Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

R.I.N.D.U

 I miz u soo bad”, ujarmu lalu memelukku erat.

I miz u even more,” aku melepas peluk lalu menatap wajahmu dalam. Ah, tak ada yang berubah, kecuali guratan halus yang samar terlihat di sekitar wajahmu. Lalu kita saling menatap dalam dengan senyum penuh kerinduan. Lagi-lagi, aku masih menemukan hal yang tak pernah berubah, pandangan sayangmu.

How’s life?”, keingintahuanmu terdengar jelas saat melontarkan tanya itu. “Is everything alright?”, tak sabar kau mengejarku lagi dengan pertanyaanmu, kali ini dengan nada khawatir yang kau coba sembunyikan.

“Aku tau kau jawaban apa yang kau harapkan,” aku berujar dalam hati.

Lalu aku mengangguk sambil tersenyum, “Alhamdulillah, as you see, I’m pretty good”, aku berusaha keras menunjukkan raut bahagia di wajahku.

“Owh, syukurlah. Be a good girl ya,” kau mengusap lembut pipiku. Aku dapat merasakan betapa kau sangat merindukanku.

A girl?”, aku terbelalak, dan baru akan melanjutkan, “I am not ...” ketika kau dengan sigap meletakkan telunjukmu di bibirku sambil berkata, “Hey, for me, you will always be a girl”, lalu kau terbahak dan mengusap pelan kepalaku.

Ya, meskipun usia kita hanya terpaut 1 tahun beberapa hari, namun kau selalu menganggapku seperti seorang anak perempuan yang selalu ingin kau manjakan.

Sepertinya aku baru menikmati tawamu beberapa detik ketika tiba-tiba kau berkata,” I should go,” lalu mengecup keningku hangat sejenak sebelum kau dengan tergesa berbalik, melangkah cepat, dan berlalu.

Ada ratusan kata yang ingin kuucapkan, namun tak satupun yang mampu kusuarakan. Aku hanya diam menatapmu menjauh, berharap kau berubah pikiran lalu berbalik berlari kearahku, mendekapku erat dan membisikan kata, “Go with me ...”. Aku mematung, memandangi sosokmu yang semakin menghilang bersama butiran air mata yang mulai luruh.

***

Aku terisak, merasa sangat sesak, lalu terbangun dalam kegelapan malam.

 

 

 

TEMAN NGOBROL

Suasana masih gelap gulita ketika aku turun dari mobil yang mengantarku sampai di lobi kantor tempatku bekerja. Aku melangkah masuk melewati pintu yang terbuka dengan sendirinya tanpa harus kupencet tombol atau pun kubuka dengan tanganku. Belum ada seorang pun yang hadir di lobi. Hanya ada seorang satpam yang baru bersiap berjaga di meja resepsionis.

Aku mengambil kunci ruangan yang tergantung di bawah meja resepsionis. Kutuliskan namaku di buku sebagai tanda bahwa aku telah mengambil kunci ruangan. Aku masuk ke dalam lift sendirian. Suasana gelap terpampang di depanku ketika lift terbuka. Kepalaku menoleh ke kiri dan ke kanan. Aku sendiri tak tahu kenapa kepalaku harus menoleh ke kanan dan ke kiri seperti seorang pencuri yang sedang memastikan keadaan sekeliling aman dan terkendali.

Aku duduk di sofa yang berada tepat di depan kubikel. Angin dingin pagi menyentuh lembut tubuh ketika kubuka jendela agar sinar mentari bisa leluasa menyentuhku. Sejenak aku terdiam tanpa ada niat menyalakan lampu. Aku masih ingin termenung memikirkan apa yang akan kukerjakan sepanjang hari ini di kubikel.  

Pertanyaan rutin muncul dalam hatiku, apakah aku bisa berkontribusi sepanjang hari ini ataukah aku hanya jadi parasit yang duduk diam di kursi empuk dengan fasilitas modern terkini yang selalu setia menemani hari-hariku di kantor. Tak kutemukan jawaban yang pasti, hanya sebait doa yang bisa kulantunkan agar aku bisa bekerja dengan baik sehingga tak ada rasa malu ketika aku berdiri di depan ATM, mengambil uang gaji bulananku.

Kutatap jam dinding yang tak pernah bosan tergantung di dinding ruang kerjaku. Saat itu, baru ku sadar kalau aku berada di kantor terlalu pagi. Untuk melaporkan kehadiran pun masih belum diperbolehkan. 

Tiba-tiba Donita, teman kerja dari ruangan sebelah muncul di hadapanku. Wajahnya terlihat ceria. Kami berdua larut dalam obrolan seru. Setelah beberapa saat, datanglah Sarah dan Indah yang muncul dari pintu kaca ruang kerjaku. Berempat kami larut dalam obrolan seru. Kami tertawa bersama sehingga membuat suasana pagi itu sangat ceria.

"Aku balik ke ruangan dulu, ya. Ada pekerjaan yang harus kuselesaikan," pamit Donita sambil berdiri dan meninggalkan kami bertiga.

Aku mengiyakan. Tinggallah kami bertiga bercengkrama. Tak berapa lama kedua temanku pamit kembali ke ruangannya masing-masing. Setelah keduanya pergi, rasa kantuk menyerangku. Kupikir tak ada salahnya aku tidur sejenak karena hari masih pagi. Kurebahkan badan di sofa panjang yang empuk. Betapa indahnya duniaku saat itu.

                               *** 

Alarm ponselku berbunyi dengan kencang pertanda aku harus bangun. Aku membuka mata dan melihat sekeliling, ternyata suasana masih sepi, tak ada seorang pun yang berada di ruangan. Cahaya mentari sudah tak malu-malu lagi muncul dan menerangi bumi. Aku masuk ke dalam kubikel dan menyalakan komputer. 

Ponselku berdering. Ternyata Donita yang menelepon.

"Halo Rika, aku lagi di tukang bubur ayam nih, kamu mau? Biar kubeliin," ujar Donita.
 "Bubur yang di mana? Kantin bawah?"tanyaku.
"Bukan. Tukang bubur ayam yang mangkal di depan tempat kos-ku,"jawab Donita.
"Cepet banget gerakanmu, tahu-tahu udah balik ke kos-an aja," godaku.
"Maksudnya apa, ya? tanya Donita. Suara Donita terdengar heran atas ucapanku.
"Tadi kan kita masih ngobrol di ruanganku. Tiba-tiba sekarang udah balik ke kos-an buat beli bubur ayam."
"Aku baru mau berangkat ke kantor, lho," ujar Donita.
"Lha, emangnya aku tadi ngobrol sama siapa? Bercandanya jangan kelewatan, ah," tukasku.
"Aku baru keluar dari kos-an lho. Terus mau mampir ke tukang bubur ayam."
"Beneran kamu belum ke kantor?" tanyaku mulai panik.
"Bener, aku belum ke kantor," jawab Donita memastikan.

Aku menelepon Sarah dan Indah untuk memastikan kalau aku memang mengobrol bersama mereka. Bulu kudukku berdiri ketika mereka menjawab bahwa mereka berdua masih berada di atas bis menuju ke kantor. 

Aku keluar dari kubikel. Kuintip ruang sebelah dari kaca pemisah. Kulihat Pak Sena sudah datang dan sedang menatap komputernya. Perasaanku lega karena akhirnya ada orang lain yang menemani.

Aku berjalan keluar dari ruanganku. Rasanya aku perlu menghirup udara segar. Aku masih belum bisa berpikir tenang dengan kejadian tadi. Aku berjalan menuju lift tanpa ada keinginan menoleh ke belakang.  Mukaku pucat ketika lift terbuka. 

"Selamat pagi, Mbak! Rajin banget pagi-pagi sudah di kantor."


Aku berbalik. Tak ada sepatah pun kata yang keluar dari mulutku. 

"Kenapa, Mbak?" tanya Pak Sena ketika melihatku membalikkan badan. 

Suaranya membuatku ketakutan. Pikiranku buntu. Badanku lemas. Entahlah, apakah saat ini aku berada di dunia nyata atau di dunia lain. Aku ingin lari tapi sendi-sendiku terasa lemas  dan membuatku  tak berdaya.

Jakarta, 6 Agustus 2020

 

Harga sebuah Mahar

Kisah Senin Soreku Bersama Kekasih Gelapku

Pukul 17.25
Di Senin sore beberapa ratus minggu yang lalu,

Braaakkk ...!!! Aku menggebrak badan kemudi keras sambil berteriak kesal. Sesak sekali rasanya ketika rasa marah dan sedih tumpang tindih dalam rongga dada ini. Aku melambatkan laju kendaraanku sejenak sebelum merasakan aliran hangat membasahi kedua mataku. Pelan lalu semakin deras dan menguras emosi. Aku benar-benar tergugu. Beberapa menit berlalu, aku merasakan sedikit demi sedikit rongga dadaku terasa lebih ringan. Aku meraih tissue, menyeka sisa-sisa air mata, menarik nafas dalam, lalu mengingat kembali kejadian beberapa saat yang lalu.

***
“Kamu gak suka ya Mas, aku kasih surprise seperti ini?”, Ajeng menatapku dengan rasa bersalah. “Mas ... ngomong donk, jangan diem aja dari tadi aku dicuekkin,” matanya menatapku dengan gusar.

“Ini bukan masalah aku suka atau nggak ya, tapi aku tuh bener-bener gak habis pikir lho dengan kamu. Ngapain coba kamu melakukan hal sekonyol ini? ‘Kan aku sudah bilang ke kamu, sekarang ini nih kerjaan di kantor sangat banyak, dan aku sedang gak bisa lembur karena istriku sudah beberapa hari ini migrain nya kambuh. Aku harus segera pulang ke rumah, bawa sisa pekerjaan, nanti sampai di rumah harus gantian ngurusin anak-anak, bantu mereka mengerjakan PR, setelah semua tidur aku baru melanjutkan pekerjaan kantor. Aku lelah Jeng ... Tolong kamu pahami itu!”, aku berbicara dengan nada tinggi. Keletihanku seminggu belakangan ini sepertinya memang butuh untuk dilampiaskan.

“Iya Mas ... Maaf. Aku cuma kangen kamu, gak lebih. Aku tau mas mesti cape dengan rutinitas sekarang ini, aku juga gak ada niat mau menambah-nambah beban pikiran Mas kok.”, kali ini suara Ajeng terdengar sangat parau. Aku tau, dia sedang menahan tangisnya.

“Kangen? ‘Kan kita masih terus komunikasi, Jeng. Setiap pagi, setiba di kantor, kamu orang pertama yang aku telpon, begitupun dalam perjalananku pulang dari kantor. Kamu jangan seperti Abege gak jelas deh”, ah kali ini aku benar-benar ingin memuntahkan kesuntukanku. Ada rasa bersalah yang menyelinap ketika aku masih dengan nada tinggi mengomel kepada Ajeng, perempuan yang sudah  beberapa bulan ini menjadi kekasih gelapku.

“Mas, cukup!”, kali ini aku tersentak mendengar suara Ajeng yang berbalik emosi. Aku tertegun sejenak ketika mendapati wajahnya yang sudah bersimbah air mata namun tatapan matanya penuh amarah. Sungguh suatu kombinasi yang tidak pas. “Aku minta maaf kalau kamu merasa kedatanganku kali ini mengganggu kamu. Kamu gak perlu juga sebegitu marahnya ke aku. Jika dengan berkomunikasi via telpon cukup untuk menahan rasa rindu ini, aku gak akan ada bersama kamu saat ini. Tapi aku kali ini benar-benar kecewa, Mas. Aku gak minta kamu ajak jalan kemana-mana, nggaaakk ... buatku, bertemu kamu sebentar saja sudah lebih dari cukup,” belum selesai Ajeng melanjutkan kata-katanya, aku sudah menyela.

“Oya? Trus apa sekarang ini kamu gak bikin repot? Ya gak mungkin kan aku membiarkan kamu pulang sendiri dari kantorku? Sementara kamu tau kalo hari Senin, jalanan macetnya parah. Mengantar kamu pulang berarti aku harus membuang waktu lebih kurang 2 jam untuk bisa sampai di rumah. Belum lagi nanti istriku bolak balik telpon ngomel-ngomel mempertanyakan kenapa aku pulang begitu larut,” kali ini aku benar-benar menghardik Ajeng.

“Mas, tolong turunkan aku disini sekarang,” Ajeng menatapku tajam. Di matanya yang bening, aku melihat luka yang dalam. Aku tau dia sangat kecewa dengan kemarahanku. Aku juga sadar kalau aku terlalu berlebihan, namun aku tak tau mengapa aku tidak dapat  membendung emosiku.

Aku melambatkan laju kendaraan, lalu menepi di depan salah satu halte yang terlihat cukup sesak dengan orang-orang yang berlomba mengejar kendaraan umum.

“Terima kasih ya Mas buat semua. Sekali lagi, aku minta maaf karena sudah merusak malam mu. Hati-hati”,  Ajeng bergegas turun dari mobilku, setengah berlari berbaur bersama orang-orang yang berada di halte itu.

***
“Huuuffttt ... Astaghfirullahal’adziim ...,” aku membatin pelan. Aku baru sadar kalau Ajeng tidak terbiasa menggunakan kendaraan umum, bahkan aku juga tidak yakin kalau dia tau di halte apa dia tadi turun. Ya, itu salah satu kelemahannya. Ajeng tidak pernah bisa mengingat arah suatu alamat. Kelemahan ini juga yang membuatku sering over-protected terhadapnya, sehingga sejak beberapa bulan hubungan kami, Ajeng tidak aku ijinkan kemana-mana jika tidak aku yang mengantarkan. Kecuali ke kantorku, itupun setelah beberapa kali aku harus mengarahkan pengemudi taksi yang membawa Ajeng.

