dendam rindu

lelaki kecil dalam padang bulan
menerjang
menembus hujan.
malam ini dendam rindu harus segera terbalaskan
meski hanya melalui mimpi

Selamat Datang Duniaku

Pagi ini, seperti biasa aku lebih banyak duduk, melihat orang-orang yang tidak pernah kehilangan akal untuk melakukan apa saja. Kebanyakan mereka selalu menggerak-gerakkan mulutnya, lalu ada yang kemudian tersenyum, tertawa atau bahkan menangis. Entah apa yang terjadi ketika bibir mereka sangat sibuk dengan gerakan yang menurutku sama saja, sulit aku pahami maksudnya.

Sebagian dari mereka juga ada yang tidak melakukan apa-apa dengan mulutnya, diam, seperti aku di sini yang hanya bisa menyaksikan mereka dari jarak yang semuanya terasa seperti dari tempat yang jauh.

Beberapa tahun sebelum ini, aku merasa ada yang aneh tentang apa yang aku lihat setiap hari. Apa misteri di balik sesuatu yang nampak sama saja, sekali waktu bisa menimbulkan kemarahan yang luar biasa, tapi di waktu lain bisa berakibat berangkulannya orang-orang dalam suasana keceriaan. Ada perbedaan raut muka yang bisa dikatakan berlawanan, tapi anehnya penyebabnya sama saja, sejauh yang aku lihat.

Ketika air tumpah dari langit, orang-orang berlarian masuk ke rumah dan pada saat ada kilatan cahaya di langit, serta merta orang-orang menutup telinganya sambil memejamkan mata, seperti ada yang dihindari. Tapi aku tidak tahu apa itu.

Aku menjadi penonton satu-satunya dari orang-orang yang semuanya menjadi pemeran utama layaknya dalam sebuah film, tapi ini kejadiannya betul-betul terjadi di sekitarku.

Sekarang, aku sudah terbiasa dengan pemandangan seperti ini, tetapi bukan karena aku sudah tahu tentang misteri di balik mulut-mulut yang bergerak-gerak itu. Aku menyadari bahwa aku sudah pada sampai titik dimana aku tidak perlu mencari jawabannya. Menjalani saja sebagaimana yang aku lakukan setiap hari, seperti ini.

Satu hal yang terasa berat bagiku, aku tidak ditemani lagi oleh siapapun setelah ibu yang setiap hari setia mendampingiku tidak ada lagi.

Aku kangen pelukan hangatnya.

Aku masih teringat kala terakhir ibu memaksaku menirukan sesuatu seperti yang dilakukan dengan mulutnya. Dan aku merasa sudah melakukannya sama persis yang dilakukan ibu kepadaku. Tapi tetap saja aku lihat ada wajah kekecewaan di raut ibu. Aku sudah berusaha dan sudah merasa bisa, tapi apa yang aku lakukan ternyata berbeda menurut Ibu...

Sampai pada saat dimana aku tahu ibu tidak bisa menyembunyikan wajah kepasrahannya, tak lama dari itu aku lihat matanya yang berkaca-kaca dan ibu merangkulku dengan membawa getaran yang menggoncangkan tubuhku. Erat sekali pelukannya dan aku merasakan betul basahnya pundakku dari air mata ibu yang tak terbendungkan lagi. Selamat datang dunia yang selalu diam.

Kutukan Akuntansi


Ini adalah tulisan lama. Kurang lebih 7 tahun lalu, saat gue sedang mengambil program master di University of South Australia. Judul tulisan ini sebenarnya sudah lama ada di hati, tapi motivasi untuk menuliskannya semakin kuat ketika suatu saat gw ngobrol dengan temen dan dia nyeletuk “wah kutukan tuh !” begitu dia dia tau gue sekarang lagi kuliah dengan jurusan Akuntansi (lagi).

Mungkin ada benarnya. Pada saat SMA dulu gue jurusan A3 (ilmu-ilmu sosial), 2 tahun gue belajar Akuntansi sampe pada tahapan yang kalopun lagi tidur pules dibangunin trus ditanya jurnal gue langsung bisa jawab, ibaratnya ngigau aja debit kredit deh. Berlebihan? gak juga karena gue merasa memang harus begitu. Gue dulu sempet di "plot" untuk menjadi the first engineer in family, sehingga satu pertanyaan keras waktu gue milih masuk A3,(milih loh ye bukan dipilihin), dengan tegas gue jawab : "mau masuk STAN !"

