Kisah Senin Soreku Bersama Kekasih Gelapku

Pukul 17.25
Di Senin sore beberapa ratus minggu yang lalu,

Braaakkk ...!!! Aku menggebrak badan kemudi keras sambil berteriak kesal. Sesak sekali rasanya ketika rasa marah dan sedih tumpang tindih dalam rongga dada ini. Aku melambatkan laju kendaraanku sejenak sebelum merasakan aliran hangat membasahi kedua mataku. Pelan lalu semakin deras dan menguras emosi. Aku benar-benar tergugu. Beberapa menit berlalu, aku merasakan sedikit demi sedikit rongga dadaku terasa lebih ringan. Aku meraih tissue, menyeka sisa-sisa air mata, menarik nafas dalam, lalu mengingat kembali kejadian beberapa saat yang lalu.

***
“Kamu gak suka ya Mas, aku kasih surprise seperti ini?”, Ajeng menatapku dengan rasa bersalah. “Mas ... ngomong donk, jangan diem aja dari tadi aku dicuekkin,” matanya menatapku dengan gusar.

“Ini bukan masalah aku suka atau nggak ya, tapi aku tuh bener-bener gak habis pikir lho dengan kamu. Ngapain coba kamu melakukan hal sekonyol ini? ‘Kan aku sudah bilang ke kamu, sekarang ini nih kerjaan di kantor sangat banyak, dan aku sedang gak bisa lembur karena istriku sudah beberapa hari ini migrain nya kambuh. Aku harus segera pulang ke rumah, bawa sisa pekerjaan, nanti sampai di rumah harus gantian ngurusin anak-anak, bantu mereka mengerjakan PR, setelah semua tidur aku baru melanjutkan pekerjaan kantor. Aku lelah Jeng ... Tolong kamu pahami itu!”, aku berbicara dengan nada tinggi. Keletihanku seminggu belakangan ini sepertinya memang butuh untuk dilampiaskan.

“Iya Mas ... Maaf. Aku cuma kangen kamu, gak lebih. Aku tau mas mesti cape dengan rutinitas sekarang ini, aku juga gak ada niat mau menambah-nambah beban pikiran Mas kok.”, kali ini suara Ajeng terdengar sangat parau. Aku tau, dia sedang menahan tangisnya.

“Kangen? ‘Kan kita masih terus komunikasi, Jeng. Setiap pagi, setiba di kantor, kamu orang pertama yang aku telpon, begitupun dalam perjalananku pulang dari kantor. Kamu jangan seperti Abege gak jelas deh”, ah kali ini aku benar-benar ingin memuntahkan kesuntukanku. Ada rasa bersalah yang menyelinap ketika aku masih dengan nada tinggi mengomel kepada Ajeng, perempuan yang sudah  beberapa bulan ini menjadi kekasih gelapku.

“Mas, cukup!”, kali ini aku tersentak mendengar suara Ajeng yang berbalik emosi. Aku tertegun sejenak ketika mendapati wajahnya yang sudah bersimbah air mata namun tatapan matanya penuh amarah. Sungguh suatu kombinasi yang tidak pas. “Aku minta maaf kalau kamu merasa kedatanganku kali ini mengganggu kamu. Kamu gak perlu juga sebegitu marahnya ke aku. Jika dengan berkomunikasi via telpon cukup untuk menahan rasa rindu ini, aku gak akan ada bersama kamu saat ini. Tapi aku kali ini benar-benar kecewa, Mas. Aku gak minta kamu ajak jalan kemana-mana, nggaaakk ... buatku, bertemu kamu sebentar saja sudah lebih dari cukup,” belum selesai Ajeng melanjutkan kata-katanya, aku sudah menyela.

“Oya? Trus apa sekarang ini kamu gak bikin repot? Ya gak mungkin kan aku membiarkan kamu pulang sendiri dari kantorku? Sementara kamu tau kalo hari Senin, jalanan macetnya parah. Mengantar kamu pulang berarti aku harus membuang waktu lebih kurang 2 jam untuk bisa sampai di rumah. Belum lagi nanti istriku bolak balik telpon ngomel-ngomel mempertanyakan kenapa aku pulang begitu larut,” kali ini aku benar-benar menghardik Ajeng.

“Mas, tolong turunkan aku disini sekarang,” Ajeng menatapku tajam. Di matanya yang bening, aku melihat luka yang dalam. Aku tau dia sangat kecewa dengan kemarahanku. Aku juga sadar kalau aku terlalu berlebihan, namun aku tak tau mengapa aku tidak dapat  membendung emosiku.

Aku melambatkan laju kendaraan, lalu menepi di depan salah satu halte yang terlihat cukup sesak dengan orang-orang yang berlomba mengejar kendaraan umum.

“Terima kasih ya Mas buat semua. Sekali lagi, aku minta maaf karena sudah merusak malam mu. Hati-hati”,  Ajeng bergegas turun dari mobilku, setengah berlari berbaur bersama orang-orang yang berada di halte itu.

***
“Huuuffttt ... Astaghfirullahal’adziim ...,” aku membatin pelan. Aku baru sadar kalau Ajeng tidak terbiasa menggunakan kendaraan umum, bahkan aku juga tidak yakin kalau dia tau di halte apa dia tadi turun. Ya, itu salah satu kelemahannya. Ajeng tidak pernah bisa mengingat arah suatu alamat. Kelemahan ini juga yang membuatku sering over-protected terhadapnya, sehingga sejak beberapa bulan hubungan kami, Ajeng tidak aku ijinkan kemana-mana jika tidak aku yang mengantarkan. Kecuali ke kantorku, itupun setelah beberapa kali aku harus mengarahkan pengemudi taksi yang membawa Ajeng.

Tiba-tiba ada rasa sesal yang teramat sangat menyelinap dalam hatiku. Tidak seharusnya aku melampiaskan kelelahanku kepada Ajeng. Dari sejak pertama kali kami bersama, baru tadi itu aku menghardiknya.  Padahal tak ada yang salah dengan rasa rindunya. Pun sejak awal Ajeng sudah bilang kalau dia bisa pulang pakai taksi. Dia hanya ingin bertemu, melihatku, menghilangkan rasa rindunya, itu saja. Kini rasa bersalah berbalik menjadi rasa khawatir yang memuncak. Aku bergegas meraih gawaiku, coba menghubungi Ajeng, 1... 2 ... 3 kali tidak dijawab. Secepat kilat aku membelokkan mobilku pada jalan yang mengarah kembali ke halte dimana aku menurunkan Ajeng. “Ya Tuhan, semoga Ajeng masih menungguku, “aku bergumam penuh harap. Namun sia-sia. Aku menyapu pelan wajah orang-orang yang berdiri di halte tersebut sambil terus menghubungi telpon seluler Ajeng. Nihil... Ajeng tak ada disana. “Maafin Mas ya,  Jeng ... semoga kamu baik-baik sampai di rumah.”.

** Well you only need the light when it’s burning low,
Only miss the sun when it starts to snow,
Onlyknow you love her when you let her go
Only know you’ve been high when you’re feeling low,
Only hate the road when you’re missing home
Only know you love her when you let her go, and you let her go ...


**Let her go -- Passenger

Tidak ada komentar:

Posting Komentar