Tiba-tiba ada rasa sesal yang teramat sangat menyelinap dalam hatiku. Tidak seharusnya aku melampiaskan kelelahanku kepada Ajeng. Dari sejak pertama kali kami bersama, baru tadi itu aku menghardiknya.  Padahal tak ada yang salah dengan rasa rindunya. Pun sejak awal Ajeng sudah bilang kalau dia bisa pulang pakai taksi. Dia hanya ingin bertemu, melihatku, menghilangkan rasa rindunya, itu saja. Kini rasa bersalah berbalik menjadi rasa khawatir yang memuncak. Aku bergegas meraih gawaiku, coba menghubungi Ajeng, 1... 2 ... 3 kali tidak dijawab. Secepat kilat aku membelokkan mobilku pada jalan yang mengarah kembali ke halte dimana aku menurunkan Ajeng. “Ya Tuhan, semoga Ajeng masih menungguku, “aku bergumam penuh harap. Namun sia-sia. Aku menyapu pelan wajah orang-orang yang berdiri di halte tersebut sambil terus menghubungi telpon seluler Ajeng. Nihil... Ajeng tak ada disana. “Maafin Mas ya,  Jeng ... semoga kamu baik-baik sampai di rumah.”.

** Well you only need the light when it’s burning low,
Only miss the sun when it starts to snow,
Onlyknow you love her when you let her go
Only know you’ve been high when you’re feeling low,
Only hate the road when you’re missing home
Only know you love her when you let her go, and you let her go ...


**Let her go -- Passenger

Hujan Di Bulan Juli

Riana memandangi saldo rekening di layar ponselnya. Senyum lebar mengembang di bibirnya. Sejenak ia menyenderkan tubuh di kursi kerjanya. Ia tak peduli orang lalu lalang di depan kubikelnya. Beberapa orang mengajaknya makan siang di kantin tapi Riana menolaknya. Ia terlalu bahagia hari ini jadi perutnya terasa penuh dan tak perlu diisinya.

“Hei, dari tadi kulihat kamu senyum-senyum sendiri nggak jelas gitu. Ada apa?” tegur Dina. Ia melongok dari belakang kursi Riana.

“Enggak kenapa-kenapa sih. Cuma aku lagi happy aja soalnya apa yang kumimpikan sejak lama akan segera terwujud,” jawab Riana.

“Ke Seoul?” bisik Dina.

“Heeh.” Riana membalikkan kursinya sehingga ia berhadapan dengan Dina.

“Jangan berisik, ya! Aku belum minta ijin sama Bu Tiur. Tahu sendiri kan Bu Tiur kayak gimana orangnya,” pinta Riana.

“Tenang, aku jagonya simpan rahasia penting,” ujar Dina.

“Besok aku mau ambil cuti. Urus visa. Mudah-mudahan semuanya lancar. Nggak sabar rasanya ketemu Bayu. Udah setahun ini kami cuma berbalas email. Dia terlalu sibuk untuk sekedar membalas chat-ku. Apalagi videocall. Aku ingin memberinya kejutan dengan tiba-tiba muncul di Seoul,” terang Riana bersemangat.

“Kamu nggak ngabarin Bayu dulu?” tanya Dina heran. Riana menggelengkan kepalanya.

“Gila, ya! Kalau misalnya pas kamu ke Seoul si Bayu-nya pergi ke kota lain atau pulang ke Jakarta, apa nggak sayang tuh uang dan  tenaga yang kamu habiskan selama ini?”

“Enggak mungkinlah! Bayu nggak akan pulang kalau kuliahnya belum selesai. Ia juga nggak bakalan main-main ke luar kota karena dia bukan tipe yang seneng jalan,” jawab Riana dengan yakin.

“Ya sudahlah, kudoakan semuanya lancar, ya.”

“Terima kasih,ya” ujar Riana.

Bagi Riana waktu sebulan itu rasanya terlalu lama untuk ditunggu. Ia tak sabar ingin segera memeluk Bayu, lelaki yang bertahun-tahun telah mengisi hatinya. Sayangnya sejak tiga tahun yang lalu, Bayu mengucapkan selamat tinggal kepada Riana karena ia akan melanjutkan kuliahnya di Seoul.

Riana sengaja memilih waktu bulan Juli untuk bertemu  karena pada bulan itu Bayu mendapat libur semester sehingga ia dan Bayu bisa menghabiskan waktu berdua lebih tenang tanpa mengganggu waktu belajar Bayu. Riana merasa bangga karena Bayu mendapat beasiswa untuk melanjutkan  S-2 ke Korea Selatan walau sebetulnya ia merasa kehilangan karena selama ini ke mana-mana mereka selalu berdua. Mulai dari berangkat sampai pulang kerja.

Mereka berdua merencanakan pernikahan apabila Bayu telah lulus kuliah. Semuanya telah direncanakan dengan matang oleh Riana dan keluarga Bayu. Riana tak sabar menanti saatnya nanti ketika ia dipersunting oleh Bayu.

“Jangan senyum-senyum sendiri, Non! Aku jadi takut. Ayo ke kantin dulu,  lapar nih,” ajak Dina sambil menggeser kursi ke kubikelnya.

“Ayuk, deh.”

Kali ini Riana tak bisa menolak permintaan temannya itu. Ia mengambil dompet dari dalam tasnya. Kemudian berdiri dan mengikuti langkah Dina menuju kantin. Bahagia mengiringi langkah Riana saat itu.

                                      ***

 

Siang itu cuaca sangat terik. Matahari menyinari bumi dengan segenap kekuatannya. Riana merasa seluruh langkahnya diberkahi karena cuaca cerah yang mendukungnya. Ia memasukkan barang bawaannya ke dalam koper besar yang baru saja dibelinya.

Tak lupa ia membawa beberapa jenis makanan kesukaan Bayu. Riana sudah membayangkan kalau Bayu akan lahap memakan makanan Indonesia yang dibawanya. Sepanjang siang itu Riana terus bendendang riang.

“Na, apa kopermu nggak overweight nanti? Bawaanmu kok banyak banget. Bawa apa saja, sih?” tanya mamanya Riana sambil memeriksa isi koper anaknya.

“Aku bawa makanan kesukaan Bayu, Ma. Lumayan, bisa buat stok juga. Mudah-mudahan sih nggak overweight.”

“Ya terserah kamu, Na. Cuma Mama heran aja, kenapa kamu nggak ngabarin Bayu sih?”

“Kan aku mau kasih surprise, Ma.”

“Mudah-mudahan Bayu bisa menerima surprise dari kamu, Na,” ujar Mama.

“Ah Mama, bukannya dukung aku malah ngomong kayak gitu,” balas Riana kesal.

“Mama kan cuma nanya, nggak ada maksud apa-apa kok. Semua kan harus dibicarakan dengan Bayu. Jangan sampai Bayu malah keganggu dengan kedatangan kamu.”

“Mama! Kok gitu sih? Dukung aja anaknya,” bentak  Riana kesal.

“Ya udah, Mama nggak akan ikut campur lagi.”

Mama keluar dari kamar Riana meninggalkan. Riana  kesal kepada mamanya. Ia merasa mamanya tega kepada dirinya, bukannya mendukung malah bicara yang tidak-tidak. Riana mengepak kembali barang-barang yang akan dibawanya.