Hahaha, mungkin itu jawaban bodoh. Tapi tahun 1992 perjuangan masuk STAN itu begitu berat, tesnya hanya ada di Jakarta, peserta yang ikut puluhan ribu dari seluruh Indonesia untuk memperebutkan jatah sekolah gratis yang cuma sedikit itu, dengan iming-iming "kuliah digaji, lulus langsung kerja" hahaha.

Yah begitulah, singkat cerita, entah karena usaha entah nasib, gue kuliah juga di STAN. Gampang dong, kan gue dah jago Akuntansi? sekali lagi gue katawa hahaha. Entah kenapa gue jadi gak begitu doyan ama Akuntansi begitu di STAN, kerjaan gue cuma jogging muterin kampus jurangmangu, ama latihan Taekwondo trus sekali-sekali pacaran hehehe. Alhasil, 3 tahun kuliah di STAN, Akuntansi gue gak "ngelotok" juga.

Tahun 1998, merupakan kesempatan pertama angkatan gue ikut tes D-IV. D-IV ini merupakan jalur bergengsi (katanya) bagi lulusan STAN. Lulusannya banyak yang menjadi akuntan atau praktisi keuangan ternama. Yang bisa masuk D-IV pun rata-rata waktu D-III mempunyai prestasi dan nilai yang bagus. Waduh, bukan gue banget tuh, prestasi gue selama D-III kan cuma dapet perak kejuaraan Taekwondo antar Universitas se-DKI ama nonjokin preman kampung Sarmili, kagak nyambung sama sekali ama tes masuk DIV.

Mungkin saat itulah gue mulai "dikutuk". Posisi "underdog". Gak belajar, malah browsing internet sampe pagi di kamarnya Nanang (BPKP makasar waktu itu), gue pun ikut juga ujian masuk D-IV. Underdog man, karena di Makasar waktu itu ada Ni Ketut, Nanang, Octa, Acep, Eko, Hadad, dll yang semuanya dulu waktu wisuda DIII jauh didepan gue. Eh, malah untuk instansi DJA se-sulawesi cuma gue yang lulus. Mungkin ini juga hikmah karena dulu lagi panas-panasnya gue berantem ama kepala kantor (maafin gue ya pak Zain).

Sempet gak percaya tuh, kalo gue lulus. Sebulan di Jakarta aja tiap bangun tidur bengong dulu karena takut cuma mimpi bisa ninggalin daerah secepat itu. Sempet ada perasaan "wah gue mampu ternyata" dan sempet ada niat wisuda D-IV di depan Ni ketut hahaha. Temen-temen STAN 92 tentu tau gimana "saktinya" gadis Bali satu ini.

Tapi tekad tinggal tekad, saat D-IV kegiatan gak cuma jogging ama Taekwondo, tapi juga "ngasong" dan naek gunung hihihi. Tiap kali masuk kelas bilang "selamat pagi", dosennya bilang "selamat siang". Baru duduk 5 menit trus dosennya bilang "ya sampai jumpa minggu depan" parah betul L

Mudah-mudahan ini bukan bagian dari kufur nikmat. Begitu banyak temen yang betul-betul serius dan rajin kuliah yang akhirnya harus "drop out". Bahkan ada yang sempet bilang "being accountant is the most important thing in my life". Heh, maafin gue ya temen.

Oh ya, pada saat D-IV itu juga gue sudah berniat buat nerusin kuliah di luar negeri. Tapi kalo waktu itu gue bilang ke temen-temen takutnya nanti Bintaro Plaza sepi hahaha. Belagu mungkin, karena nyatanya kuliah D-IV gue juga pas-pasan. Artinya ya kalo yang lulus 300 orang, gue nomor 299, asal katut kata orang jawa. Biar yang lulus cuma satu asal kita, kata orang Bone. Tapi beneran kok, gue udah pengen kuliah di luar negeri itu dari sejak gue D-IV, tapi tentunya bukan Akuntansi hehehe. Makanya begitu lulus, jadi Akuntan, usaha nyari beasiswanya ya di bidang Marketing, HRM, Public Policy, dan sebagainya, pokoknya NO ACCOUNTING. Percaya atau tidak, bahkan saat sudah lulus tes pun, ada aja yang menghalangi gue buat ke luar negeri. Alhasil Kedubes Australia di Jakarta di bom. Loh apa hubungannya? Iya, kedubes Australia di bom hanya selang beberapa hari setelah gue di tolak ke Australia hahaha.

