Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Cinta di 1/3 Malam

Spoiler Hidupmu ...

Tunggu pembalasan gue ya pak boss ...

"Jangan Mencuri, Nanti Kamu Terbiasa..!"


Menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) itu tak mudah. Kebutuhan hidup sama dengan profesi lainnya, tapi kekayaan tidak boleh sama. “Kalau mau kaya jangan jadi PNS!”, ujar seorang Menteri di Republik ini dahulu kala. Aku mungkin masih terlalu muda saat memutuskan untuk bersekolah di sekolah kedinasan yang menjadikanku berstatus PNS . Terlalu muda juga untuk memahami bahwa hidup ini butuh banyak biaya sedangkan PNS tak boleh kaya.
Aku bukan berasal dari keluarga berada, meski ayahku seorang pedagang besar dulunya. Saat aku lahir sebagai bungsu dari dua belas bersaudara, ayahku mulai kehilangan masa kejayaannya. Tapi beliau yakin dan percaya bahwa banyak anak banyak rejeki, patah tumbuh hilang berganti. Kewajiban membiayai hidup pun beralih ke anak-anaknya.
Tak banyak yang kuingat di masa kecil. Biasa saja, cukup makan cukup pakaian. Ketika mulai sekolah, hanya satu pesan ayah: dapat negeri atau tidak sekolah sama sekali. Aku merasa tidak ada masalah, tidak merasa kekurangan walau sering menahan keinginan. Uang sekolah lancar, buku pelajaran lengkap tersedia, juara kelas dapat hadiah. Tak pernah ada beban, meski lambat laun aku sadar bahwa aku menanggung harapan yang besar. Aku adalah si bungsu yang disayang, dimanja dan diharapkan jadi permata keluarga. Ketika SMA nilaiku turun, jangankan jadi juara, masuk lima besarpun tak pernah. Kakakku marah karena aku memilih ilmu sosial daripada eksakta. Meskipun akhirnya aku bisa juara, tapi kekecewaan itu tetap terasa.
Kuputuskan meninggalkan tanah tumpah darah, menuju ibukota. Cukup setahun pertama, lalu aku akan terbiasa. Tapi aku tetap si bungsu, tak akan lepas dari keluarga, mereka tetap menjaga walaupun harapan telah berubah.
“Pergilah, baik-baik di tempat kerja, jangan sampai tak makan karena uang tak bersisa, berhutang dulu tak apa, tapi jangan mencuri karena nanti kau jadi terbiasa”. Itulah pesan orang tua dan sanak saudara ketika aku pamit ke penempatan pertama, Kantor Perwakilan di pelosok nusantara. Setahun tidak terasa. Makan minum tidak masalah, tapi ada hati yang mulai mendua. Tak mungkin menikah tanpa biaya, apalagi masih ada cita-cita. Akal sehat mulai terjaga, amplop dari mitra pun mulai diterima.
Kembali ke ibukota, mengejar cita-cita. Hidup mulai berubah, PNS semakin jaya walau tetap tak boleh kaya. Ibu tiada, hanya isak tersisa karena tidak sempat membuatnya bahagia. Hanya ayah yang ada, namun beliau tetap tidak minta aku untuk jadi kaya. “Carilah istri orang Jawa”, hanya itu pintanya. Akupun menikah dengan kondisi apa adanya. Mertua bisa terima. Tak perlu kaya, jujur saja, semua rejeki dari Allah.
Jadi PNS itu susah, saat ingin berbeda, berbagai godaan datang menerpa. Honor, jalan dinas, fasilitas dan berbagai harta benda sangat menggoda. “Jangan mencuri, nanti kau jadi terbiasa”, terngiang lagi nasehat lama. “Kamu kan menerima, tidak meminta, sekali dua kali boleh saja”, setan jahat mulai menyapa. Nasehat orang tua benar adanya, aku pun mulai terbiasa. Tetap tidak meminta, tapi tak menolak untuk menerima dan mulai berharap adanya.
PNS tidak boleh kaya tapi hidup kan butuh banyak biaya. Saat rakus mulai meraja, mata hati mulai terjaga. Tetap menerima tapi tidak mengharap adanya. Apa setan lalu berdiam saja?. “Bukan curian itu yang kamu terima!”, demikian bisiknya. “Anakmu mulai sekolah, istrimu perlu belanja, sedang gajimu tidak seberapa!”, demikianlah lanjutnya. Nafsu mulai bicara. Sedikit saja takkan dipenjara. Dilema.
PNS ternyata ada yang kaya, meski lebih banyak yang tidak kaya. Apa yang kaya selalu menerima dan meminta? Apakah yang tidak kaya, tidak pernah menerima, tidak pernah meminta? Aku kembali terjebak dalam dilema. Jangan mencuri nanti kau jadi terbiasa harusnya menjadi mantera. Alhamdulillah doa diijabah, kerja berpindah, tak mungkin meminta dan jarang sekali menerima meskipun sah. Mudah-mudahan jadi terbiasa.
Jadi PNS memang susah, tapi semua hanya masalah terbiasa atau tak terbiasa. Kaya bukan yang utama, tapi hidup jujur lebih berkah. Saat hidup banyak asa, berserah diri kepada Allah sambil membaca mantera: “Jangan mencuri nanti kau jadi terbiasa!”.

Jakarta, 14012020
*Tulisan ini pernah dimuat dalam buku "kerDJA, 46 kisah inspiratif membangun negeri", DJA@2017


Purnama Terakhir


“Tya, kamu lagi di mana?”
“Udah makan belum? Jangan sampai telat makan, nanti kamu sakit. Ayah juga kan yang repot.”
“Kalau keluar malam, jangan lupa pakai jaket!”
Selalu dan selalu Ayah menelepon atau video call aku. Belum sempat aku berpindah dari kegiatan yang satu ke kegiatan yang lain di kampus, Ayah kembali menelepon. Biasanya ia akan bertanya dan bicara hal-hal yang menurutku tak penting bahkan bisa jadi itu nasihat yang diulang-ulang terus.
Entah apa yang ada di pikiran Ayah, kenapa ia begitu protektif.  Sepertinya Ayah tidak mempercayaiku. Padahal aku selalu berusaha membanggakan Ayah. Aku selalu menjadi yang terbaik dari mulai duduk di bangku sekolah dasar sampai kuliah di universitas terbaik di negeri ini.
Aku tinggal berdua saja dengan Ayah karena Ibu sudah meninggalkan kami berdua ketika aku masih berusia lima tahun. Ibu pergi entah ke mana. Sejak itu ayahlah yang mengurusi sampai saat ini.
Tak pernah terpikir di benakku untuk mencari Ibu. Aku merasa sudah cukup mendapat kasih sayang dari Ayah yang bertindak juga sebagai ibu bagiku.
Tuut … tuut
Ayah calling …
Ayah ngapain lagi sih. Tadi pagi ia sudah meneleponku.  Ayah hanya bertanya nanti malam mau dimasakin apa.
“Ayah, Tya kan udah bilang kalau Ayah nggak perlu masak. Capek kan pulang kerja. Nanti Ayah sakit. Tya juga yang repot.” Aku bicara menirukan kata-kata Ayah kalau menasihatiku.
“Bukan itu, Tya,” ujar Ayah.
“Apa Yah?”
“Mau dibawain makanan apa? Sekalian Ayah pulang kantor, lewat Food Court nanti.”
“Ya ampun, Ayah. Nggak usahlah, Tya beli aja di kampus,” jawabku.
“Kok gitu?” tanya Ayah.
“Tya pulang agak malam. Ada tugas yang harus diselesaikan besok pagi.
“Jadi Ayah sendiri dong di rumah,” ujar Ayah merajuk.
“Ah Ayah, kayak anak kecil aja.” Agak kesal juga aku menghadapi tingkah Ayah. Ini dilakukannya setiap hari.
“Ya udah, ya. Tya mau masuk kelas dulu.”
“Lha kan masih ada lima belas menit lagi.” Sulit memang membuat Ayah menyerah. Ayah tahu pasti kapan saja aku berkegiatan. Tak ada satupun yang terlewat dari catatannya.
“Ah Ayah. Tya kan mau baca-baca dulu materinya sebelum dosen masuk. Udah ya, Ayah.  Nanti malam kalau ngantuk tidur duluan aja. Ayah nggak usah nunggu Tya,” ujarku.
“Oke, Nak.”
Kututup handphone. Aku tahu Ayah tidak akan pernah atau menutup handphone-nya sebelum aku menutup terlebih dahulu.
Aku berjalan menuju kelas. Mata kuliah pertama akan segera dimulai. Rugi rasanya kalau aku terlambat.
                             ***
Hari telah malam ketika aku meninggalkan kampus. Aku berlari mengejar kereta terakhir yang akan membawaku pulang.
Ketika turun dari motor yang mengantarku sampai di depan pagar rumah, rasa kantuk mulai menyerang. Secepatnya aku masuk ke dalam pekarangan.
Aku membuka pintu perlahan. Dengan mengendap-ngendap aku masuk ke dalam rumah yang sebagiannya sudah gelap.
“Baru pulang, Tya?”
Aku kaget. Rupanya Ayah masih berjaga menungguku. Ayah bangkit dari duduknya dan menghampiriku.
“Ya ampun, Ayah. Kenapa sih harus nunggu Tya. Kan udah malam, Yah.”
“Ayah hanya memastikan saja kamu pulang selamat, Nak,” ujarnya.
“Ayah, Tya Aman kok. Malam ini di luar terang sekali. Tya pulang ditemani bulan purnama.”
Ayah menepuk pundakku.  Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Betapa Ayah sangat protektif.
“Oya, ibumu meninggalkanmu dan Ayah saat bulan purnama juga,” ujar Ayah dari pintu kamar. Setelah itu ia masuk ke dalam.
Aku terdiam sejenak. Ayah takut kehilangan diriku. Menurutku Ayah sangat berlebihan. Aku berjalan menuju kamarku yang letaknya bersebelahan dengan kamar Ayah. Aku harus istirahat karena besok aku harus bangun pagi supaya tak kesiangan sampai kampus.
                             ***
“Bangun, Nak!”
Rasanya enggan sekali mata ini terbuka. Aku masih belum mau bangun. Masih ingin menikmati hangatnya tempat tidur.
“Tya, sarapan dulu. Ayah mau berangkat kerja nih,” ajak Ayah sambil menepuk kakiku.
“Ayah, Tya masih ngantuk. Lima belas menit lagi, ya?”
“Jangan ditunda-tunda, Nak. Ayo bangun, Ayah tungguin. Kita sholat Subuh berjamaah. Abis itu kita  sarapan bareng. Udah dibikinin nasi goreng kunyit.”
“Aduh Ayah, sarapannya kok pagi banget sih,” ujarku kesal.
“Ayah harus sampai kantor pagi. Ada yang harus diselesaikan,” jawab Ayah sambil tersenyum.
Akhirnya aku bangkit dari tempat tidur. Kurentangkan tangan ke atas. Rasanya nikmat sekali. Itu sudah menjadi kebiasaanku sejak kecil ketika bangun tidur.
Setelah mandi, aku menghampiri Ayah di kamarnya  untuk sholat berjamaah. Setelah itu kami berdua sarapan bersama. Sejak Ibu pergi, Ayahlah yang setiap hari memasak untukku.
                           ***
Hari sudah gelap ketika semua aktivitas di kampus berakhir. Bulan yang bulat dan bundar menghiasi langit yang semakin bercahaya. Aku memesan ojek online di sekitar kampus. Beberapa saat kemudian si pengemudi ojek mengirimkan pesan kepadaku.
Pengemudi ojek: Saya sudah di lokasi
Aku: Tunggu sebentar
Aku berjalan menuju tempat yang kupilih untuk penjemputan. Aku melihat motor dengan nomor yang sama dengan ojek yang kupesan. Aku mendekat ke arah motor itu. Langkahku terhenti melihat pengemudi ojek yang kupesan  sedang berkomunikasi dengan seseorang. Aku tak ingin mengganggu. Kutunggu di samping motornya.
“Tunggu, ya Sayang. Sebentar lagi Bapak pulang,” ujarnya.
Sekilas kuintip dari balik punggung si pengemudi ojek, seorang anak perempuan dengan wajah mungil sedang berbinar-binar di layar handphone si pengemudi ojek yang kutahu namanya Pak Kasim. Aku merasa seperti Ayah yang sedang video call denganku. Ada rasa hangat menjalari hatiku.
“Eh, maaf Mbak. Sudah lama nunggu ya?” Pak Kasim. Sepertinya ia baru menyadari keberadaanku.
“Belum kok, Pak,” jawabku
“Maaf, ya Mbak,” ujar Pak Kasim  sambil memberikan helm kepadaku. Setelah memasang helm di kepala, aku menaiki motor.
“Tadi anaknya, Pak?” tanyaku diantara deru suara kendaraan di jalan raya.
“Iya, Mbak. Umurnya masih lima tahun. Dia nggak mau belajar kalau yang nyuruh ibunya. Harus saya yang turun tangan. Sekali lagi maaf, ya Mbak,” ujar Pak Kasim.
“Nggak apa-apa kok, Pak. Saya juga punya bapak yang setiap saat nelpon. Sampai kadang saya suka kesal.”
“Kok kesal, Mbak?” tanyanya.
“Soalnya bapak saya sering banget nelpon saya. Sering nggak kenal tempat waktu. Padahal tiap pagi saya selalu kasih tahu apa kegiatan saya seharian,” jawabku dengan suara meninggi. Aku heran juga kenapa aku harus meninggikan suara.
“Maaf, ya. Kalau anak saya nggak suka saya telepon, aduh nggak kebayang deh. Saya pasti sedih banget. Satu-satunya alasan kenapa saya bersemangat nyari uang, ya anak saya itu.”
“Iya sih, Pak. Saya paham, bapak saya itu sayang banget sama saya tapi ya nggak berlebihan seperti sekarang ini,” balasku.
“Sekali lagi maaf, apa Mbak masih punya ibu?”
Aku terdiam mendengar pertanyaan . Aku paling benci kalau ada orang yang bertanya tentang ibuku. Tak ada bahan yang bisa kuceritakan tentang ibu.
“Ibu sudah nggak ada, Pak. Ia pergi meninggalkan saya dan Ayah,” jawabku pelan.
“Itulah kenapa bapak Mbak sering menelepon. Ia kesepian, Mbak.
Mendengar perkataan Abang Ojek, aku tersentak. Betapa selama ini aku tak pernah memperhatikan Ayah. Sepertinya benar yang diucapkan Pak Kasim kalau Ayah kesepian, makanya Ayah sering sekali menghubungiku. Ayah butuh teman untuk berbagi.
“Pak, turunin saya di depan gang aja,” pintaku kepada Pak Kasim.
“Lha kan rumah Mbak masih agak jauh,” ujar Pak Kasim sambil menghentikan laju motornya.
“Nggak apa-apa, saya pengen olah raga, Pak. Menikmati cahaya bulan purnama,” jawabku. Malam ini bulan terlihat bundar sempurna dan indah di mataku.
“Jangan lupa bintang lima ya, Mbak!” pinta Pak Kasim ketika aku berjalan menjauhinya.
“Nggak ada yang bintangnya delapan?” candaku sambil mengacungkan jempolku. Pak Kasim hanya tersenyum membalas candanku.
Aku berjalan menyusuri gang yang menuju ke rumahku. Sengaja aku minta berhenti agak jauh dari rumah agar suara motor tak mengagetkan Ayah. Biasanya kalau sudah malam begini, Ayah menungguku pulang di ruangan depan. Ayah akan membuka pintu jika mendengar suara motor.
Aku berjalan dengan perasaan riang. Sesekali kepalaku menengadah ke langit menikmati bulan purnama yang sangat terang. Malam ini aku ingin menikmati bulan purnama berdua saja dengan Ayah. Malam ini aku akan memasak untuk makan berdua. Ah, tak pernah kusadari kalau cintaku kepada Ayah begitu besar.
                                               ***
“Ayah … Ayah,” aku memanggil Ayah. Malam ini tidak seperti biasanya, Ayah tidak menungguku di ruang depan.
“Ayah … Ayah.”
Aku mencari Ayah ke seluruh ruangan. Dari mulai kamar, dapur, kamar mandi, ruang belakang tak kutemukan Ayah. Aku mulai panik. Sesaat kesadaranku muncul, biasanya kalau malam purnama begini Ayah sering duduk di ruang kecil yang berada di atas rumah. Tempat itu  biasanya kupakai untuk menjemur pakaian.
Aku berlari menaiki tangga yang terbuat dari papan  satu per satu. Tak sabar hati ini ingin sekali bertemu dengan Ayah untuk meminta maaf. Aku akan berjanji untuk selalu menjaganya.
“Ayah … Ayah …,” lidahku seakan kelu melihat tubuh Ayah tergeletak di lantai. Wajahnya tampak pucat. Tubuh Ayah tak bergerak sama sekali.
Kudekati tubuh Ayah. Kupanggil namanya, Ayah tak bergeming. Kugoncangkan badannya, ternyata sudah kaku.
“Ayah, buka mata Ayah!” ujarku sambil menepuk-nepuk pipinya. Tetap tak ada jawaban.
“Ayah ….”
Tetap tak ada jawaban. Kesadaranku hilang. Aku berharap ini hanya mimpi belaka. Sayangnya aku terbangun ketika rumahku telah dipenuhi orang yang ingin menyampaikan duka citanya. Aku seperti masuk ke dalam lorong gelap yang dingin dan sunyi. Entah bagaimana aku akan menjalani hidupku ke depan tanpa sosok Ayah.  Aku sungguh tak tahu. Semuanya gelap dan sunyi..
                                               ***
*Cerpen ini dibukukan dalam Antologi Cerpen: The Moon on The Darkest Night, Penerbit: Ellunar 

