Gawai


Bentukmu sangat mudah digemari oleh semua kalangan
Bentukmu sangat cepat berubah sesuai dengan jaman dan kebutuhan
Bentukmu sangat fashionable makanya banyak kaum hawa menggemari

Teknologimu berusia sangat pendek hingga setiap saat bisa berubah
Teknologimu menjangkau seluruh dunia bahkan luar angkasa
Teknologimu digunakan untuk kebaikan terkadang ada juga untuk kejahatan

Adanya dirimu dapat melupakan hubungan sosial dan pertemanan
Adanya dirimu memudahkan akses informasi dunia
Adanya dirimu memudahkan travelling dengan ala backpacker

Ketiadaanmu lebih berharga daripada sebuah surat perjanjian pernikahan
Ketiadaanmu dapat mengembalikan langkah yang sudah jauh untuk kembali
Ketiadaanmu dapat menyurutkan status di dunia maya

Namun bagaimanapun bentuk, teknologi, keberadaan dan ketiadaan mu
telah memberikan warna dalam sebuah kehidupan di dunia ini


#terinsipirasigawai
##edisilamunansore

Puisi ini dapat dilihat juga pada laman https://rulyardiansyah.blogspot.co.id/2017/06/gawai.html

Petualangan Damar – Flashback

Perjalanan jauh yang ditempuh dengan kecepatan tinggi dengan motor hingga menuju tepi pantai di perbatasan kota, telah membuat Damar sadar bahwa segala sesuatunya tidak bisa dilakukan dengan emosi sesaat. Hal ini dilakukan Damar setelah bertengkar hebat dengan sahabat, pasangan hidup, rekan kerja, mantan pacar dan idolanya, Tiara. Hal sepele yang dipertentangkan dalam pertengkaran itu. Damar sekarang cenderung lebih memperhatikan motor tuanya, Vespa 125 (VNA2) diproduksi tahun 1958 dibandingkan dengan dirinya. Terkadang Tiara merasa menjadi seorang diri ketika Damar sedang sibuk dengan si Vespa. Bahkan saat vespanya sedang sakit dan butuh perawatan, Damar rela meluangkan waktunya untuk si vespa, sehingga Tiara pergi sendiri dengan kendaraan keluarga yang dimiliki oleh Damar. Pernikahan Damar dan Tiara telah berjalan kurang lebih 12 tahun lamanya. Mereka dikarunia 2 orang anak. Anak lelaki pertama bernama Pujangga Anak Damara dan sudah duduk di kelas 7 SMP. Anak perempuan kedua bernama Anggria Anak Damara dan masih duduk di kelas 5 SD.

                Jauh sebelum menikah dengan Tiara, Damar adalah seorang anak muda yang penuh dengan petualangan dan berani mengambil tantangan. Latar belakang akademis Damar juga tidak kalah mumpuni. Dia dianugerahi kemampuan otak kanan dan kiri yang seimbang, sehingga Damar tumbuh dan besar dengan banyak teman dan supel serta memiliki kemampuan akademis yang diatas rata-rata. Damar juga hidup dengan serba berkecukupan tanpa kekurangan sedikit pun. Orang tua Damar juga termasuk tokoh yang cukup disegani di kampung sekitar daerah Subang, Jawa Barat. Ayahnya adalah seorang lurah yang baik dan jujur dalam menjalankan amanah sebagai pejabat desa. Ibunya Damar tidak bekerja dan hanya membantu tugas sang suami dalam bekerja sebagai lurah. Orang tua ibunya Damar termasuk keluarga yang cukup kaya dengan hamparan perkebunan teh terhampar luas sekitar daerah Subang.

                Damar tumbuh menjadi seorang pemuda yang berani menerima tantangan dan suka menolong. Sejak kecil hingga sekolah menengah atas, Damar besar di daerah Subang dan berkuliah di sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta. Perjalanan hidup Damar termasuk yang tidak banyak likunya. Damar juga gemar membantu warga sekitar kampungnya yang sedang dalam kesulitan. Damar sangat kenal dengan wilayah di sekitar kampungnya. Damar pun pandai berenang dan senang bermain sepakbola. Jika bermain sepakbola, Damar bermain sebagai posisi winger yang memberikan assist kepada striker. Setelah lulus dari sekolah menengah atas, Damar pergi ke Jakarta dan mendaftar di perguruan tinggi negeri. Damar mengambil jurusan arsitektur dan disinilah dia berkenalan dengan calon partner dan istrinya di kemudian hari, Tiara. Saat kuliah, Damar dan Tiara merupakan sosok yang dikenal baik dan ramah serta menjadi idola diantara teman seangkatannya. Tiara yang tinggi bak peragawati meskipun bukan tapi keramahan dan kecerdasannya telah meluluhkan hati Damar yang tidak mudah jatuh hati kepada wanita.

                Perjalanan Damar dan Tiara berlanjut hingga ke lingkungan pekerjaan. Damar bekerja sebagai arsitek yang menekuni bidang perumahan dan menjadi andalan di salah satu perusahaan di tempatnya bekerja. Tiara juga bekerja di bidang yang sama namun beda perusahaan. Hubungan mereka berlanjut ketika kedua perusahaan melakukan kerjasama atas sebuah project dan disanalah mereka di pertemukan kembali. Damar sebagai head project  di perusahaannya dan sementara Tiara hanya sebagai second assistant atas project perusahaannya. Rasa cinta yang telah ditanam sejak masa kuliah terus tumbuh ketika mereka dipertemukan kembali dalam project yang sama. Akhirnya mereka memutuskan untuk menikah dan memiliki rumah dengan disain yang dikembangkan oleh berdua di wilayah Sentul, Jawa Barat. Pernikahan mereka berdua dikaruniai anak laki-laki dan perempuan. Secara duniawi, kebutuhan mereka sudah lebih dari cukup dan tidak kekurangan sedikitpun. Dari sisi religious, mereka termasuk keluarga yang mengerti batasan-batasan dalam Islam.

                Setelah beberapa tahun menikah, Damar mulai menyukai segala sesuatu yang berbau vintage,  antik dan kuno. Karena falsafah yang ada di benaknya, antik dan kuno itu keren dan gak ketinggalan jaman, masih up to date. Pilihannya jatuh kepada vespa dan motor jenis Norton dan BMW yang model klasik. Diantara beberapa kendaraan yang antik itu, hanya Vespa yang dapat menarik perhatian Damar. Sementara istrinya, berusaha menjadi istri yang baik sambil mencoba bekerja di rumah. Perusahaan Tiara, memperbolehkan pegawainya bekerja di rumah khusus yang perempuan. Karena toleransi ini, perusahaannya memperoleh sertifikasi ramah kepada gender perempuan. Makanya Tiara belum berkeinginan untuk keluar dari perusahaannya.  

***

Kisah ini dapat dilihat di laman : https://rulyardiansyah.blogspot.co.id/2017/06/petualangan-damar-flashback.html

Antara Pesan Ibunda dan Tanggungjawab Moral

Gaung “ujian nasional’ beberapa minggu terakhir melanda beberapa kota di Indonesia tidak terkecuali Bekasi. Gaung ini berlaku untuk tingkatan sekolah menengah pertama. Setiap pelajar kelas 9 mempersiapkan dengan matang datangnya sudden death  bagi beberapa siswa ini. Meskipun hanya 4 pelajaran yang diujikan yaitu IPA, Bahasa Inggris, Matematika dan Bahasa Indonesia, namun hasil dari “ujian nasional” ini akan merubah 360 derajat semangat, perilaku dan nasib para pelajar ini. Sekolah juga tidak kalah sibuknya mempersiapkan para pelajarnya dalam menghadapi “ujian nasional” ini hingga mempersiapkan beberapa kali try out. Pihak sekolah perlu menjaga kredibilitas berdasarkan tingkat kelulusan para pelajarnya. Makanya pihak sekolah sangat berkepentingan terhadap tingkat kelulusan. Karena jika tingkat kredibilitas ini terjaga, maka sekolahnya bisa menjadi acuan dan pilihan bagi para calon pelajar yang lulus dari sekolah dasar. Meskipun pemerintah menjalankan program wajib belajar 9 tahun, tidak serta merta pihak sekolah dan para pelajar santai menghadapi “ujian nasional”. Sementara para orang tua pelajar tidak mau berspekulasi jika anaknya hanya diterima di sekolah menengah atas yang biasa aja.

            Kisah perjuangan para pelajar ini sangat beragam. Ada yang anaknya diikutkan kursus di lembaga pendidikan tertentu, ada yang mendatangkan guru privat  ke rumah dan ada juga yang biasa-biasa dalam menghadapi “ujian nasional” ini. Diantara para pelajar itu ada seorang bernama si Fulan. Fulan ini termasuk di luar kriteria yang disebutkan tadi. Fulan ini merupakan anak pemulung dengan penghasilan yang biasa-biasa aja. Masuk sekolah aja sudah merupakan prestasi yang terbaik menurut pihak sekolah. Pihak sekolah terkadang merasa iba dengan kondisi di Fulan. Kabar baiknya, pihak sekolah membebaskan segala biaya atas si Fulan ini. Adanya mekanisme subsidi silang diantara orangtua pelajar yang mampu dengan yang tidak mampu cukup membuat pelajar seperti si Fulan tidak terbebani. Selama bersekolah, si Fulan ini mengalami pasang surut dalam mengikuti pelajaran sekolah. Fulan merasa dia tidak harus berada di sekolah ini. Hal yang membuatnya bertahan adalah karena permintaan ibundanya agar tetap bersekolah. Hubungan baik dengan ibundanya menunjukan bahwa Fulan ini merupakan anak yang patuh. Ayahnya yang sibuk menjadi pemulung dengan penghasilan yang tidak menentu, membuat Fulan tidak peduli dengan sekolah. Fulan pun ingin menjadi pemulung jika tidak ditegur ibundanya. Hingga suatu saat, ibundanya mengalami sakit yang tak kunjung sembuh karena masalah biaya berobat. Keluarga Fulan pun tidak ada akses ke Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Sakit ibundanya Fulan tak kunjung sembuh hingga kematian memanggilnya.

Setelah kematian ibundanya ini, si Fulan semakin kuat keinginannya untuk tidak bersekolah. Kegiatan bersekolah Fulan semakin tidak ada wujudnya dan pihak sekolah berkepentingan seperti cerita di awal. Menjaga tingkat kelulusan hingga 100 persen merupakan hal yang menjadi perhatian pihak sekolah. Pihak sekolah mengerahkan segala daya upaya agar si Fulan dapat bersekolah dan mengikuti “ujian nasional” dengan baik tanpa melihat hasil yang baik. Seminggu mendekati “ujian nasional” Fulan pun tak kunjung masuk bersekolah. Hingga terdengar kabar bahwa dia ikut dengan ayahnya menjadi pemulung di daerah Pulogadung, sementara dia bersekolah di Bekasi. Akhirnya diterjunkan pasukan dari sekolah untuk mencari Fulan. Saat masa “ujian nasional” tibapun, Fulan pun tidak hadir dan segala urusan adminsitratif telah diselesaikan pihak sekolah.  Usaha dari pihak sekolah berbuah hasil, Fulan ditanya dan dihimbau agar mau mengikuti “ujian nasional” susulan. Maka Fulan mengikuti ujian itu dengan pengawasan dari pihak sekolah. Selesai sudah mengikuti “ujian nasional” itu, Fulan pun kembali lagi menjadi pemulung. Hasil “ujian nasional” si Fulan pun biasa aja, tapi pihak sekolah memiliki target bahwa anak didiknya lulus semua. Pihak sekolah memang berjuang keras agar anak didiknya lulus dan itu menjadi kredibilitas yang baik bagi pihak sekolah. Namun apa yang membuat pihak sekolah berjuang mati-matian mencari si Fulan? Ibundanya Fulan yang menghadap Kepala Sekolah agar jika dirinya tidak dapat menemani Fulan, mohon dijaga anak lelaki satu-satunya untuk bisa tetap bersekolah dan lulus hingga akhir sekolah usai. Kepala Sekolah sudah memegang janji kepada almarhumah dan akan menepati permintaan ibunda si Fulan. Hingga di momen kepala sekolah menepati janjinya dan kepentingan menjaga kredibilitas sekolah, tidak terbayang oleh saya bagaimana kelanjutan nasib seperti si Fulan hingga ke jenjang berikutnya?

Cerita ini berhenti hingga disini, tetapi masih banyak fulan-fulan lainnya di belahan dunia lain, yang tidak terjangkau oleh sekolah, seperti permohonan ibunda Fulan dan ambigu Kepala Sekolah. Apapun itu, cerita ini merupakan fakta untuk menjadi bahan renungan dan rasa syukur karena kita masih diberikan kesempatan untuk memberikan pendidikan yang terbaik untuk anak-anak kita. Semoga dunia menjadi lebih baik. 

Tulisan ini dapat juga dilihat di laman : https://rulyardiansyah.blogspot.co.id/

Monolog : Anak Burung yang Ingin Berenang



Pagi ini cerah.

hemmm....aku baru saja keluar dari lengan mama yang besar, yang telah melindungiku dari udara dingin semalaman.

"Mama, aku lapar...aku ingin makan...mamaa...."

Tiga saudaraku berteriak-teriak riang, teriakan kami itu...sayup....terdengar dari bawah seperti nyanyian alam dari sebuah pohon yg rindang.

"Baiklah......"   mama tersenyum, memandang kami,
"Tunggu sebentar, mama akan cari makan buat kalian"

Mama mengembangkan kedua lengannya, dan pergi...
Setelah mama pergi, kami kembali bernyanyi lagi.

Sepasang kaki besar hinggap di rumah kami,,,.ooh tidak, itu bukan kaki mama...kakinya besar sekali dan....manakah ujungnya.....??
Mataku melihat keatas, dan bertatapan dengan sepasang mata hitam yg tajam menatap kami.
Ketiga saudaraku berteriak ketakutan
dan...
aku terbang...dalam sekejap mata ke angkasa...

"Mau kau bawa kemana aku? turunkan aku, kataku....tau gak sih cengkeraman tanganmu menyakiti aku...."
tapi rontaanku tak berarti apa-apa,

Tiba-tiba aku mendarat di setumpukan jerami empuk
Enak sekali buat merebahkan tubuhku yg sakit ini.....tapi aku ingin mama....

Mataku mencari-cari mama.
"Mamaa dimana..." teriakku, dan aku berjalan....

Berjalan terus....berteriak memanggil mama....

Di kejauhan nampak segerombolan anak-anak dan mamanya sedang berjalan kearahku.
hey...mereka mirip sekali denganku....apakah itu mamaku?
"haloo...kalian mau kemana? bolehkah aku ikut dengan kalian?"
"hai lihat...aku sama seperti kalian, tubuhku kecil, bentuk mulut dan hidungku mirip kan dgn kalian, suaraku.....hey... apakah kalian tidak mendengarkan aku?"

Kakiku berjalan mengikuti langkah mereka.

"Sekarang apa? kalian tak berhenti juga ketika sampai di tepi danau...?"
"ooh baiklah, kalian ingin aku seperti kalian kan?"

Satu persatu anak masuk kedalam air mengikuti mamanya.....dan mereka mengapung di permukaan air...

Akupun bersiap masuk kedalam air, kuceburkan tubuhku ke dalam air, dan bersiap mengambang
Oo...ada yg salah....knp tubuhku tak juga mau mengapung....kucoba lagi dan lagi..

Dan gerombolan itu semakin jauh....hey, tunggu aku....

Kenapa aku tidak bisa? pikirku sedih...
mereka sama seperti aku..kenapa aku tidak bisa seperti mereka?

Aku diam terduduk di tepi danau,

Tapi tunggu dulu.....apa itu berlari menuju ke arahku sambil menjulurkan lidahnya
Matanya liar menatapku, sembari memamerkan taringnya yang runcing
Instingku berkata ini BAHAYA

Tak sadar kaki kecilku berlari menjauhinya, terengah-engah sambil berkata,
aku ingin pulang...aku ingin mama...

Berlari...berlari...peluh mengucur di sekujur tubuhku, kedua lenganku terangkat..
dan wow.....kenapa tubuhku terasa ringan? bumi jauh dibawahku...
lihat, aku bisa terbang...riang aku berputar senang...berputar, naik turun di angkasa...
aku akan mencari mama, teriakku
dengan sayapku ini, aku yakin mama akan kutemukan!!

