Mungkin Ia Hanya Meluruskan





"Siapa tega melihatnya mengusap air matanya di pipi. Mata yang tidak tahu cara menyakiti. Aku tahu ia terluka, dan aku anehnya tidak merasa menyesal mengatakannya. Sederhana, karena kuyakin ni benar dan harus dikatakan.
Semoga nanti ia paham, aku hanya ingin meluruskannya saja.."

Di pangkalan ojek, di suatu malam yang melelahkan.Setelah lembur sekian jam, setelah tak hanya energi badan terkuras, tetapi otak rasa terperas.

 Masih saja ia menangis, bahkan semakin deras. Berkali kali diusap sisa air di matanya namun tak habis jua airnya. Ia tahu ada yang memperhatikannya. Jelas saja, ia menangis di pinggir jalan, di sebelah pangkalan ojek. Walaupun tak terdengar isaknya namun gaya seseorang yg menunduk dan mengusap usap mata dan pipi, apalah itu kalau bukan menangis?
Namun ternyata ia tak cukup peduli dengan tatapan sekitarnya.

 Terngiang-ngiang perkataan temannya tadi.
"Kamu itu salah kalau bekerja niatnya untuk menghidupi keluargamu. Kamu kan sudah menikah, utamanya baktimu adalah untuk suamimu. Ayah dan ibumu tidak akan kelaparan kalau kamu berhenti kerja, rezeki kan dari Allah. Kalau memang bekerja, ya niatnya diubah..yaitu untuk mencari ridho Allah.."

Ia menatap hampa pada udara.

"Kalau kamu merasa begitu, ya,, kecenderungannya nanti menduakan Allah. Menganggap bahwa rezeki kamu, orangtuamu, itu dari pekerjaanmu atau dari usahamu. Padahal sejatinya ia dari Allah.."


Ia diam saja, ia sejujurnya terluka karena perkataan itu. Tidak pernah terlintas di pikirannya bahwa ia menduakan Tuhannya. Bahkan berniat bekerja karena kalau tidak bekerja ia bingung dengan nafkah sehari hari orang tuanya pun salah. Itu salah ternyata. Begitukah?

"Ataukah benar aku terlalu sensitif dan tersinggungan?"

"Ya Allah, hamba sakit hati karena dituduh menduakanMu, tapi hamba sejujurnya ingin tahu yg lebih benar dari sisiMu..hamba siap belajar untuk mengenalMu lebih baik".

Ia teringat bait indah Ibnu Qayyim yang pernah dibacanya,
"Andai kamu tahu bagaimana Allah mengatur urusan hidupmu, pasti hatimu akan meleleh karena cinta kepadaNya.”

"Ah.. indahnya mengenang Tuhan.."
Ia kembali merenung dan berpikir..
Ia coba rangkai kembali potongan perjalanan hidupnya, bagaimana ia berusaha keras memenuhi keperluan keluarganya. Ia memang niat bekerja untuk menafkahi mereka dan memberikan kehidupan yg layak dan baik untuk mereka yg sangat ia cintai.

 Ia akui ia takut, takut kalau ia berhenti kerja keluarganya akan kekurangan.
"Tunggu.. ", ujarnya pada diri sendiri.
"Aku.. merasa menjadi pemberi rezeki bagi mereka?"
Ia terkejut dengan pikirannya sendiri.

"Aku, usahaku, dan pekerjaanku yang memberikan mereka kecukupan? Rezeki?"

"Bukan..."
Harusnya ridho Allah yang kuniatkan..

Hatinya seperti terjun ke bawah, 'jleb'..

"Bang, ke jalan mangga ya.."
Akhirnya ia mampu berucap juga.

Di atas sepeda motor ia bergumam kembali dalam hati,

Ya Allah saya mau bekerja,
mencari keridhoanMu,,
karena saya saat ini kondisinya harus berikhtiar dengan cara ini ..
saya memohon ridhoMu, sehingga dengan ridhoMu ini saya bisa menjadikan kerja ini sebagai ibadah kepadaMu..

Dengan ridhoMu atas usaha saya ini, semoga Kau karuniakan rezeki berkah dan halal bagi anak dan keluarga saya..

Bukan karena usaha ini ya Allah, saya dan keluarga mendapat rezeki,, tapi ini semua dariMu..
Ikhtiar kami ini hanya cara kami mencari ridhoMu.. dengannya kami bisa tercukupkan..


"Mungkin..mungkin ia hanya berkata benar."
"Alhamdulillah.."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar