ACL


Anterior Cruciate Ligament atau ACL. Ya, ini adalah arti dari judul tulisan ini. Mungkin banyak yang tidak tahu apa ACL itu dan ini adalah pengalaman saya yang tidak sadar punya cedera selama hampir 20 tahun. Jadi ACL adalah jaringan otot dibalik tempurung lutut yang memberikan kestabilan pada kaki kita. Tanpa ACL bisa dipastikan kita akan keseleo terus dalam melakukan setiap aktivitas.

Jadi kejadiannya waktu saya masih sekolah dan unyu-unyu (mau bilang SMU takut umur ketauan), pada saat pendidikan jasmani, sama pak guru di ajarin tehnik lompat tinggi, bagaimana supaya bisa loncatin mistar dan jatuh di matras empuk yang bener (khusus untuk posisi mistar yang pendek, bisa langsung mendarat dengan posisi berdiri). Berhubung pelajaran Penjas cuma 2 jam seminggu ya kurang donk, jadinya sekelompok anak (termasuk saya) memutuskan untuk menjajal tehnik ini untuk ngelompatin tembok dan alasnya beton (tentu saja kita tidak menjatuhkan diri di beton karena pagarnya juga gak terlalu tinggi). Dasar apes, pas saya loncat kaki ini malah menyentuh pagar, makanya lompatan tidak sempurna dan …… (tepat jatuh di lutut). Sejak saat itulah saya selalu merasakan gangguan di lutut kanan berupa gampang keseleo pas olah raga.

Waktu itu sudah cek up ke dokter orthopedi terus di rontgen dan hasilnya tulang dalam keadaan Ok. Dokter menduga ada jaringan yang putus dibalik lutut (ACL ada di balik lutut). Saran dari dokter di operasi aja di Singapura. Weleh, itu tahun 1999 gak ada BPJS ato KIS atau kartu-kartu yang lain (kalau operasinya di Singaparna sih masih ok dah). Dan saya putuskan gak perlu pake operasi-operasian cukup pake decker lutut aja. Apalagi deckernya ada besi penyangganya jadi gak masalah setidaknya untuk aktifitas kayak naik gunung masih Ok lah. Padahal itu decker untuk orang cedera supaya bisa istirahat jadi lututnya bisa cepet sembuh, tapi sama saya malah saya pakai untuk naik gunung, gowes, rafting, trekking, jogging termasuk juga skiing dan snowboarding waktu di Jepang.

Walhasil, cidera tersebut kambuh dan mumpun waktu itu masih di jepang, saya cek aja ke RS toh di cover asuransi kan. Ternyata dokter menyarankan saya untuk di MRI. Setelah MRI terlihat ada masalah di lutut dan berhubung si dokter cuma bisa ngomong Nihongo alias Bahasa Jepun tanpa sedikitpun English ya bingunglah saya akan masalahnya (lha wong gak ngerti dia ngomong apa dan intepreterpun gak bisa jelasin dengan baik). Dokterpun menawarkan operasi, dan berhubung semua dicover asuransi yowes kenapa tidak (gratis ini pikirku tanpa tahu si dokter mau berbuat apa sama lutut ini). Jadilah lutut ini di operasi tahun 2008, 2 bulan sebelum kelulusan. Operasi saat itu meninggalkan 2 titik luka di lutut. Saya di opname selama 3 hari tanpa sanak keluarga mendampingi, beruntung mantan-mantan saya eh maksudnya teman-teman saya pada rajin besuk.

Sepertinya operasi tersebut berhasil, walaupun saya juga bingung apa langkah selanjutnya pasca operasi. Karena saya sudah pulang dan tidak mungkin kontrol ke dokter ya sudah saya biarkan. Sampai suatu hari di tahun 2009 tiba-tiba tempurung lutut kanan bergeser sendiri dan yang harus saya lakukan untuk mengembalikannya ke tempat semula adalah cukup dengan membuat gerakan menendang sampai bunyi ‘klik’. Sejak saat itu saya curiga bahwa saya mengalami CLBK (cedera lama berulang kembali). Tapi saya juga bingung mesti konsultasi ke siapa, karena saya masih meragukan kualitas dokter ortopedi di Indonesia.

Akhirnya atas paksaan ibunda tercinta, saya memutuskan untuk ke poli orthopedi di RS Pasar Rebo Jaktim. Begitu ketemu dokter, saya ceritakanlah semuanya dari A sampai Z dan dokter pun memberi saya saran yang luar biasa.

“Bapak punya cedera di lutut, mulai sekarang bapak udah gak boleh lagi aktifitas yang memberi beban extra ke lutut kayak jogging apalagi naik gunung. Trus kalo naik turun tangga juga satu-satu pakai kakinya. Pokoknya untuk olahraga yang pakai kaki stop dulu deh” Saran si dokter.

“(WTF, ini dokter atau koas sih!! Emangnya orang disuruh cepet tua apa ya)” gumam saya dalam hati sambil bertanya “gak ada alternative lain dok?”.

Dokterpun menjawab dengan simple “sebenernya harus di MRI sih, tapi kita (RS Pasar Rebo) gak punya alatnya. Kalau mau coba aja di (RS) Fatmawati”. Udah gitu saja, sembari diam sambil bergaya mikir kayak orang keblinger. Saya hanya menghela nafas panjang, dasar dokter semelekete masa iya saya disuruh stop olahraga, gowes, lari dll. Eta mah yang ada penyakitnya numpuk n cepet tua. Sambil geleng-geleng, gak lagi-lagi deh ke Pasar Rebo untuk urusan lutut. Dan masalah pun berlanjut dan semakin parah karena saat-saat tertentu mulai kerasa cenat-cenut di lutut kanan selama beberapa hari sampai hilang sendiri.

Tahun 2013, masalah ini semakin mengganggu dan istri pun menyuruh alias maksa saya untuk cek ke RS (udah gak nyaranin lagi karena saya selalu menolak cek ke RS). Pilihanpun jatuh ke RSPAD karena dekat kantor walaupun ada beberapa teman yang nyarani saya supaya cek up ke RS Persahabatan ada juga yang bilang ke RS Jakarta. Yah sudahlah, saya ambil aja yang terdekat toh RSPAD kan RS tentara dan ada alat MRI juga jadi setidaknya gak disuruh pergi ke RS lain lah.

Ternyata dokter orthopedi RSPAD lebih ‘jenius’ lagi daripada yang di pasar rebo. Sesudah saya ceritakan semua permasalahan termasuk histori dari lutut (bahkan lebih jelas dari tulisan ini), pak dokter pun berkata “hmm… kira-kira apa ya” di timpali sama suster “nah gimana tuh dok?”. Kata dokter lagi “ya sudah rontgen dulu deh”. “nah bener tu dok di rontgen” timpal susternya.

Waladalah, serasa masuk OVJ apa ya. Dokternya planga-plongo kebingungan mau ngasi tindakan apa dan susternya juga latah-latahan pengen ikut campur. Dokternya juga sudah tahu kalau tidak ada masalah sama tulang tetap saja tidak mau melanjutkan langsung ke MRI. Padahal dulu di Jepang dokternya langsung ke MRI gak pake rontgen. Yah, prihatin saya sama personel TNI kita, dirawat nya sama dokter lulusan Haji Naim. Sejak saat itu skeptis lah saya sama dokter kita untuk konsultasi masalah lutut. Nyari dokter yang tahu masalah saya sulit banged kayaknya.