Terbang tinggi di angkasa, nyanyianku spontan tercipta....

Iya mama, aku tau, memang aku tak bisa seperti anak-anak itik itu, tapi aku punya kemampuan lain yang baru kusadari, dan bisa kukembangkan, Hharapan bertemu mama dengan sayapku ini telah membuat aku kembali bersemangat. Aku terus bernyanyi....
cuuiitt...cuuiit...

Pagi ini tetap indah...kurasa


(Terinspirasi kisah burung kecil di Tom & Jerry).









Ki Dalang Lurah

Marni memandangi wajah suaminya yang berpeluh. Marni memegang dahi suaminya. Hati Marni berdegup kencang karena suhu badan suaminya panas, tapi sedingin es ketika Marni memegang telapak kaki suaminya.
Marni bingung karena hari sudah sangat larut. Hanya bunyi jangkrik yang terdengar. Bunyi jangkrik yang bagi Marni terasa sedang berpesta pora membuat Marni kesal karena dia menganggap jangkrik itu sedang menertawakan ketidakberdayaannya .
Tak seorangpun yang bisa dimintai tolong oleh Marni malam itu. Kedua anaknya sudah tidur sejak sore tadi. Anaknya masih berumur sembilan dan lima tahun, belum bisa membantu Marni. Marni juga tak mau mengganggu tetangganya yang sepertinya sudah terlelap dalam tidur karena kelelahan bekerja sepanjang hari. Saat itu, Marni merasa jadi orang yang paling sengsara di muka bumi. Akhirnya Marni hanya bisa mengompres dahi suaminya. Diulanginya terus sampai ayam berkokok di kala pagi.

***
“Bu… Bapak kenapa, sakit?” tanya Banu anak Marni yang pertama. Marni mengangguk.
“Kamu siap-siap ke sekolah ya, nak. Sebelum sekolah antar dulu adikmu ke rumah Simbah, ya! Ibu harus jaga Bapak,” pinta Marni kepada Banu. Ibu Marni tinggal tak jauh dari rumah Marni. Biasanya kalau Marni berjualan barang kelontong ke pasar pagi sampai siang hari, Ayu, anak kedua Marni dititipkan di rumah ibunya.Siang hari baru dijemput.
“Dibawa ke Puskesmas aja, Bu. Ada Bu Dokter baru, kata temenku Bu Dokter itu baik,” ujar Banu kepada Marni.
Marni teringat cerita Mbak Atikah, tetangganya beberapa hari yang lalu. Mbak Atikah bercerita, waktu sakit, dibawa ke Dalang Bandi, dalang yang terkenal di desa Bojongsari, tempat tinggal Marni. Katanya tak lama setelah meminum air yang diberi doa Ki Dalang, tak lama kemudian anak Mbak Atikah sembuh. Masih kata Mbak Atikah lagi, Ki Dalang melarang sering menasehati warga Bojongsari untuk tidak datang  ke Puskesmas karena menurutnya Dokter di Puskesmas belum berpengalaman mengobati orang sakit. Selain itu datang ke Puskesmas repot karena sering ditanya soal kartu asuransi.
Cerita Mbak Atikah membuat Marni ragu membawa suaminya ke Puskesmas. Marni tak punya kartu seperti yang dibilang Mbak Atikah.
“Iya, nak.Nanti Ibu bawa Bapakmu ke orang yang bisa ngobatin,” jawab Marni kepada Banu.
“Puskesmas ya, Bu!” ujar Banu mengingatkan Marni.
“Iya. Sekarang kamu siap-siap sekolah, ya. Bawa adikmu!”Banu berlalu dari kamar Ibunya. Setelah mengambil tas sekolahnya, Banu menggendong adiknya. Banu mendudukkan Ayu di jok belakang sepedanya. Dengan hati-hati Banu mengayh sepedanya.