Akhirnya tahun 2008 gue dapet lagi beasiswa, kali ini dari Depkominfo. Sebenernya masih mau ngambil bidang non Akuntansi, lagi-lagi ditolak. Eh begitu gue pilih Akuntansi...sim salabim..semua lancar kayak jalan tol bekasi - jakarta jam 2 pagi hihihihi. Nah, I am a Master of Professional Accounting now. Hah, hebat kali rupanya. Iya, hebat L tapi gue kok ngerasa gue gak pinter-pinter Akuntansi. 2 tahun di SMA, 3 tahun D-III plus 2 tahun D-IV dan sekarang 1.5 tahun S2; total hampir 9 tahun gue belajar Akuntansi. Boro-boro sedang tidur dibangunin bisa jawab soal Akuntansi, sedang sadar-sesadarnya pun gue belum tentu bisa jawab J.

“Kutukan” ini tentulah bukan sesuatu yang buruk. Bahkan belakangan ini menyadarkan gue untuk bertanggung jawab terhadap “kutukan” tersebut. Perasaan terkurung dalam “kutukan” Akuntansi bagai Malin Kundang yang terkurung batu oleh kutukan ibu-nya pelan-pelan gue hilangkan. Meskipun keinginan untuk menjadi seseorang yang hebat dalam Akuntansi itu belum ada, namun pelan-pelan gue mulai belajar lagi Akuntansi, berani mengajar Akuntansi dan sudah mengurus gelar profesi Akuntan. Energi dan waktu yang gue habiskan sudah sedemikian banyak dan panjang, apapun itu tentunya harus dipertanggungjawabkan. Bahkan keberuntungan pun harus dipertanggungjawabkan.


Mungkin perlu ditambah 4 tahun lagi PhD Accounting ya untuk melepaskan diri dari “kutukan” Akuntansi ini #eeh

Cinta Tak Bertepi


Cinta tak bertepi
Bisu dalam kata, sepi dalam canda
Selaksa pengorbanan tlah terbukti
Terpatri dalam bilur kebahagiaan
Dalam naungan ridho Ilahi

Cinta tak bertepi
Terdiam dalam keabadian
Tertunduk dalam kuasa Ilahi
Menanti panggilan Sang Kholiq
Tuk menyatu kembali dalam surga-Nya


Teruntuk kedua orang tuaku yang cinta mereka tak pupus sampai Sang Khaliq memisahkan dan semoga menyatu kembali di surga-Nya nanti.

Edisi nyekar 09052017

Sang Penggoda



Seyummu adalah keranda emas jiwaku
Hanya memberi sunyi tak bertepi
Matamu adalah belati tak kenal kasih
Menikam hati putih tanpa peduli

Lalu kucoba kobarkan nyali
Nyalakan api di hati
Ternyata engkau matahari

Kutumpahkan air mata di jiwa
Engkau menjelma samudera

Bagimu semua, biasa..
Angin yang tak pernah merasa

E0102

RUMAH HARAPAN, Nestapa Aldo

"Wah...lo goblok deh! Awas deh mampus lo!" ujar seorang anak yang dari suaranya kukenal sepertinya Aldo.
"Awas lo, kalo macem-macem gua bunuh lo!" kembali Aldo berteriak.
Aku terperangah mendengar umpatan-umpatan yang keluar dari mulut Aldo. Aldo masih berusia sepuluh tahun dan duduk di bangku kelas empat Sekolah Dasar.
Kuperhatikan memang Aldo sering mengeluarkan umpatan-umpatan kasar yang tak pantas. Namun, malam itu aku hanya ingin membimbing anak-anak belajar Bahasa Inggris saja. Aku belum kepikiran ngobrol dengan Aldo.

Suatu hari, aku ajak anakku, Aldo dan beberapa anggota kelompok belajar pergi ke Kebun Binatang. Niatku untuk sekali-kali membawa anak-anak jalan-jalan. Aku ingin mereka memiliki pengalaman yang tak akan terlupakan sampai mereka besar nanti.

Sepanjang perjalanan, anak-anak itu bercerita tentang berbagai hal. Mulai dari sekolah, teman-teman mereka sampai soal olahraga. Sesekali kudengar umpatan Aldo apabila ada hal yang tidak sesuai dengan keinginannya.

