Malam itu untuk pertama kalinya aku bertatap muka dengan sesama pelajar Indonesia yang akan melanjutkan pendidikan tinggi ke Swedia. Duta Besar di Jakarta secara resmi mengundang semua mahasiswa dan alumni untuk makan malam dan halal bihalal di kediamannya pada tanggal 14 Agustus yang lalu. Seperti kata pepatah "lain padang lain ilalang" atau "tak kenal maka tak sayang", inilah kesempatan pertamaku untuk melihat dan merasakan sendiri suasana interaksi masyarakat Indonesia-Swedia.
Kedatanganku disambut oleh petugas keamanan yang sibuk membuat cek list nama-nama undangan di selembar kertas. Dari luar pekarangan, suasana rumah terasa sepi dan steril. Beberapa waktu kemudian aku diantarkan ke teras. Setelah kudorong pintu besar berwarna putih itu, terdengar suara-suara denting gelas, gumaman anak-anak muda yang mengobrol dan tertawa sambil berdiri di dalam kerumunan kecil. Entah kenapa aku seolah seperti lebur ke dalamnya. Suasana ini terasa sedikit aneh, karena semua orang begitu akrab namun banyak juga yang tidak kenal satu sama lain. Kalimat-kalimat yang lazim terdengar olehku adalah, "Hai, namaku XYZ, siapa namamu? Kampus mana? Alumni atau mulai sekolah? Oo ... ini ada teman kita yang satu tujuan dengan kamu. Berangkat kapan? Sudah dapat tempat tinggal?"
Aku hanya menggenggam gelasku erat-erat, sambil tercekat karena aku tahu aku sendirian. Sponsorku bukan Erasmus Mundus, bukan juga Swedish Institute, apalagi belum ada yang namanya LPDP. Bila akhirnya kusebut SPIRIT-pun, aku tidak yakin ada yang bisa langsung paham tanpa perlu tempelan embel-embel WorldBank. Dan aku sedikit kuatir seandainya dianggap 'terlalu tua' untuk kuliah lagi. Kekuatiran yang tidak beralasan karena di sini juga banyak yang usianya jauh di atasku, baik alumni maupun yang mulai kuliah lagi. Semua ada di sini: remaja lulusan SMA, paruh baya pegawai kantoran, mahasiswa S1, S2, S3, ilmuwan, peneliti, pengamat politik, dan engineers.
Di saat aku bersiap untuk mengangkat gelas dan mulai minum, seorang wanita cantik pirang berponi dan bersanggul melintas di belakang punggungku. Ia berdehem-dehem sejenak, mengambil selembar kertas, lalu spontan bergerak ke arah anak tangga yang melingkar di tengah ruangan, melambaikan tangannya mengajak kita semua untuk berkumpul di dekatnya. Mulutku terasa semakin kering dan akupun tidak jadi minum. Bagaimana tidak, inilah duta besar Swedia yang biasanya hanya kulihat di google, wikipedia, atau situs-situs berita.
Jauh dari kesan protokoler, nyonya rumah menyambut semua tamunya dengan ramah dan jenaka tanpa kesan berlebihan. "This is a world record, " ungkapnya menunjukkan kekaguman, 45 orang calon mahasiswa Indonesia yang akan berangkat ke Swedia tahun ini adalah yang terbanyak sepanjang sejarah. Selanjutnya, kalimat-kalimat bernas darinya terasa mengalir seperti air, dan yang paling kuingat adalah,
"You have a wonderful country, the people, the nature, its resources and the culture. So, if there is any culture you should bring back home from Sweden, it is its culture of innovation," ujarnya sambil tak lupa menyebutkan inovasi-inovasi Swedia yang telah mempemudah kehidupan kita; antara lain, sabuk pengaman, mesin ATM, telepon seluler, kartu chip, mouse komputer, layar monitor, Skype, dan masih banyak lagi.
Pidato pembukaan ini ditutupnya dengan pesan terakhir, "During your study in Sweden, you will repesent Indonesians to the Swedes. Then, when you are finish and going home again, you will represent to Indonesia what is Sweden truly like ... so please do good in everything that you do."
Acara selanjutnya, sambutan dari salah seorang perwakilan Swedish Alumni, lalu diteruskan dengan perkenalan dari masing-masing tamu, kemudian setiap alumni diberikan waktu berbicara beberapa menit untuk membagikan tips atau pengalaman tinggal di Swedia.