***
Pagi hari Bandi sudah bangkit dari tempat tidurnya. Kepalanya terasa sakit karena semalam Bandi mendalang di pesta perkawinan seorang warganya. Bandi terkenal dengan sebutan Ki Dalang Lurah, karena selain menjadi Dalang, beberapa bulan yang lalu Bandi terpilih menjadi Lurah di desa Bojongsari dengan suara mutlak, mengalahkan tetangga seberang rumahnya.
Bandi berjalan menuju ruang tamu. Dengan perutnya yang besar,  Bandi berjalan perlahan-lahan. Dia duduk di sofa ruang tamu seperti kebiasaannya setiap pagi. Rambut panjangnya yang sebagian besar sudah memutih diikatnya dengan karet gelang.
Di meja tamu sudah tersedia segelas kopi hitam dan setoples roti kering kesukaannya. Tak ketinggalan sebungkus rokok di samping gelas kopi menemaninya menikmati pagi .Setiap pagi istrinya selalu sigap menyediakan semua keperluan Bandi tanpa mengeluh.
Bandi menyalakan rokoknya. Asap rokok mengepul dari mulutnya dan memenuhi ruangan tamu rumahnya. Dituangkannya kopi kedalam piring kecil agar kopinya cepat dingin. Piring kecil diangkatnya. Mulutnya menghembuskan udara untuk meniup kopi yang masih panas. “Assalamualaikum,” terdengar suara orang dari balik pintu rumahnya.
“Bu, ada tamu. Buka pintunya!” teriak Bandi kepada istrinya. Dengan tergopoh-gopoh istrinya berlari dari dapur membukakan pintu rumahnya. Bandi masih duduk di kursinya sambil menyeruput kopi dari piring kecilnya.
Seorang wanita yang menggandeng lelaki dengan wajah pucat berpeluh muncul didepan pintu. Istri Bandi mempersilahkan keduanya duduk di kursi yang berada depan Bandi. Kemudian kembali ke dapur. Bandi tak bergerak dari tempat duduknya. Dia mengambil rokok yang masih menyala dari asbak dan mengisap dalam-dalam.
“Ada apa kalian datang kemari?” Bandi bertanya dengan suara berat agar terdengar berwibawa dan meyakinkan lawan bicaranya. Bandi memang mahir menirukan segala jenis suara sejak dirinya terjun ke dunia perdalangan.
“Nganu Ki Dalang Lurah, suami saya sakit. Badannya panas.Sudah dua hari belum turun juga suhu badannya,” ujar perempuan itu dengan nada khawatir.
“Siapa nama suamimu?” tanya Bandi.
“Kardiman, Ki Dalang Lurah.” Kardiman menjawab sambil mengatupkan kedua tangannya di dada karena menggigil kedinginan. Berbanding terbalik dengan peluh yang bercucuran di dahinya.
“Nama sampeyan sendiri siapa?” tanya Bandi kepadaperempuan yang datang bersama Kardiman.
“Marni, Ki Dalang,”jawab perempuan itu.
“Ki Dalang Lurah!” suara Bandi agak meninggi mengingatkan Marni.
Nggih, Ki Dalang Lurah,” suara Marni tergagap.
“Susah lho jadi Lurah. Perjuangannya berat, biaya juga sudah keluar banyak.Tahu ndak?”
Marni hanya menunduk mendengar penjelasan Bandi.
“Jadi, maksudmu datang kesini mau ngobatin suamimu?” tanya Bandi. Marni mengangguk perlahan. Rasa khawatir mulai memasuki hatinya.
“Sebentar,” Bandi bangkit dari duduknya dan berjalan menuju lemari kaca. Di lemari kaca itu terdapat beberapa buah keris yang dipajang. Bandi mengambil salah satunya. Marni melirik suaminya yang sepertinya hanya bisa pasrah menunggu apa yang akan dilakukan Ki Dalang Lurah kepadanya.
Istri Bandi muncul dari dapur dan membawa semangkuk bunga mawar berwarna merah dan putih serta baskom yang berisi air. Bandi menuangkan bunga mawar kedalam baskom. Dicelupnya keris yang dipegangnya kedalam baskom yang berisi air dan telah ditaburi bunga mawar. Marni menahan nafas menunggu kejadian selanjutnya.
Bandi menuang air dari baskom kedalam gelas.Diserahkannya gelas itu kepada Kardiman.
“Minum air cucian keris ini untuk mencuci nasib sial dari badanmu. Besok siang segala sial akan hilang. Badanmu demam karena ada orang yang ndak suka sama kamu. Orang itu sedang mengirimkan penyakit di tubuhmu. Nanti kubawakan sisa airnya di botol. Minum tiga kali sehari saja!” Kardiman meminum air dari gelas yang disodorkan Bandi. Dahi Kardiman berkerut saat meminum air itu, tapi saat ituKardiman hanya bisa pasrah saja.
“Agar kedepan terhindar dari sial, kalian harus menebus sisa air cucian keris ini!” sambung Bandi.
“Berapa ongkos tebusannya Ki Dalang Lurah?” tanya Marni ketika suaminya selesai minum air itu.
“Aku ndak pernah ngasih harga. Seikhlasnya saja.Yang penting cukup buat beli rokok  satu pak,” Marni terkejut mendengar perkataan Bandi. Satu pak rokok itu kan banyak juga. Marni membuka dompet dan menyerahkan dua lembar uang berwarna merah kepada Bandi.
“Satu lagi,” pinta Bandi sambil melirik ke arah dompet Marni. Marni hanya bisa pasrah dan menyerahkan selembar uang berwarna merah kepada Bandi. Padahal uang itu adalah tabungan Marni untuk membelikan Ayu sepatu.
***

“Dokter, tolong suami saya. Badannya panas tinggi dan belum turun juga,”
“Sudah berapa lama badan suami Ibu panas?” tanya Dokter Sita.
“Sudah empat hari, Bu Dokter,” jawab Marni panik.
“Sudah dikasih obat apa?” tanya Dokter Sita kembali.
Marni menggelengkan kepala. Tak mungkin Marni berterus terang bahwa suaminya sudah meminum ramuan dari Ki Dalang.
Dokter Sita memeriksa badan Kardiman. Sesekali ditekannya perut Kardiman dengan ujung jarinya.
“Sepertinya Pak Kardiman terkena demam berdarah, Bu. Tapi perlu cek darah untuk memastikannya. Mudah-mudahan saya salah,” ujar Dokter Sita.
Marni terdiam dan merasa bersalah kepada suaminya.
“Apabila hasil cek laboratorium positif demam berdarah, Pak Kardiman harus segera dirawat di rumah sakit,” lanjut Dokter Sita.
Marni tertunduk lesu. Mirna bingung darimana ia dapat uang untuk membayar rumah sakit.
“Ibu mendaftar saja untuk mendapatkan asuransi kesehatan untuk membiayai pengobatan Bapak.  Kalau Ibu bingung nanti petugas Puskesmas akan membantu Ibu,”
“Terima kasih, Dokter,” ujar Marni lega.
Marni keluar dari ruangan Dokter Sita sambil menggandeng suaminya.
“Bapak Bandi!” terdengar suara Suster memanggil pasien berikutnya.
Terlihat oleh Marni seorang laki-laki setengah baya dengan wajah pucat berjalan tertatih-tatih menuju ruang periksa Dokter Sita. Wajahnya pucat dan tampak tanpa daya. Pandangan matanya kosong dan nanar. Sesekali terdengar suara batuk laki-laki itu. Lutut Marni langsung lemas dihantui perasaan malu dan bersalah kepada suaminya.
Ki Dalang Lurah tak berdaya menghadapi penyakitnya sendiri.
Jakarta, 6 Juni 2017



WE CARE

Pada saat bekerja di hotel Hilton Adelaide, saya pernah mendapatkan training "We care". "We care" ini adalah program kepedulian lingkungan yang dicanangkan oleh jaringan Hilton hotel Australia. Saya tidak tahu apakah program ini merupakan "worldwide program"-nya mereka atau bukan.

