Feeling Lazy or Sad After Vacation? That is Post-Vacation Blues

Holiday is already passed, you’re enjoying every second of it. 
You don’t even mind getting stuck in long traffic jam, or paying an expensive ticket for mass transportation. You are totally out of your routines.












Now you’re back with your loved ones.
The passion from sharing your story to your friends at social media like Path or Instagram slowed down. The intensity of your adrenaline rush brought about by traveling is significantly reduced.
Home sweet home! You’re back with routines, like stuck in the city traffic or dealing with clients and pending works.

Suddenly, you feel something is not right, something feel weird.  
You feel sad that you’re back. 
That feeling is called post-travel blues. Yes, it is real and most people even professional travelers (travel journalist or blogger) can attest to this.

Is this normal?
Yes, this is normal. 
Many people who travel on vacation/holiday find themselves experiencing post-vacation blues, also known as post-vacation or post-travel depression. This condition is marked by an overall decrease in well-being and work productivity following a satisfying vacation. Having to get back into the routine of work, school, and daily life in general can be a source of distress, disorientation and discomfort. 
However unpleasant it may be, though, the post-vacation blues can be overcome with a little determination, some perspective, some insight on lessons learned from vacation, and a little self-care.

So is there a way to avoid it?
Maybe we don’t need to avoid it. After all, let’s think it is a good thing. Post vacation blues can open your eyes on what we need to change, so we “don’t sleep” thru our lives doing unimportant things. This symptom can teach us to be more aware of where we sacrifice ourselves unnecessary. This also reminds us to be mindful of where we compromise too much and help us to find our passions.

I need to go back to work but my mind is still in another place. How I can overcome this?
Your mind maybe is still in euphoria from traveling, but your body is now in the office. You tried to explain the best explanation to your friend, but words feel flat. Your friend could not understand what you were saying at that time.

Nah, there are three techniques or ways on how you coped with post-travel blues

1. Plan your next travel adventure.
When you suffer from post-travel sadness, try to plan your next travel in the future. Read some travel blogs to get tips & tricks. Search cheapest fare deals for your next target destination. Watch travel videos on YouTube to get inspiration and motivates you. Planning your next adventure provides yourself with just the right amount of fuel of excite adrenaline that just slowed down drastically.

In a way, it can motivates you to move forward, and slowly accept that your travel adventure has ended. But at the same time, it forces you to focus in your reality, which is work. In order to travel, you need money. And in order to have money, you need to work.

2. Allocate additional days to adjust your mind with reality
Three days ago you were in your hometown, laughing and talking with your parents and big family and now you are facing laptop, opening an excel sheet or word document that you need to review. Suddenly shifting to a normal working life can “shock” everyone.

So in your next travel, allocate additional two days after your return from travel so you can re-acclimate yourself from the usual things that you do. It also gave you time to rest, and absorb all the things that you just experienced during the trip.
  
      3. Document your travels
Another trick to help ease post-travel sadness is by documenting your vacation. Freeze the moment! Each photo you’ve take contains memory, emotion and story. Try to write all your vacation experiences on diary, blog/vlog. You can always go back to your diary/blog/vlog and remember all the travel adventures you’ve had! *wink* (sp2d)

Menu Ala Sarmili

Ini cerita tentang masak-memasak waktu tingkat pertama kuliah dulu. Setelah kita tahu teknik memasak yang baik, ternyata masalah masih selalu datang silih berganti. Benar kata orang tua dulu, tak ada jalan yang dilalui untuk menjadi orang besar, kecuali akan penuh dengan perjuangan. Dan sekarang sudah terbukti, berat badanku naik berkali-kali lipat dibanding jaman kuliah dulu #adaaqua?

...

Kebetulan saya dapat kontrakan di "jalan protokol" Sarmili, kawasan yang populer waktu itu. Kepopuleran jalan atau tepatnya gang Sarmili tidak bisa lepas dari sosok berwibawa pak Haji yang memiliki banyak kamar kos-kosan waktu itu. Ditambah hmmm... anaknya yang bisa jadi bahan pembicaraan dari masa ke masa. Itu menurut yang kos di sana lho ya, kebetulan saya kos di rumah lain beberapa jarak dari rumah pak Haji... #cariaman:P

Lokasinya agak ke dalam lumayan jauh, ditambah lagi kalau hujan, yaah biasalah, becek ! jadi bawaannya malas saja kalau mau makan di luar. Alasan ini juga yang memperkuat ‘kenekatan’ teman-teman untuk ambil keputusan yang paling berat sepanjang hidup selama ini : ‘masak sendiri’ ! Alasan utama adalah ‘tide money policy’ akibat kondisi eksternal (kiriman wesel, red) yang tidak menentu. Mau tahu apa itu wesel, bisa tanya orang tua atau kakek-neneknya (hadeeuh ketahuan di jaman apa ya saya kuliah waktu itu... baiklah)

Yang paling kelihatan siap untuk ‘proyek’ masak sendiri adalah teman baikku, mas Rony, karena dia satu-satunya yang pakai kaos ‘BANKOM’ yang waktu itu diplesetkan sebagai Bantuan Kompor :D.