Akhirnya saya pun melanjutkan studi S3 di UK. Pikir ku, yah semoga lutut tidak memberi masalah disini. Tapi ternyata salah, masalah lutut ini semakin menjadi-jadi. Sampai akhirnya istri saya maksa saya untuk ke poliklinik kampus. Di UK kita gak bisa langsung ke RS semua harus melalui dokter umum atau General Practitioner itupun harus pakai appointment dulu yang kadang bisa sampai 1 minggu. Sewaktu bertemu dokter, apa yang dilakukan oleh dokter itu pun sama dengan yang dilakukan oleh dokter di RSPAD dan pasar rebo. Saya pun menceritakan semua histori dari lutut ini yang langsung di cut sama si dokter seakan dia gak mau denger cerita saya dan langsung ngecek lutut saya. Dokter pun menyatakan bahwa saya perlu di athroskopi yaitu di masukin alat kedalam lutut untuk memperbaiki ACL saya, karena dia curiga bahwa masalah saya disebabkan oleh ACL yang rusak.

Wow sebuah statement yang tidak saya harapkan dari seorang dokter di klinik kampus. Bahkan saya menimpali dengan bertanya apa itu ACL dan bagaimana bisa cedera ACL terjadi. Dokter pun menyatakan itu cedera yang umum terjadi sama atlet dan anak kuliahan biasanya sering mengalami cedera ACL terutama mereka yang sering olahraga atletik seperti main sepakbola karena cedera ACL biasa terjadi akibat di tackle pas main bola. Bahkan dokterpun bertanya apa saya dapat cedera ini waktu main bola (jadi malu ngasi jawabannya). Ia pun menambahkan bahwa cedera ACL bisa sembuh dan biaya operasi ACL di UK di tanggung asuransi jadi gratis deh. Setidaknya gak sia-sia bayar 3000 pound buat bayar asuransi di UK hehehe.

Singkat kata saya pun dibuatkan appointment untuk konsultasi di klinik orthopedi di RD&E (Royal Devon & Exeter) hospital. Dokter orthopedi pun bertanya-tanya dan kali ini saya jelaskan semua histori dari lutut ini. Metode yang dilakukanpun sama dengan dokter-dokter sebelumnya dan langsung memutuskan bahwa saya harus di scan MRI dulu untuk tahu pokok permasalahannya. Saya juga dibuatkan appointment untuk melakukan fisioterapi yang saya harus rutin melakukannya selama 6 kali (ini juga gratis J).

Di UK pasien tidak bisa melihat hasil MRI, berbeda dengan di Jepang dimana dokter memperlihatkan hasil MRI dan mengobrol langsung dengan pasien apa masalahnya. Itu pulalah yang membuat saya terkejut, selang beberapa bulan setelah MRI tanpa ada kabar berita pasca MRI, tiba-tiba menerima surat bahwa ada cedera serius berupa ACL rupture (putus) sama meniscus (walah apalagi ini) dan pihak RS menawarkan operasi untuk memperbaiki cedera tersebut. Weleh, ujug-ujug koq operasi, tanpa konsultasi dulu sama pasiennya.

Akhirnya saya putuskan konsultasi lagi sama dokter di klinik kampus. Dokter klinik menjelaskan bahwa ACL saya putus dan berhubung selama ini didiamkan cederanya, meniscusnya pun ikut rusak. Meniscus adalah tulang rawan diantara tulang atas dan bawah lutut (lihat gambar). Jadi dapat dikatakan cedera yang saya alami ini sangat parah, sampai dokter pun heran koq bisa-bisanya saya hidup normal dengan ACL putus. Ia pun mengatakan supaya gak perlu kawatir karena ACL surgery bukanlah suatu hal yang perlu di takuti karena sudah biasa dan banyak atlet yang pulih kembali pasca operasi ACL dan dia ngasi contoh salah seorang pemain MU (lupa namanya) yang bisa main bola lagi sesudah cedera ACL. Apalagi dia juga menambahkan bahwa operasi ACL itu sangat mahal, di Amrik biayanya bisa mencapai $10 ribu (wow banged kan), sedangkan di UK operasi ini gratis di cover asuransi sampai si pasien bener-bener sembuh, dengan kata lain post surgerynya pun juga di tanggung jadi pasien gak langsung dilepas begitu saja (lebih wow lagi nih). Ok, kalau begitu saya putuskan untuk menerima tawaran operasi ACL ini.

Singkat kata, saya pun menemukan kembali perbedaan antara operasi ACL yang dilakukan di UK dengan di Jepang. Saya tidak tahu apakah ada perbedaan teknologi untuk operasi ACL tahun 2008 dengan tahun 2017, yang jelas kalau dulu saya di opname 3 hari, untuk yang sekarang operasi pagi sorenya langsung pulang. Kalau dulu cuma ada 2 luka kecil di lutut, sekarang ada 4 dan yang satu gede banged, karena operasi sekarang menggunakan jaringan yang diambil dari otot paha untuk menggantikan ACL yang putus (yang dulu gak tahu). Kalau dulu saya mulai fisio di hari kedua opname, sekarang fisio dimulai segera setelah saya sadar dan sudah makan.

Dokter juga memberitahu bahwa recovery untuk operasi ini sekitar 1 tahun tapi itu juga tergantung dari tekad saya untuk terus fisioterapi. Karena operasi ACL hanya 50% dari ikhtiar kesembuhan sisanya adalah fisioterapi again and again. Well, saya masih punya 2 tahun di UK semoga saja lutut ini bisa sembuh permanen, dan bisa bebas buat gowes, jogging dan olah raga yang lain tanpa pusing mikirin lutut bergeser lagi.


PS: saya dengar di RSCM juga ada klinik khusus yang menangani cedera ACL namanya klinik sport injury dan katanya bisa pakai BPJS walaupun sepertinya tidak di cover 100%. Tapi sekali lagi, ini cuma denger-denger doank ya.  

Begal Jakarta vs Begal Sumatera Utara

Sebagai seorang anggota roker (rombongan kereta) adalah hal lumrah jika pagi hari saya selalu turun di stasiun gondangdia  untuk kemudian lanjut naik kopaja P20 sampai kantor. Suatu hari datanglah saat apes saya, dimana di P20 tersebut saya dapat tempat duduk dan menaruh tas di depan. Entah kenapa (mungkin karena sudah merasa aman), kewaspadaan saya berkurang sehingga ada orang yang berdirinya mepet-mepet ke saya pun saya tidak curiga. Malah saya bingung karena orang yang duduk di sebelah kiri saya koq resek banged, kaki nya selalu menyentak kaki saya.

Saya berpikir “dasar bapak-bapak pagi-pagi uda mau ngajak ribut aja” beruntung saya ngejar absen jadi biarkan saja lah, sebentar lagi juga sampai tujuan. Begitu lewat lapangan banteng, banyak penumpang yang turun termasuk laki-laki yang berdirinya mepet-mepet saya.

Kemudian bapak yang disebelah kiri saya celoteh “copet tuh”.

