Iteung vs Pak Bos

            “Iteung!” suara Pak Bos terdengar nyaring membuyarkan mimpi Iteung di siang itu. Setengah ngelindur, Iteung bangkit dari duduk sambil mencari sepatu yang ada di kolong meja kerja Iteung. Karena sepatunya ada di ujung meja, kaki Iteung kesulitan menjangkau sepatu kerja sampai nggak kerasa kepala Iteung kena meja. Sakitnya sih nggak seberapa tapi malunya yang nggak bisa diumpetin.
                “Sengaja, ngetes kekuatan kepala kalau dibenturkan ke meja,” ujar Iteung kepada teman-teman di ruangan kerja, walau sebenarnya mereka nggak peduli karena masing-masing asyik sama kerjaannya.
                “Iteung!” kembali teriakan Pak Bos  menggema, sampai semua orang di ruangan melotot ke arah Iteung. Gara-gara Iteung, suasana damai berubah jadi kisruh. Jangan-jangan semua orang di ruangan itu mengutuk Iteung.
“Iteung!”
“Ya, Pak. Sabar,”. Kursi Pak Bos yang kebesaran dibandingkan badannya yang kecil mulai bergoyang, pertanda si Bos akan berdiri dan kemungkinan menghampiri meja kerja Iteung. Jangan sampai terjadi. Nanti komik Tin Tin Iteung dirampas sama si Bos. Gawat kalau itu terjadi, bisa-bisa Iteung nggak bisa nyelesaiin baca petualang Tin Tin yang seru.
                Nggak peduli cuma pake sepatu sebelah, Iteung lari menuju meja Pak Bos. Kepala Iteung bergoyang ke kiri dan kanan mencari keberadaan Pak Bos. Pak Bos muncul dari sela dokumen bikin Iteung kaget sampai teriak ketakutan karena Pak Bos memasang muka angker bin serem. Pensilnya yang nyelip diantara telinga Pak Bos bikin Iteung nggak kuat nahan ketawa.
Dengan penuh kesadaran, Iteung cekikikan.
                “Nota yang saya minta tadi, sudah selesai belum?” tanya Pak Bos dengan bahasa yang formal.
                “Sudah,”
                “Lho, kok nggak diserahkan ke saya?” tanya Pak Bos dengan mata yang melotot.
                “Lha, Bapak kan nggak minta tadi,” jawab Iteung.
                “Juned, kasih tahu temanmu ini kalau selesai bikin nota ya diserahkan ke saya!” tiba-tiba Pak Bos berteriak ke Juned, teman yang duduk di samping Iteung.
                Juned melotot ke Iteung. Iteung cuma bisa mengangkat kedua tangan Iteung ke arah Juned.
                “Kenapa harus bilang ke Juned, Pak. Iteung kan ada di depan Bapak,” Iteung garuk-garuk kepala nggak ngerti apa maunya Pak Bos.
                Akhirnya Iteung serahin nota yang tadi Iteung bikin ke Pak Bos. Iteung duduk lagi di kursi. Juned marah-marah sama Iteung.
                “Gue udah bilang, lo jangan bikin masalah melulu. Nanti gue juga yang kena,”
                “Iteung mah heran ned, eh Jun,”
“Juned!” Juned memotong perkataan Iteung.
“Kenapa Pak Bos ngelibatin kamu di masalah Iteung. Mungkin dia ketuker antara kamu dan Iteung. Padahal kan kita dua mahluk yang jelas beda. Iteung mah cantik, kamu mah......,”
                “Stop!” lagi-lagi Juned memotong perkataan Iteung. Ah, Juned emang berbakat jadi tukang jahit seneng banget potong memotong.         
              “Jangan dilanjutin. Kerja aja yang bener. Kerja pake otak jangan pake dengkul!” Juned masih marah sama Iteung.
                “Iteung mah kerja pake tangan, Juned. Susah kalo pake otak mah apalagi dengkul. Keyboardnya nggak muat,”
                “Iteung, shut up your mouth!”
                Iteung langsung diam, takut kalau Juned tambah marah. Kalau Juned marah, siapa yang mau nemenin Iteung makan. Soalnya teman yang lain udah kapok nemenin Iteung.
                ******
               
