MASA SEKOLAH (1), GURU GEOGRAFI

Suasana kelas sangat lenng saat itu. Baru sekitar setengah penghuni kelas 3-11 sebuah SMA Negeri di Bandung yang telah berada di dalam kelas, padahal pelajaran Geografi akan segera dimulai. Guru mata pelajaran Geografi ini sebenarnya agak kuhindari karena aku belum membayar uang buku yang kubeli dari Pak Azimuth, begitu panggilan kami kepadanya (kami memanggilnya demikian karena ketika Pak Guru ini menjelaskan tentang sudut putar arah angin, gaya tangannya sangat atraktif sehingga kami menjulukinya Pak Azimuth). Agak riskan bagiku kalau hanya sedikit teman-teman yang berada di dalam kelas karena perhatian Pak Azimuth takkan terbagi dan tentu saja aku akan semakin terlihat olehnya.

Ketika terdengar suara tapak kaki mendekat ke pintu kelas, jantungku semakin kencang berdetak. Sementara tak ada sedikit pun tanda-tanda teman-teman sekelasku memasuki ruang kelas.
“Sebagian anak-anak ada kegiatan OSIS. Genk Boy Band seperti biasa nangkring di kantin.” Bisikan Siti semakin membuat suasana mencekam bagiku. Keringat dingin membasahi keningku. Ada-ada saja teman-temanku ini.
Puncaknya adalah ketika langkah kaki Pak Azimuth memasuki ruang kelas. Sepertinya wajahku pucat karena tanganku mulai dingin dan berkeringat. Berkali-kali kutatap jendela kelas, dengan harapan ada teman yang masuk ke dalam kelas. Harapanku tak terwujud bersamaan dengan pintu kelas yang ditutup Pak Azimuth. Selama satu setengah jam ke depan, sepertinya aku harus melakukan senam pernafasan agar aku bisa lebih rileks.
“Yang lain ke mana?” Selama beberapa saat suasana kelas hening. Aku menunduk pura-pura membaca buku pelajaran Geografi. Jantungku mulai berdebar tak karuan.
“Sedang ada kegiatan OSIS, Pak.” Dari bangku belakang terdengar suara murid yang menjawab pertanyaan Pak Azimuth.
”Memangnya semua murid di kelas ini jadi pengurus OSIS?” tanya Pak Azimuth dengan suara dibuat galak. Aku semakin menunduk menatap bukuku.
“Bukumu terbalik, tuh!” tegur Pak Azimuth yang tahu-tahu sudah berada di sampingku.
Secepat kilat kubalikkan buku yang sedang kupegang. Terdengar suara tawa kecil dari teman-teman yang masih tersisa di kelas. Walaupun sebenarnya masih mending aku dipermalukan karena pura-pura membaca daripada dipermalukan karena aku belum membayar buku Geografi.
“Saya nggak tahu kalian ini mau serius belajar Geografi nggak sih? Mau kalian semua saya beri nilai jelek biar nggak lulus sekalian ….” Panjang kali lebar kali tinggi sudah Pak Azimuth memarahi kami yang tersisa di dalam kelas. Menurutku ini tak adil karena seharusnya Pak Azimuth marah kepada teman-temanku yang tak berada di dalam kelas.
“Hey kamu yang pegang buku terbalik!”
“Saya?”Aku mengangkat kepala dan menatap takut kepada Pak Azimuth.
“Kamu tuliskan di papan tulis pelajaran hari ini. Nanti kalian yang berada di kelas mencatatnya dan teman-teman kalian yang di luar bisa fotocopy.”
Pak Azimuth menyerahkan sebuah buku tulis kepadaku dan menunjukkan bagian mana yang harus kutulis di papan tulis. Beberapa saat aku bengong karena aku tak bisa memahami tulisan tangannya. Tulisannya seperti tulisan dokter zaman dulu yang kalau menulis nama obat hanya berbentuk cacing meringkel.
“Kenapa nggak di-foto copy saja, Pak? Ini kan banyak sekali. Biar saya yang ke tempat fotocopy,” tawarku.
“Tulis saja! Biar kamu juga belajar.”
Akhirnya aku mengambil kursi dan mulai menulis di papan tulis. Saat itu aku merasa kena hukuman dua kali karena teman-teman yang berada di luar. Walau sebenarnya hukuman ini jauh lebih baik daripada ditagih uang buku.
Catatan: Uang Buku sudah dibayar, ya hehehe.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar