi

Kalau ilmuwan menggunakan laboratorium untuk melakukan pengamatan, percobaan dan pengambilan kesimpulan, ekonom ala-ala macam saya yang malas melakukan observasi ke daerah pedalaman Indonesia, cukup menjadikan populasi rombongan kereta (roker), sopir bajaj, dan sopir jemputan di stasiun Tanah Abang sebagai objek pengamatan, membandingkan dengan teori ekonomi yang samar-samar masih teringat, dan menarik kesimpulan ‘nyerempet’ motivasi ekonomi gitu. Supaya kelihatan ilmiah, saya membatasi lingkup populasi dengan roker PNS Kementerian yang berkantor di Lapangan Banteng Timur.

Ketertarikan saya untuk mengamati dimulai dari fonomena euphoria roker yang menuntut unit mereka bekerja menyediakan jemputan stasiun-kantor di pagi hari, dan sebaliknya di sore hari. Tercatat 5 eselon 1 yang pada mulanya mengadakan jemputan. Kadang, rekan se-Bajaj saya di luar eselon 1 tersebut berceletuk, “Sayang Setjen ga ada jemputan”, atau, “Andai saja DJA juga ada jemputan”. Pada akhirnya, jemputan 2 eselon 1 bubar, sementara saya kerap mendapat tawaran dari anggota 3 jemputan eselon 1 lainnya untuk ikut bergabung jadi peserta jemputan. Kalau saya jawab, “Ah, nanti saya menggusur hak pegawainya sendiri.” Jawabannya biasanya sama,”Ga juga, kok. Siapa aja yang datang duluan.”

Sebenarnya, perlu ga sih jemputan itu? Kenapa pada akhirnya jemputan ini mengalami kemunduran?

Konon, keputusan ekonomi  diambil berdasarkan motivasi para pelakunya, setelah mempertimbangkan manfaat dan biaya memperoleh manfaat tersebut. Masih ingat kan semboyan, dengan biaya seminimal mungkin memperoleh manfaat sebesar-besarnya? Manfaat maksimal setelah memperhitungkan biaya, kita sebut saja pay-off, yaitu tingkat kepuasan bagi seorang pelaku ekonomi.

Pay-off idaman bagi setiap roker adalah tiba di kantor paling lambat jam 7.30 dengan biaya minim, paling tinggi sebesar tarif jemputan, Rp5.000,00. Apalagi, ada yang benar-benar gratis. Sementara, pay-off bagi penjemput: penumpangnya penuh, mengantar tepat waktu, lebih maksimal lagi kalau ada tambahan uang saku paling tidak untuk membayar jatah preman di tempat tunggu stasiun tanah abang. Dengan kondisi seperti ini, terjadi kesepakatan -ekuilibrium, istilah kerennya- bis akan berangkat paling lambat pukul 7.10 dari stasiun tanah abang, dengan biaya Rp5.000,00 untuk 3 eselon 1. Sementara, 2 lainnya gratis dengan jadwal keberangkatan sama.

Kiranya, ekuilibrium ini tidak sustain, karena masih ada pay-off yang lebih tinggi bagi masing-masing peserta jemputan. Seperti misalnya, karena sering terjebak ‘bekerja nyaris jam pulang kantor’, sehingga pulang malam, atau aktivitas rumahan ibu-ibu yang padat sebelum berangkat kerja, jadi lebih memilih jadwal kereta yang lebih telat di pagi hari. Awalnya ada toleransi menunggu penumpang lain yang agak siang supaya fasilitas ini tetap dimanfaatkan secara optimal. Namun, perubahan komitmen ini, mengundang peserta lain untuk melakukan ‘penyimpangan’ juga demi mendapat pay-off maksimalnya. Menunggu late comer membuat mereka pulang lebih sore dengan ongkos lebih mahal dan terlambat bertemu keluarga. Mereka kemudian merubah tingkat kepuasannya kepada: sampai kantor maksimal jam 7.30, dengan biaya setidaknya Rp8.000,00 s.d Rp9.000,00 menggunakan bajaj bertiga dengan roker lainnya. Karena penumpang mempunyai tujuan sendiri-sendiri, jemputan jadi tidak optimal kan? Apalagi, sopir penjemput ada tugas lain yang menyebabkan kadang jemputan ada, kadang tidak.

Mau membahas arah sebaliknya, kantor-stasiun?? Dengan maraknya rapat dalam kantor yang mengharuskan pulang lewat waktu Isya, ST luar kantor, atau ‘tiba-tiba’ ada pekerjaan menjelang jam pulang, pemandangan apa yang bisa dibayangkan dari bis-bis jemputan ini? Malas saya kumat untuk menganalisis dengan hitung-hitungan pay-off. Hehe… Bis yang bertahan lama meski sebagian besar penumpangnya lowong, bisa jadi, hanya karena sang sopir memiliki kepuasan immateri berupa dedikasi atas pekerjaannya: mengantar pegawai-pegawai ini ke tujuan, berarti menjalanksn tugas dengan baik.

Di setiap kesepakatan, perlu konsistensi dari semua pihak yang terlibat untuk tidak menyimpang dari kesepakatan itu. Iming-iming ‘pay-off’ yang lebih menggiurkan untuk setiap roker, membuat ‘kebaikan hati’ instansi memfasilitasi pegawainya sampai kantor tepat waktu dengan ongkos seminim mungkin -secara mengejutkan- tidak menjadi pilihan pertama bagi pegawainya sendiri, gratis sekalipun. Padahal, menurut pengamatan ‘ala-ala’ saya, jemputan itu semacam ‘campur tangan’ pemerintah menekan laju permintaan akan jasa bajaj yang kalau begitu banyaknya, ditangkap sopir bajaj sebagai kesempatan menaikkan harga. Yang lebih prihatin lagi, operasional jemputan ini kan pakai uang negara, menyia-nyiakan fasilitas ini berarti menyiakan keringat pembayar pajak. Hallaahhh, berlebihan ya? Namanya juga ala-ala … 🌾


Sweeping Tersukses

Secara formal, keikutsertaanku di diklat teknis komputer ketika itu menjadi titik awal karirku di bidang IT/Komputer, meskipun belajar pemrograman sudah aku mulai setahun sebelum ikut diklat. Waktu itu, diklat teknis komputer termasuk diklat paporit (sedikit penyesuaian dengan tempat aku tinggal sekarang : Bogor... hehe) bagi teman-teman. Wah, minat teman-teman ke dunia IT besar juga ya,  tapi tunggu dulu. :D
Hampir semua teman-teman yang ditempatkan di luar jawa, rajin cari info ada diklat apa saja yang bisa diikuti. Alasannya satu : biar bisa dekat dengan kampung halaman. Jadi tidak ada hubungannya dengan minat di dunia IT. Sssst... rahasia :P
Kebetulan diklat teknis komputer ini lamanya : 1 bulan plus 4 bulan. Lumayan bisa berkeliaran di jakarta dan kampung halaman selama total 5 bulan. Satu kesempatan yang harus diambil.


Ini jelas terlihat dari peserta yang lulus seleksi, lebih dari 80% dari luar jawa. Akibatnya hampir setiap akhir pekan, tempat penginapan selalu sepi, karena pada pulang kampung. Dan itu menjadi sesuatu banget pada waktu itu. 


Dan balik ke jakarta nya sebagian besar hari senin pagi. Tentu ada saja teman yang datang tidak tepat waktu, alias kesiangan. Ada yang masuk setelah coffee break pertama, atau bahkan setelah makan siang, kelakuan ya :D


Dari segi waktu, diklatnya cukup lama juga, tentu saja ini membuat  teman-teman semakin akrab, dan mulailah muncul aksi aneh-aneh yang bikin suasana makin meriah, dinamis dan tidak membosankan. Mulai dari ledekan yang kecil-kecil sampai ke aksi yang agak nekat, mengambil jatah makan teman lainnya, paling tidak buahnya sudah hilang duluan. Pisang menjadi buah yang paling sering hilang duluan. Kalau menjelang jam istirahat, ada yang pura-pura ke toilet, padahal sedang 'sweeping' buah di kotak nasi, hehe. Memang terkesan konyol, tapi justru ini yang membuat suasana tidak membosankan.


Adat istiadat atau keusilan yang dimaklumi ini makin lama makin menjadi, meskipun sebetulnya masih dalam batas yang wajar.


Sampai suatu saat teman kami, sebut saja nama samarannya Agung, ketika balik dari kampung terlambat datang. Alhasil dia tidak sempat mengikuti pelajaran sesi pagi. Karena datang kesiangan, tentu tidak enak kalau dipaksakan masuk kelas yang ketinggalan cukup lama.


Kebetulan senin pagi itu karena alasan teknis (sama seperti kalau ada penerbangan yang ditunda ya :D) kelas dipindah ke gedung utama, gedung B. Agung segera ke Gedung B untuk menunggu selesainya sesi pagi sambil melancarkan aksinya, 'sweeping' !!!


Yang agak mengherankan dalam benak Agung, kok tumben menunya tidak seperti biasanya. Keliatan lebih mewah. Maka sambil menunggu teman-teman istirahat, Agung tidak menyia-nyiakan waktunya untuk segera ber-'gerilya'. Ketika asyik melahap hasil 'sweeping' nya, mulailah yang ada di ruang belajar keluar satu per satu. Tapi ada yang aneh, "perasaan ada yang aneh dengan teman-temanku ya ?", batin Agung.


Setelah diperhatikan secara seksama, ternyata memang betul. Yang keluar dari ruang belajar bukan teman-temannya, tapi para pejabat yang sedang mengikuti diklat. Pantesan menunya tidak seperti biasanya. 


Yang sebelumnya merasa bangga karena bisa melakukan sweeping istimewa, ternyata justru menjadi sweeping yang paling memalukan karena salah tempat, hehe...

*makanya sms dulu donk, eh tapi waktu itu memang belum ada hp :D


***

Hujan Hari Ini

Berbulan-bulan kami menunggu kehadiranmu.. 
atau malah sudah hitungan tahun? 
entah lah.. yang pasti lama... 
sudah kami persiapkan segalanya menyambutmu.. 
berhias diri agar layak menemuimu... 
coba kuselipkan ruang-ruang baru untuk peraduanmu... 

Tiba-tiba hari ini dirimu hadir mendahului fajar... 
atau mungkin sudah hadir saat mata kami masih terpejam? 
sungguh kejutan yang tak terkirakan... 
di kala harapan kami mulai tergerus kenyataan.. 
engkau tiba..dan masih sama.. menyejukkan... 

Tapi semua ternyata tak berbeda... 
meskipun kami sudah bersiap dan berusaha sigap... 
suka cita akan datangmu tetap meluap-luap menutup jalanan.. 
ruang-ruang baru yang kami siapkan masih tak mampu membuatmu nyaman... 
basah... tapi bisa menghapus gelisah...

Bahagia dan syukur kami panjatkan... 
tak lupa lantunan doa serta menyelipkan secercah keinginan... 
Karena kehadiranmu adalah rezeki yang seiring dengan kemakbulan...
Bukan kata kami... itu sabda manusia terbaik sepanjang zaman.. 
Semoga engkau berkenan kembali hadir esok hari.. 
Supaya dunia kembali dapat karunia...
Dan kami dikunjungi kembali waktu diijabah doa..

Perhatian, Rani

sebuah cerita yang kudengar dari dosen pendidikan agama saat kuliah dulu.

Ada satu keluarga yang harmonis, terdiri atas seorang ayah, ibu, dan seorang anak perempuan (sebut saja Rani) yang beranjak dewasa  dan sudah saatnya belajar berpijar. Mereka hidup rukun penuh kebahagiaan. Terutama karena Rani, anak remaja satu-satunya itu tumbuh sebagai remaja yang cerdas, cantik, ceria, taat beribadah, serta sangat menyayangi, menghormati dan berbakti kepada kedua orang tuanya. (Mungkin jika divisualisasikan sosok Rani ini seperti Dr. Shindy Kurnia Putri, ngayal).

Namun, pada suatu saat, perangai sang anak mulai berubah drastis. Ia menjadi pemurung dan mulai berani membantah kedua orang tuanya.

Suatu hari, ketika sang ibu seperti biasa mengajak Rani untuk ikut menghadiri pengajian, Rani berkata dengan nada sinis. "Tak perlu ibu suruh-suruh, toh ibu hanya pura-pura saja kan?" hardiknya.
Mendengar kata-kata itu, sang ibu terhenyak. Ia  kaget karena baru kali ini kata-kata seperti itu terucap dari bibir manis anaknya. Terlebih ia berani melontarkansindiran dengan kata-kata tajam. Ibu muda tersebut terguncang hebat dan menangis seraya berkata, "Ya ampun Nak, Kenapa kau berbicara seperti itu? Apa yang sebenarnya terjadi?".

Tanpa sepatah kata pun, Rani menyodorkan secarik kertas kepada Ibunya, kemudian ia menagis sambil masuk ke dalam kamarnya.

Melalui secarik kertas yg diberikan Rani itu, ibunya  mengetahui dan mengingat kembali kesalahan masa lalunya.
Rani ternyata menemukan surat nikah orang tuanya. Di sana tertera denagn jelas tanggal pernikahan orang tuanya, yaitu 9 Juni 1995, sedangkan Rani tahu persis bahwa ia lahir pada tanggal 13 Oktober 1995.