Meskipun waktu itu kalau kita beli di warteg, selalu pilih menu termurah ‘sego sepalih kalih tempe setunggal bonus teh pait’ (nasi setengah tempe satu plus teh pahit) dengan harga 350 rupiah, tapi tetap saja harus cari cara yang lebih hemat lagi. Dan itu saya rasakan kalau kita masak sendiri. Salah satu trik hemat waktu itu adalah masak mie instan sendiri dan dengan membaginya menjadi dua untuk dua kali makan #betapangensnyaya:D. Kalau untuk membagi mie nya, gampang... tidak ada masalah. Yang sulit adalah membagi dua bumbu nya, kadang-kadang karena pembagian bumbunya tidak pas, separo yang pertama kepedesan dan separo yang kedua kasinan... #nasib.

Salah satu kendala yang kita alami waktu itu adalah kalau hujan deras, air sumur kontrakan keruh banget alias buthek. Tidak tahu persis kenapa bisa seperti itu, mungkin karena kurang dalam. Tapi kalau hujan gerimis aja sih tidak masalah. Sampai suatu ketika pas hujan deras banget dan pada malas keluar untuk makan, kami memutuskan untuk masak saja. Prosedur masak sudah dijalankan sesuai SOP (bukan masak soup ya :P) dan sambil menunggu nasinya masak kita ngobrol-ngobrol sambil terus ngecek jam, soalnya sudah pada laper, perut keroncongan, malahan ada yang ndangdutan... #ehhh.


Pas pada saat yakin sudah masak, saya lihat nasinya, ternyata benar-benar di luar dugaan, nasi jadi kuning ke coklat-coklatan…. Saya bilang ke teman-teman, ‘ini ngeliwet nasi kok jadinya nasi goreng’. Akhirnya teman-teman tidak ada yang berani makan menu baru itu: nasi goreng ala sarmili, hehe.



Anjrit Goyangannya


“Ayo Yah, kami udah siap,” ajak anak kedua saya beserta keponakan untuk segera pergi ke kolam renang.

“Ok,” saya beranjak dari sofa sambil menutup buku dan mengeluarkan motor matic.

Berangkatlah kami bertiga mengendarai motor matic ke kolam renang di dekat perumahan. Hari Minggu, pas libur, dan ada keponakan lagi bermain ke rumah, jadilah acara berenang bersama.

Lebih tepatnya, yang berenang hanya anak saya dan keponakan saja. Saya tidak ikut berenang, hanya sebagai bendahara dan tukang jaga perlengkapan mereka. Tugas bendahara membelikan tiket masuk dan siap-siap memberi uang buat jajan mereka di area kolam renang. Sebagai tukang jaga, saya harus menjaga barang bawaan mulai dari: pakaian, sendal, baju ganti, handuk, sabun, dan barang kecil lainnya.

Mungkin ada yang bertanya, “Mengapa  tidak ikut nyebur berenang?”
Malas saudara-saudara, kayaknya begitu jawaban saya. Mendingan, saya meneruskan aktifitas yang sempat terpotong di rumah tadi: baca buku sambil mengopi dan merokok. Cuman perbedaannya adalah suasanya: kolam renang.

Pas masuk area kolam renang, kami bertiga disambut oleh suara orang lagi mengetes suara, “Tes... satu... satu... satu”. Anggapan saya, mungkin petugas kolam renang bersiap mengumumkan sesuatu kepada para pengunjung.

Setelah anak dan keponakan saya mencebur ke kolam renang, saya mencari tempat semedi, suatu tempat yang nyaman buat baca buku, mengopi, dan merokok. Tepatnya, tempat semedi saya berada di seberang petugas yang sedang melakukan tes suara itu dan dibatasi kolam renang. Sebenarnya, semedi saya agak terganggu dengan suara-suara yang tidak jelas: “Cek-cek ... tes satu satu satu.” Dan itu dilakukannya berulang kali. Andai bukan kolam renang, mungkin sudah ada orang yang memarahi, misuhi, atau melempar sandal kepadanya. Berisik. Untungnya, orang-orang atau pengunjung lebih berkonsentrasi hanya untuk mereguk suasana kebersamaan dengan anak atau keluarganya sehingga tidak terganggu olehnya.