Saya sempat terhenyak, tapi dasar insting absen, saya mengabaikan saja. Begitu saya turun dan on the way ke mesin absen, baru deh saya rogoh isi tas ternyata dompet dan HP raib….WTF gw kecopetan nih DGLMND(maki-maki sambil grusa-grusu).

Terus terang isi dompet saya cuma ada Rp20 ribu dan HP yang hilang pun merk nokia yang bukan qwerty, gak bisa internet dan berbalut seloptip di keypadnya.

Bahkan saking buluknya HP tersebut  teman saya pun berkata “copet juga gak napsu ama henpon lo mas”.

Kawan-kawan saya pun banyak yang prihatin terutama sama copetnya, mereka sudah hati-hati membuka, mengambil dan menutup tas saya dengan rapi, dapetnya cuma Rp20 ribu + HP buluk.

Tapi bukan nominal uang yang saya permasalahkan, bukan pula HP buluk, melainkan surat-surat kayak KTP, KK, ATM, SIM, bahkan STNK mobil juga ada disana. Benar-benar kerjaan berat buat saya nelponin berbagai bank untuk memblokir KK saya (walaupun saya memang sudah gerah juga punya koleksi KK kebanyakan padahal gak pernah dipakai).

Kemudian ada teman saya yang berkata “ udah  rie, paling dalam 3 hari ada yang nelpon lo, bilang kalo mereka nemuin dompet lo”.

Kebetulan di dompet ada kartu nama dan nomer telepon kantor, tapi tetap saja saya mesti ke kantor polisi untuk urus surat kehilangan.

Sesuai prediksi teman ku yang plontos itu, selang 3 hari ada yang nelpon ke kantor. Dia mengaku satpam di lapangan banteng (baru tahu saya kalau ada satpam di lapangan banteng) dan mengatakan kalau ada tukang sapu yang menemukan dompet saya di tong sampah di lapangan banteng.

Wow, dejavu banged nih, dan saya pun bertemu dengan orang yang ngaku satpam tersebut dan terus terang penampilan si satpam lebih mirip tukang pukul daripada satpam (mungkin karena membandingkannya sama satpam Kemenkeu yang lebih rapi ya). Anyway, dia mengenalkan saya dengan si tukang sapu yang notabene bapak-bapak udah tua n keriput.

Saya pun menduga bahwa dompet dan surat-surat tak ada artinya buat para pencopet semprul tersebut. Lagian yang dicopet ternyata kere (isi dompetnya) + HP nya pun buluk (kalau Samsung masih mending lah) jadinya dengan jaringan kartel begal se-Jakarta dan lintas generasi, skenario kedua pun di jalankan yaitu skenario pengembalian dompet lengkap dengan isi-isinya kecuali duit dengan harapan dapat imbalan dari si korban.

Ya sudah saya ikuti aja skenario mereka dengan imbalan 1 foto pahlawan nasional. Sebenarnya sih pengen kasi foto Ki Hajar Dewantara tapi berhubung cuma punya foto pahlawan proklamator ya sudah lah, toh semua surat kembali.

Selidik punya selidik, copet di P20 termasuk kategori berbahaya. Mereka beroperasi berkelompok dan mereka bersenjata juga, jadi pastikan teman-teman pas naik P20 jangan bawa uang lebih dari Rp10 ribu biar lebih pahit lagi buat para copet mendapat korban lebih kere dari saya.

Nah, pada waktu saya penelitian di Medan on the way ke Sei Mangke saya perhatikan bahwa jalan raya Medan-Sei Mangke minim bahkan nyaris tak ada penerangan. Dengan kata lain, sangat rawan di malam hari. Perjalanan Medan-Sei Mangke di tempuh dalam 4 jam dan berhubung banyak hal menarik yang saya dapat ketika di Sei Mangke, waktupun berlalu sampai sudah lewat ashar. Saya pun bergegas untuk kembali ke Medan karena driver juga mengiyakan kalau malam memang rawan begal.

Tapi dalam perjalanan pulang sang driver mengatakan “tenang aja pak. Kita kan naik Avanza jadi gak akan mungkin jadi korban begal”.

“Loh, koq bisa” saya menimpali.

“Iya pak, begal disini sasarannya truk tangki (BBM) sama truk pengangkut kelapa sawit” kata pak sopir.

Rupanya begal disana persis dengan copet di P20. Mereka akan menstop truk target kemudian drivernya disuruh turun, kalau melawan nyawa melayang kalau tidak melawan cuma di tinggal sama si begal. Selang berapa haripun truk akan kembali dalam keadaan terparkir di pinggir jalan dengan muatan kosong.

Ternyata modus para begal sama semua. Ambil cukup isinya saja, sisanya kembalikan. Tapi tentu saja gak ada satpam atau tukang sapu yang menelepon pemilik truk dan mengklaim sebagai penemu truk yang dibegal. Dan tentu saja profitabilitas membegal truk lebih pasti ketimbang nyopet dompet yang bisa jadi isinya cuma zonk aja.

Yah, setidaknya saya tahu persamaan dan perbedaan begal di 2 provinsi ini.  

GEMESS (Garing mak Kress) : Tobat

Bulan Ramadhan sudah berlalu, pun begitu dengan bulan Syawal. Tetapi sebagai umat Islam tentu bekasnya tak boleh sirna begitu saja. Periode pembelajaran selama Ramadhan dan periode pembiasaan selama Syawal harus bisa dijadikan pijakan untuk berubah dan berbenah. 

Momentum itu juga disadari oleh Paimo yang terkenal sebagai anggota geng motor terkemuka di kampungnya. Dia yang sudah jadi dedengkot diantara sekawannya memutuskan untuk bertobat dan pensiun dari geng motor yang dirintisnya itu. Agar tidak hanya dianggap isapan jempol, Paimo mulai merancang program dalam rangka mewujudkan tekad insyafnya. 

Ketika dulu masih aktif di geng-nya, Paimo selalu berlagak bak raja jalanan. Rambu lalu lintas hanya seperti hiasan. Lampu merah pun tak ubahnya sebuah pajangan. Dia menggeber motor seenak udelnya seolah nyawanya ada cadangannya. Oleh karena itu, langkah pertama dalam gerakan pertobatannya adalah mematuhi peraturan lalu lintas yang ada. Dia berjanji pada diri sendiri dan juga Ilahi, akan menaati rambu dan lampu yang mengatur lalu lalang kendaraan di jalanan. 

Tapi berubah menjadi baik memang tak semudah membalikkan telapak tangan, selalu saja ada halangan dan tentangan. Kawan-kawannya selalu mencibir dan mengajaknya kembali. Belum lagi masyarakat sekitar yang resisten. Paimo berjuang menghadapi itu semua agar tetap bisa teguh dan mencapai 'taubatan nasuhah'. Hingga akhirnya dia mencoba men-curhat-kan perjuangannya kepada sang ibu. 

"Mak, susah ternyata ya mau tobat itu, ada aja halangannya"

"Sabar nak, memang gitu, kalau mau jadi baik, pasti setan-setan berbentuk jin dan manusia ga suka...jadi kamu harus kuat ngelawannya", sang ibu mencoba menyemangati anaknya.

"Iya mak, masa aku uda bener aja, masih ada yang maki-maki dan nyalah-nyalahin"

"Waktu itu pas lampu merah, aku berhenti... eh malah diteriakin bego dan diklakson-klaksonin sama angkot di belakang", Paijo melanjutkan ceritanya. 

"Hehehe... biasa itu nak di sini, cuekin aja... yang penting kamu benar ya ga usah didengerin"

"Ho oh sih mak, aku cuekin aja... aku anggap itu ujian orang tobat"

"Ada lagi ni mak, pas aku kasih tau kalau ga boleh parkir di pinggir jalan situ, eh... malah diajak berantem sama tukang parkirnya, yang salah siapa yang marah siapa"

"Hahaha... itu juga biasa nak disini... tapi kamu ga berantem kan?"

"Engga dong mak, aku tinggalin aja... aku kan sudah insyaf", Paimo menjawab dengan dada sedikit membusung. 

"Tapi ya mak, yang paling parah kemarin, aku dibilang gila, sampek mau digelandang ke kantor polisi, ya ga takut lah aku... orang posisiku benar"

"Wuih hebat kamu nak, emak bangga... tapi emang gimana kejadiannya?"

"Jadi gini mak..", Paimo membenarkan posisi duduknya

"Pas di lampu merah perempatan sana, aku kan mau belok kiri... lampu ijonya nyala, tapi aku langsung ngerem mak, berhenti..."

"Loh, lampu ijo kok berhenti?" Ibu Paimo nampak mengernyitkan dahi

"Bentar mak, ceritaku belum selesai, iya lampunya ijo, tapi rambunya nyuruh berhenti... ya aku berhenti.. konsisten"

Dahi ibu Paijo yang sudah keriput makin kelihatan mengkerut. 

"Eh.. orang-orang pada nglaksonin dan maki-maki....padahal kan aku cuma mematuhi rambu lalu lintas.... "

"Sampai akhirnya ada yang turun dari motornya dengan wajah emosi... coba kutenangkan dan kujelaskan... tapi dia malah makin emosi dan bilang aku gila... bener-bener ga ngerti aku", Paijo geleng-geleng.

"Denger dari ceritamu sih, sepertinya kamu memang gila nak, yuk kita cek ke dokter"

"Aduh emak, aku cuma patuh sama rambu lalu-lintas mak", Paijo tak terima. 

"Emang rambu yang kaya gimana sih nak, emak masih ga paham"

"Itu loh mak, di bawah lampu merahnya kan ada tulisan 'belok kiri mengikuti lampu'... ya aku patuhi"

Kini kerutan di dahi ibu Paijo nampak mulai ada yang terkelupas. 

"Yaudah kan, disuruh ngikuti lampu ya aku ikutin, aku berhenti lah di belakang lampu, aku tungguin lampunya, karena dia masih diem aja di situ ya aku diem juga dong mak, kalau dia jalan ya aku ikut jalan...namanya juga ngikutin...tapi kan lampunya masih diem aja di situ... ya aku juga diem aja disitu.. ga salah kan mak? "

Sang ibu tak berkata-kata, hanya mengangkat gagang telepon sambil membuka-buka buku telepon mencari sambungan ke rumah sakit jiwa terdekat. Tamat

Dan dia pun tetap melangkah..

Rumah orang tua saya yang terletak di bilangan Mampang Prapatan adalah rumah yang sama dengan rumah yang saya tempati sejak puluhan tahun lalu..
Namun dengan banyak perubahan2 yang terjadi di sekitarnya..

Tengoklah bu Hajjah Rogaya yang rumahnya dahulu terasa luas dan lapang buat saya, sekarang terlihat sempit karena banyaknya penghuni baru (menantu+ cucu2nya yg gempal, hehehe)..

Atau warung bang Karim alias Karel alias bung AKA.Zakzay (akronim dari Abdul Karim Zakariya) yang awalnya cuma cukup buat berdagang makanan ringan, tapi sekarang sudah berlantai 2 dengan jenis barang jualan Palugada (Apa yg Lu Mau Saya Ada)..

Ga ketinggalan TK Al-Ikhlas milik Ibu tercinta yang tadinya hanya terdiri dari 2 ruang kelas, sekarang sudah bertambah jadi 3...

Yah..
Waktu dan kehidupan selalu begitu bukan?
Berlari terlalu tergesa-gesa, bahkan untuk kita menyadarinya..

Tapi ada satu yang seingat saya tak pernah berubah..

Engkong Udin..

Beliau adalah seorang kakek dengan usia kira2 85 tahunan,
istrinya telah meninggal dunia bahkan sebelum saya lahir..

Trus, apa istimewanya seorang Engkong Udin?
Sebenernya ga ada, Cuma satu dari sekian manula (yang mungkin) kesepian yang saya kenal.
Hanya beliau tak berubah dalam satu hal..
Beliau tak pernah absen ke Masjid saat Azan berkumandang, malah seringkali sebelum Azan beliau sudah hadir di Masjid..

MasyaAllah..

Setahu saya cuma ada 2 alasan kenapa beliau ga nongol ketika waktu shalat (hampir) tiba..
1. Sakit atau...
2. Saya nya yang sakit, jadi ga bisa keluar rumah dan menyapa beliau sambil menemaninya melangkah menuju masjid..

Ketika waktu subuh hampir datang, cobalah dengarkan.. 
Perlahan tapi pasti akan terdengar langkahnya yang tersuruk-suruk ditingkahi dengan suara tongkatnya yang khas dengan ditingkahi batuk-batuk kecil khas orang yang sudah berumur

Suatu saat pernah saya iseng2 nanya..
"Ngkong, kenapa ga sholat di rumah aja sih? Kayanya klo buat engkong InsyaAllah udah ada rukhsah (keringanan) buat shalat di rumah aja kan?
Dia hanya menjawab ringan..
"Enggak, Insya Allah Engkong tetep (mau shalat) di Masjid aja.. Pahalanya gedean, orang tua kaya engkong udah ga bisa ngapa2in buat nyari ridha Allah.. Cuman ini bisaannya.. 
Lagian siapa tahu Allah cabut (umur) engkong waktu lagi jalan mo ke Masjid.. 
kan jadinya syahid tuh.."
Dia pun terkekeh..

Sebaliknya, saya terdiam... 
Entah mengapa kata2nya begitu menghujam di hati ini..
Perjalanan ke Masjid pun beliau lanjutkan tertatih-tatih..
Sambil tetap menggandeng tangannya agar beliau berjalan tanpa harus
menabrak2 benda di depannya..

Oh iya..
Engkong Udin tidak dapat lagi melihat sejak beliau berumur belasan tahun..
"Udah rezekinya begini..." Ucap beliau perlahan diiringi dengan senyumnya yang canggung, tiap kali ditanya apa penyebab kebutaannya..
Ah.. Engkong Udin.. Anda sungguh hebat!


Jakarta, 1 Agustus 2017..
diiringi dengan sesaknya dada dan lelehnya (sedikit) airmata..


Ps:
Beberapa waktu lalu Engkong Udin meninggal dunia menjelang waktu Ashar ketika hendak beranjak ke Masjid. Allahumaghfirlahu warhamhu wa’afiihi wa’fu’anhu.. Semoga beliau mendapatkan keadaan syahid, seperti yang dicita-citakannya.

