Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
"Jangan Mencuri, Nanti Kamu Terbiasa..!"
Menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) itu
tak mudah. Kebutuhan hidup sama dengan profesi lainnya, tapi kekayaan tidak
boleh sama. “Kalau mau kaya jangan jadi PNS!”, ujar seorang Menteri di Republik
ini dahulu kala. Aku mungkin masih terlalu muda saat memutuskan untuk
bersekolah di sekolah kedinasan yang menjadikanku berstatus PNS . Terlalu
muda juga untuk memahami bahwa hidup ini butuh banyak biaya sedangkan PNS tak
boleh kaya.
Aku bukan berasal dari keluarga berada,
meski ayahku seorang pedagang besar dulunya. Saat aku lahir sebagai bungsu dari
dua belas bersaudara, ayahku mulai kehilangan masa kejayaannya. Tapi beliau yakin dan
percaya bahwa banyak anak banyak rejeki, patah tumbuh hilang berganti.
Kewajiban membiayai hidup pun beralih ke anak-anaknya.
Tak banyak yang kuingat di masa kecil.
Biasa saja, cukup makan cukup pakaian. Ketika mulai sekolah, hanya satu pesan
ayah: dapat negeri atau tidak sekolah sama sekali. Aku merasa tidak ada masalah,
tidak merasa kekurangan walau sering menahan keinginan. Uang sekolah lancar,
buku pelajaran lengkap tersedia, juara kelas dapat hadiah. Tak pernah ada
beban, meski lambat laun aku sadar bahwa aku menanggung harapan yang besar. Aku
adalah si bungsu yang disayang, dimanja dan diharapkan jadi permata keluarga. Ketika
SMA nilaiku turun, jangankan jadi juara, masuk lima besarpun tak pernah.
Kakakku marah karena aku memilih ilmu sosial daripada eksakta. Meskipun
akhirnya aku bisa juara, tapi kekecewaan itu tetap terasa.
Kuputuskan meninggalkan tanah tumpah
darah, menuju ibukota. Cukup setahun pertama, lalu aku akan terbiasa. Tapi aku
tetap si bungsu, tak akan lepas dari keluarga, mereka tetap menjaga walaupun
harapan telah berubah.
“Pergilah, baik-baik di tempat kerja,
jangan sampai tak makan karena uang tak bersisa, berhutang dulu tak apa, tapi
jangan mencuri karena nanti
kau jadi terbiasa”.
Itulah pesan orang tua dan sanak saudara ketika aku pamit ke penempatan
pertama, Kantor Perwakilan di pelosok nusantara. Setahun tidak
terasa. Makan minum tidak masalah, tapi ada hati yang mulai mendua. Tak mungkin
menikah tanpa biaya, apalagi masih ada cita-cita. Akal sehat mulai terjaga,
amplop dari
mitra pun mulai diterima.
Kembali ke ibukota, mengejar
cita-cita. Hidup mulai berubah, PNS semakin jaya walau tetap tak boleh kaya.
Ibu tiada, hanya isak tersisa karena tidak sempat membuatnya bahagia. Hanya
ayah yang ada, namun beliau tetap tidak minta aku untuk jadi kaya. “Carilah
istri orang Jawa”, hanya itu pintanya. Akupun menikah dengan kondisi apa
adanya. Mertua bisa terima. Tak perlu kaya, jujur saja, semua rejeki dari
Allah.
Jadi PNS itu susah, saat ingin
berbeda, berbagai godaan datang menerpa. Honor, jalan dinas, fasilitas dan berbagai
harta benda sangat menggoda. “Jangan mencuri, nanti kau jadi terbiasa”,
terngiang lagi nasehat lama. “Kamu kan menerima, tidak meminta, sekali dua kali
boleh saja”, setan jahat mulai menyapa. Nasehat orang tua benar adanya, aku pun
mulai terbiasa. Tetap tidak meminta, tapi tak menolak untuk menerima dan mulai
berharap adanya.
PNS tidak boleh kaya tapi hidup kan
butuh banyak biaya. Saat rakus mulai meraja, mata hati mulai terjaga. Tetap
menerima tapi tidak mengharap adanya. Apa setan lalu berdiam saja?. “Bukan
curian itu yang kamu terima!”, demikian bisiknya. “Anakmu mulai sekolah,
istrimu perlu belanja, sedang gajimu tidak seberapa!”, demikianlah lanjutnya.
Nafsu mulai bicara. Sedikit saja takkan dipenjara. Dilema.
PNS ternyata ada yang kaya, meski
lebih banyak yang tidak kaya. Apa yang kaya selalu menerima dan meminta? Apakah
yang tidak kaya, tidak pernah menerima, tidak pernah meminta? Aku kembali
terjebak dalam dilema. Jangan mencuri nanti kau jadi terbiasa harusnya
menjadi mantera. Alhamdulillah doa diijabah, kerja berpindah, tak mungkin
meminta dan jarang sekali menerima meskipun sah. Mudah-mudahan jadi terbiasa.
Jadi PNS memang susah, tapi semua
hanya masalah terbiasa atau tak terbiasa. Kaya
bukan yang utama, tapi hidup jujur lebih berkah. Saat hidup banyak asa,
berserah diri kepada Allah sambil membaca mantera: “Jangan mencuri nanti kau jadi terbiasa!”.
Jakarta, 14012020
Purnama Terakhir
“Tya,
kamu lagi di mana?”
“Udah
makan belum? Jangan sampai telat makan, nanti kamu sakit. Ayah juga kan yang
repot.”
“Kalau
keluar malam, jangan lupa pakai jaket!”
Selalu
dan selalu Ayah menelepon atau video call
aku. Belum sempat aku berpindah dari kegiatan yang satu ke kegiatan yang lain
di kampus, Ayah kembali menelepon. Biasanya ia akan bertanya dan bicara hal-hal
yang menurutku tak penting bahkan bisa jadi itu nasihat yang diulang-ulang
terus.
Entah
apa yang ada di pikiran Ayah, kenapa ia begitu protektif. Sepertinya Ayah tidak mempercayaiku. Padahal
aku selalu berusaha membanggakan Ayah. Aku selalu menjadi yang terbaik dari
mulai duduk di bangku sekolah dasar sampai kuliah di universitas terbaik di
negeri ini.
Aku tinggal
berdua saja dengan Ayah karena Ibu sudah meninggalkan kami berdua ketika aku
masih berusia lima tahun. Ibu pergi entah ke mana. Sejak itu ayahlah yang
mengurusi sampai saat ini.
Tak
pernah terpikir di benakku untuk mencari Ibu. Aku merasa sudah cukup mendapat
kasih sayang dari Ayah yang bertindak juga sebagai ibu bagiku.
Tuut … tuut
Ayah calling …
Ayah
ngapain lagi sih. Tadi pagi ia sudah meneleponku. Ayah hanya bertanya nanti malam mau dimasakin
apa.
“Ayah,
Tya kan udah bilang kalau Ayah nggak perlu masak. Capek kan pulang kerja. Nanti
Ayah sakit. Tya juga yang repot.” Aku bicara menirukan kata-kata Ayah kalau
menasihatiku.
“Bukan
itu, Tya,” ujar Ayah.
“Apa
Yah?”
“Mau
dibawain makanan apa? Sekalian Ayah pulang kantor, lewat Food Court nanti.”
“Ya
ampun, Ayah. Nggak usahlah, Tya beli aja di kampus,” jawabku.
“Kok
gitu?” tanya Ayah.
“Tya
pulang agak malam. Ada tugas yang harus diselesaikan besok pagi.
“Jadi
Ayah sendiri dong di rumah,” ujar Ayah merajuk.
“Ah
Ayah, kayak anak kecil aja.” Agak kesal juga aku menghadapi tingkah Ayah. Ini
dilakukannya setiap hari.
“Ya
udah, ya. Tya mau masuk kelas dulu.”
“Lha
kan masih ada lima belas menit lagi.” Sulit memang membuat Ayah menyerah. Ayah
tahu pasti kapan saja aku berkegiatan. Tak ada satupun yang terlewat dari
catatannya.
“Ah
Ayah. Tya kan mau baca-baca dulu materinya sebelum dosen masuk. Udah ya, Ayah. Nanti malam kalau ngantuk tidur duluan aja.
Ayah nggak usah nunggu Tya,” ujarku.
“Oke,
Nak.”
Kututup
handphone. Aku tahu Ayah tidak akan
pernah atau menutup handphone-nya
sebelum aku menutup terlebih dahulu.
Aku
berjalan menuju kelas. Mata kuliah pertama akan segera dimulai. Rugi rasanya
kalau aku terlambat.
***
Hari
telah malam ketika aku meninggalkan kampus. Aku berlari mengejar kereta
terakhir yang akan membawaku pulang.
Ketika
turun dari motor yang mengantarku sampai di depan pagar rumah, rasa kantuk
mulai menyerang. Secepatnya aku masuk ke dalam pekarangan.
Aku
membuka pintu perlahan. Dengan mengendap-ngendap aku masuk ke dalam rumah yang
sebagiannya sudah gelap.
“Baru
pulang, Tya?”
Aku
kaget. Rupanya Ayah masih berjaga menungguku. Ayah bangkit dari duduknya dan
menghampiriku.
“Ya
ampun, Ayah. Kenapa sih harus nunggu Tya. Kan udah malam, Yah.”
“Ayah
hanya memastikan saja kamu pulang selamat, Nak,” ujarnya.
“Ayah,
Tya Aman kok. Malam ini di luar terang sekali. Tya pulang ditemani bulan
purnama.”
Ayah
menepuk pundakku. Aku hanya bisa
menggelengkan kepala. Betapa Ayah sangat protektif.
“Oya,
ibumu meninggalkanmu dan Ayah saat bulan purnama juga,” ujar Ayah dari pintu
kamar. Setelah itu ia masuk ke dalam.
Aku
terdiam sejenak. Ayah takut kehilangan diriku. Menurutku Ayah sangat
berlebihan. Aku berjalan menuju kamarku yang letaknya bersebelahan dengan kamar
Ayah. Aku harus istirahat karena besok aku harus bangun pagi supaya tak
kesiangan sampai kampus.
***
“Bangun,
Nak!”
Rasanya
enggan sekali mata ini terbuka. Aku masih belum mau bangun. Masih ingin menikmati
hangatnya tempat tidur.
“Tya,
sarapan dulu. Ayah mau berangkat kerja nih,” ajak Ayah sambil menepuk kakiku.
“Ayah,
Tya masih ngantuk. Lima belas menit lagi, ya?”
“Jangan
ditunda-tunda, Nak. Ayo bangun, Ayah tungguin. Kita sholat Subuh berjamaah.
Abis itu kita sarapan bareng. Udah
dibikinin nasi goreng kunyit.”
“Aduh
Ayah, sarapannya kok pagi banget sih,” ujarku kesal.
“Ayah
harus sampai kantor pagi. Ada yang harus diselesaikan,” jawab Ayah sambil
tersenyum.
Akhirnya
aku bangkit dari tempat tidur. Kurentangkan tangan ke atas. Rasanya nikmat
sekali. Itu sudah menjadi kebiasaanku sejak kecil ketika bangun tidur.
Setelah
mandi, aku menghampiri Ayah di kamarnya untuk
sholat berjamaah. Setelah itu kami berdua sarapan bersama. Sejak Ibu pergi,
Ayahlah yang setiap hari memasak untukku.
***
Hari
sudah gelap ketika semua aktivitas di kampus berakhir. Bulan yang bulat dan
bundar menghiasi langit yang semakin bercahaya. Aku memesan ojek online di
sekitar kampus. Beberapa saat kemudian si pengemudi ojek mengirimkan pesan
kepadaku.
Pengemudi ojek: Saya sudah di lokasi
Aku: Tunggu sebentar
Aku
berjalan menuju tempat yang kupilih untuk penjemputan. Aku melihat motor dengan
nomor yang sama dengan ojek yang kupesan. Aku mendekat ke arah motor itu.
Langkahku terhenti melihat pengemudi ojek yang kupesan sedang berkomunikasi dengan seseorang. Aku tak
ingin mengganggu. Kutunggu di samping motornya.
“Tunggu,
ya Sayang. Sebentar lagi Bapak pulang,” ujarnya.
Sekilas
kuintip dari balik punggung si pengemudi ojek, seorang anak perempuan dengan wajah
mungil sedang berbinar-binar di layar handphone
si pengemudi ojek yang kutahu namanya Pak Kasim. Aku merasa seperti Ayah yang
sedang video call denganku. Ada rasa
hangat menjalari hatiku.
“Eh,
maaf Mbak. Sudah lama nunggu ya?” Pak Kasim. Sepertinya ia baru menyadari
keberadaanku.
“Belum
kok, Pak,” jawabku
“Maaf,
ya Mbak,” ujar Pak Kasim sambil
memberikan helm kepadaku. Setelah memasang helm di kepala, aku menaiki motor.
“Tadi
anaknya, Pak?” tanyaku diantara deru suara kendaraan di jalan raya.
“Iya,
Mbak. Umurnya masih lima tahun. Dia nggak mau belajar kalau yang nyuruh ibunya.
Harus saya yang turun tangan. Sekali lagi maaf, ya Mbak,” ujar Pak Kasim.
“Nggak
apa-apa kok, Pak. Saya juga punya bapak yang setiap saat nelpon. Sampai kadang
saya suka kesal.”
“Kok
kesal, Mbak?” tanyanya.
“Soalnya
bapak saya sering banget nelpon saya. Sering nggak kenal tempat waktu. Padahal
tiap pagi saya selalu kasih tahu apa kegiatan saya seharian,” jawabku dengan
suara meninggi. Aku heran juga kenapa aku harus meninggikan suara.
“Maaf,
ya. Kalau anak saya nggak suka saya telepon, aduh nggak kebayang deh. Saya
pasti sedih banget. Satu-satunya alasan kenapa saya bersemangat nyari uang, ya
anak saya itu.”
“Iya
sih, Pak. Saya paham, bapak saya itu sayang banget sama saya tapi ya nggak
berlebihan seperti sekarang ini,” balasku.
“Sekali
lagi maaf, apa Mbak masih punya ibu?”
Aku
terdiam mendengar pertanyaan . Aku paling benci kalau ada orang yang bertanya
tentang ibuku. Tak ada bahan yang bisa kuceritakan tentang ibu.
“Ibu
sudah nggak ada, Pak. Ia pergi meninggalkan saya dan Ayah,” jawabku pelan.
“Itulah
kenapa bapak Mbak sering menelepon. Ia kesepian, Mbak.
Mendengar
perkataan Abang Ojek, aku tersentak. Betapa selama ini aku tak pernah
memperhatikan Ayah. Sepertinya benar yang diucapkan Pak Kasim kalau Ayah
kesepian, makanya Ayah sering sekali menghubungiku. Ayah butuh teman untuk
berbagi.
“Pak,
turunin saya di depan gang aja,” pintaku kepada Pak Kasim.
“Lha
kan rumah Mbak masih agak jauh,” ujar Pak Kasim sambil menghentikan laju
motornya.
“Nggak
apa-apa, saya pengen olah raga, Pak. Menikmati cahaya bulan purnama,” jawabku.
Malam ini bulan terlihat bundar sempurna dan indah di mataku.
“Jangan
lupa bintang lima ya, Mbak!” pinta Pak Kasim ketika aku berjalan menjauhinya.
“Nggak
ada yang bintangnya delapan?” candaku sambil mengacungkan jempolku. Pak Kasim
hanya tersenyum membalas candanku.
Aku
berjalan menyusuri gang yang menuju ke rumahku. Sengaja aku minta berhenti agak
jauh dari rumah agar suara motor tak mengagetkan Ayah. Biasanya kalau sudah
malam begini, Ayah menungguku pulang di ruangan depan. Ayah akan membuka pintu
jika mendengar suara motor.
Aku
berjalan dengan perasaan riang. Sesekali kepalaku menengadah ke langit
menikmati bulan purnama yang sangat terang. Malam ini aku ingin menikmati bulan
purnama berdua saja dengan Ayah. Malam ini aku akan memasak untuk makan berdua.
Ah, tak pernah kusadari kalau cintaku kepada Ayah begitu besar.
***
“Ayah
… Ayah,” aku memanggil Ayah. Malam ini tidak seperti biasanya, Ayah tidak
menungguku di ruang depan.
“Ayah
… Ayah.”
Aku
mencari Ayah ke seluruh ruangan. Dari mulai kamar, dapur, kamar mandi, ruang
belakang tak kutemukan Ayah. Aku mulai panik. Sesaat kesadaranku muncul,
biasanya kalau malam purnama begini Ayah sering duduk di ruang kecil yang
berada di atas rumah. Tempat itu biasanya
kupakai untuk menjemur pakaian.
Aku
berlari menaiki tangga yang terbuat dari papan satu per satu. Tak sabar hati ini ingin sekali
bertemu dengan Ayah untuk meminta maaf. Aku akan berjanji untuk selalu
menjaganya.
“Ayah
… Ayah …,” lidahku seakan kelu melihat tubuh Ayah tergeletak di lantai.
Wajahnya tampak pucat. Tubuh Ayah tak bergerak sama sekali.
Kudekati
tubuh Ayah. Kupanggil namanya, Ayah tak bergeming. Kugoncangkan badannya,
ternyata sudah kaku.
“Ayah,
buka mata Ayah!” ujarku sambil menepuk-nepuk pipinya. Tetap tak ada jawaban.
“Ayah
….”
Tetap
tak ada jawaban. Kesadaranku hilang. Aku berharap ini hanya mimpi belaka.
Sayangnya aku terbangun ketika rumahku telah dipenuhi orang yang ingin
menyampaikan duka citanya. Aku seperti masuk ke dalam lorong gelap yang dingin
dan sunyi. Entah bagaimana aku akan menjalani hidupku ke depan tanpa sosok
Ayah. Aku sungguh tak tahu. Semuanya
gelap dan sunyi..
***
*Cerpen ini dibukukan dalam Antologi Cerpen: The Moon on The Darkest Night, Penerbit: Ellunar
When I'm Sixty Four*
“Ti[1],
Aung[2] subuhan
ke masjid ya, assalamu’alaikum” pamit Aung kepada Uti. Sudah jadi kebiasaan
Aung sejak bertahun yang lalu untuk sholat subuh berjamaah di masjid dekat
rumah mereka. Dulu sih tidak rutin, sesempatnya Aung saja, tapi semenjak
pensiun Aung rutin setiap subuh ke masjid, kecuali ada uzur yang tidak bisa
dihindarkan. “wa’alaikum salaam, iya Ung, tiati”
sahut Uti yang sedang bersiap-siap juga untuk sholat subuh. Begitulah rutinitas
Aung dan Uti di pagi hari. Selepas dari masjid biasanya Aung akan menyempatkan
diri jogging 30-40 menit atau sekedar mengajak Uti jalan pagi keliling komplek
perumahan mereka. Di usia-nya yang 64 tahun Aung masih terlihat segar dan
atletis. Tidak heran, karena semasa muda Aung terkenal rajin berolahraga sepeda
dan lari. Sampai sekarang aktivitas tersebut masih tetap dilakukan walaupun
dengan intensitas rendah. Uti yang hanya berbeda 4 tahun dari Aung juga masih
terlihat segar. Selain jalan pagi bersama, Aung juga sering mengajak Uti
bersepeda bersama komunitasnya. Kalau sedang malas, biasanya Uti dibonceng Aung
dengan sepeda tandem-nya.
***
Aung dan
Uti mempunyai 2 orang anak perempuan yang sudah berkeluarga; Audy dan Hana.
Mereka tinggal tidak jauh dari rumah Aung – Uti. Pada saat masih aktif Aung
sengaja membelikan mereka rumah yang berdekatan supaya kalau Aung – Uti rindu
gak perlu jauh-jauh. Letak rumah mereka yang tidak berjauhan juga menguntungkan
buat Audy dan Hana karena mereka bisa menitipkan anak-anaknya ke rumah Aung –
Uti. Lebih aman dan lebih tenang dibandingkan harus menitipkan anak-anak ke
asisten rumah tangga atau ke day care.
Aung – Uti pun dengan senang hati dititipin cucu-cucu yang lucu dan cerewet.
Bahkan hampir setiap hari Aung lah yang bertugas mengantar jemput sekolah cucu-cucunya.
Rutinitas lain di pagi hari sebelum Aung – Uti sibuk dengan kedai kopi kecil milik mereka.
***
Memiliki
kedai kopi adalah cita-cita Aung sejak lama, namun baru terealisasi beberapa
tahun sebelum Aung purna bhakti. Kedai kopi itu sederhana saja. Letaknya masih
di sekitar komplek perumahan mereka. Kedai tersebut buka di pagi hari setelah
Aung selesai mengantar cucu-cucunya ke sekolah. Aung sendiri yang menjadi
barista-nya, sementara Uti yang akan membuatkan menu sarapannya. Menu sarapan
yang dibuat Uti juga sesuai dengan keinginan Uti hari itu, sehingga kedai kopi
tersebut tidak memiliki menu makanan tetap. “biar tidak bosan” alasan Uti.
Seperti hari ini, Uti membuat sandwich telor sebagai menu sarapan, sementara
Aung siap dengan americano atau cappucino. Sama sekali tidak ngoyo,
karena memang kedai kopi ini hanya untuk mengisi kegiatan Aung – Uti. Kedai
kopi biasanya tutup siang hari karena Aung harus menjemput cucu-cucu-nya, dan
Uti biasanya istirahat siang atau pergi ke majelis taklim bersama teman-teman
pengajiannya. Kedai akan buka kembali menjelang sore sampai menjelang waktu
maghrib.
***
Audy, anak
tertua mereka, berprofesi sebagai dokter gigi. Sudah memiliki klinik sendiri,
yang meskipun tidak terlalu besar tapi cukup ramai. Sementara Hana, keukeuh dengan cita-cita masa kecilnya:
menjadi komikus dan penulis. “kan bakatnya turun dari Papa “ begitu selalu
kilahnya ketika ditanya mengapa memilih profesi tersebut.
***
“Waduh enak
kali tidurmu ya…!?” suara Pak Direktur tiba-tiba menggelegar. Aku tergagap
kaget. Tidak sadar headset masih terpasang di telinga:
When I get older losing my hair
Many years from now
Will you still be sending me a Valentine
Birthday greetings bottle of wine
Many years from now
Will you still be sending me a Valentine
Birthday greetings bottle of wine
If I'd been out till quarter to three
Would you lock the door
Will you still need me, will you still feed me
When I'm sixty-four
Would you lock the door
Will you still need me, will you still feed me
When I'm sixty-four
You'll be older too
And if you say the word
I could stay with you
And if you say the word
I could stay with you
I could be handy, mending a fuse
When your lights have gone
You can knit a sweater by the fireside
Sunday mornings go for a ride
Doing the garden, digging the weeds
Who could ask for more
When your lights have gone
You can knit a sweater by the fireside
Sunday mornings go for a ride
Doing the garden, digging the weeds
Who could ask for more
Will you still need me, will you still feed me
When I'm sixty-four
When I'm sixty-four
Every summer we can rent a cottage
In the Isle of Wight, if it's not too dear
We shall scrimp and save…[3]
In the Isle of Wight, if it's not too dear
We shall scrimp and save…[3]
*Judul lagu The Beatles
[1] Uti atau Eyang Putri, nenek dalam
bahasa Jawa
[2] Aung atau Eyang Kakung, kakek dalam
bahasa Jawa
[3] When I’m Sixty Four, The Beatles
LELAKI INI DAN PEREMPUAN ITU DAN PATAH HATI
Lelaki
ini duduk gelisah di sudut gelap ruangannya. Hari masih dini. Mesin presensi
belum berfungsi. Tak terhitung kali lelaki ini menatap gawainya. Membaca lagi
pesan singkat petang kemarin “besok kita
jumpa ya, pengen ngobrol”. Pesan singkat yang membuat lelaki ini mengutuk
bulan menjadi mentari. Menggebah ayam untuk segera bernyanyi. Dikuatkan jarinya
memulai sapa. “hai, aku sudah di sini”.
Centang satu. Lama. Sementara, lift mulai bekerja. Mengangkut pekerja yang
datang dengan penuh asa. Derap langkah diiringi suara tawa dan canda mulai menggema.
Hari sudah memulai hitungannya. Masih centang satu. Lelaki ini hanya bisa
menghela; Mungkin benar, cinta itu tak
lagi berharga.[1].
Perempuan
itu bukanlah makhluk bumi paling indah. Tapi lelaki ini tergila-gila padanya. Baginya
perempuan itu sangat istimewa. Namun jangan ditanya mengapanya. Baik? banyak yang
lebih baik; Cantik? ah, semua perempuan juga cantik kalau kamu sedang jatuh
cinta. Lalu apa?. Lelaki ini dan Perempuan itu tidak pernah tahu. Awal mula,
tahun berapa, bagaimana dan setumpuk kata tanya takkan berjawab. Lelaki ini dan
perempuan itu tidak pernah berkomitmen cinta. Tidak pernah. Lelaki ini ada
ketika perempuan itu meminta. Perempuan itu pun bersedia tatkala lelaki ini
lelah. Tak mungkin menyalahkan waktu, tak
mungkin menyalahkan keadaan[2]
Masih
centang satu. Lelaki ini sedih tapi tak peduli. Tak mengapa, ini tak
hanya sekali dua. Lambat sang waktu berganti, endapkan laraku disini, coba tuk lupakan
bayangan dirimu yang selalu saja memaksa tuk merindumu[3]
Bertahun bersama membuat lelaki ini terbiasa. Bagai 4 musim yang silih
berganti; terkadang panas membara bagai mentari namun bisa membeku layaknya
salju, sejuk semilir angin berhembus namun tak jarang berguguran bagai
daun layu.
Sudah kukatakan, aku
ini tak sendiri[4] Perempuan itu berkata. Lelaki ini
hanya tertawa. Ini bukan cinta kan? Perempuan itu ganti terbahak. Mungkin ini memang jalan takdirku, mengagumi
tanpa dicintai[5]
batin lelaki ini. Sabarlah. Musim dingin akan berlalu, selalu begitu. Dia bilang “kau harus bisa seperti aku, yang
sudah biarlah sudah[6]
Lelaki ini kecut.
Centang
dua. Lelaki ini tak sadar meloncat gembira. Tak hirau tatap aneh rekan sekerja.
Tik tok tik tok tik tok. Hanya centang dua. Tidak berbalas sapa. Lelaki ini
mulai patah hatinya. Aku hanyalah manusia
biasa. Bisa merasakan sakit dan bahagia[7]
siang beranjak senja. Aku menyayangimu,
tapi lagi-lagi kau sakitiku[8].
Apa ini akhir kisah?
Lelaki
ini mengulang hari, berharap balas sapa walau telah lewat masa. Kuawali hariku dengan mendoakanmu, agar kau
selalu sehat dan bahagia disana. Sebelum kau melupakanku lebih jauh, sebelum kau
meninggalkanku lebih jauh[9]. Mengetik. Lelaki ini tersentak. “kamu
jadi pergi? Ini aku bawakan coklat dan kopi”. Lelaki ini tersenyum. Dipungutnya
serpihan hati yang terserak. Disatukannya lagi. Tak sempurna, tapi tetap bentuk
hati.
Jakarta, 20122019
AKU (TAK) INGIN JADI PNS
ngiiing...ngiiing…
Rasanya sudah belasan kali telepon pintar Izzam bergetar. Ia tahu itu panggilan masuk, namun begitu enggan untuk beranjak dari kasur kusam yang sudah Ia tiduri selama 4 tahun terakhir. Di lantai dasar asrama, samar-samar terdengar gelak tawa para santri. Berebut bermain tenis meja. Turnamen kecil-kecilan setiap akhir pekan. Siapa saja yang keluar sebagai pemenang, berhak tidak piket selama seminggu.
Kamar ukuran 3x3 meter itu perlahan sumuk. Kipas angin kecil yang sedari tadi tengok kanan-kiri tak kuasa melawan rambatan panas mentari yang kian meninggi. Izzam melirik dinding, jam setengah 10 pagi. Perlahan Ia duduk, bersender pada dinding, lantas merenggangkan kaki dan tangannya sembari menguap. Ah, sepertinya pemuda tanggung itu kelamaan tidur.
ngiing...ngiiing…
Gawai Izzam kembali bergetar. Sekali, dua kali, tiga kali, lantas mati. Sejurus kemudian kembali bergetar. Huft. Enggan sekali rasanya berdiri. Entah kenapa, semakin lama tidur, tubuhnya justru semakin lelah. Dengan merangkak dan sedikit mengangkat tubuh, susah payah Ia menggapai hape yang berada di atas meja belajarnya. Begitu malas. Padahal, meja belajar tersebut berada tepat di sebelah kasurnya, yaah meski sedikit agak tinggi.
"Halo, Assalamulaikum"
"Ha ndak ka ba angkek telpon Bunda bujaang?", omel wanita paruh baya di seberang telepon.
"Mbok salamnya dijawab dulu, Amaaay"
"Oh iya, hehe. Waalaikumussalam. Ha jadi kenapa telpon Bunda ga diangkat dari tadi?"
"Tadi ketiduran Nda, habis kajian, nyampe kamar langsung tepar. Hehe"
"Ondeh mandeh anak bujaaang.. @&_+#;'!#)#/&+*;:......", celoteh Emak Izzam tanpa henti.
"Hmm, sepertinya tausiah ini akan lama", gumam Izzam. Dari dulu Bunda memang begitu, paling jengkel kalau mendapati anak-anaknya cuma bermalas-malasan apalagi tidur-tiduran di pagi hari.
Izzam beringsut, mencari udara segar. Masih mengenakan sarung, Ia beralih ke jemuran di ujung lorong asrama. Angin sepoi-sepoi menerpa wajah kusut Izzam. Sesekali memainkan poninya yang sudah panjang. Semenjak menyandang gelar "pengangguran" 7 bulan lalu, Ia tidak sekalipun memangkas rambutnya.
"Sampun Mas turu ne?", sapa Sigit dari ruang perpustakaan. Akhir-akhir ini pemuda kelahiran Karanganyar yang merupakan teman sekamar Izzam itu terlihat sering me-murajaah hapalannya. Meski usia mereka terpaut 2 tahun, tapi semangat hijrah Sigit jauh melebihi izzam.
Izzam melambai tangan mengabaikan, kemudian berlalu.
"Jadi apa yang ingin Abang lakukan sekarang? Udah 7 bulan semenjak kelulusan Abang", tanya Bunda.
Izzam terdiam sejenak, menatap biru langit tanpa awan, menggapai patahan hanger yang tergeletak di lantai, sembari memukul-mukul ringan salah satu tiang jemuran.
"Bunda ingin abang melakukan apa, Nda?", Jawab Izzam.
"Bunda terserah Abang. Ingin jadi apa Abang, itu hak nya Abang. Ayah Bunda cuma bisa mendoakan dan mendukung Abang"
"Abang buntu, Nda"
"Cerita lah Nak"
“Abang ingin kerja Nda, pengen di perusahaan atau kantor pengacara”
“Terus?”, tanya Bunda di kejauhan.
“Kemaren Abang di telpon Kak Tua, beliau menyarankan lanjut kuliah. Kak Tua bilang, memulai karir dengan gelar master itu akan membuat karir cepat naik. Tapi Abang khawatir, Nda. Perusahaan BUMN misalnya, mereka ga butuh gelar master di bagian legal-nya. Buat apa mempekerjakan lulusan S2 kalau mereka bisa mendapatkan fresh graduate S1 dengan bayaran lebih murah. Coba lihat Bang Rul, dia lulusan S2 di kampus ternama. Tapi, begitu sulit baginya mendapat pekerjaan. Abang udah bilang sama Kak Tua, untuk saat ini yang Abang butuhkan hanyalah pengalaman. Setidaknya nanti dengan pengalaman itu, Abang punya posisi tawar yang lebih tinggi jika apply kerja di tempat lain. Kalau garis tangan Abang baik, toh mungkin saja perusahaan tempat Abang bekerja mau memberi beasiswa untuk lanjut kuliah S2. Banyak kok Nda kakak tingkat Abang yang seperti itu. Abang tidak ingin menjadikan S2 sebagai pelarian atas status pengangguran Abang saat ini Bunda. Tapi Kak Tua kayaknya ga sependapat dengan Abang”
“Emang Kak Tua bilang apa?”, tanya Bunda penasaran.
“Kak Tua bilang kalau Abang seperti hidup ga berTuhan, Nda”
“Eh, kok?”, sela Bunda.
“Soalnya abang begitu mengkhawatirkan hal-hal yang sudah dijamin oleh Allah, Nda. Kak Tua bilang jauh sebelum ruh kita dihembuskan, suratan takdir kita baik rezeki, jodoh, dan kematian sudah tertulis di lauhul mahfudz. Allah pasti tidak akan pernah mengecewakan hamba-Nya. Tapi Ndaa..", Izzam berhenti sejenak, nafasnya sedikit menderu, mencoba mengendalikan diri, kemudian melanjutkan.
"Beritahu Abang, Nda. Salahkah Abang jika takut tidak mendapatkan pekerjaan karena minimnya pengalaman, sementara gelar Abang sudah S2? Salahkah Abang jika ingin membalas sedikit dari jasa Bunda melalui gaji yang nanti Abang terima? Abang tidak ingin terus-terusan membebani Bunda dengan UKT yang begitu mahal. Memang Abang dapat tawaran beasiswa 50% untuk program internasional setelah lulus kemaren, tapi itu tetap saja berat Bunda. Belum lagi adek yang masih kuliah. Abang ingin meringankan beban Ayah dan Bunda. Salahkah Abang Bunda?”
Rasanya begitu banyak hal yang mengganjal di hati pemuda berdarah Minang tersebut. Di saat para santri asik dalam hiruk-pikuk turnamen, tertawa, saling membuli dan menyombongkan diri setiap memperoleh poin, Izzam tertunduk lesu di pojok lantai 2 asrama. Pikirannya melayang, melesat jauh ke masa lalu, memutar kembali potongan kenangan lama.
Kembali Ia saksikan, bagaimana perjuangan Ayah dan Bunda menguliahkannya. Potongan demi potongan kisah terputar otomatis dalam benak Izzam, layaknya film dokumenter. Momen pahit ketika Ayah jatuh, kehilangan pekerjaan disaat Izzam tengah berada di tahun akhir bangku SMA. Dua tronton yang saat itu menjadi sumber penghasilan utama Ayah raib, terlilit utang. Kapal tambang emas di hulu Sungai Batang Hari yang karam, lapuk dimakan air dan lumut sebab lama tak beroperasi terhalang izin pemerintah setempat. Kebun karet, yang dirampas begitu saja oleh pemuka adat, berdalih bahwa tanah tersebut adalah milik kaum. Padahal, Tuhan menjadi saksi telapak tangan Ayah, Bunda, dan Izzam yang melepuh karena terlalu lama memegang parang dan cangkul saat membuka lahan. Belum lagi perjuangan Bunda yang tak terbilang, menjadi tulang punggung kedua semenjak Ayah jatuh. Bunda yang rela menanam sendiri sayuran di belakang rumah, menjahit sendiri baju sekolah yang sobek, berjualan makanan ringan sembari mengajar murid SD, demi menabung untuk membayar uang kuliah putra-putrinya.
"Abang..", sapa Bunda lembut. Izzam diam, menunggu Bunda melanjutkan kalimatnya.
“Kekhawatiran abang itu suatu hal yang wajar, Nak. Bunda pun ketika seumur Abang juga mengkhawatirkan hal yang sama. Justru Abang sekarang beratus kali lebih beruntung dari Bunda. Abang lulus dari universitas yang cukup bagus, nilainya pun bisa dikatakan memuaskan. Sementara Bunda? Bunda hanya lulusan sekolah keguruan, Nak. Untungnya dulu orang-orang pada gak suka jadi guru, jadi Bunda bisa lulus. Bunda ga begitu pintar, Nak. Dulu profesi guru itu selain gajinya kecil, juga ga begitu dipandang oleh masyarakat. Abang tahu ga? Sebenarnya setelah Abang lahir, dulu Bunda sempat mau berhenti menjadi guru. Namun karena permintaan almarhum nenek, Bunda akhirnya bertahan. Ayah pun juga mendukung penuh. Bunda ingat betul pesan Ayah waktu itu, boleh jadi suatu saat nanti usaha Ayah jatuh, dan ketika hal itu terjadi anak-anak Bunda tidak terlantar sekolahnya. Dan qadarullah, kondisi kita sekarang persis seperti yang di bilang Ayah waktu itu kan? Artinya Abang, memang Allah sudah mengatur semuanya, tapi perlu diingat, beras tak akan menjadi nasi kalau tidak ditanak. Tawakal tanpa ikhtiar itu sia-sia, Abang. Pun sebaliknya, ikhtiar tanpa tawakal itu sombong. Nah tugas kita selaku hamba, menyeimbangkan keduanya”
“Jadi menurut Bunda, Abang harus bagaimana?”, tanya Izzam.
“Abang udah istikhoroh?”
“Belum, Nda”
“Istikhoroh lah, Nak. Setiap kali Abang akan memilih apapun, entah itu pekerjaan, sekolah, atau calon istri, selalu lah libatkan Allah. Nanti Allah akan kasih kode-kode biar Abang ambil jalan ini atau itu”
“Bagaimana Abang bisa tahu kalau itu kode dari Allah, Nda?”
“Hm.. mungkin saja dari mimpi, masukan-masukan dari Ustadz Abang, dorongan dari sahabat-sahabat Abang, dan dari keluarga juga tentunya”
“Jadih, Nda. Semoga nanti malam Abang bisa terbangun dini hari”, patuh Izzam.
“Tapi, Bang. Menurut Bunda, setiap peluang-peluang yang ada sekarang, coba lah. Karena ketika Abang memutuskan tidak mencoba, persentase keberhasilan Abang itu nol. Namun ketika Abang mencoba, persentase keberhasilannya menjadi 50-50. Ini yang tadi Bunda bilang ikhtiar, Nak”
“Maksud Bunda?”
“Abang coba saja semuanya, sembari Abang masukin lamaran ke berbagai perusahaan atau kantor pengacara, abang juga nyiapin berkas untuk S2 Abang. Mana yang nanti diterima, berarti itu yang terbaik kan?”
“Baik Nda, insyaAllah”
“Satu lagi, hmm… kalau boleh jujur, besar harap Bunda agar Abang ikut CPNS tahun ini. Kalau Abang tertarik. hehe”, ujar Bunda dengan sedikit bercanda.
“Abang sama sekali tidak bercita-cita jadi PNS, Nda”
(bersambung)
PegawaiBaru, catatan tahun lalu.
Pesona Separo Agama (2)
Kelam shubuh perlahan berganti
terang, pertanda pagi kan menjelang. Jauh di ufuk timur, mentari tampak mendaki
cakrawala, menebar kehangatan. Cahaya kuning keemasan perlahan menembus jendela
kaca. Kerlap-kerlip terhalang dedaunan Mangga. Dari kejauhan, sayup-sayup
terdengar deru motor dan mobil silih berganti. Sesekali diselingi suara penjual
gorengan, berlalu lalang, menjajakan pisang memutari komplek Pandega
Marta.
Bagi sebagian orang, melanjutkan
tidur di pagi akhir pekan adalah kenikmatan yang tiada duanya. Apalagi kalau
hujan, bersembunyi di balik selimut tebal sungguhlah nikmat Tuhan paling
hakiki. Namun tidak bagi Izzam, Fattah, dan Ardi. Dua tahun mereka ditempa. Tak
hanya diajari aqidah, fiqih, dan tafsir, melainkan juga shiroh. Saban hari ditausiahi bagaimana Nabi dan para sahabat
memulai pagi, keutamaan berlama-lama di masjid sembari menunggu waktu syuruq, dan sebagainya. Tak heran ketika
mata begitu berat, selalu saja terngiang di benak mereka QS. Al Jumu’ah ayat 10
yang sering digaungkan asatidz (jamak
dari kata ustadz) saat mendapati beberapa santri tidur waktu kajian. Faidzaa
qudiyatis sholaatu fantasyiru fil ard. Tatkala telah kau tunaikan sholat,
maka bertebaranlah di muka bumi untuk mencari karunia Allah.
Izzam melirik pergelangan tangannya.
Jam sudah menunjukan pukul 06.10, 2 jam menjelang kepulangan. Awalnya pemuda
tanggung itu berencana pulang bersama teman-temannya Minggu malam, dan tiba di
Jakarta Senin pagi. Namun karena satu dan dua hal, Izzam terpaksa pulang lebih
awal. Hatinya tak karuan. Mei selalu saja memenuhi isi kepalanya. Sehingga
berlibur pun sepertinya sia-sia. Meski 2 malam, kerinduan yang sekian lama
bersemayan dalam relung hatinya pada kota penuh kenangan itu setidaknya
tersampaikan.
“Ga sarapan dulu, Zam?” ujar Fatah.
“kuy, aku kangen makan di
Palanta”, celetuk Izzam sembari memasukkan potongan terakhir celananya ke dalam
tas.
“rumah makan Padang itu? Emang udah buka?”, sahut Ardi dari kamar
sebelah.
---
“Gimana kerja di Ibu Kota, Zam?”, tanya Ardi mencomot sembarang
topik.
“Berat, orangnya pada gak ramah. Belum juga lampu ijo, udah pada tin tin”, jawab Izzam sembari menyantap potongan lontong sayur yang
Ia pesan.
“Yaudah tinggal resign toh”, usul Fattah.
“gila aja, ente kira gampang masuk kemenkeu?”, sanggah Ardi.
Fattah terkekeh.
Usai membayar sarapan, mereka
beringsut keluar menuju parkiran. Langit tampak redup. Cahaya mentari perlahan
ditutupi awan. Berganti wajah, menyisakan langit kelabu. Sesekali Izzam
mendongak langit. Beberapa tetes hujan jatuh membasahi lensa kacamatanya.
Padahal satu jam yang lalu, cerah langit begitu menjanjikan.
“Mau hujan nih, aku naik gocar aja
ya ke Lempuyangan?”
“Lah ga mau dianterin?”, tanya Fattah.
“Tau nih sok-sok an, biasanya dulu
juga nyusahin pas mondok”, ejek Ardi.
“Yaudah, tapi gue gak tanggung jawab ya kalo
lo pada kehujanan”, ujar Izzam dengan
gaya bicara anak kota.
“anjaay!”, sahut Fattah dan Ardi bersamaan.
Lempuyangan mulai tenggelam dalam
rutinitas. Kereta silih berganti berhenti. Seberapa banyak yang turun, sebanyak
itu pula yang naik. Dari kejauhan terlihat tukang parkir melambaikan tangan, ngode
kalau masih ada slot kosong. Satu dua mobil terlihat hanya menurunkan
penumpang, lantas tancap gas meninggalkan pintu masuk stasiun. Di kios-kios
seberang stasiun, beberapa anak terlihat antusias menatap langit. Sembari
memegang payung, berharap hujan segera turun.
Izzam melirik angka di jam digital
Fattah, sudah hampir pukul 8 pagi. Tak lama lagi kereta Mataram Premium yang
akan Ia tumpangi menuju Senen segera masuk. Setelah berbasa-basi, Izzam
melangkah, mengambil antrian mencetak tiket. Tadinya Fattah dan Ardi bersikukuh
menemani hingga Izzam naik kereta. Namun karena langit semakin padam, Izzam
memaksa mereka untuk kembali. Meski Ardi berdalih Ia punya 2 jas hujan yang
bisa dipake mereka pulang.
Pemuda berdarah Minang itu
langsung masuk ke ruang tunggu keberangkatan begitu selesai mencetak tiket.
Setelah menunjukkan KTP, penjaga loket check-in mempersilahkannya masuk.
Rintik hujan terdengar semakin keras dari langit-langit platform stasiun. Anak-anak yang sedari tadi memegang payung,
mencak-mencak tertawa, menendang air. Satu dua anak terlihat mengiringi Ibu-Ibu
umur 40an menuju pintu masuk, sesaat kemudian mendapat beberapa lembar uang
2000an. Sepertinya Fattah dan Ardi kehujanan, batin Izzam. Ia meluruskan kaki,
menaikan resleting jaket, menghalau dingin musim hujan bulan Maret, menunggu
jemputan.
Tepat pukul 8.10, kereta yang akan
ditumpangi Izzam merapat. Semenjak launching pertengahan tahun 2017
lalu, begitu sulit mendapatkan tiket KA Mataram Premium, apalagi weekend.
Wajar saja, meski tergolong kelas ekonomi, kereta ini layaknya eksekutif. Meski
rapat, setiap penumpang mendapatkan kursinya masing-masing. Sandaran kursi pun
bisa diatur sesuai selera. Izzam pun beranjak, bersama penumpang lainnya,
menuju gerbong masing-masing. Gerbong 9, nomor kursi 1B. Begitu tercetak di
tiket yang digenggam Izzam. Dekat toilet memang, tapi tidak ada pilihan lain.
Kursi satu-satunya yang tersisa untuk keberangkatan pagi ini.
Kereta melaju pelan. Perlahan
menambah kecepatan. Roda besi kereta terdengar merangkai irama setiap kali
melewati bantalan rel. Izzam mengeluarkan gawai dari saku dalam jaketnya.
Membuka kontak, lantas menelpon seseorang. Seseorang yang begitu Ia sayangi.
Seseorang yang bahkan tidak tahu sama sekali apa yang terjadi di Bogor beberapa
waktu lalu.
“Assalamualaikum”, salam Izzam.
“Waalaikumussalam, Abang. Jadi
pulang hari ini?”, tanya wanita paruh baya di seberang telepon.
“Jadi Bunda, insyaAllah Maghrib nyampe
Jakarta”
“Yaudah, fii amanillah ya, Ayah Bunda selalu mendoakan”
Izzam menutup panggilan. Jendela
kereta terlihat semakin kabur, terhalang ratusan rintik hujan yang menerpa
kaca. Dinginnya AC membuat kaca bagian dalam menjadi berembun. Izzam sekali
lagi melihat gawai pintarnya. Mencari menu musik, memilih playlist. Mengotak atik, lantas memilih tilawah QS. Ar Rahman
Ustadz Hanan Attaki. Ia yakin, ketika ruhiyah terasa gersang, maka lantunan
ayat suci bagaikan oase di tengah padang pasir. Tak butuh waktu lama, pemuda
kelahiran Maret 23 tahun silam itu pun terlelap. Berharap mimpi bertemu Tuhan,
melepas gundah yang selama ini membebani hatinya.
Izzam tersentak. Di sebelahnya
berdiri 2 orang berpakaian resmi dan bertopi. Masih sedikit linglung. Sejenak kemudian
kesadarannya kembali, ternyata pemeriksaan tiket. Dan yang berada di sampingnya
adalah Masinis dan pihak keamanan kereta. Setelah memeriksa tiket, dengan
senyum ramah Masinis mengembalikan tiket Izzam, kemudian berlalu. Izzam
mengantongi kembali tiket yang sudah dilobangi tersebut. Melirik Alexandre
Christie di pergelangan kirinya. Pukul 12.40. Sudah waktunya Dzuhur.
Usai melaksanakan jamak-qoshor
dzuhur dan ashar, Izzam beranjak ke bagian restoran kereta. Memesan nasi goreng
dan air mineral. Biasanya ada pegawai kereta yang menawarkan makanan, minuman,
bahkan bantal dan selimut kepada para penumpang. Tapi tak mengapa. Sedikit
berjalan di gerbong kereta sepertinya tak begitu buruk, toh dari tadi kerjaannya cuma tidur, gumam Izzam. Selepas membayar pesanan,
Izzam kembali ke kursi. Meski tak begitu lapar, tapi metabolisme tubuhnya
menghendaki pemuda tersebut untuk makan. Apalagi nasi goreng di tangannya
kelihatan begitu enak. Begitu tutup kotak dibuka, kepulan asap menjalar keluar,
menggoda setiap hidung yang mencium sedapnya.
Tiba-tiba saja smartphone Izzam bergetar. Ragu-ragu Ia
mengeluarkan hp dari saku jaketnya. Dua hingga tiga pesan masuk dalam waktu
bersamaan, memenuhi layar depan telepon pintar Izzam. Mei. Pemuda tersebut
terdiam. Tangan kanannya masih memegang sendok plastik. Itu adalah suapan
terakhirnya. Naas, lahap makannya seketika kandas.
Assalamualaikum,
Zam
Mei
mau nelpon
Lagi
senggang kah?
“Waalaikumussalam, bisa, 5 menit
lagi ya”, tulis Izzam singkat.
Segera Ia rapikan kotak makan
siangnya, menempatkan di bawah kursi kereta, menenggak Le Minerale 600 ml. Sejenak kemudian, handphone Izzam kembali
bergetar. Panggilan masuk. Mei.
“Halo, Assalamualaikum”, sapa Mei
di seberang telepon.
“Waalaikumussalam”, jawab Izzam
ramah.
“Mei tidak mengganggu kan?”,
tanyanya berbasa-basi.
“Nggak, lagi di kereta juga, habis dari Jogja. Mei mau ngomong apa?”
“Masalah yang kemaren, waktu kita ketemu Bogor. Zam,
tau ga? Kenapa setiap kali Mei dan Ibu ke Jakarta, kita selalu bertemu?”
Izzam terdiam, membiarkan Mei
melanjutkan.
“Tiga kali kita bertemu, dan tidak
satupun yang kebetulan, Zam. Izzam tau siapa yang minta Mei dan Ibu ke Jakarta?
Tek Eni dan Tek Lis”
Pemuda tanggung itu beranjak meninggalkan kursi.
Beralih pada celah gerbong. Bersandar, menatap awan. Mentari di langit Purwokerto
mulai condong. Bayang kereta memanjang seiring tergelincirnya matahari ke arah Barat.
Hamparan sawah terlihat sejauh mata memandang. Satu dua petani asik menyiangi, sebagian yang lain melepas penat di pondok tengah sawah. Izzam
menarik napas panjang. Hatinya meringis, tak terima.
Ya Tuhan, benarkah? Kenapa?
------------------
Bersambung, InsyaAllah.
Langganan:
Postingan (Atom)