“Selamat pagi kepada para pengunjung kolam renang, kami akan menghibur Bapak-Ibu karyawan pabrik di seputaran Bekasi. Muda-mudahan  sajian kami berkenan dan menyemarakkan hari libur bapak-ibu sekalian.” Dan grup organ tunggal tadi beraksi.

Anjrit, ternyata perkiraan saya salah. Mas-mas yang mengetes suara tadi ternyata MC dari grup organ tunggal. Saya sedikit terkejut karena baru pertama kali melihat pertunjukan seperti ini. Mungkin saya kurang pergaulan, ternyata ada juga pertunjukan organ tunggal di kolam renang di daerah lain menurut Agung, teman saya. Dia pernah melihatnya di daerah Bogor. Bedanya di sana, ada panggung khusus untuk awak organ tunggal tersebut. Dan di depan panggung, ada cukup arena untuk joged. Tapi di kolam renang ini, tidak ada panggung spesial dan 3 meter di depannya sudah terhampar kolam renang.

Anjrit yang kedua kali aku nyatakan karena grup organ tunggal ini menyasar pengunjung dari golongan karyawan pabrik. Mungkin, perkiraannya daerah Bekasi ada banyak pabrik. Saya yang PNS pun dikelompokkannya sebagai karyawan pabrik.

Menurut saya, pilihan kata karyawan pabrik sebenarnya penghalusan dari buruh pabrik. Namun ini bukan pengertian sesungguhnya atau denotasi tapi sudah bergeser menjadi pengertian konotasi. Nilai rasa kata ‘buruh pabrik’ inilah yang sedikit bermasalah dengan harga diri saya sebagai PNS. Dulu pada masa Orba, kata buruh pabrik berkonotasi negatif, bernilai rasa agak rendah, sebagai penggambaran kelompok masyarakat yang bekerja di pabrik dengan gaji sebatas UMR dan hidup di rumah petakan. Meskipun zaman sudah berubah dan tingkat kemakmuran buruh pabrik tidak kalah dengan karyawan kantoran, nilai rasa ini masih tertinggal.

Anjrit yang ketiga kali aku nyatakan karena rasa salut atas strategi pengelola kolam renang untuk menyenangkan pengunjung setianya yang dibayangkan adalah karyawan pabrik. Saya menggunakan kata diperkirakan karena saya bukan karyawan pabrik tapi PNS. Namun jujur, saya terhibur oleh keprofesionalan mereka menyajikan nyanyian bermazhab dangdut tersebut.

Artisnya berpenampilan sopan, tidak seksi apalagi seronok, di pagi hari itu. Jauhlah dari gambaran artis orkes dangdut yang ada di youtube semacam Uut Selly, Lia Capucino, atau Rita Ratu Tawon.  Apalagi Mas MC tadi ternyata berfungsi juga sebagai penyanyi latar. Ia bergoyang dengan kesungguhan artistik seperti Doyok yang lagi bergoyang mengiringi Evie Tamala menyanyikan lagu Selamat Malam. Sungguh natural.

Anjrit berikutnya, saya ungkapkan untuk mengapresiasi pengelola kolam untuk mendapatkan keuntungan, hitung-hitungannya jelas. Apabila pengunjung senang dan menjadi pelanggan setia kolam renang akan berdampak langsung pada pemasukan kolam renang. Coba bayangkan, tiket satu orang Rp30 ribu. Bila pada hari Minggu ada 500 keluarga karyawan pabrik yang terdiri dari 3 orang berkunjung ke kolam renang tersebut. Artinya, omset pada hari itu adalah 500 x 3 x 30.000 = 45 juta. Belum lagi dari sisi keuntungan jualan cemilan dan minuman sebagai sampingannya. Perkiraan saya, omset hari itu sekitar Rp 50 juta-an. Kalaupun, pengelola kolam renang membayar grup organ tunggal Rp5 juta, sisanya masih Rp45 juta.

Anjrit terakhir benar-benar terucap dari mulut saya karena anak dan keponakan sudah meminta pulang dalam keadaan saya masih ‘on’ menyimak pertunjukan aksi organ tunggal ini. Saya juga belum menyelesaikan bacaan buku yang saya bawa. Padahal besok Seninnya, masa berlaku peminjaman buku sudah berakhir.

Mungkin Ia Hanya Meluruskan





"Siapa tega melihatnya mengusap air matanya di pipi. Mata yang tidak tahu cara menyakiti. Aku tahu ia terluka, dan aku anehnya tidak merasa menyesal mengatakannya. Sederhana, karena kuyakin ni benar dan harus dikatakan.
Semoga nanti ia paham, aku hanya ingin meluruskannya saja.."

Di pangkalan ojek, di suatu malam yang melelahkan.Setelah lembur sekian jam, setelah tak hanya energi badan terkuras, tetapi otak rasa terperas.

 Masih saja ia menangis, bahkan semakin deras. Berkali kali diusap sisa air di matanya namun tak habis jua airnya. Ia tahu ada yang memperhatikannya. Jelas saja, ia menangis di pinggir jalan, di sebelah pangkalan ojek. Walaupun tak terdengar isaknya namun gaya seseorang yg menunduk dan mengusap usap mata dan pipi, apalah itu kalau bukan menangis?
Namun ternyata ia tak cukup peduli dengan tatapan sekitarnya.

 Terngiang-ngiang perkataan temannya tadi.
"Kamu itu salah kalau bekerja niatnya untuk menghidupi keluargamu. Kamu kan sudah menikah, utamanya baktimu adalah untuk suamimu. Ayah dan ibumu tidak akan kelaparan kalau kamu berhenti kerja, rezeki kan dari Allah. Kalau memang bekerja, ya niatnya diubah..yaitu untuk mencari ridho Allah.."

Ia menatap hampa pada udara.

"Kalau kamu merasa begitu, ya,, kecenderungannya nanti menduakan Allah. Menganggap bahwa rezeki kamu, orangtuamu, itu dari pekerjaanmu atau dari usahamu. Padahal sejatinya ia dari Allah.."


Ia diam saja, ia sejujurnya terluka karena perkataan itu. Tidak pernah terlintas di pikirannya bahwa ia menduakan Tuhannya. Bahkan berniat bekerja karena kalau tidak bekerja ia bingung dengan nafkah sehari hari orang tuanya pun salah. Itu salah ternyata. Begitukah?

"Ataukah benar aku terlalu sensitif dan tersinggungan?"

"Ya Allah, hamba sakit hati karena dituduh menduakanMu, tapi hamba sejujurnya ingin tahu yg lebih benar dari sisiMu..hamba siap belajar untuk mengenalMu lebih baik".

Ia teringat bait indah Ibnu Qayyim yang pernah dibacanya,
"Andai kamu tahu bagaimana Allah mengatur urusan hidupmu, pasti hatimu akan meleleh karena cinta kepadaNya.”

"Ah.. indahnya mengenang Tuhan.."
Ia kembali merenung dan berpikir..
Ia coba rangkai kembali potongan perjalanan hidupnya, bagaimana ia berusaha keras memenuhi keperluan keluarganya. Ia memang niat bekerja untuk menafkahi mereka dan memberikan kehidupan yg layak dan baik untuk mereka yg sangat ia cintai.

 Ia akui ia takut, takut kalau ia berhenti kerja keluarganya akan kekurangan.
"Tunggu.. ", ujarnya pada diri sendiri.
"Aku.. merasa menjadi pemberi rezeki bagi mereka?"
Ia terkejut dengan pikirannya sendiri.

"Aku, usahaku, dan pekerjaanku yang memberikan mereka kecukupan? Rezeki?"

"Bukan..."
Harusnya ridho Allah yang kuniatkan..

Hatinya seperti terjun ke bawah, 'jleb'..

"Bang, ke jalan mangga ya.."
Akhirnya ia mampu berucap juga.

Di atas sepeda motor ia bergumam kembali dalam hati,

Ya Allah saya mau bekerja,
mencari keridhoanMu,,
karena saya saat ini kondisinya harus berikhtiar dengan cara ini ..
saya memohon ridhoMu, sehingga dengan ridhoMu ini saya bisa menjadikan kerja ini sebagai ibadah kepadaMu..

Dengan ridhoMu atas usaha saya ini, semoga Kau karuniakan rezeki berkah dan halal bagi anak dan keluarga saya..

Bukan karena usaha ini ya Allah, saya dan keluarga mendapat rezeki,, tapi ini semua dariMu..
Ikhtiar kami ini hanya cara kami mencari ridhoMu.. dengannya kami bisa tercukupkan..


"Mungkin..mungkin ia hanya berkata benar."
"Alhamdulillah.."

