Cinta

Rasa apa yang aku pilih untuk menjalani hari ini?
Aku ingin merasakan rasa cinta yang melimpah
Menggantikan rasa marah dan benci yang selama ini membelenggu
Jika kita bisa memilih rasa yang ingin kita rasakan, maka rasa cinta yang aku butuhkan

Dengan cinta, kebekuan mencair
Dengan cinta, kerasnya hati melunak
Dengan cinta panas dalam dada berganti jadi sejuk
Dengan cinta, dunia tersenyum

Cinta harus kita tumbuhkan dalam diri kita sendiri
Benihnya akan tumbuh kembang memancar ke segala arah
Bila kita pupuk dan rawat sepanjang masa
Membawa kedamaian dan ketenangan

Cinta yang tulus adalah pengejawantahan sifat rahman dan rahim
Sifat yang harus kita miliki bila kita ingin menjadi wadah Tuhan
Tanpa sifat cinta mustahil melaksanakan titahNya
Semua makhlukNya hadir karena cintaNya

Rasa sayang akan tumbuh dengan cinta
Rasa peduli akan tumbuh dengan cinta
Rasa halus akan tumbuh dengan cinta
Rasa indah akan tumbuh dengan cinta

Dengan cinta kegelapan berganti terang
Dengan cinta warna merah berganti putih
Dengan cinta kekusutan jadi terurai
Dengan cinta kebekuan jadi mencair

Jakarta, 8 November 2017

10 November


Setiap tanggal 10 November kita memperingati Hari Pahlawan, untuk mengenang jasa-jasa para pahlawan yang telah gugur mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di berbagai instansi pemerintah, sekolah-sekolah dan beberapa tempat lainnya dilangsungkan upacara bendera sebagai salah satu bentuk peringatan. Selain itu biasanya juga dilaksanakan ziarah ke beberapa Taman Makam Pahlawan sebagai bentuk menapaktilasi perjuangan para pahlawan.

Sebagai generasi penikmat kemerdekaan, selayaknyalah bahwa kita bisa mengisi kemerdekaan ini dengan hal-hal yang bermanfaat bagi negara kita. Sekecil apapun peran yang dapat kita mainkan, selama itu menjadi kontribusi yang baik bagi bangsa dan negara maka itu harus kita lakukan, karena sesuatu yang besar itu adalah kumpulan dari sesuatu yang kecil.

Mengenang para pahlawan, pernahkah terfikir oleh kita bahwa salah satu senjata yang digunakan oleh para pahlawan adalah bambu runcing, sungguh suatu senjata yang amat sederhana bila dibandingkan dengan senjata modern yang dimiliki oleh para penjajah pada masa itu. Namun para penjajah amat sangat takutnya terhadap bambu runcing tersebut. Mengapa? Karena para pemegang bambu runcing tersebut adalah para pentauhid, para pejuang yang berjuang di jalan Allah, para pejuang yang tidak takut mati karena membela hak dan kebenaran yang harus ditegakkan di Bumi Pertiwi yang telah dirampas oleh para penjajah.

Semoga kita, para penikmat kemerdekaan dapat meneladani semangat juang para pahlawan yang disandarkan kepada kekuatan Allah, Tuhan Yang Maha Esa.


Jakarta, 10 November 2017

Aksara tak Bersuara


kalau bisa, kuingin tetap bersenandung
bersama bayangan hari yang kian menipis

aku tak mau hilang
tak mau juga lenyap dari pikiran seseorang.
yang telah membuatku tak ingin pergi

biarlah aku disini
menyapu rindu dan segala keluh
bersama seribu teman-teman beraksara
yamg mampu memainkan pikiran dan perasaan dengan dahsyatnya

meskipun saat ini hanya sekedar mimpi
biarlah mimpi itu menjadi asa yang kian mendekat
kuraih...
kurengkuh dengan pelukan tererat
seolah aku tak akan pernah membiarkannya pergi

ijinkan aku mengucapkan selamat pagi
pada yang pertama kali datang dan
yang pulang dengan membawaku dalam genggaman

kelak bila ia datang kembali
kuharap mimpinya tak lagi sebatas mimpi.

aku ingin melhatnya tersenyum
senyum kebahagiaan atas sebuah pencapaian

Pilihan Terbaik

Beberapa tahun yang lalu, anak pertama saya menyelesaikan studinya pada jenjang SMP. Saat itu kami berfikir bahwa dia akan bisa tembus SMA Negeri, mengingat nilai-nilai yang diperolehnya selama ini. Kami sama sekali tidak mempersiapkan diri untuk menyekolahkan ke sekolah swasta dengan pertimbangan biaya yang cukup mahal. Tibalah hari pengumuman. Saya tak mampu berkata-kata melihat namanya terus tergusur ke peringkat bawah dan akhirnya tergusur keluar dari daftar SMA Negeri.