Nabi shallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Setiap hamba akan dibangkitkan berdasarkan kondisi meninggalnya" (HR Muslim no 2878)




Naik Bentor Keliling Dumai

Ini adalah sekelumit catatan perjalan riset saya. Salah satu kota yang saya datangi untuk melakukan penelitian adalah Kota Dumai dan ini juga pertama kalinya saya ke sana. Saya naik travel dari Pekanbaru ke Dumai dan ketika sampai saya sendiri baru sadar kalau Kota Dumai itu luas banged saking luasnya kelihatan sepiiii banget. Maklum aja, jalan-jalan di kota ini cenderung lebar-lebar tapi kendaraan yang lewat sedikit banged. Mall gak ada dan terus terang kalo malam saya males jalan-jalan keluar. Lha kotanya sepi begini apa yang mau di lihat.

Hari kedua saya di Dumai saya isi dengan jalan-jalan naik bentor atau becak motor sejenis motor yang dimodifikasi pake sespan sehingga penumpang sedikit lebih nyaman daripada duduk di boncengan motor. Berhubung baru pertama kali ke Dumai maka saya juga gak tau tempat wisatanya dimana aja jadi memutuskan datang ke pantai. Ternyata pantai di Dumai indahhhhh banged penuh dengan kapal-kapal kargo yang nyandar di laut dan yahh sedikit polusi walau gak semerbak kayak Muara Angke di Jakarta. Dengan kata lain, pantai di Dumai memang pantai secara harafiah yaitu batas antara darat dan laut, bukan pantai dalam artian tempat rekreasi kayak di Anyer atau Kuta, apalagi sama Pelabuhan Ratu mohon agar jangan dibandingkan tapi silakan dibayangkan. Agaknya kalau menjadikan Dumai sebagai destinasi wisata will be your greatest mistake in your life.

Tapi tujuan saya datang ke Dumai memang bukan untuk berwisata, melainkan untuk penelitian. Nah, kalo anda datang ke Dumai untuk penelitian apapun bidang penelitiannya, maka dumai adalah kota yang paling tepat. Kenapa? Karena di Dumai banyak perusahaan baik perusahaan kelapa sawit maupun migas. Kota ini juga kabarnya merupakan kota terluas di Indonesia di tambah juga dengan sistem transportasi yang belum tertata dimana angkot tidak ada nomor dan jurusannya. Yup, kita tahu bahwa itu angkot karena Suzuki carry warna biru, tipikal angkot-angkot di berbagai kota besar yang lain. Taksi di Dumai merupakan pemandangan langka, karena memang tidak ada taxi di sini, mungkin kalau taxi online masuk tidak ada yang demo kayaknya. Selain absennya taxi, angkot yang tak berjurusan nan jarang, ojek pun tidak ada. Nah, yang ada dan jumlahnya banyak di Dumai cuma bentor, jadilah saya coba berjalan-jalan keliling Kota Dumai menggunakan jasa bentor.

Tapi bentor pun punya kekurangan yaitu mereka engan untuk berjalan-jalan dengan radius lebih dari 5 KM. Ini jadi masalah besar buat saya, karena hotel tempat saya tinggal berada di pusat kota, dekat dengan pelabuhan, sedangkan tempat yang ingin saya datangi adalah kantor pemda yang berada jauh ke arah selatan (masuk ke inland) dan bentor dari tempat saya menginap tidak bersedia mengantar sampai kesana karena kejauhan. Hal yang sama juga terjadi dengan kawasan industri di Dumai. Dimana ada 2 kawasan industri yaitu Pelintung dan Lubuk Gaung yang terletak berjauhan satu dengan lainnya. Pelintung di tenggara dan Lubuk Gaung di barat laut. Bentorpun menolak ketika saya minta untuk pergi kesana dengan alasan yang sama.

Ketika, perjalanan dengan bentor di mulai baru saya paham kenapa mereka menolak untuk bepergian jauh. Selain karena kecepatan mereka yang cukup lambat, juga karena sespan yang terbuka sehingga untuk penumpang disarankan naik dalam kondisi yang fit, karena terpaan angin yang cukup kencang plus sensasi getaran kayak bajaj merah di Jakarta berpotensi untuk membuat mereka yang kurang fit masuk angin. Belum lagi, sepanjang perjalanan bentor saya hanya berhenti di tempat tujuan, tidak pernah berhenti di lampu merah walaupun lampu lalinnya sudah merah, bahkan ada truk atau mobil berhenti di depan pun, bentor tetap melaju dengan berusaha menghindari halangan yang ada di depan. Hal ini membuat saya bersyukur tidak bisa ke tempat yang saya ingin tuju dengan bentor.

Akhir perjalanan, tibalah transaksi antar pengguna dan pemberi jasa. Uniknya sopir bentor ini meminta saya untuk mengajukan harga bukannya memberi harga untuk saya tawar. Alasannya biar sama-sama enak, dan benar, ketika saya buka harga di angka Rp100 ribu, sang supir pun langsung mendehem sambil berkata Rp150 ribu. Well, untuk jalan-jalan keliling pusat kota yang boleh dibilang lack of point of interest dengan durasi lebih dari satu jam plus sensasi mau masuk angin dan keleyengan, saya anggap masih worth it lah. Jadi bagi kalian yang ingin ke Dumai, selalu ingat untuk punya teman disana yang punya mobil dan punya waktu untuk mengantar kalian wara-wiri di sana karena bentor bukan pilihan untuk moda transportasi umum. Terus terang dengan tarif Rp150 ribu tinggal dikali 3, kita sudah bisa nyewa avanza plus supir selama 12 jam (BBM exclude) yang saya lakukan di hari berikutnya.

Kakak Ga Jadi Nyantren

Gelap mulai menaungi desa Cilimus di kaki gunung Ciremai. Mendung  menggelayut disusul rintik-rintik hujan yang kelamaan jadi deras. Sepi, semakin sepi saja rasanya karena satu anggota keluarga yang selalu setia berlelah-lelah dalam kemacetan bersama ketika berpetualang dengan Fazan (nama kendaraan roda empat mereka) harus tinggal di sini. Tadi, di pintu kamar asrama, Kakak melambaikan tangan dengan wajah sumringah.

“In syaa Allah, aku akan mulai mandiri, Bu.” Mantap dan ceria sekali dia berucap sebelum mencium tangan Ibu. Sementara, dada Ibu begitu sesak dan kelopak matanya mulai panas menahan tangis. “Ahh … anakku, kenapa kamu tidak belajar mandiri bersama Ibu saja?” Begitu selalu protes di batin Ibu setiap kali mendengar alasan Kakak ingin sekolah di pesantren. Supaya banyak kegiatan positif, bu. Ga main HP terus, bu. Tetap rajin ibadah, bu. Tambah hafalan Al Qur’an, bu. Ya…ya… sungguh mulia, keinginanmu, nak. Tapi kenapa tidak terbersit untuk melakukan semuanya di dekat Ibu?