Mampu dan Peduli



Di dalam bukunya “7 Habits of Highly Effective People”, salah satu ide menarik yang diungkapkan oleh Stephen R. Covey adalah konsep Circle of Influence & Circle of Concern. Kedua istilah ini apabila diterjemahkan bebas ke dalam Bahasa Indonesia  kira-kira akan menjadi “Lingkaran Pengaruh” dan “Lingkaran Peduli.” Konsep ini terkait erat dengan kebiasaan nomor #1 dari orang-orang yang efektif, yaitu kebiasaan bersikap proaktif untuk menyelesaikan tanggung jawab di dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Menurut Covey, orang-orang yang proaktif akan mengalokasikan waktu dan energi mereka  untuk hal-hal yang bisa mereka ubah atau kendalikan. Inilah karakteristik utama yang paling jelas membedakan antara manusia proaktif dengan manusia reaktif. Bertolak belakang dengan pendekatan manusia proaktif, manusia yang reaktif akan menghabiskan waktu dan energi mereka untuk hal-hal yang mereka pedulikan tapi sebenarnya mereka sendiri tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengubahnya. Untuk memahami lebih lanjut, berikut adalah beberapa poin penting yang saya tangkap dari konsep Lingkaran pengaruh dan Lingkaran Kepedulian tersebut:

  1. Dengan memusatkan energi dan waktu kita untuk bekerja  di dalam Lingkaran Pengaruh, sebenarnya kita sedang memperkuat dan memperbesar pengaruh atau kekuatan kita sendiri sehingga bisa mencakup hal-hal lain yang sebelumnya berada di luar kendali kita.
  2.  Apabila Lingkaran Peduli lebih besar daripada Lingkaran Pengaruh, artinya kita menggunakan lebih banyak waktu dan energi untuk mengurus hal-hal yang sebenarnya berada di luar kendali kita sendiri. Bisa jadi itu bemakna bahwa kita adalah manusia yang terlalu optimis. Bisa jadi juga, itu artinya kita belum mengetahui batas-batas kemampuan kita yang sebenarnya.
  3. Apabila Lingkaran Pengaruh ternyata lebih besar daripada Lingkaran Peduli, artinya kita mempunyai kekuatan yang jauh lebih besar daripada yang kita sadari. Bisa jadi itu karena kita tidak tertarik mengatasi beberapa permasalahan yang sebenarnya masih menjadi bagian dari tanggung jawab kita sendiri (karena adanya kelebihan berupa ilmu, tenaga, keahlian, atau sumber daya lainnya yang kita miliki). Bisa jadi juga karena kita sendiri juga belum menyadari seberapa banyak kelebihan-kelebihan yang kita punya.







Selanjutnya, saya memberikan contoh dan implikasi dari poin-poin di atas:
  1. Contoh dari sikap proaktif yaitu apabila kita tekun dan fokus untuk melaksanakan pekerjaan, tugas, ataupun target-target pribadi dengan baik. Apabila kita berhasil menyelesaikan itu semua dengan baik, maka dengan sendirinya kita menciptakan sesuatu yang dinamakan dengan ‘reputasi’ … yaitu sesuatu yang akan mendekatkan hal-hal atau orang-orang yang lebih penting dan menarik untuk masuk ke dalam kehidupan kita, relatif jika dibandingkan dengan pengalaman-pengalaman kita sebelumnya. Tentu saja ini subjektif, sebab perkara penting atau menarik bagi satu orang belum tentu penting dan menarik bagi orang lain. Oleh karena itu kita perlu mengetahui minat dan kemampuan kita sendiri, dan baru mencari cara untuk meningkatkan keahlian kita di dalam hal tersebut.
  2. Dalam kaitannya dengan Lingkaran Peduli, kita perlu belajar untuk menentukan prioritas, bersikap fokus dan belajar mengendalikan hal-hal yang kurang penting supaya tidak menyerap banyak waktu dan energi yang sebenarnya lebih dibutuhkan untuk melakukan hal-hal lain yang lebih penting atau menjadi prioritas kita. Dalam hal ini, Covey juga menegasakn perlunya membedakan antara yang “penting” dengan yang “mendesak” (atau “segera” … ingat nota dinas?). Sebab, tidak selalu yang penting itu mendesak, sebagaimana tidak selalu yang “segera” itu penting. Sebagai  contoh, kita lebih mudah teralihkan dengan notifikasi di ponsel atau media sosial dibandingkan meluangkan waktu untuk berpikir mau makan siang dengan menu apa atau mau melakukan apa di waktu luang. Saat ini ada 25 pesan Whatsapp, 17.159 email,  dan 1 notifikasi Facebook yang belum saya baca. Apakah itu semua penting? Belum tentu. Bisa jadi 70% dari email yang tak terbaca itu adalah spam, dan mungkin hanya 50% dari pesan Whatsapp yang bermanfaat untuk kebaikan orang-orang yang saling berinteraksi di dalamnya. Alih-alih memberikan manfaat, kadangkala ada juga perseteruan yang terpicu karena salahpaham dalam berinteraksi di dunia maya. Sering juga  saya tidak tahu harus berbuat apa ketika membaca berita gempa bumi, perceraian artis, atau perang di negara yang tidak ada hubungan diplomasi dengan Indonesia (ditambah pula saya memang bukan diplomat).
  3. Poin terakhir ini (menurutku) adalah ironi kehidupan. Sering kita tidak tahu seberapa pengaruh kita terhadap orang lain, dan menganggap semua keputusan kita hanya berpengaruh kepada diri sendiri. Baru-baru ini salah satu penyedia jasa transportasi online menerapkan tarif baru yang lebih tinggi daripada tarif lamanya. Tidak sedikit penumpang yang mengeluhkan hal ini, dimana tarif yang biasanya Rp6.000/5km menjadi Rp8.000/5km. saya bukan orang kaya, dan kenaikan tarif itu tentu juga ada pengaruhnya bagi biaya hidup sehari-hari. Akan tetapi, pernahkan terpikir betapa relatif harga suatu layanan? Mengapa kita tidak mengeluh dengan harga semangkuk bakso yang harganya dua kali lipat (Rp12.000)? Apakah karena kita langsung kenyang dengan bakso, tapi ojek tidak membuat kenyang? Padahal tarif ini artinya bahwa seorang pengemudi ojek harus mengantar penumpang sejauh 10 km sebelum ia sendiri bisa membeli semangkuk bakso … belum lagi memikirkan makan anak dan istrinya. Oleh karena itu, sangat penting untuk melihat efek dari setiap perbuatan kita terhadap lingkungan, baik manusia lain maupun alam di sekitar kita.  Sebab Lingkaran Pengaruh yang lebih besar daripada Lingkaran Peduli itu sendiri bisa menandakan kelalaian.
  Referensi:
Covey, Stephen R.,  “The 7 Habits of Highly Effective People Habit 1 : Be Proactive”, diakses pada 7 April 2017 melalui [www.stephencovey.com/7habits/7habits-habit1.php]


