Klub Film


Jika suami saya menikmati buku ini dari sudut pandang bahwa buku tersebut menyajikan review dan kritikan film yang cerdas, maka saya menikmatinya dari sisi hubungan ayah dan anak yang sangat romantis. Memang betul, setengah dari buku itu bercerita tentang film-film terbaik dunia  sampai yang terburuk sekalipun, akan tetapi sebagian besar dari film-film itu adalah film lama (tahun 1930 – 1990) yang tak pernah saya tonton. Agak sulit bagi saya untuk berimajinasi hanya dengan review yang terpotong-potong. Akan tetapi satu hal yang bisa dipelajari dari kritikus film seperti David Gilmour tersebut, bahwa film itu tidak bisa dipisahkan dari sutradanya. Ketika mengingat atau menyebutkan satu film, maka jangan pernah melupakan siapa sutradaranya. Seumpama mencicipi kue yang super enak, kau harus tau siapa peraciknya, untuk dapat mencicipi kue selanjutnya yang kemungkinan besar lebih enak atau sama enaknya.
Bagi David Gilmour, The Godfather adalah film yang sangat memukau dan memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan film dunia sampai saat ini, dan Francis ford Coppola dan Marlon Brandon adalah sutradara dan aktor favoritnya. Tetapi kita tidak akan membahas itu. Saya lebih terkesima dengan David Gilmour atas cintanya kepada anaknya Jesse yang sangat elegan itu.  Cinta yang hanya dimiliki oleh orang tua kepada anak. Cinta yang tidak bisa dibandingkan dengan hubungan percintaan dua sejoli yang paling romantis manapun. Cinta yang mengakar di seluruh sel dan serabut pembulu darah. Cinta yang rela mengorbankan apa saja, tanpa berharap balas jasa. Membaca tulisan ini membawa saya kembali mengunjungi bilik-bilik memori saya, saat-saat masih tumbuh besar bersama orang tua. Cinta mereka bisa sangat nyata tetapi sekali waktu bisa dalam bentuk tangan-tangan tak terlihat. Dan kita, anak yang tidak tahu diuntung ini, terkadang menerima itu sebagai kekangan yang menyesakkan. Ah, sungguh memalukan.
Jesse, diusianya yang ke 15 tahun, menunjukkan gejala anti terhadap pendidikan formal atau sekolah. Nilainya anjlok, setiap pagi ijin berangkat ke sekolah, nyatanya tidak sampai di sekolah, atau hanya melewati sekolah, sekalinya sampai ke sekolah taunya berbuat onar dan vandal. Gilmour tidak bisa tinggal diam, dia tidak bisa memaksa anaknya terus mengikuti keinginannya untuk terus bersekolah seperti anak-anak lain. Belajar harus tulus dari dalam hati, bukan karena terpaksa. Akhirnya sampailan dia pada keputusan penting. Dia mengizinkan Jesse untuk berhenti sekolah, selama Jessie mau menonton 3  film bersamanya setiap minggu, dan tidak memakai kokain dan obat-obatan terlarang.  Jesse hampir tidak percaya dengan keputusan Bapaknya. Akan tetapi, apapun akan dia lakukan, yang penting tidak sekolah.
Tidak mudah bagi Gilmour membuat keputusan tersebut. Dia harus berdiskusi sengit dulu dengan ibunya Jesse sampai bercucuran air mata. Gilmoaur tidak habis pikir dengan sikap mantan istrinya tersebut yang tidak berani keluar dari mainstream. Sementara, dulu mereka bertemu diacara anak punk, mantan istrinya itu bahkan merupakan vokalis band punk. Punk identik dengan pemberontakan dan kebebasan. Lantas kenapa dia menjadi begitu ketakutan sekarang.
Namun pada akhirnya, mereka sepakat dengan keputusan Jesse berhenti sekolah. Ibunya Jesse meyakini, seorang anak laki-laki lebih membutuhkan sentuhan didikan seorang bapak tanpa mengurangi peran ibunya. Jalan Jessie masih panjang, banyak hal yang bisa terjadi di depan sana.
