Menangislah, Asti

Sofi berdecak kagum sambil matanya terus menatap layar ponselnya. Tangannya bergerak memencet tombol di ponselnya. Badannya tetap terbaring di tempat tidur. Kebetulan Deni, suaminya belum pulang kerja. Anak-anaknya sudah tidur. Sambil iseng menunggu suaminya pulang kerja, Sofi membuka-buka ponselnya.
“Duh cantiknya. Awet muda pula, pake kosmetik apa sih?” Sofi menuliskan kalimat pujian di foto yang diposting Asti, teman SMA nya  di media sosial.
“Kosmetiknya standar kok, nggak ada istimewa, hehehe,” jawab Asti menjawab pertanyaan Sofi.
“Tapi kok kulit wajahmu bisa sebening itu ya, bikin iri aja,” Sofi masih terus memuji Asti di media sosial.
“Ah, bisa aja kamu,” Asti membubuhkan emoticon tersipu menjawab pujian Sofi. Setelah itu banyak sekali pujian kepada Asti karena memang di foto itu Asti sangat cantik. Seperti gadis muda 20 an tahun, walau sebenarnya umurnya sudah diatas 40 tahun. Beberapa teman dunia maya pun mengamini apa yang dibilang Sofi kepada Asti. Semua mengagumi kecantikan Asti.
Sofi bangkit dari tempat tidurnya. Dia menatap wajahnya di cermin yang tergantung di kamar tidurnya. Bibirnya digerakkan ke kiri dan kanan. Tampak olehnya kerutan di daerah sekitar bibirnya yang bertambah dari hari ke hari. Kemudian Sofi menggerakkan kelopak matanya dan ia juga mendapati daerah sekitar matanya pun sudah mulai banyak kerutan.
Sofi menghela nafas panjang. Belum lagi flek hitam yang semakin menyebar ke seluruh wajah semakin menambah kegalauan Sofi.  Sebagian rambutnya mulai memutih membuat Sofi merasa semakin galau. Sangat jauh berbeda dengan wajah Asti yang dilihatnya di media sosial.
“Kamu lagi ngapain?” tiba-tiba Deni sudah muncul di kamarnya.
“Kok udah disini aja, nggak kedengaran suaramu,” Sofi berusaha menghindar dari pertanyaan Deni. Sofi merasa malu suaminya memergoki apa yang dilakukannya.
 “Kamu masih cantik kok, walau nggak secantik dulu,” goda Deni seakan tahu apa yang sedang dipikirkan Sofi.
“Gombal!” balas Sofi.
“Beneran kok, istriku masih cantik,” Deni mencoba meyakinkan Sofi.
“Buktinya aku nggak malu kok bawa kamu kemana-mana,” goda Deni sambil memeluk istrinya. Pelukan hangat suaminya menentramkan hati Sofi.
“Tapi temanku waktu SMA, kok masih tetap kinyis-kinyis ya. Wajahnya masih segar, kulitnya mulus. Cantik banget, malah lebih cantik daripada waktu sekolah dulu.”
Deni tersenyum mendengar celotehan Sofi. Rupanya pancingan Deni berhasil membuat Sofi mengeluarkan isi hatinya.
“Nggak apa-apa kok, setiap orang punya kelebihan dan keberuntungan masing-masing,”
“Kelebihanku apa ya?” Sofi masih belum puas.
“Kelebihanmu punya suami yang baik dan ganteng, hahaha,” canda Deni.
“Narsis ah,” balas Sofi sambil tertawa lepas.
***

“Sofi, ketemuan yuk!” begitu pesan yang diterima Sofi dari Asti.
“Aku kangen,” Asti melanjutkan pesannya.
Sekilas Sofi membaca pesan Asti. Saat itu Sofi sedang menyelesaikan pesanan kue dari beberapa orang ibu-ibu yang sering bersama-sama dengan Sofi menunggui anaknya di sekolah. Diletakkannya ponselnya tanpa menjawab pesan Asti.
Ponselnya kembali berbunyi. Sofi masih belum bisa membuka pesan di ponselnya. Dia masih sibuk menata kue kering yang sudah masak ke dalam toples. Setelah toples ditutup, Sofi mencuci tangannya dan mengelapnya sampai kering. Sofi mengambil ponselnya dan membuka pesan yang belum sempat dibacanya tadi.
Ternyata Asti kembali mengirimkan pesan kepada Sofi.
“Sofi sayaaaaaang,” Sofi tersenyum.
“Iya sayaaaaaang,” balas Sofi sambil membubuhkan emoticon hati.
“Besok yuk ketemuan, aku pengen ngobrol sama kamu,” ujar Asti.
“Aku minta ijin suamiku dulu ya. Kalau bisa siang, pas anakku sekolah,” jawab Sofi.
“Kutunggu kamu di restoran Ceria ya, besok. Daag,” Sofi tersenyum membaca pesan Asti.
Sofi langsung berpikir baju apa yang akan dikenakannya waktu bertemu Asti besok. Asti pasti datang dengan dandanan yang elegan dan semua benda yang melekat di tubuhnya adalah barang-barang yang mahal harganya. Suami Asti adalah seorang pengacara dengan bayaran yang mahal dan sering wara wiri di layar kaca menemani kliennya. Perasaan minder menghinggapi Sofi.
Sofi merasa hidupnya bak bumi dan langit apabila dibandingan dengan kehidupan Asti. Walaupun suaminya bekerja di perusahaan besar, tapi posisinya hanya pegawai terendah di perusahaan itu. Makanya Sofi menerima pesanan kue-kue kering. Hanya itu yang bisa Sofi lakukan untuk meringankan beban suaminya membiayai kehidupan keluarga.
Hati Sofi deg-degan akan kembali bertemu dengan Asti. Rasanya ingin sekali Sofi membatalkan janji bertemu Asti. Di sisi lain, Sofi sangat ingin ketemu dengan Asti, teman sebangkunya ketika SMA dulu. Masa sekolah dulu, Asti adalah teman terdekat Sofi. Kemana-mana mereka berdua selalu bersama dan tak pernah terpisahkan. Mengingat itu, Sofi melupakan perasaan mindernya dan menguatkan tekad bertemu dengan teman lamanya itu.
***

“Mas, saya turun disini aja deh.”
“Restorannya masih di depan lho.”
“Nggak apa-apa deh, disini saja. Saya mau ambil uang dulu ke ATM.”
“Disini mana ada mesin ATM, Bu. Adanya di depan restoran itu.”
Sofi tersipu malu mendengar perkataan pengemudi ojek online yang dipesannya.
“Nggak apa-apa mas, saya mau melemaskan kaki. Pegal juga duduk di motor sedari tadi,” ujar Sofi. Pengemudi ojek menghentikan motornya. Sofi mengeluarkan dompetnya dan memberi sejumlah uang kepada pengemudi ojek tersebut.
“Terima kasih, Bu,” ujar pengemudi ojek sambil berlalu dari hadapan Sofi.
Sofi berjalan di tengah teriknya matahari siang itu. Jangan sampai Asti tahu kalau dia menumpang ojek siang itu. Sampai di restoran, terlebih dahulu Sofi menuju toilet. Sofi menyapukan bedak di wajahnya. Bibirnya diolesi lipstik berwarna lembut. Kemudian disisirnya rambut pendeknya biar terlihat lebih rapi. Sofi menghela nafas, bersiap diri bertemu dengan Asti yang sempurna di mata Sofi. Asti yang cantik, bersuamikan orang kaya, ganteng dan terkenal.
Sofi duduk menunggu Asti yang belum muncul dengan gelisah. Sofi belum berani memesan makanan karena takut Asti tidak jadi datang. Dari mana Sofi sanggup membayar makanan di restoran sebagus ini. Bisa dipastikan uang belanja seminggu bakal habis untuk satu kali makan disini.
“Hai, Sofii,” tiba-tiba Asti datang memeluk Sofi. Tercium wangi yang dari sekujur tubuh Asti.
“Pasti parfum yang mahal yang dipakai Asti. Ah beruntungnya kamu, Asti,” Sofi bergumam dalam hatinya. Sebelum berangkat tadi, Sofi pun sempat menyemprotkan minyak wangi remaja milik Rena, anak gadisnya yang banyak diiklankan di layar kaca.
“Apa kabar, Sofi sayang?” sapa Asti ramah.
“Baik, As. Kamu tambah cantik aja.”
“Ah kamu juga cantik kok,” jawab Asti sambil duduk di depan Sofi.
Asti mengambil buku menu dan memesan makanan. Sofi hanya mengikuti apa yang dipesan Asti karena Sofi tidak terbiasa makan di tempat mewah.
“Takut salah pesan,” begitu alasan yang disampaikan Sofi kepada Asti.
“Kamu ngapain aja, Sof?”
“Aku di rumah, jagain anak-anak. Kadang kalau ada yang pesan kue kering, aku bikini juga. Kamu pesan ya sama aku,” jawab Sofi sekalian promosi kue kering buatannya.
“Tenang, nanti aku pesan banyak ya,” jawab Asti sambil tersenyum.
Sofi memandangi Asti dengan kagum. Kulit Asti mulus dan bersinar. Make up yang digunakan sangat pas, pasti Asti memakai make up yang mahal. Rambut Asti yang bergelombang dan berwarna coklat kemerahan sangat serasi dengan bentuk wajahnya. Asti memang sosok yang sempurna.
Sofi melirik ke tas yang diletakkan di atas meja. Sofi menelan ludah, sepertinya tas yang dipakai Asti adalah tas mewah yang sering dipakai selebriti di layar kaca. Baju yang dipakai Asti pun pasti rancangan desainer ternama. Sofi semakin minder berhadapan dengan Asti.
Sofi penasaran dengan sepatu yang dikenakan Asti. Dengan sengaja Sofi menjatuhkan tasnya. Kepalanya masuk ke kolong meja untuk mengambil tasnya dan mencuri pandang sepatu yang dikenakan Asti. Mata Sofi semakin membelalak setelah tahu sepatu yang dikenakan Asti. Sofi meneguk air minum yang tersedia.
“Kenapa, Sofi?” tanya Asti.
“Kamu beruntung ya, memiliki segalanya,”
“Kamu lebih beruntung, fi. Kamu punya segalanya,” ujar Asti.
Sofi heran mendengar jawaban Asti.
“Kamu terlihat sangat bahagia, fi. Dulu Deni mengejar-ngejarmu sampai jadian. Aku yakin Deni pasti memperlakukan kamu dengan baik. Deni pasti sangat mencintai kamu. Kamu juga punya anak-anak yang manis. Aku iri sama kamu, fi,” Air mata Asti jatuh di pipi.
 “Aku nggak punya anak. Suamiku jarang pulang. Malah dia sudah punya anak dengan perempuan lain. Suamiku menganggap kemewahan yang diberikannya padaku sudah cukup sehingga dia merasa tidak punya kewajiban untuk pulang ke rumah. Aku bertahan karena aku nggak mau ibu bapakku kecewa. Aku nggak kuat, fi,” tangis Asti pecah.
Sofi terkejut melihat reaksi Asti. Ditatapnya wajah Asti. Terlihat guratan kepedihan di matanya. Kepedihan yang tersembunyi di balik pulasan bedak merek terkenal. Sofi tak berani berkata-kata lagi. Sofi takut Asti semakin terluka. Sofi hanya bisa memeluk Asti dan membiarkan Asti mengeluarkan segala unek-uneknya.
Sofi ingin sekali berlari pulang ke rumah. Sofi akan memeluk Deni dan kedua anaknya, hanya untuk mengucapkan terima kasih atas kebahagiaan yang diberikan selama ini.