gambar dibuat dengan aplikasi "Paper" (www.fiftythree.com)


Mati Dahulu, Ngomong Kemudian

Berdasarkan salah satu hasil survey yang dilakukan oleh Chapman University Tahun 2015 (https://www.washingtonpost.com/news), public speaking merupakan "the biggest phobia after death". Lebay? mungkin iya, tapi faktanya berbicara di depan umum merupakan hal yang menakutkan bagi kebanyakan orang. "Mending lari keliling lapangan deh" atau "mending berantem ama preman" dan masih banyak lagi komentar pada saat seseorang diminta berbicara di depan umum.

Gemetar, mual, keringat dingin adalah gejala-gejala yang dialami seseorang yang 'terpaksa' melakukan public speaking. Gejala tersebut mungkin berbeda-beda untuk tiap orang, baik jenis maupun levelnya, tapi umumnya itulah yang dialami seorang public speaker.

Sebagai seorang yang terkenal 'banyak omong', saya pun sebenarnya memiliki phobia tersebut. Kalau tidak terpaksa sama sekali, saya memilih untuk tidak melakukan public speaking. Rasa percaya diri langsung 'terjun bebas', tidak bisa tidur, deg-deg an, bolak-balik ke kamar kecil adalah gejala-gejala yang saya alami. Takut, bener-bener takut.

Ketika ada tawaran training (Diklat) public speaking dari Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) akhir Februari 2017 yang lalu, saya langsung menyatakan kesediaan berpartisipasi. Buat saya, ini adalah kesempatan yang tidak boleh dilewatkan. Tidak mungkin saya menghindari public speaking seumur hidup saya, apalagi nanti suatu saat saya menjadi Dirjen (Aamiin) yang pasti akan banyak melakukan kegiatan tersebut. Lokasi training di Magelang juga merupakan daya tarik sendiri untuk diklat ini. Sudah terbayang wisata kuliner yang enak dan murah serta jalur gowes yang menantang di Magelang. Tapi tujuan utama saya adalah untuk mengetahui dan mendapatkan ilmu tentang public speaking.

BPPK Magelang ternyata telah merancang diklat ini dengan sangat baik. Metode penyampaiannya dilakukan dengan interaktif. Pendekatan pelatihan adalah untuk memperkuat tehnik opening, content dan closing yang merupakan inti dari sebuah public speaking. Peserta dibagi dalam kelompok-kelompok kecil kemudian berlatih menerapkan teori-teori yang diberikan di depan kelompok masing-masing. Kegiatan praktek yang terus-menerus membuat diklat ini tidak membosankan. Mentor-mentor yang berpengalaman juga berhasil membawa suasana segar, sehingga pelatihan dari pagi sampai sore terasa menyenangkan. Selalu ada hal yang memancing tawa karena peserta tidak dapat menghilangkan kebiasaan-kebiasaannya saat berbicara seperti selalu bergoyang-goyang, menggaruk-garuk hidung, bahkan mengeluarkan suara-suara layaknya mc acara dangdutan hahaha.

Di diklat ini saya baru sadar, bahwa public speaking bukan hanya berdiri lalu berbicara di depan orang banyak. Lebih dari itu, public speaking adalah suatu kegiatan komunikasi dilakukan untuk mencapai berbagai tujuan. Public speaking adalah suatu kesadaran yang dipersiapkan, dilatih terus menerus sehingga menjadi kebiasaan. Saya mendapatkan banyak ilmu baru, pengetahuan yang sangat membantu saya untuk melakukan public speaking  yang baik dan berkesan. 5 hari pelatihan tentunya tidak cukup untuk menjadi mahir, tapi sudah lebih dari cukup sebagai dasar untuk melangkah menjadi seorang public speaker. 

Di akhir pelatihan, peserta harus menyiapkan sebuah acara sosialisasi untuk satuan-satuan kerja di Magelang. Semua peserta harus tampil dengan fungsi masing-masing. It is a real test. Alhamdulillah kami dapat melaksanakannya dengan baik dan respon dari peserta juga cukup baik. Pelatihan ditutup dengan workshop dari praktisi public speaking; Ibu Bonita dari Semarang. Sesi ini merupakan 'penghalusan' tehnik-tehnik yang telah diajarkan sebelumnya. 

Sekali lagi, pelatihan ini hanyalah dasar, bekal bagi sebuah perjalanan. Bagaikan batu cincin yang belum diasah, tembaga yang belum ditempa. Bukankah tidak ada pensil yang tiba-tiba runcing? sama halnya tidak ada pisau yang tiba-tiba tajam. Semua kembali kepada pemiliknya, untuk membiarkannya menjadi tumpul atau mengasahnya terus menerus hingga tajam dan berkilau.

Kembali ke hasil survey di atas, public speaking seperti halnya kematian seharusnya tidak perlu ditakuti selama kita sudah mempersiapkannya.



*berikut tautan public speaking yang saya lakukan selama diklat:
https://youtu.be/c0ERES3l-Ho
https://youtu.be/Agry_9Vszkw

Tak Ada Tempat Sembunyi

tak ada tempat sembunyi
ketika semua terlihat nyata
meski terbungkus pesonanya rupa

tak ada tempat sembunyi
ketika semua terasa nyata
meski terbungkus indahnya kata

tak ada tempat sembunyi
ketika senyuman tak seperti biasa
ketika alasan terkesan dipaksa

tak ada tempat sembunyi
karena sudah terlihat sempurna
niat yang ternampak bagaimana

tak ada tempat sembunyi
karena sudah terasa semua
tindak yang berasa lara

tak ada tempat sembunyi
tak ada kekaguman lagi


Aku Mencintaimu, dan Kamu (tak) Pernah Tahu



Kahlil Gibran berkata dalam syairnya:

"Cinta yang terbatas ingin memiliki yang dicintai, tapi cinta yang tak terbatas hanya terbatas menginginkan cinta itu sendiri, cinta yang tumbuh dalam perpaduan kenaifan dan gairan masa muda, memuaskan diri dengan memiliki dan tumbuh dengan pelukan. Tapi cinta yang dilahirkan bersama segala rahasia malam tidak pernah puas dengan apa pun selain keabadian dan kelestarian dan ia hanya membungkuk dan patuh kepada Tuhan".


Hasil gambar untuk gambar sunset











"Maukah kamu menjadi kekasihku?"

Sepenggal kalimat ini diucapkan Romi ditelingaku, suatu malam. Dan gemanya menyebar seperti darah mengalir ke arteri jantungku....perlahan-lahan hatiku diselimuti rasa hangat, sangat hangat, 
sampai terasa naik dipipiku, terus naik sampai kedua kelopak mataku.

"kenapa Juli, kamu menangiskah?" gugup Romi bertanya, melihat butiran bening mengalir melalui pipiku, begitu saja.

Romi tak perlu mengulangi pertanyaan itu, ketika kuangkat wajahku, dan dia melihat senyum di bibir dan mataku.

Tapi, itu dulu bertahun-tahun yang lalu....

Tahun dimana, hanya ada kata suka dalam pikiranku. Tahun penuh kenangan, dan angan merajut masa depan bersama.

Sebelum gelombang besar itu datang, dan menghancurkan segalanya.

Ketika suatu malam, Romi datang lagi, dengan kalimat terindah yang pernah kudengar dalam impianku.

"Masih inginkah kamu bersama denganku lagi?"

Kualihkan pandanganku dari tatap mata coklatnya, yang aku tahu dengan berlama melihatnya, hatiku akan luluh...
Ada perahu di kegelapan malam, terombang-ambing ombak yang bisa membalikkannya kapan saja, namun perahu itu masih tetap disana, dengan berpegang pada sebuah jangkar yang kuat.

"Juli...bagaimana...?? maukah, sudah lama kupendam perasan bersalah ini kepadamu, dan...sekarang aku tak sanggup lagi...aku ingin membagi kisah hidupku denganmu..." suaranya parau, tercekat.

kutekan kuat-kuat perasaan haru yang membuncah dalam hatiku.

"jika engkau masih memerlukan waktu...." tangannya mencari tanganku, yang dengan lembut kutarik...pelan..

"tak perlu, Romi..." suaraku serak menahan tangis. Dengan hati-hati, aku berkata,

"tak perlu kau memberiku sesuatu, yang engkau sendiri tak yakin dengan itu. Membagi hidup seperti apa yang ingin kau beri padaku? membagi sesuatu yang hanya semu. Tertawa, tapi dalam hati menangis. Semua hanya fatamorgana indah, yang membius diriku siang dan malam....seperti kunang-kunang yang mendekati cahaya, berharap cahaya itu bisa menghangatkannya, namun justru membakar dirinya. Bukan aku banyak menuntutmu, namun cinta memang butuh suatu kepastian, tak sekedar hanya menjalani tanpa tentu arah, seperti perahu yang tak tentu tujuan, yang pergi kemana saja gelombang menggerakkannya. Bilanglah aku seperti apa saja maumu, namun aku butuh kekuatan, Romi, kekuatan yang akan menjagaku dari gelombang besar yang bisa muncul kapan saja. Dan selama ini, aku merasa sudah menemukan kekuatanku kembali, walau tanpa kamu. walau tanpa siapapun di sisiku. Kujalani hidupku dengan kepasrahan. Aku masih tetap berdiri karena satu keyakinan, bahwa Tuhan akan menjagaku." 

Romi terdiam, lama....

Suaranya lirih berkata, "kamu yakin...?"

aku memandang matanya, dan berkata 

"Aku cukup yakin dengan keputusanku, Romi. Dan lagi...cinta yang dulu kupersembahkan kepadamu, hanya kepadamu...kini telah berganti menjadi doa tulus agar engkau menemukan kebahagiaanmu, dan bagiku itu telah cukup untuk membuatku selalu merasa dekat denganmu. "

Suara kerikil bekas injakan sepatu Romi yang berjalan tanpa menoleh lagi kepadaku, menjadi musik syahdu yang menentramkan, dan bulanpun tersenyum di belakang awan...


Ah Romi, andai saja engkau tahu, begitu lamanya kunanti kembali pertanyaan itu...
di dalam setiap hariku, dalam setiap terbangunnya beberapa malamku karena didera rindu, dan di permukaan beludru sajadahku yang penuh dengan air mata penyesalan, andai saja engkau tahu semua itu...

Kurasa Romi tak butuh kata-kata, Romi hanya butuh kerelaanku untuk berada di sisinya. Romi tak tahu, bahwa dengan berada disana, aku akan berperang dengan harapan semu semata.

Segalanya tak selalu bisa berjalan dengan baik, Romi. 

Kadang kita selalu dihadapkan pada pilihan yang sama-sama sulit, ibarat memakan buah simalakama. Dimakan salah, tidak dimakanpun salah juga.

Dan pilihan itu, membawa kosekuensi panjang bagi hidup kita. 
Konsekuensi yang hanya kita sendiri yang bisa merasakannya. Tak perlu orang lain harus tahu segalanya.

Cinta, seringkali dianggap orang sebagai sesuatu yang indah. Penuh nuansa warna-warni, penuh romansa yang terkadang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.

Tapi buatku cinta juga membutuhkan suatu pengorbanan, yang luar biasa besarnya. Yang harus siap kita persembahkan kapan saja, tidak hanya berjalan tanpa komitmen apa-apa. dan kurasa Romi, kamu belum siap untuk itu.

Terima kasih atas segala kenangan indah bersamamu, dan terima kasih pula atas segala perih yang mungkin bisa mendewasakanku.


-Pinggir laut, 2016-


(NB: bukan kisah nyata, semua tokoh, kejadian dan tempat hanya rekaan pengarang yang lagi belajar menulis fiksi)