Suami dan anak saya akhirnya berkeliling sekitar rumah kami untuk mencari sekolah swasta. Ada 4 nominasi sekolah yang kami pertimbangkan untuk kami pilih. Kami menulisnya di papan tulis, sekolah A uang pangkal sekian, SPP sekian, sekolah B uang pangkal sekian, SPP sekian dst. Keempat sekolah tersebut cukup asing bagi kami karena memang selama ini tidak mencari-cari informasi tentang sekolah swasta.


Dalam waktu yang sangat singkat, kami harus segera memutuskan mana sekolah yang akan kami pilih. Kami berupaya memohon petunjukNya karena kami tidak ingin salah pilih. Jawabannya cukup mengejutkan, ternyata sekolah dengan uang pangkal dan SPP tertinggi yang terpilih. Secara logika, itu bukan sekolah yang akan kami pilih karena faktor biaya, tapi secara keyakinan, kami yakin bahwa itu petunjuk yang kami peroleh dariNya.


Akhirnya kami menyekolahkan anak kami di sekolah tersebut, ternyata Allah memang yang paling tahu mana yang paling baik untuk kita, hanya saja kadang kita tidak yakin dengan hal itu. Di sekolah tersebut Alhamdulillah, anak kami bisa memiliki berbagai kesempatan dan pengalaman yang luar biasa, yang mungkin, tidak akan kami dapatkan bila kami menyekolahkan di tempat lain. Pilihan Allah memang selalu terbaik.

Jakarta, 10 November 2017

Iradat Allah

Dulu saya terbiasa mempersiapkan segala sesuatu dengan terencana, dan bila ternyata acara/kegiatan pada akhirnya tidak sesuai dengan yang saya rencanakan, maka rasa dongkol pun memenuhi hati saya. Atau bila acara/kegiatan terus berubah-ubah dari waktu ke waktu sehingga menimbulkan ketidakpastian tingkat tinggi, maka, bisa diprediksi saya akan merasa kesal, dongkol, marah, kecewa dan tidak bisa menerima semua itu.

Dalam perjalanan hidup saya akhirnya Allah, mempertemukan saya dengan orang-orang dan kondisi-kondisi dimana banyak sekali perubahan-perubahan rencana/acara/kegiatan yang harus saya alami. Awalnya hal ini sungguh menyiksa saya, namun akhirnya saya belajar sedikit demi sedikit untuk bisa menerimanya. Rupanya ini memang cara Sang Khaliq untuk merubah saya, karena apa yang menurut kita baik belum tentu itu yang terbaik menurutNya.

Kadang kita lupa, kita mendikte Yang Maha Kuasa untuk mengikuti keinginan kita, padahal seharusnya kita lah yang mengikuti Iradat Allah.

Jakarta, 9 November 2017

Yang Utama


Suatu waktu dalam sebuah perbincangan dengan seorang teman, saya termanggu dengan ucapannya :”Suami itu nomor sekian...nomor satu adalah Allah lalu RasulNya”. Kala itu saya tidak dapat mencerna apa yang dikatakan teman saya itu, maklum kami masih terbilang “pengantin baru” masih mesra-mesranya, masih sayang-sayangnya. Dunia terasa hanya milik berdua, yang lain ngontrak, kira-kira begitulah gambarannya.


Memiliki pasangan yang baik, yang memanjakan kita, yang penuh perhatian dan pengertian adalah ujian tersendiri bila kita tidak dapat menyikapinya dengan baik, apalagi bila kita tidak tahu harus bagaimana menyikapinya, ini lebih berbahaya lagi. Kadang kenikmatan itu melenakan kita sehingga kita lupa siapa Sang Pemberi Nikmat tersebut, karena kita telah dibutakan oleh kenikmatan itu sendiri.


Rasa memiliki yang tinggi, rasa ketakutan bila nikmat itu hilang, rasa cemas yang berlebih bila yang kita sayangi berpaling dari kita tentu hal ini bisa menjadikan kita galau, sedih, uring-uringan dan menimbulkan berbagai perasaan tidak nyaman lainnya. Semua itu timpul karena kita salah meletakkan siapa atau apa yang ada di dalam hati kita, pasangankah? Jabatankah? Harta bendakah? Anakkah? Kepintarankah? Kepopulerankah? Atau segudang pernak pernik dunia lainnya.