"We care" bukanlah suatu program yang rumit, yang butuh banyak dana untuk menjalankannya, sangat sederhana. Pemicunya "hanyalah" keprihatinan terhadap kondisi lingkungan yang banyak tercemar. Keprihatinan akan semakin langkanya sumber daya alam. Kekhawatiran akan kehidupan generasi mendatang. Program ini mungkin bukan murni program internal Hilton hotel dan jaringannya, karena pemerintah Australia juga memiliki kebijakan yang relatif sama. Apa yang dilakukan di Hilton juga dilakukan di kehidupan sehari-hari masyarakat Australia. Suatu pekerjaan yang sangat sederhana, namun butuh kesadaran dan konsistensi yang tinggi. 

Inovasi yang dilakukan di Hilton dengan "We care"-nya antara lain dengan memisahkan sampah menjadi 4 jenis; general waste, paper, bottle/tin, dan recycle, mematikan lampu/ac yang tidak terpakai untuk menghemat daya, menyumbangkan sejumlah dana untuk penghijauan dari setiap tamu yang dengan sukarela meminta agar kamarnya tidak dibersihkan, bekerja sama dengan SA Cycling untuk memfasilitasi setiap tamu yang ingin bersepeda keliling kota, dengan tujuan mengurangi polusi. Fasilitas yang sama diberikan kepada pegawai yang mau berangkat dan pulang kerja dengan bersepeda, sejumlah uang akan didepositkan atas nama pegawai yang bersangkutan untuk kemudian bisa diambil di akhir tahun dan banyak lagi hal-hal sederhana lainnya, seperti "gunakan tangga untuk naik 1 (satu) lantai dan turun 2 (dua) lantai".

Semua inovasi yang dilakukan terbukti mempunyai dampak yang signifikan bagi lingkungan. Kegiatan memisahkan sampah kertas dengan sampah lainnya ternyata mampu mengurangi kerusakan lingkungan akibat sampah kertas sampai dengan 65% ! suatu angka yang cukup luar biasa. Dan itu baru merupakan catatan dari Hilton Adelaide, belum jaringan Hilton lainnya ataupun dari rumah tangga.

Australia bukanlah negara yang gemah ripah loh jinawi, dan itu mereka sadari betul. Upaya-upaya untuk menghemat sumber energi menjadi perhatian utama. Pemerintah membuat kebijakan-kebijakan dan masyarakat pun dengan kesadaran ikut melaksanakan. Apa yang dilakukan di Hilton tersebut di atas, tentunya juga dilakukan di entitas-entitas lain, pun di masyarakat, dengan cara dan kemasan yang mungkin berbeda. Bagi yang pernah tinggal di sana tentunya sudah sangat terbiasa dengan hal-hal tersebut. Saya dan keluarga pun demikian. 

Seandainya, ya seandainya, ribuan 'putra-putri terbaik bangsa' yang sudah mengenyam pendidikan dan tinggal di Australia ataupun negara-negara lain mengimplementasikan 'pelajaran-pelajaran yang tidak diajari', kayaknya Indonesia akan maju deh. Sebagaimana pesan Bapak Menteri Kominfo (M. Nuh) pada saaat pelepasan penerima beasiswa Kominfo  "nikmati setiap detik yang kalian punya di luar negeri, pelajari semua hal yang bisa berguna bagi negara, tidak hanya gelar Master atau Doktor untuk kebanggaan pribadi". Ya, menjadi seorang Master atau Doktor tidak secara otomatis menjadikan seseorang berguna bagi negara, kontribusi nyata-nya lah yang diperlukan, bukan gelarnya. 

Seandainya, ya seandainya, masing-masing orang "care" dengan negara ini, keberlangsungan hidup anak cucu nanti, dan tidak terlena dengan mantera "gemah ripah loh jinawi", pasti Indonesia akan jadi lebih kaya. Memang masih harus banyak belajar, bukan belajar sesuatu yang belum diketahui, tapi belajar mengimplementasikan apa yang sudah diketahui, dilihat dan dipelajari. Start with care, end up with welfare.

Karena Satu Ampulnya Begitu Berharga

Pertama kali saya mendengar kata donor darah saat tingkat dua kuliah di STAN. Waktu itu, idealisme sebagai mahasiswa sedang tinggi-tingginya. Kayaknya, keren bangettt nih bisa memberi sesuatu buat kemanusiaan. Walaupun membayangkan jarum akan masuk lamaaaa menembus kulit dan pembuluh darah, lalu darah itu mengalir keluar dari tubuh, sempat membuat lemas sekaligus cemas. Apa gue ga bakal pingsann yaa?