Dua Puntung Rokok

I'm a schizophrenia [1]


Pelacur dan Pelacuran Akademiknya

Kado dari Mati Ragaku




When I'm Sixty Four*


“Ti[1], Aung[2] subuhan ke masjid ya, assalamu’alaikum” pamit Aung kepada Uti. Sudah jadi kebiasaan Aung sejak bertahun yang lalu untuk sholat subuh berjamaah di masjid dekat rumah mereka. Dulu sih tidak rutin, sesempatnya Aung saja, tapi semenjak pensiun Aung rutin setiap subuh ke masjid, kecuali ada uzur yang tidak bisa dihindarkan. “wa’alaikum salaam, iya Ung, tiati” sahut Uti yang sedang bersiap-siap juga untuk sholat subuh. Begitulah rutinitas Aung dan Uti di pagi hari. Selepas dari masjid biasanya Aung akan menyempatkan diri jogging 30-40 menit atau sekedar mengajak Uti jalan pagi keliling komplek perumahan mereka. Di usia-nya yang 64 tahun Aung masih terlihat segar dan atletis. Tidak heran, karena semasa muda Aung terkenal rajin berolahraga sepeda dan lari. Sampai sekarang aktivitas tersebut masih tetap dilakukan walaupun dengan intensitas rendah. Uti yang hanya berbeda 4 tahun dari Aung juga masih terlihat segar. Selain jalan pagi bersama, Aung juga sering mengajak Uti bersepeda bersama komunitasnya. Kalau sedang malas, biasanya Uti dibonceng Aung dengan sepeda tandem-nya.