Memang tidak mudah untuk selalu menempatkan Sang Pencipta selalu menjadi yang utama jauh di atas ciptaanNya, namun ini menjadi sesuatu yang harus kita perjuangkan sampai akhir hayat, karena tandinganNya akan selalu berupaya merebut tempat utama tersebut.



Jakarta, 9 November 2017

Sedekah "Like"

Suatu siang, ketika sedang nongkrong di warung kopi, gue iseng-iseng instagram-an. Tiba-tiba Samuel a.k.a Sam, yang sedang duduk di sebelah gue nyeletuk  "sedekah like bro?". Gue perlu sejenak loading sebelum memahami makna celetukannya, sebelum akhirnya mengangguk dan menjawab singkat "he eh".

Istilah sedekah like sebenarnya berawal dari diskusi gue dengan Sam beberapa waktu lalu. Saat itu kami mendiskusikan tentang fenomena media sosial (medsos) sekarang ini. Betapa interaksi off-line  makin tergusur oleh interaksi on-line. Kebutuhan akan interaksi on-line ini kadang-kadang "tidak masuk akal". Bagaimana tidak? seringkali kita melihat atau bahkan kita melakukan sendiri, sekelompok teman yang sepakat untuk bertemu di suatu tempat kemudian malah menghabiskan waktu pertemuan itu sibuk dengan gawai masing-masing. Ironis.

Fenomena lainnya adalah betapa eksistensi di medsos buat beberapa orang sudah menjadi suatu kebutuhan. Mereka butuh untuk selalu update status, posting foto atau media apapun yang dapat digunakan di medsos tersebut. Beberapa bahkan memasang "target" like atau comment atas posting-annya. 

Sudah banyak artikel psikologi atau kesehatan yang membahas soal kecanduan medsos ini. Umumnya menyatakan bahwa orang-orang yang kecanduan medsos memiliki kecenderungan gangguan psikologis seperti rendah diri, kesepian, sampai terganggu jiwanya. Tidak sedikit pula berita tentang efek kecanduan medsos yang berakhir dengan kematian akibat depresi atau bunuh diri.

Awal-awal kenal medsos, gue pun sempat kecanduan. Ibaratnya, gue makan indomie pun seisi dunia harus tahu. Susah, senang, kesepian, emosi dan seabrek luapan perasaan menjadi penting untuk menjawab pertanyaan "what is in your mind?". Candu itu datang dari apresiasi berupa like dan comment. Ada adrenalin tersendiri ketika sebuah postingan mampu menuai banyak tanggapan. Bungah karena berhasil menarik perhatian banyak orang. Bangga karena punya friend-list yang panjang. Layaknya hal duniawi yang melenakan, medsos pun tak terlepas dari campur tangan setan yang meniupkan rasa iri dan dengki bagi penggunanya. Rasa iri ketika ada postingan orang lain yang lebih bagus, update status yang lebih menarik, jumlah like dan comment yang lebih banyak. Friksi pun tak dapat dihindari, dari sekedar saling sindir sampai ke "perang terbuka".

Ketika akhirnya gue memutuskan untuk tidak terlalu aktif ber-medsos ria, karena belum bisa untuk totally leave it, gue berusaha lebih bijak dan mencoba memahami candu yang masih melekat ke banyak orang. Ketika melihat sebuah postingan  yang menurut gue "receh banget" dan gak penting, gue mencoba melihat dari sudut pandang lain, berpikir dengan cara lain. "Receh" buat gue toh belum tentu "receh" juga buat orang tersebut. Gak penting buat gue juga tidak berarti gak penting buat orang lain. Gue pun mengambil sikap yang sama terhadap postingan gue sendiri, meskipun terkadang masih "bablas" juga posting hal-hal yang bahkan menurut gue sendiri gak penting hahaha.