Di saat yang bersamaan, pekerjaan Gilmour mengalami masa paling kritis. Dari pembawa acara TV yang terkenal, tiba-tiba tak ada satupun tawaran yang datang, tidak ada tawaran menulis ataupun membuat film. Dia bahkan pernah melamar jadi Kurir, tapi ditolak karena usianya sudah di atas 50 tahun. Yang paling ditakutkan oleh Gilmour adalah keputusannya membiarkan Jesse berhenti sekolah salah. Dia takut telah mendorong anaknya sendiri jatuh ke dalam sumur dalam dan gelap yang tidak ada jalan keluarnya. Apalagi dirinya sekarang adalah seorang pengangguran. Harapannya semoga keputusannya mengajak Jesse menonton minimal 3 film dalam seminggu merupakan bentuk pendidikan lain yang bisa dia berikan kepada anaknya.
Sisi baiknya, Gilmaour jadi banyak waktu untuk menghabiskan waktu bersama Jesse menonton film dan mendiskusikannya. Hubungan mereka menjadi semakin intim. Tidak hanya berdiskusi soal film, mereka bahkan membicarakan hal yang paling intim sekalipun, yang biasanya hanya dibicarakan dengan teman saja tidak dengan orang tua. Jesse menjadi sangat terbuka kepada Bapaknya. Gilmour membangun pola hubungan yang equal, dia tidak ingin ditakuti oleh anaknya sendiri. Bagian yang manis adalah saat Jesse putus cinta, kembali ke rumah dan menceritakannya kepada Bapaknya, dengan lemah Jessi bertanya apakah dia kelihatan cengeng kalau menangis di depan Bapaknya? Atau saat Jesse mengakui telah memakai kokain dan obat-obat terlarang sampai mengalami hangover parah. Jesse mengakui tidak memiliki kemampuan untuk berbohong kepada Bapaknya.
Setelah dua tahun berlalu tanpa sekolah, Jessie memutuskan untuk bekerja paruh waktu. Mulai dari menjadi marketing majalah pemadam kebakaran yang ternyata palsu, sampai menjadi tukang cuci piring. Gilmour awalnya memandang sebelah mata niat anaknya, ah paling bertahan beberapa lama. Tapi seperti yang terjadi pada kebanyakan orang tua, ekspektasi terhadap anak yang sering salah. Gilmour berkata bahwa selalu ada ruang dalam diri anak yang belum terjamah, kita para orang tua selalu merasa paling mengenal anak sendiri, tapi nyatanya tidak. Jessie ternyata mampu bertahan menjadi tukang cuci piring selama 6 minggu dan naik pangkat menjadi anak magang di restoran. See, anak yang nakalnya minta ampun, tiba-tiba mau  melakukan pekerjaan seperti itu. Di restoran itulah dia bertemu dengan temannya yang seorang rapper. Dan bakatnya menulis lagu tumbuh dari situ.
Bagian yang melankolis adalah ketika Jessie pergi keluar kota, Gilmour tidak bisa menapikkan kegelisahan dan kerinduanya kepada Jessie. Di tengah malam, dia mengendap-endap menuju kamar Jessie dan memandangi seluruh sudut di dalam kamar, duduk di ranjang, dan menyadari bahwa anaknya sudah tumbuh besar, sebentar lagi akan meninggalkannya.
“ketika duduk di ranjang itu aku sadar bahwa dia tidak akan pernah kembali lagi sebagai sosok yang sama. Mulai sekarang dia adalah tamu. Tetapi masa itu, masa tiga tahun dalam kehidupan seorang pemuda dimana biasanya dia akan mulai mengunci diri dari orang tuanya, sungguh merupakan sebuah anugerah tak teduga yang menakjubkan dan langka”
Atau saat Jessie menelpon bapaknya di tengah malam yang dingin ketika habis mengisap kokain dan menanyakan “apakah Bapak masih menyayangiku? Aku sayang Bapak.” Ah masih adakah percakapan seintim itu antara anak dan Bapak di zaman sekarang ini.
Jesse diusianya yang ke 20 (kalau tidak salah) memutuskan untuk sekolah penyetaraan dan melanjutkan sekolahnya di universitas, sepertinya dia mengambil jurusan sastra atau perfilman (dibukunya tidak disebutkan dengan jelas). Jesse juga tumbuh menjadi kritikus film yang jauh melebihi kemampuan bapaknya.
Buku ini mengisahkan satu teladan, bagaimana seorang Bapak yang begitu sabar menghadapi anaknya, dan mengantarkannya menantang dunia. Ini yang sering diabaikan oleh para orang tua, memposisikan diri sebagai sosok yang selalu benar dan doyan mendikte, tanpa berusaha menyelami pribadi dan kemauan anak.
Saya menyukai bagian ini “membesarkan anak merupakan rangkaian ucapan selamat tinggal, satu per satu, kepada popok –popok dan kemudian kepada jaket-jaket tebal dan akhirnya kepada anak itu sendiri”.

Pernah dimuat di http://niarluthfi.blogspot.co.id

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Edisi     : Soft Cover
ISBN      : 9792277757   
Tgl Penerbitan : 2011-12-00
Bahasa  : Indonesia
Halama : 288   















Jalankan Nasib seperti Menjalankan Sepeda

Jalani Nasib Seperti Kau Mengendarai Sepeda

Sudah banyak filosofi kehidupan dengan analogi bersepeda. Menurut saya ini sangat subyektif karena hanya orang2 yang suka bersepeda yang (kemungkinan) memahaminya. Sah-sah saja lah, toh yang hobi catur pun bisa membuat filosofi kehidupan dari hobinya. Atau hobi-hobi lainnya, bebas.

Salah satu filosofi hidup yang terkenal adalah quote dari Albert Einstein yang berbunyi "life is like riding bicycle, to keep balancing you have to keep moving" atau banyak lagi yang lainnya.

Sekarang saya ingin menambahkan filosofis subyektif: menjalankan nasib sama seperti menjalankan sepeda; cepat-lambat, berat-ringan, semua tergantung pada pikiranmu, tangan dan kakimu.

Tak sesederhana quote-nya Einstein memang, karena saya tak sejenius beliau, tapi percayalah, quote ini baru saya dapatkan ketika saya gowes pagi sampai siang tadi.

Sepeda modern, umumnya memiliki multi-speed yang dihasilkan dari kombinasi sprocket dan chainring. Untuk yang awam dengan istilah ini, sprocket adalah kumpulan gir yang dipasang di as roda  belakang. Sedangkan chainring adalah gir yang tersambung ke pedal. Chainring dan sprocket dihubungkan dengan rantai. Chainring dan sprocket dikendalikan oleh shifter, semacam tuas yang dipasang di handlebar (setang).

Di awal-awal bersepeda, saya juga beranggapan komponen-komponen tersebut hanya untuk mengatur kecepatan. Tidak sepenuhnya salah, tapi ternyata filosofinya lebih dari sekedar itu.

Intinya bersepeda adalah bagaimana menjaga keseimbangan dan kestabilan sesuai kenyamanan kita. Ketika kenyamanan kita terganggu, misalnya akibat kontur jalan berubah (menanjak, menurun dsb) kita akan menyesuaikan kecepatan dengan mempercepat atau memperlambat putaran kaki, memindahkan posisi rantai di chainring dan sprocket dengan menggerakkan shifter, lebih menundukkan badan atau bahkan memutuskan turun dan menuntun sepeda kita.

Sama halnya dengan menjalani nasib. Kita menjalaninya dengan kenyamanan kita. Ketika suatu saat kenyamanan tersebut terganggu; perekonomian tiba-tiba memburuk atau bahkan tiba-tiba menjadi baik, secara otomatis pikiran kita, tangan dan kaki kita melakukan respon untuk menyesuaikan kenyamanan kita dengan situasi nasib yang berubah.

Tangan kita akan bekerja lebih keras, kaki kita akan melangkah lebih jauh, pikiran kita akan selalu mencari jalan untuk mempertahankan gerak tangan dan kaki sampai pada kenyamanan yang sama atau bahkan memutuskan untuk menyerah pada nasib.

Persis sama dengan bersepeda tadi. Jalani nasib seperti menjalankan sepeda. Ketika nasib merubah kenyamanan kita, kita sudah paham harus menurunkan atau menaikkan 'kecepatan' supaya kita dapat menjaga kestabilan hidup kita. Keberhasilan bersepeda juga sama dengan keberhasilan hidup, pikiran adalah kuncinya. Sekali kita berpikir tidak mampu, kita akan memilih turun dan menuntun sepeda daripada menggerakkan tangan dan kaki untul menstabilkan kecepatan. Sekali kita berpikir gagal dalam hidup, maka tubuh kita; tangan dan kaki kita, akan berhenti berusaha.

Rumit? Tidak juga, yang diperlukan hanya kesabaran dan ketekunan berlatih, semua akan terbiasa, otomatis.

Bagaimana kalau tidak suka bersepeda? Ya silahkan anda renungkan hobi anda masing-masing 😄.

Di Sini

aku masih di sini
dipenuhi ingatan
sapa yang pertama datang

aku masih di sini
entah pada siapa
akan kutitipkan

pada siang yg terburu-buru
menjadi petang
atau pada malam yang berlari
menjadi pagi

aku tetap di sini
masih terpegang erat
keinginan yang tersipu malu
untuk menampakkan diri

Kirimkan Saja Alif Doa, Bu


Waktu akan ditinggal ibunya sekolah lagi di tahun 2009, Alif yang belum genap berusia 7 tahun adalah anak kecil yang sangat bergantung pada ibu. Kegagapannya dalam mengekspresikan rasa sayang kepada sang adik, membuat dia cenderung cengeng dan pencemburu, sehingga kurang cocok dengan ayahnya. Jadilah ibu sebagai pelabuhan kegalauan dan pencurah perhatian buatnya.

Ibu hanya marah besar, sampai kepalanya berasap dan keluar tanduk, kalau Alif tidak mau makan dan susah mandi. Kalau Alif tidak mau sholat, ibu cuma berkata,”Lihat, Kak! Tabungan pahala kakak di pojok kamar sana berkurang banyak sekali.” Dan kadang-kadang sugesti imajinasi ini lebih berhasil daripada gelegar suara tegas sang Ayah.

Atau kalau Alif pulang dari sholat berjamaah bersama Rozi di mesjid, sesampainya di rumah dan mencium tangan ibu, ibu dengan ekspresif membentangkan tangannya satu ke atas dan satu ke bawah seolah-olah membawa tumpukan barang yang banyak dan berat. Lalu ibu berkata,”Aduh lihat, kak! Pahalanya banyak sekali sampai 27 derajat karena kakak mau sholat berjamaah di mesjid. Kita simpan di pojok kamar lagi, ya?” Dan sepertinya Alif senang, karena tabungan yang satu ini tak akan habis dipakainya untuk membeli mainan.

Ibu paling senang saat-saat menjelang tidur, dan mungkin momen itu juga berkesan sekali buat Alif. Mereka akan membaca setidaknya satu buku anak-anak, atau satu bab dari novel dewasa. Mulai dari buku-buku flip off, bebek yang malas belajar mengerami telur, Totto Chan, Laskar Pelangi, bahkan terakhir, mereka sudah membaca satu bab dari buku Sang Pemimpi.

“Engga apa-apa ya, kak ibu belajar dulu. Yang bayarin sekolah ibu pemerintah Jepang, kak. Jadi, ibu harus sekolah di Jepang.” Alif selalu berusaha mengerti permohonan ibunya, tapi sepertinya tetap saja ia sulit memahami kenapa ibunya mau saja sekolah di Jepang dan meninggalkan dia.

Yang dia faham, dia harus tetap bermain untuk melewati waktunya tanpa ibu, makan yang benar supaya sehat dan tidak bikin ibu sedih, sholat lima waktu mendoakan ibu cepat pulang. Tanpa dia tahu, dia bahkan membuat ibunya tertawa dan bahagia di ujung seberang lautan saat berkali-kali dia berinisiatif bermain tebak-tebakan setiap ibunya menelfon.

“Bu, kenapa Superman takut sama matahari?”

Jawaban a,b,c, … sampai e dari ibu salah dan ibu menyerah,”Kenapa dong, kak?”

“Karena takut eS-nya meleleh bu.” Oooo … ibu bengong.

“Trus, kenapa coba Bu, Superman terbang?”

“Kan punya sayap, kak. Namanya juga Superman.”

“Ya salah, lah Bu. Karena … kalo dia setir mobil, namanya Sopir, man!” Kikikik … ibu mulai tergelitik lucu.

“Ibu payah nih. Sekarang coba apa bedanya pintu, wayang, sama bau?”

“Aduh, susah amat sih kak.” Dan seperti biasa, jawaban a sampai r ibu salah.

“Yang betul, kalo pintu di ketuk, wayang di kotak dan bau …. Hahahaha … di ketek, bu!” Kali ini ibu tertawa nguakaaak.

Setelah puas mengerjai ibunya yang hampir master tapi ga becus menjawab pertanyaan-pertanyaan konyolnya, dia memberi kesempatan ibunya untuk memberinya tebakan. Dan ibu selalu sok ilmiah.

“Sekarang gantian, kak. Kalo ibu kota Jepang apa?” Inggris, Jerman, India, Belanda, Malaysia, Indonesia, Banten? Kalo pertandingan bola, ibu sudah babak belur kebobolan goal.

“Kalo gunung yang ada di antara pulau Sumatera dan Jawa, namanya gunung apa?” Pasti yang ini dia ga bisa. Di globe kan ga jelas.

“Krakatau, bu.” Ibu heran,”Kok kakak tahu?”

“Kan ibu cerita waktu kita jalan-jalan ke Cibodas,” jawabnya yakin membuat ibu tambah bangga.

Lain waktu, setelah tak pernah berhasil memberi jawaban tepat atas tebakan Alif, ibu yang sok ilmiah ingin memantau kemampuan perkalian anaknya. Kan sudah kelas dua SD! Fikir ibu.

“2 x 3?” Tanya ibu. “6!” Jawab suara mungil di seberang sana. “Alhamdulillah, anak ibu ingat.

“3 x 3?”. Sepi merayap di ujung sana. Hmmm … Alif berfikir. Batin ibu senang.

“Sebelumnya pertanyaan ibu berapa kali berapa?” Ibu lalu mengulang dan mencoba memberi petunjuk.

“Ohh .. 9 bu, jawabannya”. Lalu, dengan suara bangga yang lebay, ibu menjawab,”Subhanallah… anak ibu pintar”.

“3 x 4 …. 3 x 5 …. 3 x 6 ….” Lho? Kok menjawabnya dalam hitungan kurang dari satu menit semua?

“Wah … kakak udah hafal ya perkalian 3?” Tanya ibu ge-er.

“Belum, bu. Kan ada kalkulator di handphone.” Suaranya begitu polos tak berdosa …

Ibu cuma menghela nafas … Setidaknya dia kenal manfaat lain dari tekhnologi bernama telefon genggam.

Begitulah … sebelum ia faham apa artinya menjadi dewasa, Alif menjadi pribadi yang lebih dewasa menguatkan ibunya. Mandiri dan pengertian, meski masih sering pemberontak kalau di suruh sholat dan belajar oleh pengasuhnya.

Sebulan di Jepang, ibu mengirim paket pakaian dari Niigata. Ibu bahkan lupa melihat catatan di brand nya, apakah made in Japan, China, atau Indonesia.

Alif, Najib dan Tante Dhilah senang-senang saja dapat kiriman dari Jepang mampir ke rumah mereka yang masih tak berbentuk di desa sederhana di pedalaman Tangerang (ironisasi …)

Bulan kedelapan, ketika adiknya Najib berulang tahun, ibu mengirim lagi dua buah mainan Hercules yang bisa terbang dengan remote control. Dan Alif bertanya,”Emang kalo kirim hadiah dari Jepang ga mahal, bu?”

Lalu ibu menjawab dengan mengatakan bahwa biaya kiriman itu setara dengan SPP nya di SD Islam satu bulan.

“Wah … mahal, ya bu.” Haa … apa matematikanya ada kemajuan?

“Kalau gitu … ibu ga usah kirim-kirim lagi aja. Nanti aja bawa pesanan aku kalau ibu pulang.”

“Kan, kakak mau ulang tahun?”

“Ga papa … bu. Ibu kirim doa aja … supaya aku bisa jawab kalo ulangan.”

Ibu senyum-senyum mendengarnya. Rapor sudah dua kali dibagikan dalam setahun mereka berpisah. Ibu tahu mulai banyak nilai 6 yang ‘unjuk gigi’ padahal sebelumnya tak pernah punya kesempatan tampil di rapor Alif.

“Iya, sayang … ibu selalu doain kakak, kok. Tapi … kalo mau bisa jawab ulangan itu … ga cukup cuma berdoa, kakak. Kakak juga harus belajar. Ngerti, sayang?” Ah … ibu! Kau paksa lagi Alif untuk menjawab,”Iya …bu.”

Tapi … malam itu ibu senang. Pengembaraannya mencari ilmu di negeri orang akan segera berakhir. Berkat doa keluarga dan kedewasaan Alif yang menenangkan. Siawase desu yoo. 🌾

Jangan Disatukan Si Pintar dan Si Bodoh

Saya baru memahami mengapa negara-negara maju semakin maju saja dan negari miskin semakin terpuruk. Itu kesimpulan dari pemahaman saya setelah membaca teori yang dikemukakan Maskin.
Sebenarnya tulisan ini merupakan rangkuman dari tajuk tokoh di harian Kompas, Jumat, 20 Januari 2017. Judulnya sudah lupa tetapi berkisah mengenai Teori Desain Mekanisme yang dikemukakan Eric Stark Maskin, peraih Nobel bidang Ekonomi 2007.

Dalam skala negara, perbedaan negara maju dan negara miskin adalah dari sisi produktivitasnya. Ukuran produktivitas dalam makroekonomi adalah pertumbuhan ekonomi. Mudah-mudahan masih ingat dengan rumus yang paling diingat oleh orang ekonomi  Y = I + C + G + (X-M). Teori maskin tidak menjelaskan soal ini tetapi ada kaitannya secara tidak langsung. Untuk menghasilkan ‘Y’ atau pendapatan nasional tersebut, faktor yang sangat menentukan adalah produktivitas orang atau masyarkatnya (logis).

Maskin mengemukakan bahwa kesenjangan, baik secara ekonomi maupun sosial (keduanya saling terkait), hanya bisa mengandalkan pemerintah untuk menguranginya. Dalam konteks teori, Maskin menjelaskan bahwa manusia dibedakan berdasarkan kemampuannya: nilai kemampuan 4 (skala tertinggi), 3, 2,dan 1. 

Dalam konteks produktivitas orang yang bekerja dalam perushaan atau organisasi, Maskin menggambarkan produktifitas untuk mengurangi kesenjangan sebagai ‘O’ dengan rumus O = M2 x S. Rinciannya, M adalah kemampuan manajer dan S adalah kemampuan karyawannya. Gambaran untuk menjelaskan mengenai produktivitas tersebut ada pada 2 kondisi berikut.

Kondisi A, manajer dan karyawan beda tipis kemampuannya (kepintaran/kemampuannya). Untuk kondisi ini, lebih baik mereka bekerja sama. Janganlah mereka dikelompokkan dalam kualitas yang setara, Si Sangat Pintar dan Si Pintar dikelompok-kelompokkan tersendiri. Coba perhatikan hitungan di bawah ini.

Suatu perusahaan memiliki ada 2 unit dengan 2 pegawai (manajer dan staf). Manajer mempunyai nilai produktivitas 4 dan staf memiliki nili produktivitas 3. Hasil perhitungan yang didapat apabila kemampuan yang tinggi dan sedikit dibawahnya digabung adalah 96, sebagai berikut:
Unit 1: (42 x 3) = 48
Unit 2: (42 x 3) = 48
Total unit            96

Hasilnya akan berkurang menjadi 91 apabila manajer dan staf dikelompokkan tersendiri sesuai dengan kemampuannya. Perhitungannya menjadi:
Unit 1: (42 x 4) = 64
Unit 2: (32 x 3) = 27
Total unit            91

Yang menarik, Maskin memberi catatan bahwa negara-negara maju lebih suka bekerja sama dengan negara yang kemampuannya setara atau sedikit dibawahnya (tidak jauh-jauh amat). Itulah alasannya, mereka tidak mau produktivitasnya berkurang atau terganggu.

Kondisi B, manajer dan karyawan beda jauh kemampuannya. Untuk kondisi ini, lebih baik mereka dikelompokkan dalam kualitas yang setara; Yang tinggi kemampuannya disatukan dan yang rendah kemampuannya disatukan di kelompok lain. Hasil perhitungannya menghasilkan nilai 72, dengan perhitungan sebagai berikut:
Unit 1: (42 x 4) = 64
Unit 2: (22 x 2) = 8
Total unit            72

Bandingkan apabila mereka dicampur dalam satu kelompok antara pegawai dengan kemampuan tinggi dan yang rendah. Hasilnya atau produktifitasnya menjadi lebih kecil sebagaimana perhitungan berikut:
Unit 1: (42 x 2) = 32
Unit 2: (42 x 2) = 32
Total unit            64

Untuk kondisi B, beberapa catatan Maskin adalah:
1. Negara maju akan membiarkan negara yang mempunyai kemampuan 2, tetap sebagai 2 (selamanya);
2.  Kesenjangan terkadang dibiarkan tetap ada bagi kelompk tertentu karena menguntungkan bagi mereka, istilahnya kesenjangan ini sebenarnya bermuka dua;
3.   Pendidikan yang baik akan membawa pekerja dengan level 2 akan menjadi 3. Selain mengurangi kesenjangan, hal itu akan menjadikan dunia lebih baik.

Jadi, kepada rekan-rekan muda DJA dan sudah S1, bersekolahlah karena sekolah S2 sekarang 'gratis' (karena diberi beasiswa) dan sebelum sekolah itu dilarang (karena kebanyakan yang sekolah dari pada yang kerja).

Aaaahh...gak bakat gue..!!


"Aaah..gak bakat gue..!!"
Keluhan ini sering banget kita dengar atau keluar dari mulut kita pada saat kita gak berhasil melakukan sesuatu. Ya semacam justifikasi atas ketidakmampuan kita. Semuanya kita salahkan si "bakat" dan "bakat" yang tidak tahu apa-apa dengan pasrah menjadi kambing hitam hihihi.

Bunuh Diri Bukanlah Suatu Pilihan, Kecuali Bagi Orang-orang yang ... ??

Bunuh diri merupakan suatu tindakan yang seringkali dilakukan orang tertentu untuk menyelesaikan masalahnya. Seperti kasus baru-baru ini terjadi, yang menimpa manajer JKT 48 yaitu Inao Jiro (48 th) tewas gantung diri di rumahnya di Pondok Aren, Tangerang Selatan. 
Dan penyebabnya disinyalir adalah karena beban pekerjaan yang terlalu berat.

Beban yang terlalu berat inilah yang membuat seseorang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, dengan harapan agar mereka bisa terbebas dari masalah pekerjaan, rumah tangga, ekonomi, dll.

Ingat artis Marlyn Monroe? 
Artis yang banyak dipuja-puji karena kecantikannya ini ditemukan tewas pada tahun 1962 akibat over dosis menelan pil tidur dalam usia 36 tahun, dan kematiannya akibat bunuh diri masih menggema sampai sekarang.

Menurut para ahli ada beberapa penyebab dan tanda-tanda orang yang bunuh diri ini. Antara lain karena depresi, penyakit psikologis, dan adanya gangguan kejiwaan.

Sedangkan menurut ahli dadakan dalam soal bunuh diri (dalam hal ini saya), bunuh diri terdiri dari dua kata. Bunuh dan diri. Jadi bunuh diri artinya membunuh diri sendiri. 
Padahal jika dipikirkan lagi, diri sendiri itu sebenarnya tidak punya salah apa-apa. Jika ada yang harus disalahkan, yang salah itu adalah masalahnya. 
Jadi sebenarnya yang lebih layak dibunuh adalah masalah. Bukan dirinya. 
(lagian sih dikasih istilah bunuh diri, kan orang jadi kepikiran, kenapa gak yang positif aja ya istilahnya. Wkwkwk  jadi 'esomi' niih...)
Kenapa kata bunuh diri tidak kita ubah saja menjadi bunuh masalah ya?

Tapi saya pribadi bingung sama orang yang melakukan bunuh diri ini. 
Apakah sudah sekalut itukah pikiran mereka, sehingga mereka sudah tidak berfikir apa-apa lagi? 
Kalo sudah tidak kepikiran dosa setidaknya memikirkan bagaimana masa depan keluarganya nanti, anak-anaknya, teman-teman, dan fikiran orang-orang tentangnya, paling tidak sebelum mati mereka memikirkan sesuatu dulu gitu, takut 'kek' liat pisau, tembakan, tali tambang, atau takutlah lihat ketinggian.

Kalo tidak merasa takut juga, ya sudah silakan saja diteruskan kegiatan membunuhnya. Wong yang dibunuh juga diri sendiri kok. 
Peduli amat dengan orang lain.
Peduli amat dengan suami atau isteri yang menangis sedih dan nelangsa di hari-hari depan mereka.
Peduli amat dengan anak-anak yang akan menjadi yatim/piatu dan akan menanggung semua resiko perbuatan itu, seumur hidup mereka.
Peduli amat dengan orang tua, keluarga, dan teman-teman.
yang dia pikirkan cuma diri sendiri....
aku, aku, dan aku sudah terbebas dari masalah. Habis. Titik.

Padahal masalah baru sudah menunggu orang-orang yang telah 'membunuh hak untuk hidup dirinya sendiri' di akherat nanti (bunuh diri merupakan hal yang sangat terlarang dalam agama).

"Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah"
(QS. Annisa 29-30)

Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu, dia akan diadzab dengan itu di hari kiamat" 
(HR. Bukhori nomor 6105, Muslim nomor 110)   

Akhir kisah hidup yang tragis bagi manusia. 
Alih-alih berdoa supaya husnul khatimah, tetapi malah dikenang dengan penuh 'kengerian' oleh orang lain, sudah begitu meninggalkan 'warisan' bagi orang-orang yang mencintainya seumur hidup mereka. 
Naudzubillahi min dzalik.



Semoga Allah memberi kita hidayah, kesabaran dan kekuatan dalam mengatasi segala permasalahan dalam hidup kita, sampai ajal menjemput nanti. Aamiin...YRA...









Naik Kreta Juga Butuh Rex*na

Another rules you probably need to know when you're riding KAI Commuter Line :

1. Jangan main HP mulu dan lupa sama dinamika dunia.
Jadi ya Mas, Mbak, selama naik kreta itu turbulence nya banyak, kalo kamu main hp mulu, ga pegangan, trus nyenggol2 sekitarmu tanpa kontrol, jadi sangat mengganggu. Bukan sexis ya, tapi kebanyakan mbak2 ni. Yg nyenggol2 orang seenaknya giliran kesenggol dikiiit langsung mecucu. Kan kamu yg lucu jadi ga lucu lagi .... :3

2. Jangan memaksakan pegangan pada tiang atau tali pegangan (apasik namanya) yang unreachable.
Selama kamu nyata2 belum teken kontrak exclusive dan jadi brand ambassadornya Rex*na Deo Lotion ala Ayu TungTing, atau seenggaknya belum jadi bala jaer, jangan terlalu optimis ketekmu wangi, kering dan aman dari jangkauan anak-anak. Gaes ... Plis ...

3. Jangan buru2 menyerbu kreta yang baru dateng.
Ok ok yg ini udah ada tanda larangannya. Tapi plis gaes, apa susahnya si nunggu sebentar dan mempersilakan penumpang turun terlebih dahulu? Ga ampe dorong2 Bapak Ibu yang sampun sepuh juga dong. Itu cuma kursi kreta, bukan kursi jabatan Gubernur Jakarta. Ga usah segitu napsunya. Halah.
Tapi seriously, kalau emang rejeki gak akan kemana. Tapi kalopun emang bukan rejeki, behaving a little bit nicer won't hurt anybody dan mungkin malah jadi berkah tersendiri.

Sekian ... Dan terima ... aku ... apa adanya. Halah.