Jadilah perjalanan pulang Kuningan, Jawa Barat kali itu menuju Tangerang Selatan di Banten begitu panjang. Suhu dingin di dalam mobil yang bertambah-tambah oleh hujan deras tidak terasa oleh isak tangis Ibu. “Sudahlah, mulai ikhlas, Bu. Doakan semoga anak kita jadi orang shalih pembela agama”. Konsentrasi menyetir Ayah sepertinya mulai terganggu  dengan sedu sedan Ibu.

Pelan-pelan ibu mengendalikan diri dan isaknya reda seiring mendung yang menyingkir memperlihatkan suasana malam yang mulai datang. Dibukanya kaca jendela mobil supaya udara alami kota Kuningan bisa lebih menyegarkan batinnya. Seolah baru terjaga dari tidur, ibu melihat sisi-sisi jalan saat warung-warung mulai terlihat sepi dari pengunjung. Temaram lampu dari balik jendela, menghantarkan bayangan siluet manusia bergerak kian ke mari. Ada yang duduk mengangguk-anggukan kepalanya, ada yang menggerakan tangannya sambil berbicara ngalor ngidul, dan ada yang sibuk keluar-masuk dapur membawa tumpukan piring dan masakan. Dalam udara yang dingin … berteman angin dan terang bulan. Seandainya orang-orang itu adalah keluarganya, tentu saat ini Ibu berada di tengah kehangatan ruang itu, menikmati suasana dan santapan lezat … tanpa perlu kesepian seperti ini. *).
---

Itu lah suasana kebatinan yang selalu membayangi Ibu setiap memikirkan harus mengantar Kakak tepat seminggu setelah lebaran, untuk mondok di Pesantren. Karena urusan mondok ini menyangkut ideologi, kemandirian, dan kenyamanan belajar, setelah mencari referensi dari beberapa kawannya yang terpercaya, Ibu, Ayah, dan Kakak sebenarnya sepakat memilih Ponpes Al Multazam di Kuningan, Jawa Barat. Jauh, memang.

Tapi, kakak yang sedang semangat-semangatnya beraktualisasi diri penasaran juga, apa nilai UN nya masih bisa bersaing di sekolah negeri. “Kenapa engga?,” fikir Ibu. “Tapi, pilih aja sekolah yang favorit sekalian, Kak. Supaya kalau pun akhirnya berubah fikiran, tidak sekedar meninggalkan kesempatan menuntut ilmu di pesantren”. Sebenarnya, Ibu tidak yakin Kakak diterima di SMA Negeri favorit. Walaupun katanya nilai UN se-Banten tahun ini turun, tapi peringkat lolos di kedua SMAN yang Ibu sodorkan tinggi dan nilai UN kakak jauh dari limit angka 30. Lihat saja yaa, nanti.

Di masa-masa menjelang akhir Ramadhan adalah saat-saat terberat Ibu untuk berusaha ikhlas melepas Kakak sekolah di pesantren. “Dia bukan milik mu. Kelak, dia juga akan meninggalkan kamu. Titipkan saja sama Tuhan. Toh, mendidiknya di rumah juga atas izin dan rahmat Tuhan”. Tapi, yang menambah berat juga soal biaya. Setelah dihitung-hitung, SPP sebulan, uang saku, biaya membeli penganan untuk Kakak, ongkos menjenguk plus biaya kuliah tante dan sekolah Adek yang di SD swasta, berputar-putar juga di kepala membuat Ibu pening. Ibu tahu, Allah selalu memberi jalan keluar tambahan rizki. Tapi, sepanjang perjalanan hidup mengadukan kesulitan ekonomi, solusi yang didapat Ibu sebagian besar melalui APBN. Yaa ampuun, Ibu jadi takut, jangan-jangan defisit APBN bertambah gara-gara meningkatkan kesejahteraan Ibu. Naif banget, tapi Ibu mikir defisit itu akan jadi tanggungan Kakak, Tante, dan Adek kalau mereka besar nanti.

Tahun lalu, hasil UN terendah yang diterima di SMAN 1 dan SMAN 4 masing-masing 33 dan 30. Tidak perlu lagi disebut nilai UN Kakak, cukup diberi petunjuk di atas karena menurut Ibu itu bukan hasil optimal. Dari semangatnya ikut pendalaman materi, bimbingan belajar tambahan, mengajari teman-temannya, belajar kelompok hampir tiap hari, semua atas kemauannya sendiri, menurut Ibu seharusnya minimal Kakak dapat 32. Sedikit di bawah Ara, siswi ranking 1 yang selalu ingin disainginya. “Maaf ya, Bu aku kurang sungguh-sungguh waktu UN. Kalau aku serius, mungkin nilai UN ku bisa bagus,” Kakak beralasan saat melihat wajah datar Ibu melihat SKHUN-nya.”Menurut Ibu, kamu terlalu tenang karena sudah mendapat sekolah”. Ibu menghela nafas, bukan seperti ini yang dia ingin lihat dari anaknya yang selama ini begitu semangat. Sepertinya, Kakak kendur di saat dia harus berlari kencang.

Dari pengalaman Ibu dan Ayah membesarkan Kakak dan Adek, mendidik anak tidak bisa lepas dari peran orang tua. Kakak dan Adek masih harus dituntun belajar membaca dan mengeja huruf-huruf hijaiyah di rumah, walaupun setiap Senin-Jumat sekolah hampir seharian. Mereka harus sedikit dibuat kapok karena sampai kelas 4 lalai dengan perkalian. Dibujuk tiap Isya dan Shubuh supaya mau berjamaah di mesjid. Bahkan, dibimbing dan ditemani dari seleksi masuk sekolah yang satu ke yang lain supaya belajar bagaimana rasanya gagal dan menginginkan keberhasilan. Sepertinya, Ayah dan Ibu sudah ‘jungkir balik’ bekerja sama menanamkan semua hal baik, kalau itu disebut kebaikan. Kalau kelak mereka faham agama, disiplin dalam hidup, bertanggung jawab dalam berkarya dan merasa bisa seperti itu karena sekolah di pesantren… ahh … hanya untuk materi sajakah Ayah dan Ibu akan dikenang karena bisa menyekolahkan Kakak di pesantren?

Tanggal 20 Juni pengumuman akhir hasil seleksi masuk SMAN se-Banten, dan Ibu tidak berminat melihatnya. Yang membuat Ibu terkejut, ketika di WAG SMP kakak, seorang Ibu meminta restu karena anaknya diterima di sekolah yang juga didaftar Kakak. Ibu penasaran… ehhh, ternyata Kakak diterima juga, walaupun masuk 50 besar dari bawah. Yang penting kan keterima dulu. Dan Ibu merasa, inilah keajaiban atas kegalauannya melepas Kakak. Ayah menyerahkan kepada ‘perasaan halus’ Ibu untuk memberi saran kepada Kakak, mana yang sebaiknya dipilih.

“Ibu dan Ayah minta waktu untuk mengumpulkan tabungan lagi, buat membiayai cita-cita kakak. Dokter hewan, Psikolog, atau Astronom itu bukan jurusan yang bisa diambil di sembarang Universitas. Kalau Kakak bersedia sekolah di SMA Negeri, uang yang seharusnya dikeluarkan bisa disimpan dulu sampai nanti saatnya Kakak kuliah”. Begitu mohon Ibu, yang akhirnya meluluhkan keinginan kuat Kakak sekolah di pesantren.

“Kalau kita tinggal di tempat yang terlindung dengan higienitas tinggi, Kak, kita tidak akan pernah bisa menguji daya tahan tubuh kita. Pesantren itu lingkungan pilihan, fasilitas serba ada karena kebanyakan orang tua mampu mendukung kelancaran proses belajar dengan materi. Pelajar-pelajar yang lurus akhlaknya, karena secara sadar ingin menggembleng diri. Ustaz-ustaz yang faham agama karena itulah yang diajarkannya setiap hari. Sekolah di SMA negeri, bisa membuat kita waspada saat kita harus pandai memilih teman, belajar dengan fasilitas seadanya karena pelajarnya dari lingkungan yang minim sumber daya. Di situ biasanya daya tahan kita diuji. Giat-giatlah, Kak.” **). Ibu mencoba memberi tips kepada Kakak menjelang daftar ulang di SMA Negeri, yang itu berarti dia harus meninggalkan masa orientasi santri.

Kakak sudah legowo tidak jadi sekolah di Pesantren, itu katanya, itu yang terlihat. Dengan penuh kesigapan, setiap hari sekolah, dia disiplin bangun sebelum subuh, sarapan dan langsung mandi setelah subuh, supaya jam 6 tepat bisa berangkat sekolah. Dia jadi seksi kebersihan, yang katanya, tugasnya mengawasi petugas piket setiap hari. Satu kejutan lagi, hasil tes penempatan kelas ternyata sudah keluar dan kakak masuk kelas IPA-3, dari 5 kelas IPA. “Ya, iyalah Bu… aku sungguh-sungguh. Kalau aku merasa sudah kesulitan belajar, aku kan sholat tahajud juga sama puasa,” begitu katanya ketika Ibu terlihat heran dengan ‘keberhasilan’ Kakak menembus kelas IPA.

Hidup masih berlanjut dan panjang. Ibu dan Ayah hanya bisa terus menjadi teman bicara, memberi sarana, dan yang terpenting berdoa. Menitipkan Kakak, Tante, dan Adek sama Tuhan. Karena jauh ataupun dekat, Kakak, Tante, Adek, Ibu dan Ayah, sesungguhnya milik Tuhan.🌾

*) terinspirasi tantangan meneruskan paragraf mba Embun.
**) terinspirasi obrolan sarapan pagi dengan mba Embun

Renungan Sore: Yang Sensi Boleh Baca

Pasti pernah dengar kata bully kan? Kata ini sepertinya sedang booming saat ini, semua orang, dari anak-anak sampai orang tua pernah mendengar kata ini. Hanya cara menyikapinya yang berbeda-beda. Ada yang menganggap remeh, ada yang biasa-biasa aja, bahkan yang menanggapi secara serius pun ada. Kenyataannya bullying kian marak dilakukan di Indonesia.

Bully berasal dari Bahasa Inggris, padanan dalam Bahasa Indonesianya adalah perundungan yang artinya adalah suatu perlakuan yang menganggu, mengusik terus- menerus, dan juga menyusahkan.

Dari definisi di atas, sudah cukup jelas, apa yang dimaksud derngan bully. Cobalah berkaca pada diri kita sendiri, apakah setiap ucapan, tindakan, atau bahkan pikiran kita ada yang menganggu/menyusahkan orang lain? Kadang kita lakukan dengan sadar atau tak menyadari bahwa itu menyakiti orang lain.
Kalau iya, maka bersiaplah jika kita ternyata bisa dikategorikan sebagai pelaku bullying.

Kalau konteksnya hanya bercanda bagaimana? Beda-beda tipis nih.

Bercanda dalam KBBI adalah berkelakar, bersenda gurau, berseloroh. Bersenda gurau adalah hubungan timbal balik, dimana kedua pihak sama-sama merasakan senang. Tapi kalau yang merasa senang hanya satu pihak, sedangkan salah satu pihak ada yang tersakiti, itu bukan becanda namanya, namun sudah menjurus pada bullying. Apalagi bullying yang dilakukan secara berkelompok, kian bias maknanya antara bercanda atau membully.

Apa sih tujuan bullying?

Salah satu tujuan bullying yang paling mudah ditangkap adalah keinginan untuk mengatur/menguasai orang lain dengan cara menjatuhkan kehormatannya atau mebuatnya malu dihadapan umum. Biasanya mereka akan menyerang bentuk fisik, karakter, atau kekurangan seseorang. Mereka merasa perlu untuk menunjukkan eksistensi/kekuasaannya di hadapan publik, sehingga mencari sasaran/objek yang paling dianggap lemah untuk bisa menunjang pencapaian tujuan itu, dan biasanya nih ya pelaku bullying ini adalah orang yang memiliki konsep diri negatif atau pernah menjadi korban pembully juga. Miris ya, semestinya yang pernah merasakan tingkat empatinya bisa lebih tinggi, tapi ini malah mencari teman untuk bisa mengalami kejadian gak enak yang dia rasakan itu.    
Nah, cek deh, hati kita masing-masing, bila ada terbersit rasa puas karena bisa mendapatkan kesenangan atau kebahagiaan, ketika kita tengah bercanda/mengolok-olok orang lain, jangan-jangan sebenarnya kita termasuk pelaku bullying juga lho.

Dampaknya ada enggak?

Dampak bully berbeda-beda tergantung tingkat psikologis orang yang bersangkutan. Bagi pelaku tentu memberikan kepuasan tersendiri bagi dirinya, sedangkan bagi korban bullying bisa menimbulkan krisis kepercayaan diri, tidak nyaman, pembentukan citra diri/opini sosial yang negatif, bahkan kadang sampai pada tingkat penyebab seseorang bunuh diri.

Emang sejak kapan sih bullying ini ada?

Bullying ini ternyata sudah ada sejak zaman dahulu kala. Sejak zaman Nabi Muhammad dimana Nabi pun saat itu menjadi salah satu korbannya. Dalam satu riwayat, terdapat sekelompok perempuan yang mengolok-olok seorang istri Nabi karena Beliau keturunan Yahudi bernama Shafiyah binti Huyay bin Akhtab. Nabi kemudian berkata kepada Shafiyah "Mengapa tidak kamu katakan kepada mereka bahwa bapakku Nabi Harun, pamanku Nabi Musa dan suamiku Nabi Muhammad?!"
Kejadian ini diabadikan dalam Surat Al Hujurat ayat 11. 

Ternyata bully ini turun temurun ya, dan Alqur'an memberikan ancaman yang tegas untuk itu. Menjadi orang yang zalim sebutannya. Tahu kan ganjaran menjadi orang yang zalim itu apa?

Kalau zaman sekarang, zaman dimana katanya "orang yang salah bisa menjadi benar, dan yang benar bisa menjadi salah" hati-hati bicara menjadi korban bully. Salah-salah malahan korban yang dicibir banyak orang. Dianggap tidak punya selera humor lah, terlalu lebay lah, atau begitu aja kok marah??? 