Kembali ke diskusi gue dengan Sam, gue bilang ke Sam mengenai pemahaman gue terhadap kondisi orang-orang yang masih terkena candu medsos. Menurut gue, dengan memberikan mereka sekedar like  atau comnment  basa basi, paling tidak gue telah memberikan apa yang mungkin orang itu sangat inginkan: perhatian. Kita gak pernah tahu, mungkin saja like atau comment gue di postingan pertama seseorang di pagi hari bisa membawa kebahagiaan dan keceriaan orang itu sepanjang sisa hari. It costs me nothing, but it might help them a lot. Negatifnya, mungkin saja kebiasaan "sedekah like"  ini makin menjerumuskan orang tersebut ke dalam candu medsos, namun itu mungkin tetap lebih baik daripada membiarkan orang tersebut depresi dan melakukan tindakan-tindakan yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Paling tidak masih terselip sedikit kebahagiaan (meskipun semu) di dalam candu medsos, sambil berharap agar candu tersebut dapat dibuang minimal dikurangi kadarnya. "Sedekah like" ini mungkin juga konsekuensi dari etika ber-medsos, kecuali memang kita mau meninggalkan medsos selamanya.

Begitulah





Mungkin aku terlambat ... meja banquet sudah mulai kosong. Tinggal satu pojok dessert berupa 'tiang' dari gelas-gelas puding.

Aku lapar, .... dan lelah. Dan tidak percaya diri. Dan entahlah. Mengapa aku di sini?

Empat orang kedutaan Belanda yang tadi makan di satu meja bersamaku sudah beranjak 5 menit yang lalu. Sejujurnya mereka juga tidak kenal betul satu sama lain. Sekadar menghapus kecanggungan, mengobrol tentang apa saja yang bisa diobrolkan, sambil menghindari topik sensitif seperti politik dan agama. Siapa sangka di saat seperti ini topik yang 'garing' seperti sejarah bisa jadi menarik dan membuat orang tertawa? Aku mulai terlatih untuk melontarkan komentar yang sekiranya sesuai dengan lawan bicara yang ada pada saat yang berbeda. Seperti tadi, ketika di kananku ada saudara setanah air Indonesia, di kiriku ada orang Belanda, sementara kaos polo shirt hitamku bertulisan bahasa Swedia ... otakku mulai berputar mencari bahan percakapan yang mungkin menarik minat tetangga makan siang hari ini. Kukatakan bahwa ini adalah takdir bila kita bisa duduk satu meja ... karena masa lalu telah menghubungkan kita semua di sini. 

Kuceritakan kepada mereka rasa yang timbul sewaktu berjalan menyusuri kanal sepanjang zona barat Skandinavia ... suatu de ja vu bagai berjalan di wilayah Kota Tua, Jakarta. Suatu rasa yang kemudian menemukan jawabannya di suatu museum sejarah, ketika terungkap bahwa arsitek di kota tersebut memang membangunnya sesuai cetak biru Batavia, Jakarta tempo dulu. Dan sang arsitek Belanda ini memang baru saja merampungkan proyek Batavia sewaktu diminta membangun kanal sepanjang Göta Alv ... area yang kini lebih dikenal sebagai tempat lahirnya Volvo, kebanggaan Swedia.

Dan apakah takdir serupa ini pula yang kini membuat seseorang duduk di kursi kosong di mejaku ini. Tadinya, aku kira suasana garing akan berlanjut ketika rombongan Belanda telah beranjak permisi, meninggalkanku dengan 3 gelas puding kosong. Jangan katakan aku kemaruk, karena hanya ini yang tersisa dari semua bakul nasi kosong dan mangkuk-mangkuk sayur serta jejeran wadah stainless steel porsi kondangan ... yang melompong meminta diangkut ke bak cucian.

Kubuka dengan pernyataan dan pertanyaan standar, "Saya dari Indonesia. Anda dari kampus apakah dan di negara manakah?

"Venice."

"Oh. Great! Never knew Venice has a university. So, it means you are an Italian?"

"Canadian, actually."

Dan itulah saat tawaku mulai pecah. Agak sulit bagiku untuk tetap bersikap serius mendengar jawabannya yang spontan ini. Rasanya seperti menahan diri supaya tidak tersedak makanan, atau sewaktu-waktu ia akan melompat bebas melalui saluran hidung.

"Excuse me if I am curious ... may I know how come a Canadian got stranded in Venice? I thought it was only a place for couples on honeymoon!"

"Yeah, I don't blame you. And you might not believe this as well. I am a PhD actually."

What!? How!? What the heck does a PhD do in an education fair in a country faraway from one's research and university?

"I am bored. That is why."

Demikianlah tawaku pecah. Sambil berurai air mata karena terlalu geli mendengar pengakuan sang doktor ini. Sekonyong-konyong aku mendengar sahutan suara "Ssshuuushhhss!!" dari sekelompok bapak-bapak di meja sebelah, dan entah kenapa aku merasa wajib menyampaikan peringatan ini kepada teman bicara di mejaku,

"Look. I seriously think I need to move to another table, otherwise I will laugh harder listening to every word you are saying right now. Although they are all true, it is just unbelievable and I am sorry I cannot stand for not laughing."

Tak kusangka ia memprotes, "Are you kidding? We can laugh all the time as much as we want. Here. Right now. Who cares?" 

Benar juga, batinku. Toh, mereka juga bebas untuk tinggal atau pergi bila merasa terganggu dengan percakapan di meja kami. Seperti refleks untuk memastikan kelanjutan interaksi kami, ia pun menjabat tanganku, "I am Christine" dan kujawab dengan namaku sendiri ... sambil meminta maaf karena tanganku sedikit lembab karena keringat. Ia berupaya untuk menghiburku, "No worries. My armpits are also sweating all the time." Aku pun kembali tertawa terbahak-bahak.

Tak percaya rasanya bisa bertemu dengan akademisi tingkat tinggi dalam acara publik semacam ini, hingga aku pun merasa perlu bertanya, "What is you field of research?"

"Italian Renaissance. Actually I was a professor in this."

"Wow. It must a difficult subject of study."

"Yes, actually. Indeed. It is difficult, especially more difficult if you have to encounter so many people who feel they are the smartest in this world .... so they think your paper is worthless."

Hmm ... entah kenapa komentarnya yang terakhir tadi membuat khayalku melayang ke isu-isu di kantor seperti JFAA, grading, pangkat, dan sejenisnya. Indeed, it is true. Banyak sekali yang merasa dirinya lebih kompeten dari orang lain meski tidak banyak mengetahui mengenai prestasi apa saja yang telah dilakukan oleh koleganya tersebut.

Namun entah kenapa aku tak terlalu larut dalam imajinasi problematika di kantor, dan memilih kembali ke realitas percakapan kami di siang itu. Aku berusaha menghibur dan menggodanya,

"Well, of course Italians feel smarter than you. As you have said before, the study is about Italian Renaissance. Now you are conducting your research in Venice. Of course all Italians will feel they are smarter than you in this subject matter ... as you are a foreigner, because you came from Canada. Who do you think others will believe more to explain about Italian Renaissance: a native Italian or an imported docent from Canada?" candaku.

Demikianlah. Gilirannya untuk tertawa, "You are right." 

Ia pun kembali melempar bola percakapannya kepadaku, "What about you?"

Menanggapi ini, aku ceritakan bahwa aku alumni yang ikut meramaikan pameran ini dengan berbagi kisah kepada pengunjung yang rata-rata mahasiswa atau pelajar SMA. Tapi sama seperti dia, pekerjaanku sehari-hari juga tidak ada hubungannya dengan kegiatan kita di hari ini. I might be bored too.

Tapi entah kenapa ia membesarkan hatiku ... dan berkata,

"You know what, for these universities ... a person like you is actually equals to gold."

Maksudnya?

Ia menjelaskan, "Coba tengok di sekitarmu ... adakah kampus-kampus lain di sini masih mengetahui keadaan alumni mereka? Apakah mereka tetap saling berkomunikasi dengan lulusannya? Saya rasa kebanyakan mereka tidak demikian. Padahal alumni lokal akan dapat sangat membantu bilamana kampus-kampus tersebut ingin mengembangkan sayapnya ke belahan dunia yang lain. Mereka bisa menjembatani perbedaan budaya dari kedua negara.

Entahlah, jawabku.

Sejujurnya aku berada di sini karena ingin memperlihatkan banyak jalan menuju Roma. 

Aku ingin generasi setelahku tetap merasa optimis bahwa semua orang bisa mempunyai cita-cita tinggi dan mampu untuk mewujudkannya tanpa perlu terlalu banyak berkorban perasaan ... atau biaya ... atau waktu ... atau harapan mereka. Ah, "Banyak jalan menuju Roma" ... apakah ungkapan tersebut juga pertanda sehingga hari ini aku bertemu professor Italian Renaissance dari Venesia ... tempat yang terkenal dengan deretan kanal-kanalnya?

Ah, kanal ... mengapa aku jadi teringat dengan obrolan pertama tadi? Sewaktu semula kita membahas tentang Gothenburg dan Batavia. Sewaktu aku ceritakan tentang kanal Göta Alv dan sungai di Kota Tua. Adalah takdir yang mempertemukan dan memisahkan kita manusia-manusia dari segala tempat yang bebeda tersebut ... di jam makan siang yang singkat ini. 


Dan aku pun kembali lapar.