                Tiba-tiba Pak Bos udah ada di depan meja Iteung sambil menyerahkan nota yang Iteung bikin tadi.
                “Itu koreksi dari saya, selesaikan hari ini ya. Jangan lelet kalau kerja!” ujar Pak Bos dan secepat kilat berlalu dari pandangan Iteung.
                Iteung memandang coret-coretan di nota dan berpikir, waktu Pak Bos sekolah dulu, apa gurunya nggak cepet migrain ya baca tulisan Pak Bos. Benang kusut aja kalah kusut dari tulisannya Pak Bos. Rasanya bakalan kumat nih sesak nafas Iteung baca tulisan Pak Bos.
                Bolak-balik Pak Bos mengoreksi nota Iteung  sampai Iteung hitung ini sudah yang kesepuluh kalinya. Sampai Iteung berjanji kalau sampai Pak Bos masih mengoreksi nota sampai sebelas kali, Iteung akan mengutuk Pak Bos menjadi anak SD lagi buat belajar menulis yang baik dan benar.
                Iteung baca koreksi nota yang kesebelas kali. Kepala Iteung langsung nyut-nyut ditambah dada berdebar kencang. Kalau dada berdebar kencang sih lebih karena ada bule ganteng yang datang ke kantor. Perasaan Iteung hapal isi nota setelah dikoreksi. Iteung datangi meja Pak Bos.
                “Pak, Bos! Apa yang Bapak lakukan ke Iteung sungguh jahat. Iteung bisa saja lapor ke polisi karena perbuatan tidak menyenangkan. Masak Iteung disuruh bolak-balik perbaiki nota,” suara Iteung sungguh lantang bagaikan orang yang sedang berorasi.
                “Setelah Iteung baca dengan seksama, maka Iteung mengambil kesimpulan kalau nota yang kesebelas ini isinya sama persis dengan nota pertama yang Iteung bikin. Iteung minta ganti rugi waktu dan tenaga yang terbuang percuma!”
                “Kamu harusnya berterima kasih ke saya. Dari situlah kamu belajar sabar dan belajar membaca tulisan saya,” jawab Pak Bos tanpa rasa bersalah. Iteung manyun nggak sanggup berkata-kata lagi.
                “Oya, satu lagi. Karena saya juga, hari ini kamu berolah raga. Bolak-balik ke meja saya. Biar nggak gendut,”
                Iteung pengen nangis guling-guling.....

Titik NOL

Ada siang-ada malam, ada terang-ada gelap, ada baik-ada buruk, ada sehat-ada sakit. Allah menciptakan semua berpasang-pasangan, salah satunya untuk mengingatkan kita bahwa semua ada pengurangnya agar kita kelak bisa kembali dalam keadaan titik nol, tidak berhutang apapun pada Allah. Titik nol, kembali fitrah, sebagaimana kita saat pertama dilahirkan oleh ibunda kita, tidak memiliki suatu apapun, tidak mengetahui apapun, hanya pasrah pada Allah, maka seluruh kebutuhan sang bayi akan dicukupkanNya.


Namun, seiring dengan bertambahnya usia kita, kadang kita menjadi seorang yang pemilih, tidak mau menerima keadaan tertentu. Kadang kita hanya mau menerima bagian senangnya saja, tanpa mau menerima bagian susahnya. Menghindar dan menghindar hingga grafik terus meningkat, tanpa ada titik balik untuk menukik menuju titik nol.


Ketika jatah usia semakin menipis dan akhirnya menjadi habis, apakah kita mampu berada di titik nol? Titik fitrah untuk kembali kepadaNya, bila kita tidak pernah sekalipun mengupayakan mencapai titik nol tersebut selama kita hidup di dunia ini.


Jakarta, 13 November 2017

Korean Wave

Ketika Korean Wave melanda anak muda negeri ini, tak pelak, anak kami yang beranjak remaja pun terkena imbasnya. Nama grup band, personelnya, hobbynya, makanan favoritnya, jadwal manggungnya, dan hal-hal detail lainnya dia hafal di luar kepala. Bahasa Korea dan Huruf Hanggeul dipelajarinya secara otodidak dari berbagai sumber dengan gairah yang menyala. Semua yang berbau Korea tampak indah bagi dirinya. Sampai-sampai ketika dia memilih jurusan untuk studinya di Universitas, bisa ditebak : Sastra Korea. Berbagai Universitas Negeri dia coba, namun tetap dengan satu jurusan yang menjadi pilihannya.

Sebagai orang tua, kami tidak ingin mematahkan semangat anak-anak kami, apapun yang menjadi passionnya selama itu baik-baik saja. Jadi kami biarkan dia berpetualang mendaftarkan diri ke berbagai Universitas Negeri sesuai minatnya. Namun ketika pengumuman demi pengumuman tiba dan dia selalu tidak lolos saringannya, anak kami mulai menangis dan gelisah berkepanjangan.

Di titik ini, sebagai orang tua kami mulai memberikan pandangan-pandangan dan pancingan agar dia kembali merenungkan pilihannya tersebut. “Kakak, boleh jadi kakak sangaaaaattt suka dengan Sastra Korea, tetapi apakah itu pula yang menjadi kehendak Tuhan untuk kakak pelajari? Coba kakak renungkan lagi, mengapa sepertinya sulit sekali untuk diterima di jurusan tersebut? Boleh jadi apa yang kita sukai bukanlah hal terbaik bagi kita, jadi carilah iradat Allah dalam menentukan segala sesuatu dalam menjalani hidup ini”. Begitulah kira-kira wejangan-wejangan kami sebagai orang tua.

Demikianlah, dari hasil perenungannya, Alhamdulillah, kakak menemukan jawabannya. Kini dia tengah menempuh studi di FIB UNDIP jurusan : Sastra Indonesia semester lima. Berbahagia melalui hari-harinya sebagai mahasiswa dan mendapat banyak kesempatan luar biasa yang Tuhan anugerahkan kepadanya karena mengikuti IradatNya.


Jakarta, 10 November 2017

KRL Mania (2)



“Bu, geser dong!” kulirik seorang ibu yang berdiri tepat didepanku sambil kupandangi wajah ibu-ibu yang usianya sepertinya tidak terpaut jauh dariku. Kulirik kanan dan kiriku, tak ada satupun orang yang bereaksi atas perintah ibu tersebut.
                “Saya, bu?” tanyaku sambil memandangi wajahku. Kebetulan saat itu aku mencoba peruntungan memburu tempat duduk dengan menaiki kereta melawan arah terlebih dahulu untuk kemudian menunggu jadwal keberangkatan menuju tempat tinggalku. Saat itu badanku agak meriang sehingga kuputuskan untuk ikut dulu naik kereta menuju arah sebaliknya dari Bogor.
Aku bersaing dengan banyak orang sampai aku mendapatkan tempat duduk di bangku panjang kereta jurusan Jakarta  Kota- Bogor, ketika aku hendak pulang dari kantor ke rumah. Bisa dibayangkan betapa panjangnya perjalanan yang kutempuh sore itu.
                “Cepetan geser, saya capek nih berdiri!” tiba-tiba tangan ibu tersebut bergerak menggeser pahaku padahal kondisi saat itu tidak memungkinku untuk menggeser badanku karena bangku sangat penuh. Saat itu, kereta yang kutumpangi baru saja melewati dua stasiun dari stasiun keberangkatan.
                Tanpa basa basi lagi, ibu tersebut langsung mendaratkan bokongnya di bangku panjang. Sepertinya ibu ini memaksakan diri walaupun bangku sudah tidak bisa lagi menampung orang yang duduk. Setengah pahanya menindihku.
                “Aww....” tanpa sadar aku menjerit kecil karena lumayan sakit ditindih ibu tersebut. Badannya lumayan besar.
                “Makanya geser mbak!” ibu tersebut masih ngotot.
                Aku mencoba berdiri dari tempat duduk. Niatku mau mengalah karena tak sanggup meladeni kecerewetan ibu tersebut. Ternyata, berdiripun sulit karena saat itu kondisi kereta sangat padat sehingga kakipun hanya sebelah yang bisa menapak dan kemungkinan bisa tertukar dengan kaki orang lain.
                Akhirnya aku menerima nasib untuk membiarkan ibu tersebut duduk di sampingku. Perasaanku saat itu campur aduk antara kesal dan sakit pahaku tergencet ibu tersebut.
                Sepanjang perjalanan aku mencoba tabah dan sesekali menghalau pergelangan tangan si ibu karena ternyata ibu tersebut bolak-balik mengambil ponsel dari tasnya. Tangannya lincah menulis pesan yang entah ditujukan kepada siapa. Sialnya lagi setiap selesai menuliskan pesan, dia memasukkan kembali ponsel kedalam tasnya. Berulang kali dilakukannya. Sempat kutegur dengan agak keras, tapi tetap tak berdaya aku dibuatnya.
                “Ini penting banget, Mbak,” ujarnya sambil menggeser badannya ke belakang. Kalau dalam istilah para roker (rombongan kereta), seseorang yang terus menggeserkan badannya ke belakang disebut ngebor. Aku hanya terdiam dan tak habis pikir kenapa nggak dia pegang saja ponselnya, daripada menyenggol orang lain.
                Tapi, dibalik kekesalanku aku salut dengan kegigihan ibu tersebut. Wajahnya tak sedikitpun menampakkan perasaan bersalah telah menyusahkan orang lain. Bukan cuma aku yang merasakan akibat kegigihan ibu tersebut, tapi juga kulihat seorang perempuan muda beberapa melotot ke arah ibu tersebut. Dan, tetap raut muka ibu itu tak menampakkan ekspresi apapun selain ekspresi datar.
                Penderitaanku sore itu sepertinya nggak ada habisnya. Nasib baik hanya sebentar berpihak kepadaku. ketika kakiku terinjak orang yang berdiri di depanku. Aku tetap tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa menggerutu tanpa solusi. Ingin untung malah buntung.

Cinta

Rasa apa yang aku pilih untuk menjalani hari ini?
Aku ingin merasakan rasa cinta yang melimpah
Menggantikan rasa marah dan benci yang selama ini membelenggu
Jika kita bisa memilih rasa yang ingin kita rasakan, maka rasa cinta yang aku butuhkan

Dengan cinta, kebekuan mencair
Dengan cinta, kerasnya hati melunak
Dengan cinta panas dalam dada berganti jadi sejuk
Dengan cinta, dunia tersenyum

Cinta harus kita tumbuhkan dalam diri kita sendiri
Benihnya akan tumbuh kembang memancar ke segala arah
Bila kita pupuk dan rawat sepanjang masa
Membawa kedamaian dan ketenangan

Cinta yang tulus adalah pengejawantahan sifat rahman dan rahim
Sifat yang harus kita miliki bila kita ingin menjadi wadah Tuhan
Tanpa sifat cinta mustahil melaksanakan titahNya
Semua makhlukNya hadir karena cintaNya

Rasa sayang akan tumbuh dengan cinta
Rasa peduli akan tumbuh dengan cinta
Rasa halus akan tumbuh dengan cinta
Rasa indah akan tumbuh dengan cinta

Dengan cinta kegelapan berganti terang
Dengan cinta warna merah berganti putih
Dengan cinta kekusutan jadi terurai
Dengan cinta kebekuan jadi mencair

Jakarta, 8 November 2017

10 November


Setiap tanggal 10 November kita memperingati Hari Pahlawan, untuk mengenang jasa-jasa para pahlawan yang telah gugur mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di berbagai instansi pemerintah, sekolah-sekolah dan beberapa tempat lainnya dilangsungkan upacara bendera sebagai salah satu bentuk peringatan. Selain itu biasanya juga dilaksanakan ziarah ke beberapa Taman Makam Pahlawan sebagai bentuk menapaktilasi perjuangan para pahlawan.

Sebagai generasi penikmat kemerdekaan, selayaknyalah bahwa kita bisa mengisi kemerdekaan ini dengan hal-hal yang bermanfaat bagi negara kita. Sekecil apapun peran yang dapat kita mainkan, selama itu menjadi kontribusi yang baik bagi bangsa dan negara maka itu harus kita lakukan, karena sesuatu yang besar itu adalah kumpulan dari sesuatu yang kecil.

Mengenang para pahlawan, pernahkah terfikir oleh kita bahwa salah satu senjata yang digunakan oleh para pahlawan adalah bambu runcing, sungguh suatu senjata yang amat sederhana bila dibandingkan dengan senjata modern yang dimiliki oleh para penjajah pada masa itu. Namun para penjajah amat sangat takutnya terhadap bambu runcing tersebut. Mengapa? Karena para pemegang bambu runcing tersebut adalah para pentauhid, para pejuang yang berjuang di jalan Allah, para pejuang yang tidak takut mati karena membela hak dan kebenaran yang harus ditegakkan di Bumi Pertiwi yang telah dirampas oleh para penjajah.

Semoga kita, para penikmat kemerdekaan dapat meneladani semangat juang para pahlawan yang disandarkan kepada kekuatan Allah, Tuhan Yang Maha Esa.


Jakarta, 10 November 2017

Aksara tak Bersuara


kalau bisa, kuingin tetap bersenandung
bersama bayangan hari yang kian menipis

aku tak mau hilang
tak mau juga lenyap dari pikiran seseorang.
yang telah membuatku tak ingin pergi

biarlah aku disini
menyapu rindu dan segala keluh
bersama seribu teman-teman beraksara
yamg mampu memainkan pikiran dan perasaan dengan dahsyatnya

meskipun saat ini hanya sekedar mimpi
biarlah mimpi itu menjadi asa yang kian mendekat
kuraih...
kurengkuh dengan pelukan tererat
seolah aku tak akan pernah membiarkannya pergi

ijinkan aku mengucapkan selamat pagi
pada yang pertama kali datang dan
yang pulang dengan membawaku dalam genggaman

kelak bila ia datang kembali
kuharap mimpinya tak lagi sebatas mimpi.

aku ingin melhatnya tersenyum
senyum kebahagiaan atas sebuah pencapaian

Pilihan Terbaik

Beberapa tahun yang lalu, anak pertama saya menyelesaikan studinya pada jenjang SMP. Saat itu kami berfikir bahwa dia akan bisa tembus SMA Negeri, mengingat nilai-nilai yang diperolehnya selama ini. Kami sama sekali tidak mempersiapkan diri untuk menyekolahkan ke sekolah swasta dengan pertimbangan biaya yang cukup mahal. Tibalah hari pengumuman. Saya tak mampu berkata-kata melihat namanya terus tergusur ke peringkat bawah dan akhirnya tergusur keluar dari daftar SMA Negeri.


Suami dan anak saya akhirnya berkeliling sekitar rumah kami untuk mencari sekolah swasta. Ada 4 nominasi sekolah yang kami pertimbangkan untuk kami pilih. Kami menulisnya di papan tulis, sekolah A uang pangkal sekian, SPP sekian, sekolah B uang pangkal sekian, SPP sekian dst. Keempat sekolah tersebut cukup asing bagi kami karena memang selama ini tidak mencari-cari informasi tentang sekolah swasta.


Dalam waktu yang sangat singkat, kami harus segera memutuskan mana sekolah yang akan kami pilih. Kami berupaya memohon petunjukNya karena kami tidak ingin salah pilih. Jawabannya cukup mengejutkan, ternyata sekolah dengan uang pangkal dan SPP tertinggi yang terpilih. Secara logika, itu bukan sekolah yang akan kami pilih karena faktor biaya, tapi secara keyakinan, kami yakin bahwa itu petunjuk yang kami peroleh dariNya.


Akhirnya kami menyekolahkan anak kami di sekolah tersebut, ternyata Allah memang yang paling tahu mana yang paling baik untuk kita, hanya saja kadang kita tidak yakin dengan hal itu. Di sekolah tersebut Alhamdulillah, anak kami bisa memiliki berbagai kesempatan dan pengalaman yang luar biasa, yang mungkin, tidak akan kami dapatkan bila kami menyekolahkan di tempat lain. Pilihan Allah memang selalu terbaik.

Jakarta, 10 November 2017