Alhamdulillah, pengalaman pertama (dan ternyata jadi pengalaman terakhir donor di kampus) ga bikin paranoid. Proses pengambilan darah lancar jaya. Sang jarum tidak perlu ditusuk, tapi dicabut lagi, untuk kemudian ditusuk lagi di tempat berbeda, demi mencari pembuluh darah yang bisa lancar mengalirkan darah.

Setelah bekerja, kadang-kadang motivasi donor lebih materialistis. Supaya dapat sarapan gratis lah, suvenir unik lah, atau koleksi penghargaan 10 kali donor, 20 x donor, dst. Anehnya, ketika niat saya bener-bener ingin sarapan gratis atau suvenir, adaaaaa saja halangan sehingga ga jadi donor. Tiba-tiba ketika pemeriksaan Hb, ternyata di bawah ambang batas. Jadinya ga boleh donor kan. Atau, Hb mepfett lolos lewat ambang batas, ternyata tekanan darah terlalu rendah, ga jadi seneng-seneng deh pamer suvenir.

Cita-cita dapat piagam 10 x pun selalu pupus dalam waktu hampir 2 dasawarsa, iya ... 19 tahun. Setelah tercatat dalam kartu sekitar 5 kali donor, tiba-tiba kecopetan, sang kartu turut hilang: 2 kali seperti ini, sebelum PMI mengotomasi sistemnya. Selanjutnya, karena hamil, menyusui, hamil lagi, menyusui lagi, atau jadwal donor di kantor berbenturan dengan periode bulanan perempuan.

Ketika benar-benar vakum mendonor hampir 5 tahun, saya justru baru terusik untuk mencari tahu bagaimana sih hukumnya secara agama kalau darah yang saya sumbangkan masuk ke dalam metabolisme tubuh orang lain. Apa mereka menjadi mahram saya, yang berarti juga bagi anak-anak saya? Alhamdulillah, dengan mengandalkan mbah Google, saya dapat beberapa referensi yang meyakinkan saya, bahwa sebagai pendonor, saya tidak melanggar ketentuan agama, sepanjang tidak membahayakan diri saya. Pun, darah yang didonasikan tidak menyebabkan pendonor jadi mahram bagi penerima. Referensi lengkapnya bisa dilihat, antara lain, di pranala berikut yaa:

https://konsultasisyariah.com/5741-donor-darah.html
https://almanhaj.or.id/2199-kondisi-yang-memperbolehkan-transfusi-darah-hukum-donor-darah.html

Dalam periode bisa-dan-tidak bisa yang tak beraturan itu, sedih juga kalau dapat informasi dari mulai zaman pesan pendek, mailing list (dulu ga ada grup wa), Fb, sampai tiba era nya telegram & whatsap: butuh donor segera, namanya x, golongan darah A, persediaan di PMI habis, yang bersangkutan kecelakaan dalam kondisi kritis. Padahal, zaman belum marak medsos, golongan darah saya, katanya, bisa menyumbang ke semua pemilik golongan darah. Saya jadi membayangkan, bagaimana kalau saya atau salah seorang keluarga dalam kondisi kritis itu, tapi darah tidak tersedia?

Akhirnya, saya menyiasati halangan donor tersebut. Kalau jadwal donor di kantor bersamaan dengan periode bulanan, saya menyingkirkan kemalasan dan, dengan sedikit usaha, pergi ke kantor PMI seminggu setelah haid selesai. Untuk mengatasi Hb dan tekanan darah, saya ikut tips dari om Rumah Kaca untuk minum susu di pagi hari sebelum donor. Tips ini saya tambah dengan makan hati ayam di tukang bubur nasi. Mumpung masih tergolong orang yang boleh donor, karena ternyata ga semua orang boleh mendonor.

Dengan siasat ini, alhamdulillah lama kelamaan kartu donor saya kembali terisi secara beraturan. Kalau sekarang sihh, motivasi saya donor lebih karena mengharap pertolongan ketika suatu saat saya atau keluarga membutuhkan. Na'udzubillah, kalau boleh meminta, jangan sampai mengalami keadaan darurat. Hanya saja, saya termasuk orang yang percaya, apa yang saya tanam sekarang, bisa dituai kemudian hari. Meski bukan untuk saya, bisa jadi untuk suami, anak, cucu, bahkan cucunya cucu saya. Karena satu tetesnya, ehhh satu ampul dinggg, darah begitu berharga buat kehidupan. Iya engga sih? 🌾






Tenggara

Tenggara (South-East) adalah irisan miris antara selatan dan timur. Dunia ini telah terkotak-kotak, baik sengaja atau tidak, sesuai dengan arah mata angin dan ada stereotip ngawur di balik penyebutan arah-arah itu. Ada Negeri Barat. Ada orang-orang Timur. Ada Negeri Timur Tengah; Negeri Timur Jauh. Perjalanan ke Barat Mencari Kita Suci. Dan lain sebagainya.

Barat berasosiasi dengan kemajuan, kehebatan, bebas, kapitalis, sekaligus kebejatan moral. Sedang arti kias untuk timur adalah kemiskinan, demokratis, keramahtamahan, dan mistis. Utara, sebagaimana barat, dapat untuk mewakili kemajuan, kekayaan, kesetaraan, liberalis, dan juga sosialis. Sedangkan selatan adalah kemiskinan, hidup sederhana, kebodohan, padat penduduk, terbelakang, tetapi pongah. Jadi, tenggara adalah matriks mengenaskan dari keramahan, kebodohan, terbelakang, mistis, kemiskinan, dan bawah.
Hasil gambar untuk peta dunia
Peta Dunia (sumber: Google Search - InfoIndonesiaKita.com)
Belum lagi dalam koordinat GPS, selatan dan timur dinotasikan dengan angka negatif. Jika bola bumi yang bulat ini dibentangkan menjadi peta datar, Indonesia dan Australia berada di pojok kanan bawah (dari sudut pandang gambar: pojok kiri bawah). Artinya: tenggara. Sebab di pojok tenggara, rasanya agak jauh dari ‘peradaban’. Jadi sebenarnya saya tidak mudeng kenapa dulu Indonesia disebut berada pada silang strategis jalur pelayaran.  Kalaupun iya, karena memang Indonesia di kelilingi samudera dan sedikit tetangga daratan, yasudahlah ya. Lihatlah jaman sekarang di mana lalu lintas udara lebih diandalkan dan Indonesia tidak berada pada silang strategis penerbangan itu.