                             ***

Riana duduk di bagian depan bis yang akan membawanya ke bandara Soekarno Hatta. Matanya menatap ke arah luar bis. Dalam pikiran Riana tergambar rencana-rencananya untuk menghabiskan musim panas bersama Bayu di Seoul. Ia sudah browsing di internet, beberapa tempat yang akan dikunjunginya berdua. Senyum Riana semakin mengembang ketika membayangkan kegembiraan yang akan dibaginya berdua.

Riana juga membayangkan kalau Bayu akan membicarakan rencananya ke depan menghabiskan waktu denganya. Membeli rumah bersama, memiliki anak dan menjalani masa depan bersama. Rasanya semua indah di mata Riana.

Entah kenapa tiba-tiba hujan turun membasahi bumi. Riana takjub melihat titik-titik air membasahi jendela bisnya. Selama musim kemarau beberapa bulan , inilah pertama kalinya hujan turun membasahi bumi.

Saat turun dari bis di terminal tiga Bandara Soekarno Hatta, Riana berhenti sejenak karena menikmati  aroma tanah yang tersiram hujan setelah sekian lama kering. Riana selalu senang dengan bau itu.

Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ia membuka tasnya dan mengambil ponsel. Rupanya ada pesan dari Sean, teman kuliah  Bayu di Seoul.

Kok bisa nyambung gini? Apakah Sean yang meneleponnya ataukah Bayu yang meminjam ponsel Sean? Atau Bayu punya firasat kalau aku akan datang ke Seoul?

Riana masih ragu membuka pesan yang masuk. Ia takut Bayu mengetahui kalau ia akan datang ke Seoul. Riana berjalan ke arah tempat duduk yang berada di depan pintu masuk bandara. Ia duduk di kursi. Koper yang dibawanya diletakkan di sampingnya.

Berita duka cita

Telah meninggal sahabat kami Bayu Gemilang pada hari ini jam 9 pagi di Solo, Jawa Tengah. Jenazah akan dikebumikan pada jam ….

Seluruh persendian Riana terasa kaku. Ia tak sanggup lagi membaca pesan selanjutnya. Nafasnya terasa berhenti saat itu juga. Riana tak tahu apa yang akan dilakukannya selanjutnya. Dunianya terasa berhenti seketika.

                                   ***

“Sudah sebulan ini Bayu pulang ke Solo. Ia di rawat di rumah sakit. Maafkan Ibu, Nak. Bayu melarang Ibu memberitahumu. Ibu bertanggung jawab penuh ke kantor karena merahasiakan kabar Bayu sakit.”

“Kenapa, Bu?” suara Riana serak mendengar penjelasan ibunya Bayu.

“Bayu tak ingin kamu sedih, Nak. Dia tak ingin membuyarkan mimpi-mimpimu. Dia sangat mencintaimu, Nak. Sekali lagi maafkan Ibu,” suara ibunya Bayu tercekat menahan tangis.

“Aku merasa dibohongi. Ibu tahu, saya mendapat kabar kalau Bayu pergi pada saat saya sudah di bandara lho, Bu. Saya mau mengunjungi Bayu di Seoul padahal ternyata Bayu sudah ada di Solo. Pikiran Ibu di mana? Salah saya apa, Bu?” Suara Riana bergetar menahan emosi.

“Maafkan, Ibu.”

Riana terduduk lemas di depan pusara Bayu. Hujan mengiringi kepedihan hati Riana. Ia merasa semua orang jahat kepadanya.

Satu per satu orang meninggalkan tempat pemakaman Bayu. Hanya Riana yang tertinggal di sana.

Semua mimpinya kandas begitu saja tanpa bekas. Yang lebih menyakitkan adalah ia sama sekali tak tahu tentang kondisi Bayu selama ini. Pantas saja selama ini Bayu tak pernah mau kalau diminta melakukan videocall dengan Riana.

“Kenapa, Bayu, kenapa?”  tanya Riana sambil terus menangis. Hanya sunyi di tengah rintik hujan yang menemani Riana.

                                        Selesai


Aku, Ayu ...

Aku rindu melewatkan ramadhan bersamamu

Pendamping Hidup




“Sen, bagus ya model sepatu ini?”
Aku memperlihatkan gambar sepatu di ponsel kepada Sena, suamiku.  Saat itu kami berdua sedang duduk di teras rumah sambil menikmati secangkir kopi yang dibuat oleh Bi Upik. Sena melihat sekilas pada gambar yang kuperlihatkan kepadanya.
“Kayaknya bukan tipe kamu deh model sepatu seperti itu,” ujar Sena.
“Bagus Sen. Udah lama aku ngincer lho. Ke kantor pake ini kan bagus. Kelihatan kalau aku wanita karier. Trus buat kondangan juga bagus. Jadi aku kan bisa ngehits, namanya juga isteri manajer bank besar.”
“Emang sepatu yang biasa dipake selama ini nggak menunjukkan kalau kamu wanita karier? Bukankah yang penting adalah karya bukan aksesoris yang kita pakai? Kalau kondangan sih, nggak perlu juga sepatu runcing dengan hak tinggi gitu juga. Nggak usahlah terlalu memperlihatkan siapa kita juga!” Sepertinya Sena tidak terlalu senang mendengar alasanku kenapa harus membeli sepatu itu.
“Penampilan penting juga, Sen. Biar aku nggak dipandang sebelah mata,” ujarku bersikukuh.
“Masih mending lah sebelah mata, jadi masih dipandang. Kelihatan juga kan?”
“Ah kamu itu nggak pengen isterinya kelihatan cantik,” ucapku kesal.
“Bukan gitu, tanpa sepatu itu pun kamu itu udah cantik banget buatku.”
Perkataan Sena malah membuatku kesal. Apalagi melihat wajahnya yang tanpa ekspresi seakan tak peduli dengan keinginanku. Aku cemberut dan membalikkan badan darinya karena kesal.
Sena masih anteng duduk pada posisi semula sambil terus membaca buku. Bagiku, sikapnya itu sangat mengesalkan padahal  aku tidak memintanya membelikanku sepatu. Aku hanya menunjukkan bahwa aku menyukai sepatu yang ada di aplikasi belanja online.
“Jangan ngambekan! Nanti kubelikan sepatu yang cocok buat kamu biar bebas bergerak. Kamu kan sering pergi-pergi ke luar kota, beli sneaker aja,” ujar Sena.
“Kamu tahu, berapa banyak sneaker yang sudah kupunya?. Masih juga kamu mau nambahin sneaker di rak sepatu aku?” tanyaku semakin kesal.
“Ya kurangin lah penghuni rak sepatumu, Jeng. Jangan biarkan sampai numpuk-numpuk gitu!”
“Dibuang gitu? Masih bagus-bagus semua!” bentakku dengan volume suara yang meninggi.
“Siapa sih yang nyuruh kamu membuang sepatu, sayangku? Kemarin kulihat anaknya Bi Upik pergi ke sekolah dengan sepatu yang robek di bagian depan, sol bawahnya juga kulihat sudah lepas. Kayaknya ukuran kakinya sama dengan kamu, jadi alangkah baiknya kalau kamu kasih salah satu sepatumu ke dia. Pasti bakalan lebih bermanfaat,” pinta Sena.
“Ya sudahlah, Sen! Kamu memang keberatan aku beli high heel. Apapun, aku tetap akan beli sepatunya. Pake uang bonusku aja. Terserahlah kalau kamu mau ngasih sepatuku ke anaknya Bi Upik.”
Aku bangkit dari duduk. Tanpa melihat lagi ke arahnya, aku meninggalkan Sena sendirian di teras depan. Aku benar-benar tak peduli lagi pertimbangan Sena. Aku benar-benar menginginkan sepatu berhak tinggi yang dijual secara online.
                                  ***
Hatiku terasa lega ketika petugas ekspedisi sudah mengantarkan sepatu impian dengan selamat ke ke rumahku. Sudah terbayang olehku betapa anggunnya diriku ketika sepatu impian itu kupakai. Teman-teman kantor akan memuji ketika sepatu itu kukenakan untuk pertama kalinya.
Tak rugi rasanya aku menghabiskan lebih dari setengah bonus tahunanku untuk membeli sepatu bermerek yang banyak dipakai oleh banyak selebritis tanah air. Kupandangi sepatu cantik berwarna merah cabe berhak dua belas centimeter dengan perasaan puas dan bangga.
Aku berlenggak lenggok ke sana ke mari menggunakan sepatu baru. Mulai dari kamar tidur ke ruang tamu. Begitu terus berulang-ulang. Bahagia tak terkira di hati.
“Sepatunya bagus sekali, Bu,” puji Bi Upik melihatku berlenggak lenggok.
“Iya, Bi. Harganya aja mahal banget. Lima kali lipat gajinya Bi Upik,” terangku tanpa diminta.
Bi Upik berdecak kagum mendengarnya. Aku hanya tersenyum melihat wajah Bi Upik yang takjub mendengar betapa mahalnya harga sepatu yang sedang pakai.
“Bibi hati-hati ya! Jangan dilap sembarangan!”
“Iya, Bu. Saya nggak berani juga nyentuh, takut rusak. Tangan saya yang kasar ini kayaknya nggak cocok megang sepatu ibu,” ujar Bi Upik.
“Ya enggak gitu juga, Bi. Hati-hati saja!” balasku.
“Kalau di kampung saya uang segitu bisa buat beli tanah, Bu,” sambung Bi Upik.
“Hahaha, Bi Upik bisa aja.”
“Saya ke warung dulu ya, Bu. Mau beli telur, sudah habis. Bapak minta dibuatkan dadar,” pamit Bi Upik.
Aku mengangguk. Bi Upik meninggalkan diriku yang masih sibuk dengan sepatu baruku.
Tiba-tiba Sena muncul di depanku. Matanya tertuju ke bawah memperhatikan sepatu baruku.
“Akhirnya kamu beli juga, Jeng. Bagus memang sepatunya tapi hati-hati, ya! Tinggi banget dan runcing. Pegang tanganku aja, boleh kok.”
Sikap seperti inilah yang membuatku selalu jatuh cinta dengan Sena. Walaupun sebelumnya ia tidak menyetujui keinginanku membeli sepatu tapi tak pernah sekalipun ia menyalahkanku ketika aku berkeras memenuhi keinginanku.
“Sneaker mana yang boleh diberikan ke anaknya Bi Upik?” tanya Sena.
“Yang hitam aja, Sen. Kalau buat sekolah kan cocok,” jawabku. Sena tersenyum. Ia mencium pipiku.
“Terima kasih, Sayang! Mudah-mudahan kamu sering membagikan barang yang nggak sering kamu pakai ke orang yang lebih membutuhkan, ya.”
Aku tersenyum mendengar permintaannya. Sering sekali Sena memintaku untuk memberikan baju, sepatu atau tas yang jarang kupakai untuk orang lain. Sayangnya aku sering beralasan belum ada waktu untuk mengumpulkannya. Sena tak pernah bosan mengingatkanku walau sering kuabaikan.
Hari ini aku berjanji akan mulai mengumpulkannya karena Sena tak marah mengetahui isterinya tetap membeli sepatu walau sudah dicegahnya. Aku menghargai kesabarannya menghadapiku.
                                             ***
Sena menggenggam tanganku ketika kami berdua berjalan dari tempat parkir mobil menuju ke gedung tempat dilaksanakannya resepsi pernikahan salah satu teman kami. Aku berdandan maksimal untuk datang ke resepsi ini karena aku tahu teman-temanku pasti akan datang dengan penampilan yang wah dengan barang-barang bermerek.
Langkah kakiku agak tersendat-sendat karena sebenarnya selama ini aku tak terbiasa menggunakan sepatu berhak tinggi dan runcing. Makanya bantuan tangan Sena sangat kubutuhkan untuk menuntunku agar aku tak terpeleset.
“Hei Ajeng, Sena, apa kabar?”
Tissa, teman kuliahku yang juga mantan pacarnya Sena menyapa kami berdua. Otakku langsung bekerja menghitung berapa jumlah uang yang melekat di badan Tissa. Aku hanya bisa berdecak kagum dalam hati karena semua barang yang melekat di badannya kutaksir seharga satu mobil kelas menengah di tanah air.
“Sena, kamu semakin mature. Tambah ganteng pula,” puji Tissa.
“Ajeng pandai merawatku,” ujar Sena.
Aku tersenyum kesal mendengar pujian Tissa kepada suamiku. Aku merasa Tissa selalu genit kalau bertemu Sena.
“Kami permisi, ya. Mau salaman dulu dengan mempelai,” pamit Sena sambil menarikku.
Aku tersenyum setengah mengejek. Kudekatkan badanku ke badan Sena dengan maksud membuat Tissa kesal. Rasanya aku puas melihat Tissa memandangku dengan iri. Terlebih penampilanku tak kalah dengan penampilannya.
Setelah menyalami kedua mempelai, aku berjalan di belakang Sena menuju ke bawah panggung. Entah karena aku sedang melamun atau karena konsentrasiku buyar karena sibuk memikirkan Tissa, kaki kanankku terpeleset ketika menuruni anak tangga panggung. Aku lupa bahwa aku mengenakan sepatu berhak tinggi.
Pada saat itu Sena berada di belakangku sehingga tak sempat menahan tubuhku. Seketika badanku terjatuh ke bawah tangga. Sepatu mahalku terlepas dari kaki.
Sena bergegas turun dari panggung. Ia berjongkok dan memegang tanganku. Pada saat itu, hanya rasa malu yang mendera. Aku lupa kalau kakiku sakit.
Sena membantuku berdiri. Kupungut sepatu yang terlepas. Dengan terpincang-pincang aku berjalan perlahan dipapah Sena.
“Sudah jangan nangis, Jeng! Kita ke dokter, ya! Biar kakinya dirontgen.”
“Aku nggak mau dirontgen, Sen. Aku nggak apa-apa kok. Cuma keseleo sedikit aja,” ujarku.
“Aku takut tulang kakimu ada yang patah, Jeng!” ujar Sena sambil terus menyetir.
“Aku nggak apa-apa!” bentakku. Akhirnya Sena menyerah. Ia membelokkan mobil menuju ke rumah.
                                    ***
Sena membukakan pintu mobil untukku. Dengan susah payah aku mencoba keluar mobil. Setelah berdiri di samping pintu, aku mulai merasakan kalau kaki kananku sakit dan tak bisa kugerakkan.
“Sena, kakiku lumpuh. Aku nggak bisa jalan. Sakit banget ini!” ujarku dengan panik. Air mata bercucuran di pipiku. Apalagi ketika kulihat telapak kaki kananku membengkak, tangisku semakin kencang.
Tanpa berkata-kata lagi, Sena memasukkan aku ke dalam mobil kembali. Ia menjalankan mobilnya menuju ke rumah sakit.
Kupandangi wajah Sena dengan perasaan menyesal. Andai kata aku menuruti kata-katanya, kejadian seperti ini takkan pernah terjadi.
“Sabar ya, Sayang!”
Sena mengusap kepalaku lembut. Tak ada satu kata pun yang keluar dari bibirnya yang menyalahkanku karena tidak mendengar sarannya untuk membeli sepatu berhak tinggi. Ia terus menenangkanku. Betapa malu hatiku melihatnya terus bersikap baik.
“Sena, kenapa kamu baik kepadaku padahal aku selalu menyusahkanmu?” tanyaku terisak.
“Karena kamu juga memberiku banyak kebahagiaan,” jawab Sena.
Mendengar jawaban Sena, aku semakin terisak. Di luar sepatu, aku tak salah memilih pendamping hidup.