"Ini lho tempat kerja emak gua," ujar Aldo tiba-tiba ketika kami melewati sebuah mal.
"Di sebelah mana?" tanyaku memancing.
"Itu lho Pak, di dekat lift. Emak saya jualan kosmetik," jawab Aldo.
"Kalau Bapak kamu kerja dimana, do?" aku melanjutkan.
"Bapak saya udah meninggal!" jawab Aldo datar.
Aku agak kaget. Puzzle yang selama ini memenuhi pikiranku tentang Aldo mulai terkumpul.
"Waktu itu kamu umur berapa?" aku kembali bertanya.
"Bapak saya yang pertama meninggal waktu saya berumur tiga tahun," jawab Aldo.
Perasaan heran memenuhi pikiranku. Kupandangi wajah Aldo yang memandang keluar jendela mobil. Aku tak bisa menebak apa yang ada dalam pikiran Aldo.
"Terus?"
"Bapak saya yang kedua meninggal waktu saya berumur tujuh tahun," balas Aldo dengan muka yang tanpa ekspresi.
Hati saya menjerit mendengar penjelasan Aldo. Anak seumur Aldo sudah mengalami masalah yang berat. Kulihat pula anakku dan teman-temannya yang terdiam mendengar cerita Aldo. Aku tak sanggup membayangkan kalau masalah yang terjadi pada Aldo menimpa anakku.
"Sabar ya, do!" hanya itu yang bisa aku ucapkan.
"Nggak apa-apa pak. Jalanin aja," Aldo berbicara layaknya orang dewasa.
"Berat nian bebanmu, do," aku berbicara dalam hati.

Aku juga mendapati kenyataan, kalau Aldo dan ibunya tinggal di sebuah rumah besar milik majikan ibunya bersama banyak penghuni lain. Penghuni rumah itu dari berbagai macam karakter dan semuanya adalah orang dewasa.

Aku baru mengerti kenapa Aldo sering mengeluarkan kata yang tidak pantas. Aldo sering bergaul dengan orang-orang dewasa di rumahnya. Itu membentuk karakter Aldo menjadi seperti ini.

Dengan seringnya Aldo bermain dan belajar bersama teman-temannya di rumahku, aku yakin perlahan-lahan Aldo akan bersikap sesuai dengan usianya.

Harapanku, suatu saat Aldo akan menjadi anak yang hebat dengan kepribadian yang kuat.

Aku akan berusaha mewujudkan harapan itu.

Jakarta, 10 Mei 2017




Bunda

Terkenang belaian lembutmu tatkala kecil
Betapa sabar engkau mendidik kami

Terkenang senyuman hangatmu dikala santai
Betapa ramah dan bersahaja engkau mengasuh kami

Terkenang cerita seru saat kami kecil
Betapa bibir tipismu sangat lancar bercerita

Terkenang sosok tanpa pamrih bekerja demi keluarga
Betapa kuat energi yang engkau miliki

Jika kami boleh menghidupkan dan kembali ke masa lalu
Betapa kami ingin meminta maaf atas kekonyolan dan kebodohan saat itu

Perkenankan kami tetap mendoakan bunda yang telah tiada
Agar jiwa raga ini tetap kekal dan abadi di alam surgawi nanti



Reflkesi batin atas almarhum bunda
Sungguh berbuat berbaiklah saat beliau masih ada
Jakarta, 10 Mei 2017


Puisi ini dapat juga dilihat di https://rulyardiansyah.blogspot.co.id/

Menanti Tram Bersama Teman Bersayap




"good morning, birdie" (foto pribadi)


Hari masih pagi,
udara terasa jernih dan sejuk
Kulihat ke kiri dan ke kanan
tiada seorang pun

Tapi ada dia,
diam-diam di sebelahku
Menganggukkan kepala,
mengibaskan sayapnya

“Hai,” sapaku,
dijawabnya dengan kedipan
Seolah ia pun ingin bertanya,
“Mengapa sepagi ini kamu di sini?”

“Ke mana semua orang?”
Mungkin … berkemul dalam selimut,
menyeduh kopi panas,
atau … menikmati setangkup roti bakar

Sang burung tetap bertengger
Sementara mataku tertuju ke dedaunan
yang melayang-layang tertiup angin
ada yang kuning, merah, dan jingga …
semua cantik

Pohon-pohon meranggas
Butir apel berjatuhan
Semua seperti terbuat dari emas …
awan, langit, dan rerumputan
sungai pun berkerlip-kerlip

Sayup-sayup di kejauhan
terdengar suara listrik dan besi bergesekan
seperti ketukan halus router wifi
yang sekali-sekali tertangkap gendang telingaku
di malam yang sunyi

Nun jauh di sana …
kelap-kelip kaca jendela tram
pantulkan sinar mentari,
menjelangku bagai kilat di pagi hari

Suara decitan rel menyentak keasyikan kawanku
ditolehkan kepalanya ke asal decitan itu …
dalam sekejap, sayapnya terkembang
ia pun menghilang di angkasa
sebelum kumelangkah masuk
ke dalam tram di pagi itu