Lihatlah peta dunia itu, Asia berada berada di sisi timur, karena memang memiliki koordinat bujur timur. Di Asia, negara-negara paling timur sekaligus paling selatan menamai diri mereka dengan Asia Tenggara. Di Asia Tenggara sendiri, negeri paling selatan dan paling timur adalah Indonesia. Di Indonesia, ada pulau-pulau yang oleh negeri itu disebut sebagai Nusa Tenggara. Nah, perjalanan kita kali ini menyapa saudara kita yang ada di pulau paling tenggara dari negeri paling tenggara di Asia paling tenggara. (sebenarnya ada yang lebih tenggara sih, yaitu Australia, tapi itu tidak di Asia dan biar sesuai dengan tema kali ini, maka Australia kita sekip aja).

Maafkan kami (saya) yang hanya mampir sebentar dan sudah gitu menilai dengan sebelah mata soal “tenggara” ini. Tapi jujur saja, ini memang kesan pertama ketika mendengar nama dan letaknya di Bumi yang bulat ini: Nusa Tenggara Timur (Nusa Selatan-Timur Timur dengan dobel timur!). Dan demi menjaga agar kata-kata tidak menyakitkan Saudara-saudara yang ada di sana, mending foto saja yang berbicara.

Jalur Susu a.k.a Milkyway (dokumen pribadi)
Mendengar kata Waingapu, yang terbayang pertama adalah gelap. Bukan warna kulit atau masa depan, tapi langit malam. Sayangnya jadwal berkunjung ke sana bertepatan dengan ayyamul bidh. Terang bulan akan mendominasi bentang malam tiga hari berturut-turut. Kesempatan memotret Bimasakti hanya ada waktu sempit di penghujung malam, sebelum fajar, pada kesempatan pertama sampai di sana.

Ada sebuah kalimat yang pernah saya dengar di komunitas orang-orang yang suka bengong di bawah langit malam selatan, yaitu ‘melihat polaris’ (melihat rasi bintang penunjuk kutub utara). Setahu saya, itu artinya: pergi ke utara di negeri 4 musim, merantau dalam rangka kuliah. Utara, 4 musim, dan kuliah adalah kombinasi legit di balik cita-cita ingin melihat polaris.
Kampung Raja Prailiu (credit: Mba FitMS)
Menemani mbak-mbak traveller adalah kebetulan yang alhamdulillah. Maaf ya mbak saya upload foto ini. Makasih lho.

Pantai Watu Parunu (dokumen pribadi)
Di Kebumen juga ada sih pantai semacam ini. Ke pantai ini aksesnya susah boy. Tak tahulah gimana bisa nyampe. Tapi seru.
Pantai di Belakang Hotel yang Surut di Sore Hari (dokumen pribadi)

Mama Berkisah tentang Raja-raja di Desa Rindi

Rumah Adat di Desa Rindi
Barangkali tidak adil membandingkan NTB dan NTT, karena saya sempat ke ibu kota NTB (Mataram) dan belum pernah ke ibu kota NTT (Kupang). Sebagaimana saya pernah ke Trawangan tapi hampir mustahil menengok ke Nihiwatu. Tapi NT Barat dan NT Timur ini memang banyak bedanya. Tidak bermaksud SARA, tapi NTB mengenalkan diri pada dunia dengan wisata halalnya (walaupun di Senggigi dan Trawangan miras dan obat terlarang ditawarkan tanpa malu). Sedangkan banyak orang berkunjung ke Larantuka, NTT, demi melihat tradisi Paskah di sana. Lombok menjuluki dirinya sendiri sebagai Pulau Seribu Masjid, sedang masjid raya di Waingapu saja masih bagusan masjid di kampung saya kemana-mana.

Semoga ini tidak ada kaitannya dengan pemakaian kata 'barat' dan 'timur' pada nama masing-masing propinsi (ingat stereotip ngawur soal arah di awal tulisan ini).
Credit: Wasis P.
Ini adalah titik paling selatan yang pernah saya pijaki. Secara pribadi saya juga lebih ingin pergi ke utara-barat (barat laut) meski tidak ada hubungannya dengan arah kiblat Muslim Indonesia. Mungkin karena saya juga orang timur dan selatan. Di kampung saya, laut hanya berjarak tiga puluh menit bersepeda (kurang dari 10 km lah). Dari pantai itu, kalau kamu berlayar lurus ke selatan, kamu tidak akan menemui secuil pun daratan sampai bertemu Antartika. Jarak dari pantai di Kebumen sampai ke Antartika itu mencapai 80 derajat lintang lho. Kebayang kan seberapa “selatan” Kebumen itu?

Salam,
AM

PS: Maaf ya ternyata ga banyak cerita soal Waingapu dan NTT. Semoga sudah pernah membacanya di blog lain. Lagian, judulnya kan cuma 'tenggara'.