It always seems impossible until it's done

Aku adalah seorang ibu seperti ibu-ibu lainnya yang pasti merasa sangat khawatir ketika mengetahui anaknya sakit. “Tuhan, sembuhkan anakku atau pindahkan saja sakit itu padaku”, ... hanya itu kalimat yang selalu aku ucapkan dalam tiap untaian doaku.

15 Maret 2020
Aku sedang menikmati makan siang bersama keluarga dengan mengikuti berita terkini tentang COVID 19, hal yang akhir-akhir ini menjadi berita pilihan dalam keluargaku, berpindah dari satu channel ke channel lain, dari pagi hingga malam, demi mengikuti perkembangan berita yang satu ini. Ketika tiba-tiba ada panggilan tak terjawab dari si sulung yang memasuki tahun ke-3 kuliah di Jogja. Tidak seperti biasanya, kali ini telponnya sangat mengusik perasaanku.

Bergegas aku balik menelponnya; satu kali, dua kali, tiga kali ... tidak diangkat. Lalu ada pesan singkat WA nya masuk.

“Mi .... chat aja, aku ga bisa ngomong, tenggorokanku sakit, radang dan berasanya panas banget.”
Belum sempat aku menjawab pesannya, kembali masuk pesan berikut.

“I got serious fever last night. Panas tinggi, menggigil, badan sakit semua, perut melilit, kram, kembung ga jelas. Hidung mampet, dada sesak banget, gerak dikit sakit semua badan. I got a feeling that I might be infected. Sejak balik tugas dari Jakarta beberapa hari yang lalu emang udah drop. Satu flight sama rombongan dari Taiwan, trus pimredku baru balik dari umroh kemarin ada kasih-kasih gift gitu juga. I am very scared”, pesannya kali ini diakhiri dengan emoji yang langsung membuatku histeris.

Sejak itu, hari-hari terasa begitu sulit untuk kami. Komunikasipun susah karena dia masih merasa sakit untuk bicara. Pesan tekspun direspons lama karena kondisinya lemah jadi lebih banyak berbaring tidur untuk menghilangkan rasa tidak enak akibat demam dan rasa sakit lainnya.

Setiap hari bahkan setiap saat berkirim pesan teks, aku harus menyiapkan kondisi psikologisku yang juga sangat menguras tenaga. Hingga akhirnya menjadi terbiasa menerima update info yang lebih tepat disebut keluhan, seperti: kepala sakit banget, mau pingsan rasanya, tenggorokan panas kaya’ kebakar, mata panas, sesak Mi ... susah nafas, perut ini loh sakiiit banget melilit tapi mual, dan sederet kalimat kesakitan lainnya.

21 Maret 2020
“Mi, temen kantor baru meninggal semalem di RS Persahabatan Jakarta. Ibu itu kantornya di Jakarta tapi beberapa minggu belakangan ini bolak balik Jakarta-Jogja rapat. But don’t worry, my body-immune is much stronger than her, so I’ll be fine in the next few days ...”, kalimatnya tidak mampu menghiburku karena aku tau, anakku yang baru berusia 20 tahun itu sedang berjuang melewati masa-masa sulitnya sendirian. Dia tidak sekuat apa yang dia tuliskan dan dia tidak sedang menghiburku, dia sedang menguatkan dirinya sendiri.

“Berdoa ya nak, Allah Maha Penyembuh. I’m sure that you’ll be the winner”, akupun berusaha menguatkan diriku sendiri.

29 Maret 2020
“Mi, hari ini pas hari terakhir masa inkubasi, doain ya ... Tadi juga sudah dihubungi Satgas kampus, udah boleh keluar bentar untuk berjemur. Alhamdulillah pagi ini Jogja juga panas. Badan juga udah mulai enakan. Batuk tinggal dikit, sakit perutnya juga udah dikit-dikit aja. Udah ga sakit kepala lagi, semalem demamnya juga udah turun, cuma tadi pagi pas bangun keringetan gitu.

30 Maret 2020
“I’m getting much better now. Semalem udah bisa makan ayam bakar, bosen juga setengah bulan tiap hari makan sup brokoli, minum obat, minum vitamin. Tapi obatnya udah ga perlu lagi, tinggal vitaminnnya aja untuk recovery,” kali ini ucapan syukurku kepada Allah Ta’ala asy-Syaafi, yang Maha Menyembuhkan.

“It always seems impossible until it’s done!”, yaa ... quotes dari Nelson Mandela ini sangat tepat untuk menggambarkan keyakinanku  yang  saat itu tiap detik berdoa untuk kesembuhan anakku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar