Anakku mengira demokrasi

Anakku mengira
Demokrasi sekedar ritual Lima tahunan,
saat pintu pintu diketuk bergiliran
Bagai sinterklas, ada yang membagi dua puluh tiga puluh ribuan
ongkos menghapal gambar dan nama, 
dan menyoblosnya dikotak suara

Anakku mengira
demokrasi adalah sekedar mencelup jari di kotak tinta,
pertanda tertunai hak suara, 
berbangga menjadi pewarta yang berlomba 
mengabarkannya ke seluruh penjuru dunia,
"ini jariku,
 mana jarimu"

Anakku mengira demokrasi
Adalah sekedar memelihara kesabaran
lima tahun menikmati,
Hilir mudik para tokoh di kertas suara
Memenuhi panggung panggung berita
Tentang kegemaran mereka berujar, 
hianati nalar,
tapi tak tertawar,
bertitah seolah atas nama buku dan ilmu,
tapi peragu
mengacungkan telunjuk mencela
Tanpa berkaca,
dan menulis  fatwa tanpa membaca,

Anakku mengira,
Demokrasi, 
adalah sekedar kebebasan tanpa tepi,
Menafsir kitab suci untuk memaki, 
Penghalalan  aib kawan sendiri,
Mengkapling sorga bak milik pribadi,
Lawan dan kawan tiada abadi,
Hari ini bertengkar saling ingkar
Esok berkumpul saling rangkul,
Hari ini berjalin setia,
Besok berhikmat pada khianat

Anakku mengira,
Demokrasi adalah  ketidakpercayaan
Pada berita dan cerita,
Sebab pada musimnya
Berita serupa drama,
Cerita bak telenovela
cicak ditampakkan buaya,
susah dikabarkan bahagia,
Angka dan fakta mendua makna

Anakku mengira,
demokrasi hanyalah sekedar riwayat
Tentang demos kratos,
kekuasaan yang termandat
dari oleh dan untuk rakyat
Pada sejarah di negeri para dewa dewi terlewat

Anakku mengira,
Aku diam artinya mengiyakan yang dia kira
Padahal bisa jadi tidak


(Pondok ungu,habis nonton debat di tivi, agustus 2018)