Tahu apa kamu tentang cinta?

Novi and her love

Utang Bapak


 “Mas, kapan mau bayar utang? Udah setahun lho, jawabnya kok selalu besok-besok terus,” ujar seorang laki-laki kepada bapakku di ruang tamu.

Malam itu aku sedang belajar untuk tes masuk sebuah perguruan tinggi yang semua biaya kuliahnya ditanggung pemerintah. Aku memang sengaja memilih sekolah seperti itu untuk meringankan beban Bapak.

Aku mendengar dengan jelas percakapan Bapak dengan tamunya karena kamarku berada di depan dan pintunya berhadapan langsung dengan ruang tamu. Apalagi kamarku tak berpintu, hanya ditutupi gorden.

Akhir-akhir ini kulihat Bapak sedang kesulitan dalam hal keuangan. Apalagi ditambah utang yang menumpuk karena dulu Bapak banyak meminjam uang untuk modal pemilihan lurah di kampung kami. Jumlahnya sangat banyak sampai bapak menggadaikan rumah yang kami tempati.

Memang Bapak menang dan menjadi lurah, tapi utang yang terlanjur menumpuk sulit dibayar. Penghasilan Bapak sebagai lurah tak cukup banyak untuk menutupi utang.

“Kalau Mas Tarjo nggak bayar utang, terpaksa rumah ini saya ambil. Saya masih baik kali ini, masih mau kasih kesempatan. Tiga bulan lagi saya datang .”

Setelah itu aku tidak mendengar lagi percakapan antara Bapak dengan tamunya. Tak terbayangkan dari mana Bapak dapat uang untuk membayar utangnya. Bagaimana hidup kami kalau sampai rumah yang sudah kami tinggali bertahun-tahun sejak aku kecil berpindah tangan kepada orang lain. Di mana kami akan tinggal?

Kepalaku sungguh pening memikirkan keadaan keluargaku saat ini. Konsentrasiku terpecah karena memikirkan kata-kata tamu tadi. Aku adalah anak sulung, sehingga  harus bertanggung jawab atas keluargaku. Aku sudah tak sanggup lagi belajar karena pikiranmu melayang ke mana-mana. Malam itu akhirnya aku tertidur dengan segala permasalahan yang bermain di kepala.
                              ***
Selama tiga bulan aku ikuti proses penerimaan mahasiswa baru dengan harapan aku tetap bisa melanjutkan kuliah Walau ekonomi keluarga pas-pasan, aku tetap bertekad untuk bisa lolos seleksi. Harapanku tinggi agar dapat membantu Bapak dan Ibu keluar dari masalah ekonomi. Juga agar adik-adikku dapat sekolah setinggi-tingginya.

Akhirnya hari yang dinanti tiba. Waktu pengumuman tes seleksi datang juga. Dengan perasaan yang tak karuan aku membuka pengumuman pada website di warnet yang berada dekat rumahku. Tanganku gemetar memainkan mouse komputer untuk mencari laman pengumuman.

Mataku nanar menatap huruf-huruf kecil yang berisi nama-nama orang yang lolos menjadi calon mahasiswa Sekolah Tinggi Idaman Semua Orang disingkat STISO. Degup jantungku serasa berhenti ketika nomor ujianku bersanding dengan namaku, Satria Pratama, sebagai peserta seleksi yang lolos dan diterima sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Idaman Semua Orang.

Setelah memastikan bahwa aku benar-benar lolos, aku berlari kencang menuju rumah. Rasanya berita ini patut diberitakan kepada seluruh penghuni rumah.  Aku ingin memberikan sedikit kesejukan ditengah suasana panas yang kerap terjadi di rumah.

“Pak, Bu, alhamdulillah aku lolos masuk STISO,” ujarku dengan gembira. Saat itu Bapak dan Ibu sedang duduk di teras rumah. Tak ada obrolan diantara keduanya.

“Ya Allah, alhamdulillah.”
Tiba-tiba terdengar suara tangisan Ibu. Tangisannya cukup keras sehingga beberapa orang lewat menatap kami bertiga dengan heran.

“Nggak ada apa-apa. Istriku nangis bahagia,” begitu perkataan bapak kepada setiap orang lewat yang heran melihat Ibu.

“Beneran?” tanya Bapak setengah tak percaya.

Kuperlihatkan pengumuman yang tertera namaku di HP. Kebetulan aku memotretnya tadi sebelum aku pulang ke rumah. Setelah kutunjukkan, barulah Bapak percaya kalau aku memang lolos seleksi.

“Bapak seneng banget, Sat. Akhirnya kamu bisa juga kuliah. Alhamdulillah. Belajar yang bener ya, biar cepet lulus,” ujar Bapak.

“Doain aja, Pak,” jawabku.

“Oya, Bapak tahu kemarin kamu dengar percakapan bapak dengan Pak Kardi. Nggak usah dipikir ya. Bapak sudah punya uang untuk membayar utang. Kamu fokus belajar saja.”

Aku mengangguk. Dalam hati aku berpikir keras , dari mana Bapak mendapatkan uang untuk membayar utang. Ingin sekali aku bertanya tapi aku nggak ingin merusak suasana yang sedang bahagia.
                               ***
Aku menjalani kuliah dengan penuh semangat. Aku berusaha selalu mendapat nilai yang bagus agar aku menyelesaikan kuliah tepat waktu sehingga bisa lulus tepat waktu. Aku berharap bisa segera membantu ekonomi keluarga.

Kuhabiskan waktu selama kuliah dengan belajar. Jarang sekali aku pergi hangout bareng teman-temanku. Tak masalah bagiku dianggap kuper oleh teman-temanku. Tujuanku datang ke Jakarta dari kampung memang hanya untuk kuliah, bukan bersenang-senang.

Akhirnya masa empat tahun kuliah dapat kuselesaikan dengan baik. Aku lulus dengan nilai terbaik. Keluargaku kembali diliputi kegembiraan atas kelulusanku ini, atau tepatnya Bapak lega karena aku bisa segera bekerja dan mendapatkan gaji.

Aku ditempatkan di kota yang jauh dari keluarga, di luar pulau Jawa. Bagiku ini pengalaman baru yang menarik. Bapak dan Ibu mengantarkan kepergianku dengan penuh haru.

Ada harapan baru yang dibebankan di pundakku untuk seluruh keluargaku. Aku tahu diri bahwa aku harus membiayai keperluan sehari-hari seluruh anggota keluarga karena Bapak sudah pensiun jadi lurah. Aku menerimanya dengan ikhlas, toh utang Bapak sudah lunas.

Ibu menangis melepasku pergi. Bapak terlihat tegar. Begitu juga kedua adikku.

“Belajar yang giat, ya. Kalau ada perlu apapun telpon aja mas. Sering-sering bantu Ibu!” pesanku kepada adik-adik. Kulihat tangis Ibu semakin keras mendengar perkataanku kepada adik-adik.

“Sudah, Bu. Jangan nangis. Aku pasti sering telepon kok. Kapan-kapan aku ajak Bapak, Ibu dan adik-adik naik pesawat,”pesanku.

Kucium tangan Bapak dan Ibu. Berat memang meninggalkan mereka, tapi tugas negara memanggil, aku dan keluarga harus ikhlas.

Kutinggalkan mereka berempat dengan senyum. Aku tak tahu apakah Ibu masih menangis atau tidak. Aku berusaha untuk tidak  lagi  menengok ke belakang, takut langkahku menjadi berat. Kuusap air yang menetes di pipi dengan ujung kemeja.

Hatiku penuh dengan rasa penasaran seperti apakah rasanya melakukan perjalanan dengan pesawat . Hari ini adalah kali pertama aku naik pesawat . Hari ini adalah awal dari tahap kehidupanku selanjutnya. Bismillah.
                                 ***
“Sat, Bapak mau bicara!”
Bapak mendatangiku setelah aku selesai salat Isya di kamar. Aku melipat  sajadah dan menyimpannya di ujung kasur.

“Ada apa, Pak?” tanyaku.

“Duduklah!”

Bapak duduk di pinggir kasur. Aku pun mengikuti bapak duduk di pinggir kasur. Aku dan Bapak duduk berhadapan di kasur.

Saat itu kebetulan aku sedang pulang ke kampung karena aku mendapat tugas untuk mencari data di kota sekitar kampung halamanku. Kusempatkan untuk mampir ke rumah menengok keluargaku.

“Bapak mau minta tolong,” ujarnya pelan.

“Apa, Pak?” tanyaku.

“Kalau kamu punya uang tolong lunasi utang bapak ke Pak Darma.”

“Berapa, Pak?”

“Seratus juta.”

Jawaban Bapak membuatku kaget. Kugaruk kepala walaupun tak gatal. Aku berusaha bersikap tenang.

“Utang apa lagi, Pak? Bukannya kata Bapak dulu utangnya sudah lunas?”tanyaku heran.

“Sst, jangan keras-keras! Nanti ibumu denger.”  Telunjuk bapak menempel di bibirnya.

“Jadi, waktu itu Bapak melunasi utang itu ya dari hasil utangan ke Pak Darma. Sekarang udah jatuh tempo,” ujar Bapak.

“Ya Allah, Bapak!”

“Kamu punya, kan?”

“Ya ada sih, Pak. Aku nabung setiap bulan, tapi juga nggak sebanyak itu ….”

“Nggak apa-apa, nanti sisanya kamu cicil ya!” potong Bapak.

Setiap bulan sedikit demi sedikit uang kutabung untuk keperluan adikku sekolah atau kuliah. Aku juga ingin sedikit memperbaiki rumah di kampung agar tidak bocor. Sebagiannya akan kupergunakan untuk membeli keperluanku sendiri. Utang Bapak menghancurkan keinginanku saat ini.

Sayangnya aku tak tega melihat muka Bapak yang penuh dengan harapan. Aku juga tak ingin Bapak mendapatkan masalah karena utang ini. Dengan berat hati kupenuhi permintaan Bapak untuk membayar utangnya sebagian. Sisanya akan kucicil kemudian.

“Terima kasih banyak, Sat. Kamu memang anak kebanggaan bapak.”
Bapak memelukku erat. Aku hanya tersenyum kecil melihat Bapak yang merasa lega karena bebannya selama ini dibawanya kemanapun ia pergi.

Aku tersenyum kecut. Bulan-bulan selanjutnya aku harus semakin berhemat karena aku berjanji kepada Bapak untuk mencicil utangnya.
Mungkin ini adalah jalanku untuk berbakti kepada Bapak. Masalah rumah, Ibu dan adik-adik akan kupikirkan belakangan.


                                              ***













LELAKI INI DAN PEREMPUAN ITU DAN ALASAN CINTA


Lelaki ini terdiam. Setentang tanya perempuan itu; mengapa kamu cinta aku?. Mata perempuan itu membulat, hitam tajam menghunjam. Alis hitam lebatnya merapat siaga. Menanti kata. Lelaki ini masih merangkai kata, mencari celah, akankah rasa mengatasi gundah menggantikan kata. “Apa aku harus punya alasan untuk cinta kamu?” lelaki ini membalas tanya dengan tanya. Perempuan itu mulai gelisah. Dia tak ingin dicinta karena mata indah. Dia tak mau dirayu sebab jelita. Dia tak suka dirindu seolah dibutuh. “Iya, tak mungkin kamu cinta aku tanpa alasan” cecarnya. Sunyi. 2 cangkir hot cappucino belum tersentuh. Hati yang tergambar disitu bahkan masih utuh. Cinta karena cinta. Jangan tanyakan mengapa? Tak bisa jelaskan, karna hati ini telah bicara[1].

Lelaki ini tak pernah suka ditanya perihal cinta. Bukan tidak piawai bicara atau menyusun kata. Hanya tidak suka. Baginya, cinta pada perempuan itu adalah rahasia hatinya. Cuma dia dan Sang Empunya yang boleh tahu mengapanya. Hal dia suka mata indah atau paras jelita itu bukan alasan cinta. Meski kerap terungkap rasa. Perempuan itu bukan tak memahami. Lelaki ini pasti berdusta soal mata indah. Dia sudah punya mata yang lebih indah. Alis lebat pun basa basi belaka, dengan alasan yang sama. Tapi terkadang perempuan itu tetap memaksa. Hanya karena lelaki ini hilang tanpa berita bahkan sapa. Lalu tiba-tiba datang mengaduk rasa, ibarat badai mengusik seriatnya samudra. Tanpa siap bersiap usahkan bertahan. Ku tak bahagia melihat kau bahagia dengannya aku terluka tak bisa dapatkan kau sepenuhnya aku terluka melihat kau bermesraan dengannya ku tak bahagia melihat kau bahagia[2].

Perempuan itu tahu, tanyanya takkan bersambut kata. Selalu begitu. Ada tanya lalu amarah. Lalu pergi tanpa kata-kata. Kali ini pun sama. Lelah. Perempuan itu lelah. Menata hati laksana rumah dipenuhi anak-anak TK. Rapi sebentar tak lama bubar. Tersusun tepat lantas buyar. Makanya dia butuh alasan. Alasan agar dia bisa tetap di landasan saat lelaki ini membawanya terbang. Tetap terjaga meski lelaki ini melenakannya. Meski dia tahu alasan apapun takkan membantu, karena dia butuh lelaki ini pun tanpa alasan. Katamu cintaku berlebihan. Cemburuku tak beralasan[3].

Ini harus berakhir. Perempuan itu sudah bulat. Biar saja lelaki ini pergi entah kemana, perempuan itu takkan tanya. Lupakan saja kata-kata cinta, perempuan itu tak butuh cinta. Cukup sudah lelah. Air mata. Diam dimalam kelam. Membatin rindu yang harus menunggu. Cinta macam apa tanpa asa. Pergi saja engkau pergi dariku. Biar kubunuh perasaan untukmu, meski berat melangkah, hatiku hanya tak siap terluka[4].

Sehari. Hati perempuan itu panas meredam bara. Menjaga rasa agar tak tertumpah. Seminggu. Perempuan itu dilanda rindu. Menelisiki pori-pori, mengharu biru menunggu datang kata-kata itu. Sebulan. Samudera tenang tak bergejolak. Sauh diangkat kapal bertolak. Lupakah perempuan itu akan cintanya?

Lelaki ini berteriak tanpa suara. Terkurung di palung terdalam dasar samudera. Tak terdengar meski sudah bingar. Immature love says: 'I love you because I need you.' Mature love says 'I need you because I love you.'[5]

Ku hanya diam menggenggam menahan segala kerinduan,
Memanggil namamu di setiap malam,
Ingin engkau datang dan hadir di mimpiku,
Rindu[6]

Jakarta, 03032020


[1] Cinta karena cinta, Judika
[2] Harusnya aku, Armada
[3] Aku takut, Repvblik
[4] Waktu yang salah, Fiersa Besari
[5] The Art of Loving, Erich Fromm
[6] Tentang Rindu, Virzha

Elo, gue, foto kita ...

Cinta Tanpa Asa


Aku melirik lelaki itu. Pulas. Dengkur halusnya terdengar keras di telingaku. Terhempas kenikmatan yang kami renggut bersama beberapa saat lalu. Dingin. Kutarik selimut menutupi tubuh telanjangku. Mencoba memejamkan mata. Tapi bayangan itu seperti mengejekku. Berputar lambat layaknya film dokumenter. Hitam putih, samar tapi jelas pemerannya. Hujan di luar sana masih menghunjamkan panah-panah airnya tanpa ampun ke daratan yang tanpa daya hanya pasrah menerima. “jangan jatuh cinta saat hujan….”[1]
***
Aku berlari-lari menerobos hujan. Fiuh. Tumpahan airnya begitu rapat. Padahal tak sampai 3 meter jarak mobil temanku dengan mobilnya, tetap saja tak terhindar aku kuyup. “Lo ada handuk nggak?” tanyaku yang disambut gelak tawanya. “Lo kira nih kamar hotel apa?” jawabnya masih sambil tertawa. Entah apa yang terlintas di pikiranku. Tengah malam. Hujan yang tak henti menghunjami kota ini dari sore tadi. “Mau kemana kita?” tiba-tiba dia memecah kekakuan kami. Aku tiba-tiba gugup. Tangannya sudah berpindah dari tongkat persneling ke tanganku. Kaget, tapi tak kuasa menolak. “terserah” jawabku. “yang jelas gue basah ini” lanjutku.
***
Aku belum lama mengenalnya. Belum ada 3 bulan. Kenal pun karena urusan pekerjaan. Kantorku kebetulan mendapatkan proyek pengadaan di kantornya dan aku yang ditunjuk menjadi penghubungnya. Sejauh ini kami hanya berkomunikasi masalah pekerjaan. Tidak lebih. Bagaimanapun aku harus menjaga jarak. Aku adalah perempuan yang sudah bersuami sedangkan dia masih setia membujang di usia yang sepantasnya sudah memiliki keluarga kecil. Dia pun tampaknya juga menyadari kondisi ini. Tak sekalipun dia mengirimkan pesan-pesan di luar urusan kantor pun bahkan di luar jam kerja. Malam ini harusnya aku ke luar kota bersama teman-teman sekolahku. Biasa. Mendadak reuni karena aku tidak setiap saat bisa berada di kota ini. Kebetulan ada urusan kantor, dan teman-teman pas ada waktu, jadilah. Aku pun sudah menelpon suami dan anak-anakku, mengabarkan aku malam ini tidak kembali ke hotel kalau-kalau mereka menelponku ke sana. Alur cerita berbelok begitu cepat. Kami yang sudah bergerak ke luar kota harus berbalik arah karena ada satu temanku yang tertimpa kemalangan. In the middle of nowhere, aku tak tahu kenapa tiba-tiba aku minta dia menjemputku di meeting point. Tengah malam. Saat hujan.
***
Aku sudah tidak bisa berpikir. Perasaanku ingin berontak, tapi badanku tidak. Entahlah. Apa badanku yang ingin menolak tapi perasaanku menjadi nyaman. Campur aduk. Dia mulai menciumiku. Dahi, mata, hidung. Udara hangat menyapu seluruh wajahku. Aku cuma mendesah saat bibir hangatnya menyentuh bibirku. Lembut. Hangat. Lama. Lalu mulai memagutiku dengan nafsunya. Aku benar-benar pasrah. Rasa dingin berubah jadi panas. AC kamar sempit ini tidak membantu. Tubuhku basah, bukan lagi oleh air hujan tadi tapi karena keringat birahi.
***
Jedeeerrr…tiba-tiba suara geledek mengejutkanku. Menghentikan putaran film dokumenter. Tepat saat lelaki di sebelahku terbangun. “Kamu tidak tidur?” selidiknya. “nggak, mau lagi yang tadi” jawabku genit sambil menindih tubuhnya. Sisa malam itu ku memuaskan nafsu. Melampiaskan cumbuku pada bayangan yang tak henti menggodaku. Hujan sudah reda. Menyisakan genangan, rumput dan tanah basah. Menutup kenangan yang tak akan terulang.


[1] Tere Liye