Jakarta, 15 Juni 2017

Berkata pada Diri Sendiri

Bulan penuh pengampunan telah lama menyapa
Mukmin berlomba bersimpuh mengiba ampunan-Nya
Segala kata indah dirangkai demi dapat dihapus dosa yang diperbuatnya
Agar menggapai fitri di ujung hari

Namun saat karunia yang bernama sakit menimpa
Segala kata tak indah dirangkai hanya untuk terus mengeluh
Padahal mungkin itulah jawaban Allah atas untaian permohonan yang dipanjatkan
Karena sejatinya sakit adalah salah satu jalan penghapus dosa tanpa berpeluh
Hanya jalani dengan ikhlas yang penuh

Bulan penuh keistimewaan telah lama menyapa
Bahkan kini langkah hampir berada di ujung akhir
Segala cita istimewa nan mulia dicanangkan saat bermula
Apakah hingga titik ini sudah melakukan yang istimewa?
Karena yang istimewa tak bisa digapai dengan yang biasa saja

Waktu tak bisa diputar ke arah yang lama
Penyesalan akan muncul saat sudah terlewat semua
Namun jangan lah kecewa, Bulan istimewa ini masih ada
Justru tersisa bagian yang teristimewa
Kuatkan langkah usaha dan bulatkan iman yang utuh
Demi meraih keistimewaan akhir yang sepuluh
Karena di sana ada bulan yang jumlahnya seribu utuh.


Silahturahim dan Usia Pernikahan

    Pertemuan dan kumpul keluarga dari pihak ibu mertua sudah lama direncanakan. Banyak pertimbangan dan alasan bagi yang akan ketempatan sebagai tuan rumah acara kumpul. Lagipula bulan ini merupakan bulan penuh maghfirroh dan berkah. Istri saya kebetulan juga sudah menjadi bagian dari grup whatsapp Jallam Family karena orang tua ibu mertua bernama Jallam. Biasanya ada grup whatsapp itu mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Semoga hal ini tidak terjadi karena rencana ini memang dibuat dengan ketulusan dan kerendahan hati. Diskusi panjang selalu menemukan jalan buntu siapa yang akan menjadi tuan rumah. Akhirnya tuan rumah ditentukan dan kamilah diminta menjadi tuan rumah acara silahturahim keluarga ibu mertua.