Akhirnya tibalah saat yang dinantikan bagi pecinta kuliner sepertiku, yaitu menikmati santap malam masakan tradisional dengan resep asli. Beberapa pinggan cantik tertata di meja oval, dimulai dengan sajian Janssons Temptations a.k.a Janssons Frestelse, yaitu berlapis-lapis kentang panggang, bawang, ikan teri crispy, saus krim, dan keju parmesan. Tersaji di sebelahnya adalah Swedish Meatballs with Lingonberry Jam, yaitu sejenis baso bakar yang gurih berpadu dengan manisnya buah lingonberry. Bagi penggemar daging segar, ada Beef Stew Skåne Style, atau semur daging ala Swedia. Tidak ketinggalan, kebanggaan kuliner Skandinavia: grilled salmon. Ikan panggang nikmat dan kaya omega-3, dengan daging berwarna salem yang begitu harum, lembut, dan mudah sekali lumer di lidah kita.
Kalau saja aku tidak malu dengan isi piringku yang terlanjur ramai, mungkin sudah kupenuhi rasa keingintahuanku terhadap sajian telur ikan mahal dari lautan Baltic yaitu Egg-halves with Toasted Skagen Black Caviar, atau uniknya cita rasa Beet Root, Herring Marinated with Creme Fraiche, dan Mushroom Quiche. Namun demikian, dengan sedikit pembenaran diri bahwa pencuci mulut adalah tidak sama dengan makanan, kupersilahkan diriku mengambil satu piring terakhir demi sedapnya Apple Pie with Vanilla Sauce dan ... tentu saja, renyahnya Blueberry Pie dengan buah asli. Semuanya sedap, semuanya nikmat, dan hatiku tersentuh ketika mendengar bahwa sajian di malam halal bihalal ini adalah sama istimewanya dengan hidangan hari raya Natal di kampung halaman mereka. Sungguh suatu kehormatan bisa menghadiri undangan ini.
Ada suatu kejadian menarik selama makan malam buffet yang berlangsung informal ini. Sewaktu para tamu menikmati hidangan sambil mengobrol, duduk-duduk atau berdiri di ruang tengah, alih-alih ikut makan, duta besar malah sibuk berkeliling membawa mangkuk untuk menawarkan sambal. Tampaknya beliau mempertimbangkan sekiranya lidah kami perlu bantuan selera Indonesia bila masih merasa kurang cocok dengan hidangan internasional yang disajikan. Aku yang sedang sibuk makan di sofa pun tidak luput dari keramah-tamahan ini, dan tampangku yang kaget ditawari sambal oleh seorang bule pun dimaknai sebagai tidak suka yang pedas-pedas, "No? You don't want it? OK, It is alright."
Masih terngiang-ngiang di telingaku nasihat orangtua untuk mendengarkan masukan sebanyak mungkin. Masuk akal, terutama karena inilah pertama kalinya aku akan pergi ke negeri asing ... sekaligus jauh. Naik pesawat terbang ke sana paling cepat 18 jam tanpa transit. Dengan transit, waktunya lebih bervariasi, dari 22 jam sampai 32 jam, bisa-bisa bokongku panas setelah duduk sekian lama. Mengikuti nasihat orangtua, aku mengambil kesempatan untuk mendengarkan saran-saran dari beberapa alumni yang ada. Tidak dipungkiri bahwa acara ini memang serius dan penting, namun sebaiknya aku sadar juga bahwa nuansanya tetap silaturahmi dan keakraban.
Percakapan yang semulanya standar dan lurus-lurus saja, dengan mudahnya menjadi sarana pertemanan dan pertukaran selera humor. Seorang bapak-bapak melihat kerudung yang kukenakan, spontan berkata, "Hati-hati lho, di sana nanti laki-lakinya banyak yang ganteng banget, dan perempuannya banyak yang luar biasa cantik." Kebingungan aku pun berkata, "Terus kenapa jadinya kalau ada yang cantik dan ganteng?" Bapak itu pun melanjutkan sambil terkekeh-kekeh, "Yah, semoga kerudungmu jangan sampai dilepaskan. Asal tahu saja, godaannya luar biasa besar sekali." Oh, iya, batinku ... mudah-mudahan saya mampu menjalaninya.
Pada kesempatan lainnya, aku bertanya kepada beberapa orang perihal pengalaman pribadi dengan penerbangan internasional. Dari penjelasan panjang lebar tentang perbedaan sistem transit bagasi penerbangan internasional dan lokal, hingga ke nasihat untuk tidak kelayapan atau asyik berfoto-foto di luar bandara, akhirnya sampailah ke obrolan santai, dengan canda dan gelak tawa. Ketiga teman baruku tergelak-gelak membayangkan worst case scenario, sekiranya koperku sudah tiba dengan selamat di Swedia sementara akunya sendiri masih berputar-putar tersesat di Amsterdam, Paris, atau Istambul.
Meski menyenangkan, kutahan godaan untuk berlama-lama di kelompok yang asyik ini. Aku sengaja berpindah-pindah grup dan tempat duduk, karena waktuku semakin berkurang dan masih banyak yang belum kuajak bicara. Sampailah pada kesempatan untuk mengobrol dengan beberapa staf kedutaan, mengenai kota-kota yang aman untuk ditinggali, kesan-kesan mereka mengenai Jakarta, hingga tak sengaja menyentuh harga sembako a.k.a sembilan kebutuhan pokok. "Bapak berasal dari Stockholm? Itu kota yang mahal bukan?" kataku. "Tergantung" jawabnya, "yang mahal di sini pun bisa jadi murah di sana". Dengan sekejap, aku jadi tahu bahwa harga ayam satu kilogram atau jus buah satu liter adakalanya lebih murah di Stockholm daripada di Jakarta. Yang masih belum bisa kucerna tapi tak relevan untuk ditanyakan, mengapa harga petai bisa lebih mahal dari daging sapi?
Jarum jam pun bergerak ke angka 9. Aku mulai celingak-celinguk bertanya ke kiri dan kanan, mencari standar atau adab yang paling sopan untuk berpamitan. Tampaknya waktu telah mengizinkan, dan aku pun memulainya dengan bapak-bapak asal Stockholm yang mengobrol denganku tadi. "Ooh" ujarnya, "es-em-pe nih yeee ... sudah-makan-pulang, he he he ... " Bule ini pun tertawa melancarkan sindiran dengan bahasa Indonesia yang sempurna, dan aku hanya bisa melongo menahan malu.
Bagaimanapun, aku tidak tega membuat keluargaku berlama-lama menungguku pulang. Setelah berpamitan kepada semua yang kira-kira kukenali di acara ini, aku pun menutupnya dengan bertemu nyonya rumah. Selain mengucapkan terimakasih atas perhatian, keramahan, dan hidangan yang lezat, kusampaikan bahwa studiku adalah tugas belajar dari instansi. Duta Besar pun memuji tempatku bekerja sebagai pelopor reformasi birokrasi di Indonesia. Selain itu, ia menegaskan sepanjang karirnya di sini tidak pernah mempunyai pengalaman buruk atau melihat hal-hal yang kurang terpuji dari instansiku. Alhamdulillah, betapa bangganya.
Kredit foto: Kedutaan Besar Swedia.
Catatan:
Tulisan ini saya buat beberapa tahun yang lalu. Setelah lama merasa ragu, saya rasa kini adalah momentum yang tepat untuk untuk membagikannya di sini. Beberapa hari belakangan, banyak bermunculan berita mengenai situasi yang semakin memanas di kawasan Timur Tengah, khususnya mengenai aksi boikot-memboikot antara Qatar dan negara-negara tetangganya.
Tak lama setelah jamuan makan malam pada 14 Agustus 2013 itu, masih teringat betapa terkejutnya saya membaca berita bahwa Sang Nyonya Rumah mendapatkan surat tugas mendadak, ditunjuk untuk pindah menjadi Dubes di Qatar sampai dengan sekarang. Awalnya semua terasa tidak relevan. Seperti mutasi biasa. Tapi kini saya baru menyadari bahwa ada sesuatu yang penting terjadi, sehingga mutasi yang terasa mendadak itu kini menjadi masuk akal. Mungkinkah situasi kemelut yang terlalu 'panas' lebih membutuhkan diplomasi yang feminin daripada kekuatan adu otot dan argumentasi?
Selain itu, tulisan ini juga saya buat demi mengobati penyesalan karena semalam tidak memenuhi undangan jamuan buka puasa bersama Dubes Denmark. Saya baru membaca berita, bahwa ia adalah Digital Ambassador pertama di dunia. Pelopor "techplomacy," yaitu suatu strategi baru di bidang kebijakan publik dalam era digital ini, yang (mungkin) akan saya kupas pada tulisan berikutnya.