***
Aung dan Uti mempunyai 2 orang anak perempuan yang sudah berkeluarga; Audy dan Hana. Mereka tinggal tidak jauh dari rumah Aung – Uti. Pada saat masih aktif Aung sengaja membelikan mereka rumah yang berdekatan supaya kalau Aung – Uti rindu gak perlu jauh-jauh. Letak rumah mereka yang tidak berjauhan juga menguntungkan buat Audy dan Hana karena mereka bisa menitipkan anak-anaknya ke rumah Aung – Uti. Lebih aman dan lebih tenang dibandingkan harus menitipkan anak-anak ke asisten rumah tangga atau ke day care. Aung – Uti pun dengan senang hati dititipin cucu-cucu yang lucu dan cerewet. Bahkan hampir setiap hari Aung lah yang bertugas mengantar jemput sekolah cucu-cucunya. Rutinitas lain di pagi hari sebelum Aung – Uti sibuk dengan  kedai kopi kecil milik mereka.

***
Memiliki kedai kopi adalah cita-cita Aung sejak lama, namun baru terealisasi beberapa tahun sebelum Aung purna bhakti. Kedai kopi itu sederhana saja. Letaknya masih di sekitar komplek perumahan mereka. Kedai tersebut buka di pagi hari setelah Aung selesai mengantar cucu-cucunya ke sekolah. Aung sendiri yang menjadi barista-nya, sementara Uti yang akan membuatkan menu sarapannya. Menu sarapan yang dibuat Uti juga sesuai dengan keinginan Uti hari itu, sehingga kedai kopi tersebut tidak memiliki menu makanan tetap. “biar tidak bosan” alasan Uti. Seperti hari ini, Uti membuat sandwich telor sebagai menu sarapan, sementara Aung siap dengan americano atau cappucino. Sama sekali tidak ngoyo, karena memang kedai kopi ini hanya untuk mengisi kegiatan Aung – Uti. Kedai kopi biasanya tutup siang hari karena Aung harus menjemput cucu-cucu-nya, dan Uti biasanya istirahat siang atau pergi ke majelis taklim bersama teman-teman pengajiannya. Kedai akan buka kembali menjelang sore sampai menjelang waktu maghrib.

***
Audy, anak tertua mereka, berprofesi sebagai dokter gigi. Sudah memiliki klinik sendiri, yang meskipun tidak terlalu besar tapi cukup ramai. Sementara Hana, keukeuh dengan cita-cita masa kecilnya: menjadi komikus dan penulis. “kan bakatnya turun dari Papa “ begitu selalu kilahnya ketika ditanya mengapa memilih profesi tersebut.

***
“Waduh enak kali tidurmu ya…!?” suara Pak Direktur tiba-tiba menggelegar. Aku tergagap kaget. Tidak sadar headset masih terpasang di telinga:

When I get older losing my hair
Many years from now
Will you still be sending me a Valentine
Birthday greetings bottle of wine
If I'd been out till quarter to three
Would you lock the door
Will you still need me, will you still feed me
When I'm sixty-four
You'll be older too
And if you say the word
I could stay with you
I could be handy, mending a fuse
When your lights have gone
You can knit a sweater by the fireside
Sunday mornings go for a ride
Doing the garden, digging the weeds
Who could ask for more
Will you still need me, will you still feed me
When I'm sixty-four
Every summer we can rent a cottage
In the Isle of Wight, if it's not too dear
We shall scrimp and save…[3]


*Judul lagu The Beatles


[1] Uti atau Eyang Putri, nenek dalam bahasa Jawa
[2] Aung atau Eyang Kakung, kakek dalam bahasa Jawa
[3] When I’m Sixty Four, The Beatles


What hurts you today, makes you stronger tomorrow, nak ...





MIMPI HUJANKU




LELAKI INI DAN PEREMPUAN ITU DAN PATAH HATI


Lelaki ini duduk gelisah di sudut gelap ruangannya. Hari masih dini. Mesin presensi belum berfungsi. Tak terhitung kali lelaki ini menatap gawainya. Membaca lagi pesan singkat petang kemarin “besok kita jumpa ya, pengen ngobrol”. Pesan singkat yang membuat lelaki ini mengutuk bulan menjadi mentari. Menggebah ayam untuk segera bernyanyi. Dikuatkan jarinya memulai sapa. “hai, aku sudah di sini”. Centang satu. Lama. Sementara, lift mulai bekerja. Mengangkut pekerja yang datang dengan penuh asa. Derap langkah diiringi suara tawa dan canda mulai menggema. Hari sudah memulai hitungannya. Masih centang satu. Lelaki ini hanya bisa menghela; Mungkin benar, cinta itu tak lagi berharga.[1].

Perempuan itu bukanlah makhluk bumi paling indah. Tapi lelaki ini tergila-gila padanya. Baginya perempuan itu sangat istimewa. Namun jangan ditanya mengapanya. Baik? banyak yang lebih baik; Cantik? ah, semua perempuan juga cantik kalau kamu sedang jatuh cinta. Lalu apa?. Lelaki ini dan Perempuan itu tidak pernah tahu. Awal mula, tahun berapa, bagaimana dan setumpuk kata tanya takkan berjawab. Lelaki ini dan perempuan itu tidak pernah berkomitmen cinta. Tidak pernah. Lelaki ini ada ketika perempuan itu meminta. Perempuan itu pun bersedia tatkala lelaki ini lelah. Tak mungkin menyalahkan waktu, tak mungkin menyalahkan keadaan[2]

Masih centang satu. Lelaki ini sedih tapi tak peduli. Tak mengapa, ini tak hanya sekali dua.  Lambat sang waktu berganti, endapkan laraku disini, coba tuk lupakan bayangan dirimu yang selalu saja memaksa tuk merindumu[3] Bertahun bersama membuat lelaki ini terbiasa. Bagai 4 musim yang silih berganti; terkadang panas membara bagai mentari namun bisa membeku layaknya salju, sejuk semilir angin berhembus namun tak jarang berguguran bagai daun layu.

Sudah kukatakan, aku ini tak sendiri[4] Perempuan itu berkata. Lelaki ini hanya tertawa. Ini bukan cinta kan? Perempuan itu ganti terbahak. Mungkin ini memang jalan takdirku, mengagumi tanpa dicintai[5] batin lelaki ini. Sabarlah. Musim dingin akan berlalu, selalu begitu. Dia bilang “kau harus bisa seperti aku, yang sudah biarlah sudah[6] Lelaki ini kecut.

Centang dua. Lelaki ini tak sadar meloncat gembira. Tak hirau tatap aneh rekan sekerja. Tik tok tik tok tik tok. Hanya centang dua. Tidak berbalas sapa. Lelaki ini mulai patah hatinya. Aku hanyalah manusia biasa. Bisa merasakan sakit dan bahagia[7] siang beranjak senja. Aku menyayangimu, tapi lagi-lagi kau sakitiku[8]. Apa ini akhir kisah?

Lelaki ini mengulang hari, berharap balas sapa walau telah lewat masa. Kuawali hariku dengan mendoakanmu, agar kau selalu sehat dan bahagia disana. Sebelum kau melupakanku lebih jauh, sebelum kau meninggalkanku lebih jauh[9]. Mengetik. Lelaki ini tersentak. “kamu jadi pergi? Ini aku bawakan coklat dan kopi”. Lelaki ini tersenyum. Dipungutnya serpihan hati yang terserak. Disatukannya lagi. Tak sempurna, tapi tetap bentuk hati.

Jakarta, 20122019





[1] Kekasih bayangan, Cakra Khan
[2] Melepasmu, Drive
[3] Terendap laraku, Naff
[4] Kedua, Drive.
[5] Cinta dalam hati, Ungu
[6] Mudah saja, Sheila On 7
[7] Cinta karena cinta, Judika
[8] Salah apa aku, ILIR7
[9] Pemuja rahasia, Sheila On 7

AKU (TAK) INGIN JADI PNS

ngiiing...ngiiing…

Rasanya sudah belasan kali telepon pintar Izzam bergetar. Ia tahu itu panggilan masuk, namun begitu enggan untuk beranjak dari kasur kusam yang sudah Ia tiduri selama 4 tahun terakhir. Di lantai dasar asrama, samar-samar terdengar gelak tawa para santri. Berebut bermain tenis meja. Turnamen kecil-kecilan setiap akhir pekan. Siapa saja yang keluar sebagai pemenang, berhak tidak piket selama seminggu. 

Kamar ukuran 3x3 meter itu perlahan sumuk. Kipas angin kecil yang sedari tadi tengok kanan-kiri tak kuasa melawan rambatan panas mentari yang kian meninggi. Izzam melirik dinding, jam setengah 10 pagi. Perlahan Ia duduk, bersender pada dinding, lantas merenggangkan kaki dan tangannya sembari menguap. Ah, sepertinya pemuda tanggung itu kelamaan tidur. 

ngiing...ngiiing…

Gawai Izzam kembali bergetar. Sekali, dua kali, tiga kali, lantas mati. Sejurus kemudian kembali bergetar. Huft. Enggan sekali rasanya berdiri. Entah kenapa, semakin lama tidur, tubuhnya justru semakin lelah. Dengan merangkak dan sedikit mengangkat tubuh, susah payah Ia menggapai hape yang berada di atas meja belajarnya. Begitu malas. Padahal, meja belajar tersebut berada tepat di sebelah kasurnya, yaah meski sedikit agak tinggi.

"Halo, Assalamulaikum"
"Ha ndak ka ba angkek telpon Bunda bujaang?", omel wanita paruh baya di seberang telepon. 
"Mbok salamnya dijawab dulu, Amaaay"
"Oh iya, hehe. Waalaikumussalam. Ha jadi kenapa telpon Bunda ga diangkat dari tadi?"
"Tadi ketiduran Nda, habis kajian, nyampe kamar langsung tepar. Hehe"
"Ondeh mandeh anak bujaaang.. @&_+#;'!#)#/&+*;:......", celoteh Emak Izzam tanpa henti.

"Hmm, sepertinya tausiah ini akan lama", gumam Izzam. Dari dulu Bunda memang begitu, paling jengkel kalau mendapati anak-anaknya cuma bermalas-malasan apalagi tidur-tiduran di pagi hari.

Izzam beringsut, mencari udara segar. Masih mengenakan sarung, Ia beralih ke jemuran di ujung lorong asrama. Angin sepoi-sepoi menerpa wajah kusut Izzam. Sesekali memainkan poninya yang sudah panjang. Semenjak menyandang gelar "pengangguran" 7 bulan lalu, Ia tidak sekalipun memangkas rambutnya. 

"Sampun Mas turu ne?", sapa Sigit dari ruang perpustakaan. Akhir-akhir ini pemuda kelahiran Karanganyar yang merupakan teman sekamar Izzam itu terlihat sering me-murajaah hapalannya. Meski usia mereka terpaut 2 tahun, tapi semangat hijrah Sigit jauh melebihi izzam.
Izzam melambai tangan mengabaikan, kemudian berlalu.