        Persiapan menuju pertemuan itu pun kami siapkan dengan baik. Karena ibu mertua merupakan anak nomor 3 dari keluarga Jallam yang memilki anak 12 dimana 4 orang sudah mendahului kami semua, sehingga apa yang disampaikan oleh ibu mertua pasti akan diikuti oleh anggota keluarga yang lain. Terdengar percakapan istri saya dengan para sepupunya.

        “Ari nanti bawa aja jus buah untuk acara berbuka puasa di tempat gue ya. Eh, jangan lupa sekalian bawa kue, terserah kue apa, yang penting murah meriah.”

Selesai dengan sepupu yang satu, telpon lagi dengan sepupu yang lain, “Tante nanti bawa sate kikil aja ya, karena sate kikil di daerah tante kan cukup terkenal. Jangan lupa ya. Tante nanti naik kereta atau bawa kendaraan ? “

“Tante naik kereta aja, karena lebih simpel dan nyaman.”

“Ok ya, nanti ditunggu sate kikilnya ya…”

Kita sebagai tuan rumah juga menyiapkan beberapa menu berbuka yang kebetulan, kita ingin sesuatu yang berbeda. Akhirnya setelah diskusi dengan anak-anak, kita memutuskan untuk menyiapkan Siomay, Asinan, beberapa minuman berkarbonasi (hanya sekali dalam setahun beli minuman ini) dan beberapa kue yang lain. Siomay kita pesan ke langganan dekat rumah dan rasanya gak kalah dengan restoran dengan harga Rp7.000,- mendapat 10 buah siomay. Cukup murah bukan ? Tapi itu belum termasuk telurnya, karena telurnya dihargai Rp2.000,- Selain itu juga kita menyiapkan teh Bandulan, yang jarang-jarang dijual di Bekasi dan 1 kantong plastik es batu cetakan yang sudah jadi sebagai pelengkap es buah dan minuman selain teh hangat yang sudah kami siapkan untuk saat berbuka juga. Persiapan untuk acara silahturahim ini gak lama. Kami hanya mempersiapkan kurang dari seminggu untuk makanan dan minuman. Sementara tempat aman, dan semua makanan dibeli, tidak ada yang masak karena kondisi tidak memungkinkan bagi istri dan ibu mertua untuk memasak.

Tiba hari pelaksanaan. Anak-anak cukup senang karena akan bertemu sepupu-sepupunya yang saat mereka masih kecil selalu menjadi bahan olokan dan candaan. Tapi mereka masih merasa senang aja menggoda si dd karena waktu kecilnya si dd itu cukup judes dan gak ramah dengan keluarga. Namun dd yang sekarang sudah berbeda.

“Ryan, ente nanti bawa yang simpel kan?”

“Yah mba, Abang (panggilan Ryan) gak bisa bawa yang simpel. Kalau bawa ikan gurame bakar termasuk simpel gak?”

Gubraak. Padahal istri dan si abang sudah diskusi untuk bawa yang simpel, dan ternyata si Abang malah membawa masakan yang cukup ribet. Karena konsep awalnya adalah menu berbuka tidak menggunakan nasi, makanya nasi dimasak hanya sedikit. Ketika dengar si Abang berencana membawa ikan gurame bakar, berarti harus ada nasi meskipun tidak banyak.

Jam sudah menunjukan pukul 16.30 dan pesanan sate dan lontong harus segera diambil agar kita tidak terlalu lama di luar rumah karena beberapa saudara dan sepupu sudah on the way  ke rumah. Saat sedang berbenah menata meja untuk meletakkan beberapa bakal makanan yang dibawa, istri menerima telpon dari tantenya.

“Assalamu’alaikum Tis…”

“Wa’alaikumussalam tante, ada apa ? “

“Maaf ya, tante gak bisa bawa sate kikilnya karena penjualnya gak jualan dan pas tante mau beli setelah pulang kerja sudah malam dan penjualnya sudah pulang. Jadi gimana kalau tante bawa menu yang lain? Gak apa-apa ya. Nanti kalau ada acara lagi, tante janji akan bawa sate kikilnya ya”

Gubraak… “Iya tante, gak apa-apa (ini batal yang kedua). Posisi tante dimana sekarang?”

“Tante sudah di kereta dan baru berangkat dari stasiun Manggarai. Nanti kalau sudah sampai di stasiun Bekasi, tante kabari deh.”

“Oke tante.” istri bergegas kembali ke dapur untuk memastikan semuanya sesuai harapan. Akhirnya datanglah satu persatu pihak keluarga dari ibu mertua.

Om Yadi dan istri, tante Rita, Ari, si kembar Abang (Adiknya ada acara bukber di Summarecon Mall Bekasi) datang bersama adik yang bontot, Fathia. Setelah saling ngobrol dan dengan para sepupu, terdengarlah adzan Maghrib. Alhamdulillah. Kemudian datang Eni dan anaknya. Berbukalah kita semua dengan hati lega dan senang. Sesaat setelah berbuka, om Yadi dan saya pergi ke masjid untuk shalat maghrib.

Setelah maghrib, waktunya saling bercerita dan menikmati hidangan dan sekaligus bahas rencana kumpul kembali di lebaran hari kedua. Keputusan sudah bulat dan akhirnya di tempat kami kembali. Alhamdulillah, semoga berkah menjadi tempat kumpul silahturahmi. Hal yang istimewa dalam pertemuan keluarga dari ibu mertua adalah hari itu merupakan hari jadi pernikahan kami yang ke-16 tahun. Subhanallah, kami masih diberikan kesempatan melalui lika liku dan badai rumah tangga yang macam dan jenisnya beragam. Alhamdulillah juga, anak-anak dan ibu mertua masih dalam lindungan Nya. Semoga kami masih bisa menjadi keluarga yang utuh hingga kakek nenek dan maut memisahkan kita. Aamiin. Terakhir, Abang (Ryan) datang dengan istri dan bunda serta adiknya dengan membawa ikan gurame bakar sekitar jam 20.00. Lengkaplah sudah acara silahturahim di pertengahan bulan Ramadhan ini. Semoga kami masih bisa bertemu kembali dengan Ramadhan berikutnya. Aamiin.

***

Cerita ini dapat dilihat juga pada laman berikut : 
https://rulyardiansyah.blogspot.co.id/2017/06/silahturahim-dan-usia-pernikahan.html

Pengguna Commuter Jadi Warga Kelas Dua

 Banyak cerita seputar kereta commuterline. Baik soal perjalanannya, suasana dalam keretanya, sarana dan prasarana pendukung keretanya maupun kereta mana yang harus jalan terlebih dahulu. Cerita ini menarik untuk disampaikan karena masih merupakan misteri yang belum ada jawabannya hingga sekarang. Jika kita menjadi salah satu pegawai dari PT Kereta Api Indonesia (PT KAI), Ditjen Perkeretaapian, Kementerian Perhubungan dan PT Kereta Commuter Jakarta (PT KCJ), mungkin akan mengetahui kenapa hal-hal seperti diatas bisa terjadi.

      Banyak perbaikan yang sudah dilakukan saat Pak Jonan saat menjabat sebagai Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia. Banyak kultur menggunakan kereta api yang sudah dirubah oleh beliau. Misal bagaimana para calon penumpang digiring dengan ketentuan dan peraturan yang beliau tetapkan masuk dan keluar dari stasiun di seluruh Jabodetabek dengan tertib. Bagaimana proses pemesanan tiket kereta dimudahkan dengan fasilitas online dan verifikasi calon penumpangnya dengan baik sehingga mengurangi potensi adanya calo yang berkeliaran di sekitar stasiun. Bagaimana jadwal perjalanan kereta api dapat berjalan dengan tepat waktu, nyaman dan aman. Pihak keamanan juga disiapkan hampir di seluruh stasiun di Indonesia.  Bagaimana tingkat ketertiban di dalam stasiun dapat ditingkatkan dengan cara professional, sehingga pihak yang tidak berhak dapat segera lengser dari stasiun. Itulah beberapa perbaikan yang telah dilakukan oleh beliau.

        Disamping itu masih ada kekurangan yang memang belum bisa dijelaskan oleh pihak PT KAI, Ditjen Perkeretaapian, Kemenhub maupun PT. KCJ. Beberapa misalnya masalah perweselan yang masih merupakan momok tersendiri, karena perweselan ini sesuai dengan kondisi saat pengadaannya dulu. Wesel ini ada yang berasal dari Inggris, Belanda dan Jerman. Bayangkan untuk permasalahan wesel aja masih berbeda-beda sejak jaman Hindia Belanda. Sehingga kalau wesel ini macet, jadwal kereta sudah pasti terganggu.