Memang banyak juga orang yang berhasil memanfaatkan bullying sebagai cambuk untuk meningkatkan prestasi diri. Salah satunya adalah penyanyi Lady Gaga, yang dibully karena fisiknya yang kurang sempurna (hidungnya dianggap terlalu besar). Dari korban bullying, ia berhasil  menjadi seorang superstar. Dan bersama teman-temannya, ia mendirikan yayasan yang menentang tindakan bullying. Perlawanan terhadap bullying pun disuarakan oleh seorang aktris cilik di Indonesia lewat lagu yang dinyanyikannya. Namun daripada mengharapkan orang melakukan tindakan meningkatkan ketahanan mentalnya, bukankah lebih baik jika kita mulai dari diri sendiri, untuk tidak menjadi pelaku atau mendukung tindakan bullying?

Ketahanan terhadap virus bullying memang butuh latihan panjang. Mungkin melelahkan. Tapi selalu ingat bahwa masih banyak orang yang mampu menjaga lisan dan tindakannya, menjadi pembelajaran pada diri sendiri, agar bisa selalu berusaha untuk menebarkan rasa empati terhadap sesama, dalam usaha pribadi untuk mencegah virus bullying agar tak menjadi wabah Nasional.

(data: dari berbagai sumber, sbg pengingat diri sendiri)









Berpikir Tanpa Kotak

Sambil gowes tadi pagi saya mikir: apakah selalu berpikir "out of the box" itu bagus? Mungkin iya apabila pikiran itu benar-benar "keluar dari kotak", tapi bagaimana bila ternyata pikiran yang "out of the box" tadi ternyata masuk ke "another box"? Keluar dari kotak yang satu, masuk ke kotak yang lain.
Pikiran tersebut dipicu oleh maraknya pemberitaan di radio tentang ruwetnya peraturan-peraturan di Indonesia. Sampai-sampai Pak Jokowi dengan geram menyampaikan kekesalannya akan hal tersebut. Pak Jokowi menyoal tentang bangsa Indonesia yang memiliki banyak sumber daya, banyak investor yang berminat menanamkan modal, tapi semuanya sia-sia karena aturan-aturan yang ruwet. Terkait hal tersebut, Pak Jokowi bahkan 'mengultimatum' para menteri agar tidak lagi membuat aturan-aturan yang bikin ruwet.
Kekesalan Pak Presiden tersebut dapat dipahami. Bagaimana tidak? Tidak terhitung banyak peluang investasi yang terhambat bahkan hilang hanya karena aturan yang tidak memungkinkan. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah sebenarnya sudah melakukan berbagai kebijakan deregulasi, yang intinya untuk menyederhanakan semua aturan-aturan terkait. Alih-alih tercapai, deregulasi yang dilakukan malah menghasilkan regulasi baru yang justru menghambat kegiatan investasi. Dalam sebuah wawancara, seorang anggota KADIN menyampaikan bahwa nyatanya masih banyak ego-kementerian dalam penyusunan suatu regulasi.
Dalam praktek terbaik, deregulasi memang banyak dilakukan untuk memangkas regulasi yang tumpang tindih, memotong rantai birokrasi, meningkatkan efisiensi dengan regulasi yang lebih sedikit dan sederhana. Adanya regulasi baru yang dihasilkan dari proses deregulasi bukanlah sesuatu yang salah. Namun ketika regulasi baru tersebut kemudian tidak mendukung tujuan dilakukannya deregulasi, maka masalah baru pun timbul.
Melakukan deregulasi di tengah carut marutnya regulasi negara ini bukanlah hal yang mudah. Regulasi tumpang tindih, duplikasi tugas dan fungsi adalah sebagian kecil gambaran wajah regulasi kita. Upaya deregulasi yang sifatnya parsial cenderung tidak efektif karena selalu terbentur dengan "ego-kementerian". Arahan pimpinan untuk mencari solusi yang "out of the box" malah menghasilkan solusi "inside another box" .
Para pembuat kebijakan publik atau para menteri harusnya sadar  bahwa "kotak kementerian-nya" hanyalah untuk membatasi tugas, fungsi dan kewenangannya. "Kotak-kotak" tersebut dibuat untuk merapikan susunan, struktur dan untuk mempertegas bahwa "isi kotak" yang satu tidak tercampur dengan "isi kotak" yang lain. Ketika bicara kepentingan nasional seharusnya semua "kotak" itu tersusun rapi sehingga terlihat "tanpa kotak" hanya satu "kotak" besar yaitu INDONESIA.
Apa yang terjadi sekarang, dan itu yang dikeluhkan sebagai "ego-kementerian" adalah bahwa pemikiran-pemikiran hanya terkungkung dalam satu kotak masing-masing atau terjebak ke dalam kotak yang lain. Benar apabila dikatakan bahwa masing-masing mengatakan bahwa kebijakannya adalah untuk kepentingan negara, sesuai amanat undang-undang atau sesuai dengan arahan presiden. Namun tidak disadari bahwa hal tersebut dapat menyebabkan "susunan kotak-kotak" itu tidak rapi lagi, bahkan menghalangi "kotak-kotak" yang lain. Melakukan deregulasi sama halnya dengan mengurai benang kusut. Ketika kita hanya berkutat  pada inti benang kemungkinan yang terjadi adalah benang semakin kusut, terikat mati atau bahkan putus. Tapi ketika kita mengurai satu demi satu dari posisi benang terluar, yang paling terlihat dan yang paling bebas, kemungkinan untuk berhasil akan sangat besar. Demikian pula halnya dengan deregulasi. Semua regulasi harus diurai dan dilihat satu persatu, dari yang terkait langsung, terkait tidak langsung bahkan yang kemungkinan akan terkait. Para pemangku kepentingan harus diidentifikasi dengan jelas, siapa saja dan berada di layer yang mana. Dampak regulasi yang baru harus benar-benar diukur untuk mendapatkan manfaat bersih yang sebesar-besarnya. Konsekuensi kebijakan juga harus dipertimbangkan dengan hati-hati termasuk mitigasi risiko yang mungkin terjadi.
Tidak mudah? Iya, karena deregulasi seharusnya memang dilakukan secara bertahap dan dibuatkan peta jalannya. Deregulasi yang dilakukan dalam waktu yang sempit peluang keberhasilannya akan sangat kecil. Akan banyak regulasi yang terlewat, banyak pemangku kepentingan yang tidak teridentifikasi dan tidak diajak konsultasi. Satu-satunya jalan untuk memperbesar peluang tersebut adalah dengan "thinking without the box". Semua pembuat kebijakan terkait duduk bersama tanpa "kotak" masing-masing. Yang dicari adalah "win some-loose some solution", bukan "win-win solution" karena jika demikian akan ada yang menang banyak dan menang sedikit. Semua harus berpikir untuk kepentingan yang lebih besar dan lebih penting daripada "kotak"-nya. Berpikir tanpa kotak dapat membuat kita melihat permasalahan secara keseluruhan. Membuat kita melihat lebih jelas hambatan-hambatan yang ada dan yang mungkin ada. Saya yakin apabila para menteri dan pembuat kebijakan publik mampu berpikir tanpa kotak maka masalah-masalah bangsa ini akan terselesaikan dengan cepat, tepat dan rendah biaya.



*tulisan ini juga dimuat di https://ikoerba.wordpress.com/2017/07/26/berpikir-tanpa-kotak/