"Jadi apa yang ingin Abang lakukan sekarang? Udah 7 bulan semenjak kelulusan Abang", tanya Bunda.
Izzam terdiam sejenak, menatap biru langit tanpa awan, menggapai patahan hanger yang tergeletak di lantai, sembari memukul-mukul ringan salah satu tiang jemuran. 
"Bunda ingin abang melakukan apa, Nda?", Jawab Izzam.
"Bunda terserah Abang. Ingin jadi apa Abang, itu hak nya Abang. Ayah Bunda cuma bisa mendoakan dan mendukung Abang"
"Abang buntu, Nda"
"Cerita lah Nak"
“Abang ingin kerja Nda, pengen di perusahaan atau kantor pengacara”
“Terus?”, tanya Bunda di kejauhan.
“Kemaren Abang di telpon Kak Tua, beliau menyarankan lanjut kuliah. Kak Tua bilang, memulai karir dengan gelar master itu akan membuat karir cepat naik. Tapi Abang khawatir, Nda. Perusahaan BUMN misalnya, mereka ga butuh gelar master di bagian legal-nya. Buat apa mempekerjakan lulusan S2 kalau mereka bisa mendapatkan fresh graduate S1 dengan bayaran lebih murah. Coba lihat Bang Rul, dia lulusan S2 di kampus ternama. Tapi, begitu sulit baginya mendapat pekerjaan. Abang udah bilang sama Kak Tua, untuk saat ini yang Abang butuhkan hanyalah pengalaman. Setidaknya nanti dengan pengalaman itu, Abang punya posisi tawar yang lebih tinggi jika apply kerja di tempat lain. Kalau garis tangan Abang baik, toh mungkin saja perusahaan tempat Abang bekerja mau memberi beasiswa untuk lanjut kuliah S2. Banyak kok Nda kakak tingkat Abang yang seperti itu. Abang tidak ingin menjadikan S2 sebagai pelarian atas status pengangguran Abang saat ini Bunda. Tapi Kak Tua kayaknya ga sependapat dengan Abang”
“Emang Kak Tua bilang apa?”, tanya Bunda penasaran.
“Kak Tua bilang kalau Abang seperti hidup ga berTuhan, Nda”
“Eh, kok?”, sela Bunda.
“Soalnya abang begitu mengkhawatirkan hal-hal yang sudah dijamin oleh Allah, Nda. Kak Tua bilang jauh sebelum ruh kita dihembuskan, suratan takdir kita baik rezeki, jodoh, dan kematian sudah tertulis di lauhul mahfudz. Allah pasti tidak akan pernah mengecewakan hamba-Nya. Tapi Ndaa..", Izzam berhenti sejenak, nafasnya sedikit menderu, mencoba mengendalikan diri, kemudian melanjutkan.

"Beritahu Abang, Nda. Salahkah Abang jika takut tidak mendapatkan pekerjaan karena minimnya pengalaman, sementara gelar Abang sudah S2? Salahkah Abang jika ingin membalas sedikit dari jasa Bunda melalui gaji yang nanti Abang terima? Abang tidak ingin terus-terusan membebani Bunda dengan UKT yang begitu mahal. Memang Abang dapat tawaran beasiswa 50% untuk program internasional setelah lulus kemaren, tapi itu tetap saja berat Bunda. Belum lagi adek yang masih kuliah. Abang ingin meringankan beban Ayah dan Bunda. Salahkah Abang Bunda?”

Rasanya begitu banyak hal yang mengganjal di hati pemuda berdarah Minang tersebut. Di saat para santri asik dalam hiruk-pikuk turnamen, tertawa, saling membuli dan menyombongkan diri setiap memperoleh poin, Izzam tertunduk lesu di pojok lantai 2 asrama. Pikirannya melayang, melesat jauh ke masa lalu, memutar kembali potongan kenangan lama. 

Kembali Ia saksikan, bagaimana perjuangan Ayah dan Bunda menguliahkannya. Potongan demi potongan kisah terputar otomatis dalam benak Izzam, layaknya film dokumenter. Momen pahit ketika Ayah jatuh, kehilangan pekerjaan disaat Izzam tengah berada di tahun akhir bangku SMA. Dua tronton yang saat itu menjadi sumber penghasilan utama Ayah raib, terlilit utang. Kapal tambang emas di hulu Sungai Batang Hari yang karam, lapuk dimakan air dan lumut sebab lama tak beroperasi terhalang izin pemerintah setempat. Kebun karet, yang dirampas begitu saja oleh pemuka adat, berdalih bahwa tanah tersebut adalah milik kaum. Padahal, Tuhan menjadi saksi telapak tangan Ayah, Bunda, dan Izzam yang melepuh karena terlalu lama memegang parang dan cangkul saat membuka lahan. Belum lagi perjuangan Bunda yang tak terbilang, menjadi tulang punggung kedua semenjak Ayah jatuh. Bunda yang rela menanam sendiri sayuran di belakang rumah, menjahit sendiri baju sekolah yang sobek, berjualan makanan ringan sembari mengajar murid SD, demi menabung untuk membayar uang kuliah putra-putrinya. 

"Abang..", sapa Bunda lembut. Izzam diam, menunggu Bunda melanjutkan kalimatnya.
“Kekhawatiran abang itu suatu hal yang wajar, Nak. Bunda pun ketika seumur Abang juga mengkhawatirkan hal yang sama. Justru Abang sekarang beratus kali lebih beruntung dari Bunda. Abang lulus dari universitas yang cukup bagus, nilainya pun bisa dikatakan memuaskan. Sementara Bunda? Bunda hanya lulusan sekolah keguruan, Nak. Untungnya dulu orang-orang pada gak suka jadi guru, jadi Bunda bisa lulus. Bunda ga begitu pintar, Nak.  Dulu profesi guru itu selain gajinya kecil, juga ga begitu dipandang oleh masyarakat. Abang tahu ga? Sebenarnya setelah Abang lahir, dulu Bunda sempat mau berhenti menjadi guru. Namun karena permintaan almarhum nenek, Bunda akhirnya bertahan. Ayah pun juga mendukung penuh. Bunda ingat betul pesan Ayah waktu itu, boleh jadi suatu saat nanti usaha Ayah jatuh, dan ketika hal itu terjadi anak-anak Bunda tidak terlantar sekolahnya. Dan qadarullah, kondisi kita sekarang persis seperti yang di bilang Ayah waktu itu kan? Artinya Abang, memang Allah sudah mengatur semuanya, tapi perlu diingat, beras tak akan menjadi nasi kalau tidak ditanak. Tawakal tanpa ikhtiar itu sia-sia, Abang. Pun sebaliknya, ikhtiar tanpa tawakal itu sombong. Nah tugas kita selaku hamba, menyeimbangkan keduanya”

“Jadi menurut Bunda, Abang harus bagaimana?”, tanya Izzam.
“Abang udah istikhoroh?”
“Belum, Nda”
“Istikhoroh lah, Nak. Setiap kali Abang akan memilih apapun, entah itu pekerjaan, sekolah, atau calon istri, selalu lah libatkan Allah. Nanti Allah akan kasih kode-kode biar Abang ambil jalan ini atau itu”
“Bagaimana Abang bisa tahu kalau itu kode dari Allah, Nda?”
“Hm.. mungkin saja dari mimpi, masukan-masukan dari Ustadz Abang, dorongan dari sahabat-sahabat Abang, dan dari keluarga juga tentunya”
“Jadih, Nda. Semoga nanti malam Abang bisa terbangun dini hari”, patuh Izzam.
“Tapi, Bang. Menurut Bunda, setiap peluang-peluang yang ada sekarang, coba lah. Karena ketika Abang memutuskan tidak mencoba, persentase keberhasilan Abang itu nol. Namun ketika Abang mencoba, persentase keberhasilannya menjadi 50-50. Ini yang tadi Bunda bilang ikhtiar, Nak”
“Maksud Bunda?”
“Abang coba saja semuanya, sembari Abang masukin lamaran ke berbagai perusahaan atau kantor pengacara, abang juga nyiapin berkas untuk S2 Abang. Mana yang nanti diterima, berarti itu yang terbaik kan?”
“Baik Nda, insyaAllah”
“Satu lagi, hmm… kalau boleh jujur, besar harap Bunda agar Abang ikut CPNS tahun ini. Kalau Abang tertarik. hehe”, ujar Bunda dengan sedikit bercanda.

“Abang sama sekali tidak bercita-cita jadi PNS, Nda”

(bersambung)

PegawaiBaru, catatan tahun lalu.

Pesona Separo Agama (2)


Kelam shubuh perlahan berganti terang, pertanda pagi kan menjelang. Jauh di ufuk timur, mentari tampak mendaki cakrawala, menebar kehangatan. Cahaya kuning keemasan perlahan menembus jendela kaca. Kerlap-kerlip terhalang dedaunan Mangga. Dari kejauhan, sayup-sayup terdengar deru motor dan mobil silih berganti. Sesekali diselingi suara penjual gorengan, berlalu lalang, menjajakan pisang memutari komplek Pandega Marta. 

Bagi sebagian orang, melanjutkan tidur di pagi akhir pekan adalah kenikmatan yang tiada duanya. Apalagi kalau hujan, bersembunyi di balik selimut tebal sungguhlah nikmat Tuhan paling hakiki. Namun tidak bagi Izzam, Fattah, dan Ardi. Dua tahun mereka ditempa. Tak hanya diajari aqidah, fiqih, dan tafsir, melainkan juga shiroh. Saban hari ditausiahi bagaimana Nabi dan para sahabat memulai pagi, keutamaan berlama-lama di masjid sembari menunggu waktu syuruq, dan sebagainya. Tak heran ketika mata begitu berat, selalu saja terngiang di benak mereka QS. Al Jumu’ah ayat 10 yang sering digaungkan asatidz (jamak dari kata ustadz) saat mendapati beberapa santri tidur waktu kajian. Faidzaa qudiyatis sholaatu fantasyiru fil ard. Tatkala telah kau tunaikan sholat, maka bertebaranlah di muka bumi untuk mencari karunia Allah. 

Izzam melirik pergelangan tangannya. Jam sudah menunjukan pukul 06.10, 2 jam menjelang kepulangan. Awalnya pemuda tanggung itu berencana pulang bersama teman-temannya Minggu malam, dan tiba di Jakarta Senin pagi. Namun karena satu dan dua hal, Izzam terpaksa pulang lebih awal. Hatinya tak karuan. Mei selalu saja memenuhi isi kepalanya. Sehingga berlibur pun sepertinya sia-sia. Meski 2 malam, kerinduan yang sekian lama bersemayan dalam relung hatinya pada kota penuh kenangan itu setidaknya tersampaikan. 

Ga sarapan dulu, Zam?” ujar Fatah.
kuy, aku kangen makan di Palanta”, celetuk Izzam sembari memasukkan potongan terakhir celananya ke dalam tas.
“rumah makan Padang itu? Emang udah buka?”, sahut Ardi dari kamar sebelah.

---

Gimana kerja di Ibu Kota, Zam?”, tanya Ardi mencomot sembarang topik.
“Berat, orangnya pada gak ramah. Belum juga lampu ijo, udah pada tin tin”, jawab Izzam sembari menyantap potongan lontong sayur yang Ia pesan.
“Yaudah tinggal resign toh”, usul Fattah.
“gila aja, ente kira gampang masuk kemenkeu?”, sanggah Ardi. Fattah terkekeh.

Usai membayar sarapan, mereka beringsut keluar menuju parkiran. Langit tampak redup. Cahaya mentari perlahan ditutupi awan. Berganti wajah, menyisakan langit kelabu. Sesekali Izzam mendongak langit. Beberapa tetes hujan jatuh membasahi lensa kacamatanya. Padahal satu jam yang lalu, cerah langit begitu menjanjikan.

“Mau hujan nih, aku naik gocar aja ya ke Lempuyangan?”
“Lah ga mau dianterin?”, tanya Fattah.
“Tau nih sok-sok an, biasanya dulu juga nyusahin pas mondok”, ejek Ardi.
“Yaudah, tapi gue gak tanggung jawab ya kalo lo pada kehujanan”, ujar Izzam dengan gaya bicara anak kota. 
anjaay!”, sahut Fattah dan Ardi bersamaan.

Lempuyangan mulai tenggelam dalam rutinitas. Kereta silih berganti berhenti. Seberapa banyak yang turun, sebanyak itu pula yang naik. Dari kejauhan terlihat tukang parkir melambaikan tangan, ngode kalau masih ada slot kosong. Satu dua mobil terlihat hanya menurunkan penumpang, lantas tancap gas meninggalkan pintu masuk stasiun. Di kios-kios seberang stasiun, beberapa anak terlihat antusias menatap langit. Sembari memegang payung, berharap hujan segera turun. 

Izzam melirik angka di jam digital Fattah, sudah hampir pukul 8 pagi. Tak lama lagi kereta Mataram Premium yang akan Ia tumpangi menuju Senen segera masuk. Setelah berbasa-basi, Izzam melangkah, mengambil antrian mencetak tiket. Tadinya Fattah dan Ardi bersikukuh menemani hingga Izzam naik kereta. Namun karena langit semakin padam, Izzam memaksa mereka untuk kembali. Meski Ardi berdalih Ia punya 2 jas hujan yang bisa dipake mereka pulang. 

Pemuda berdarah Minang itu langsung masuk ke ruang tunggu keberangkatan begitu selesai mencetak tiket. Setelah menunjukkan KTP, penjaga loket check-in mempersilahkannya masuk. Rintik hujan terdengar semakin keras dari langit-langit platform stasiun. Anak-anak yang sedari tadi memegang payung, mencak-mencak tertawa, menendang air. Satu dua anak terlihat mengiringi Ibu-Ibu umur 40an menuju pintu masuk, sesaat kemudian mendapat beberapa lembar uang 2000an. Sepertinya Fattah dan Ardi kehujanan, batin Izzam. Ia meluruskan kaki, menaikan resleting jaket, menghalau dingin musim hujan bulan Maret, menunggu jemputan. 

Tepat pukul 8.10, kereta yang akan ditumpangi Izzam merapat. Semenjak launching pertengahan tahun 2017 lalu, begitu sulit mendapatkan tiket KA Mataram Premium, apalagi weekend. Wajar saja, meski tergolong kelas ekonomi, kereta ini layaknya eksekutif. Meski rapat, setiap penumpang mendapatkan kursinya masing-masing. Sandaran kursi pun bisa diatur sesuai selera. Izzam pun beranjak, bersama penumpang lainnya, menuju gerbong masing-masing. Gerbong 9, nomor kursi 1B. Begitu tercetak di tiket yang digenggam Izzam. Dekat toilet memang, tapi tidak ada pilihan lain. Kursi satu-satunya yang tersisa untuk keberangkatan pagi ini.

Kereta melaju pelan. Perlahan menambah kecepatan. Roda besi kereta terdengar merangkai irama setiap kali melewati bantalan rel. Izzam mengeluarkan gawai dari saku dalam jaketnya. Membuka kontak, lantas menelpon seseorang. Seseorang yang begitu Ia sayangi. Seseorang yang bahkan tidak tahu sama sekali apa yang terjadi di Bogor beberapa waktu lalu. 

“Assalamualaikum”, salam Izzam.
“Waalaikumussalam, Abang. Jadi pulang hari ini?”, tanya wanita paruh baya di seberang telepon. 
“Jadi Bunda, insyaAllah Maghrib nyampe Jakarta”
“Yaudah, fii amanillah ya, Ayah Bunda selalu mendoakan”

Izzam menutup panggilan. Jendela kereta terlihat semakin kabur, terhalang ratusan rintik hujan yang menerpa kaca. Dinginnya AC membuat kaca bagian dalam menjadi berembun. Izzam sekali lagi melihat gawai pintarnya. Mencari menu musik, memilih playlist. Mengotak atik, lantas memilih tilawah QS. Ar Rahman Ustadz Hanan Attaki. Ia yakin, ketika ruhiyah terasa gersang, maka lantunan ayat suci bagaikan oase di tengah padang pasir. Tak butuh waktu lama, pemuda kelahiran Maret 23 tahun silam itu pun terlelap. Berharap mimpi bertemu Tuhan, melepas gundah yang selama ini membebani hatinya.

Izzam tersentak. Di sebelahnya berdiri 2 orang berpakaian resmi dan bertopi. Masih sedikit linglung. Sejenak kemudian kesadarannya kembali, ternyata pemeriksaan tiket. Dan yang berada di sampingnya adalah Masinis dan pihak keamanan kereta. Setelah memeriksa tiket, dengan senyum ramah Masinis mengembalikan tiket Izzam, kemudian berlalu. Izzam mengantongi kembali tiket yang sudah dilobangi tersebut. Melirik Alexandre Christie di pergelangan kirinya. Pukul 12.40. Sudah waktunya Dzuhur.

Usai melaksanakan jamak-qoshor dzuhur dan ashar, Izzam beranjak ke bagian restoran kereta. Memesan nasi goreng dan air mineral. Biasanya ada pegawai kereta yang menawarkan makanan, minuman, bahkan bantal dan selimut kepada para penumpang. Tapi tak mengapa. Sedikit berjalan di gerbong kereta sepertinya tak begitu buruk, toh dari tadi kerjaannya cuma tidur, gumam Izzam. Selepas membayar pesanan, Izzam kembali ke kursi. Meski tak begitu lapar, tapi metabolisme tubuhnya menghendaki pemuda tersebut untuk makan. Apalagi nasi goreng di tangannya kelihatan begitu enak. Begitu tutup kotak dibuka, kepulan asap menjalar keluar, menggoda setiap hidung yang mencium sedapnya.

Tiba-tiba saja smartphone Izzam bergetar. Ragu-ragu Ia mengeluarkan hp dari saku jaketnya. Dua hingga tiga pesan masuk dalam waktu bersamaan, memenuhi layar depan telepon pintar Izzam. Mei. Pemuda tersebut terdiam. Tangan kanannya masih memegang sendok plastik. Itu adalah suapan terakhirnya. Naas, lahap makannya seketika kandas.

Assalamualaikum, Zam
Mei mau nelpon
Lagi senggang kah?

“Waalaikumussalam, bisa, 5 menit lagi ya”, tulis Izzam singkat.

Segera Ia rapikan kotak makan siangnya, menempatkan di bawah kursi kereta, menenggak Le Minerale 600 ml. Sejenak kemudian, handphone Izzam kembali bergetar. Panggilan masuk. Mei.

“Halo, Assalamualaikum”, sapa Mei di seberang telepon.
“Waalaikumussalam”, jawab Izzam ramah.
“Mei tidak mengganggu kan?”, tanyanya berbasa-basi.
Nggak, lagi di kereta juga, habis dari Jogja. Mei mau ngomong apa?”
“Masalah yang kemaren, waktu kita ketemu Bogor. Zam, tau ga? Kenapa setiap kali Mei dan Ibu ke Jakarta, kita selalu bertemu?”

Izzam terdiam, membiarkan Mei melanjutkan.

“Tiga kali kita bertemu, dan tidak satupun yang kebetulan, Zam. Izzam tau siapa yang minta Mei dan Ibu ke Jakarta? Tek Eni dan Tek Lis”

Pemuda tanggung itu beranjak meninggalkan kursi. Beralih pada celah gerbong. Bersandar, menatap awan. Mentari di langit Purwokerto mulai condong. Bayang kereta memanjang seiring tergelincirnya matahari ke arah Barat. Hamparan sawah terlihat sejauh mata memandang. Satu dua petani asik menyiangi, sebagian yang lain melepas penat di pondok tengah sawah. Izzam menarik napas panjang. Hatinya meringis, tak terima.

Ya Tuhan, benarkah? Kenapa?



------------------
Bersambung, InsyaAllah.