Kemudian ada palang pintu bagi jalur kereta yang masih melewati jalur kendaraan bermotor. Idealnya jalur kereta itu harus sudah diatas jalan raya seperti pada ruas stasiun Cikini hingga Jakarta Kota. Tidak semua palang kereta itu terjaga dengan palang yang sempurna. Untuk wilayah Jabodetabek mungkin lebih baik, tapi bagaimana dengan di luar Jabodetabek? Jadi diri kita yang bisa mengendalikan agar bersabar menunggu sinyal kereta.

Rencana double double track (jalur ganda), dimana pembuatan jalur ganda ini juga sudah lama rencana pembuatannya yaitu sejak renstra 2008 saya pernah mendengar wacana itu. Tapi saya memahami betapa sulit proses pembebasan tanah atau lahan untuk jalur ganda itu. Tujuan jalur ganda ini untuk menghindari adanya saling mengalahkan atau bersinggungan antara kereta api jarak jauh dengan kereta commuterline. Rencana pembukaan jalur ganda ini hingga ke Surabaya. Jalur ganda ini nantinya juga akan memberikan kemudahan akses bagi warga Cikarang untuk menggunakan commuterline.

        Dari permasalahan wesel, palang pintu dan jalur ganda, hal paling banyak memberikan pengaruh terhadap perjalanan kereta commuterline adalah belum tersedianya jalur ganda. Akibatnya banyak perjalanan kereta commuter tertahan dan dikalahkan oleh kereta jarak jauh. Biasanya titik tertahannya kereta commuterline itu di stasiun Manggarai, Jatinegara atau Cipinang dan Cakung untuk wilayah jalur kereta ke wilayah Timur. Karena ada juga kereta lokal juga melewati jalur ini dengan tujuan Cikampek dan Purwakarta. Sedangkan jalur kereta menuju Serpong dan Tangerang juga ada kereta lokalnya, hanya saja saya belum bisa bercerita di sini dan informasinya masih minim. Dampak dari ini, akhirnya kereta jarak jauh dan kereta lokal yang diutamakan.

Menurut saya, para pengguna kereta jarak jauh secara umum bukan para pekerja yang mengejar waktu tetapi lebih banyak yang berkunjung, liburan atau dinas dan lainnya. Sehingga keberangkatannya bisa ditunda sekitar 2 atau 3 menit hingga kereta commuterline lewat. Fakta yang sering terjadi adalah terkadang saat tertahan di salah satu stasiun, waktu tunggunya bisa 2 atau 3 kali kereta jarak jauh lewat dahulu. Padahal kalau kereta commuterline  dikasih kesempatan jalan, mungkin sudah sampai di stasiun akhir di Bekasi. Inilah yang saya sebut tidak logis dan pengguna commuterline harus bersabar. Saya juga menangkap isu bahwa ada insentif bagi kepala stasiun yang memperbolehkan kereta jarak jauh lewat terlebih dulu dibanding commuterline. Alasan lain kereta commuterline itu selalu tertahan adalah biaya perjalanannya masih di subsidi pemerintah (padahal kereta lokal juga masih), penumpang kereta jarak jauh membayar lebih mahal (apakah pengguna commuterline bayar mahal akan sama perlakuannya?) atau manajemen kewenangan perkeretaapiannya (PT KAI, Dirjen Perkeretaapian atau PT KCJ). Memang para pengguna commuterline selalu diminta bersabar dan berdoa, karena keselamatan sudah terjamin tetapi kenyamanan dan keterlambatan tidak. Bayar murah kok mau nyaman dan cepat. Ini jadi tidak konsisten jika kereta lokal yang dibawah manajemen PT KAI. Kereta lokal ini masih bisa mendahului commuterline dengan status masih disubsidi, dibawah PT KAI dan previllege lainnya.

Kami para pengguna kereta commuterline berharap agar jalur ganda sudah dapat difungsikan dan digunakan agar pengguna commuterline tidak menjadi warga kelas dua. Selain itu peran kereta lokal juga akan dihapus dan para penggunanya akan beralih ke commuterline juga. Jika penggunaan jalur ganda sudah berfungsi, commuterline merupakan primadona bagi penduduk sekitar Jabodetabek yang akan berpergian keliling kota.


***

Tulisan ini dapat juga dilihat pada laman : https://rulyardiansyah.blogspot.co.id/2017/06/pengguna-commuter-jadi-warga-kelas-dua.html 

Perguruan Tinggi dan Ambisi Orang Tua

Proses seleksi masuk perguruan tinggi pasca SMA sebetulnya siklus rutin yang akan kita jumpai setiap tahun, tapi selalu saja ada drama-drama yang mengharukan, ada kegembiraan dan ada juga kesedihan.

Suasana dramatisnya mirip-mirip pada final sepakbola level eropa atau dunia semisal liga champion atau piala dunia. Di akhir laganya selalu menyisakan dua pihak yang keharuannya sangat kontras. Meski sebagian dari dua pihak itu memiliki cara mengekspresikan yang kadang terlihat sama, katakanlah dengan menangis, tentu memiliki latar belakang emosional yang sangat berbeda. Para pendukungnyapun tak kalah seru dalam menyikapi hasil akhir laga fenomenal tersebut.

Sedramatis apapun itu, proses seleksi masuk perguruan tinggi dan final laga sepakbola yang sangat terkenal itu tentu harus dipahami sebagai sesuatu yang berbeda, minimal dalam konteks pendekatan filosofis. Final liga champion adalah hasil akhir, sementara proses seleksi masuk perguruan tinggi hanyalah titik awal dari sebuah perjalanan menempa kematangan dan kedewasaan yang sangat panjang.
Oleh karena itu, drama pasca pengumuman hasil seleksi perguruan tinggi mesti disikapi dengan kadar yang secukupnya, karena ketidakberhasilan lolos dalam seleksi ini bukanlah akhir dari segalanya.

Setidaknya ada tiga hal yang membuat proses seleksi ini menjadi begitu menguras emosional kita. Pertama, terlalu terburu-buru memaknai kesuksesan pada proses dini ini. Memang tidak salah apabila ketika lolos pada seleksi ini memberi harapan yang memadai untuk menggapai kesuksesan, tetapi ketika pada kondisi sebaliknya, tentu tidaklah bijak apabila ini kemudian kita sebut sebagai pertanda kegagalan kehidupan kita.

Kedua, keinginan anak-anak kita yang sangat tinggi. Hasil seleksi yang baru diketahui kemarin, tentu memberi efek yang ekstrim dari mulai kegembiraan sampai pada titik kesedihan pada skala tertinggi bahkan bisa jadi mengalami kekecewaan yang sangat dan frustasi. Di kalangan anak-anak, proses seleksi di samping sebagai sarana memilih perguruan tinggi terbaik untuk mencapai cita-citanya, bisa juga sebagai ajang adu gengsi, meski pada kenyataannya tidak selalu pilihan-pilihan itu bisa diadupadankan.

Ketiga, ambisi orang tua yang melebihi kemampuan dan bahkan kemauan anaknya. Atas dasar pengalaman yang diperoleh selama ini, kebanyakan orang tua mengarahkan atau paling tidak memberi masukan pada proses pemilihan jenjang pendidikan yang paling krusial ini. Pada proses pengarahan ini tidak jarang pula para orang tua 'menitipkan' sesuatu yang sedikit banyak dipengaruhi ambisinya. Ketidakmampuan orang tua membuat titik keseimbangan (tawazun) antara pengarahan karena latar belakang pengalaman-pengalaman yang berharga selama ini atau karena ambisi-ambisi yang tersembunyi, kemudian dipadukan dengan minat dan kemampuan anaknya, akan menjadi beban yang tidak ringan. Bahkan apabila hasilnya kemudian mengecewakan, beban ini bisa berakibat trauma yang berkepanjangan.

Hari pengumuman bukanlah hari penentuan seseorang akan sukses atau sebaliknya. Menerima kenyataan pahit pada fase ini tentu tidak mudah, dan ini harus dibersamai dengan upaya rekonsiliasi mental yang harus dilakukan secara cepat dan terukur.

Pada hari diketahui hasil jerih payah belajar dan selalu terlantunkannya do'a-do'a, tentu bukan waktu untuk menghakimi dan mengumbar segala kesalahan. Pada saat krusial ini, justru orang tua harusnya berperan menjadi penampung yang sangat luas sebanyak apapun kekecewaan yang akan dirasakan oleh anaknya menerima kenyataan yang tidak selalu sesuai harapannya.

Orang tua harus menjadi pendingin bagi jiwa-jiwa yang kecewa, menjadi penghangat bagi jiwa-jiwa yang lunglai tak bersemangat, menjadi pembesar bagi jiwa-jiwa yang mengkerut kecil. Orang tua juga harus bersedia menjadi terminal yang nyaman bagi jiwa-jiwa yang membutuhkan tempat istirahat sementara waktu.

Kepada anak-anak yang sedang membutuhkan segalanya mengumpulkan kembali semangat dan gairahnya, orang tua perlu melebarkan tangannya, melapangkan dadanya dan menyampaikan hakikat ambisi yang sebaik-baik ambisi orang tua kepada anaknya. Peluk dan kemudian berbisiklah, "Anakku, kamu jadi anak shaleh, itu sudah lebih dari cukup bagi ayah dan ibu..."

Mosaik Mimpi


Senja di padang rumput savana
Kotak telepon umum
Di dalamnya aku, sendiri
Mendengarkan suara ayah dan ibu

Malam terang bulan
Aku dan teman-teman
Berlarian di antara atap perumahan
Melompat, terbang ... bagai pegas di tenda sirkus

Pagi di pedesaan
Mentari lembut menembus kaca jendela
Memenuhi sudut ruangan kecil ini
Kududuk di atas dipan, tercium aroma sisa air hujan
Dan rumput dan bunga yang masih basah

Siang benderang di tepi pantai
Pasir putih sejauh mata memandang
Nyiur melambai, angin bertiup
Aneka kerang indah ditinggalkan penghuninya
Kulekatkan telinga kepadanya
Terdengar deru angin dan dasar samudera

Hempaskan saja ke udara..


"nduk... jadi perempuan itu harus banyak bersabar. Berani mengalah.."
"Emang perempuan doang Bu? Laki laki kan juga harus menghormati perempuan.."
"Iya.."
"Ibu kenapa sih, bisa sabar banget sama ayah yg galak begitu? Sukanya maksa.."
Ibu hanya tersenyum, seperti biasa..ia mengatur nafas sebelum berbicara. Wajahnya yang cantik tak lekang oleh usia. Hatinya yang lembut tak kabur oleh umur.
"Kalau ibu boleh bercerita..tentang masa lalu.."
"Gimana Bu maksudnya? Tentang ayah?"
Ibu membetulkan posisi duduknya. Menatapku lekat..melipat tangan di atas meja makan di hadapan kami. Seakan akan ia ingin mengatakan sesuatu yang teramat penting.
"Dulu... ibu tidak menikah dengan ayahmu karena cinta."
Aku memberhentikan kunyahanku sebentar. Menanti apa yang akan ibu sampaikan berikutnya.
"Ayahmu..adalah pegawai negeri yang ngekos di samping rumah eyangmu, orang tua ibu."
Wajah ibu bertambah serius. Aku jadi salah tingkah melihat ibu begitu. Namun cerita ini memang membuatku sangat penasaran. Nyaris ingin kubilang pada ibu, ayo bu cepat cerita..aku tidak sabar menanti.
"Suatu hari kami kedatangan tamu. Yang ternyata adalah ayahmu.
Ia pemuda yg tegas dan lurus. Tak pernah kami melihatnya pergi kecuali ke tiga tempat: kantor, masjid, dan warteg.
Ia.. datang di suatu sore..menemui eyang kakungmu.
Ternyata..ia ingin melamar ibu."
"Lalu eyang pasti nyuruh ibu biar mau kan?"
"Iya, nduk.. singkatnya ya begitu..sayang Khan..pemuda baik baik..pandai..pns pula..siapa orang tua saat itu yg akan menolaknya.."
Aku kembali mengunyah. Kue lemper buatan ibu enak sekali. Hampir saja aku makan tiga kalau perutku masih terasa lapang. Ya ampun ..
"Ibu lalu mau saja, nduk.. namanya nurut sama orang tua.."
Aku mengangguk angguk. Kepenuhan lemper campur teh manis di mulut.
"Kami lalu menikah..tak lama setelah itu.
Di awal awal pernikahan...ibu kaget sekali.."

"Hah? Kenapa Bu kenapa?"

"Ayahmu orgnya disiplin sekali..kadang kalau ibu ada salah salah ia tegur..ibu Ndak biasa dg bahasanya yg tegas nduk.."
"Trus ibu marah sama ayah karena diomelin terus dong?"
Ibuku menggeleng kecil. Ada kerut kerut di mata bulatnya, kerut yang natural hadir mengiringi perjuangannya di tiap tahun usia.
"Ibu hanya diam dan sesekali ibu menangis .."
"Ayaaah...."
"Tapi itu hanya di awal awal nduk...
Setelah itu..ibu belajar.."
"Belajar apa Bu?"
"Untuk mengikhlaskan semuanya..termasuk sifat ayahmu yang tegas sekali itu.
Ibu kuatkan diri ibu untuk melapangkan hati ibu, ibu berusaha terus bersabar dan mengalah.."
"Hhaaa?? Duh muncrat sedikit lempernya.." ujarku agak malu
"Lama lama ibu biasa begitu, nduk..
Menikah itu harus ada yg mengalah...harus bersabar dengan pasangan..
Dan itu bukan berarti kalah."
"Kenapa ibu ga blg sama ayah kalo ayah galak dan harus berubah?"
Wanita cantik di depanku hanya menggeleng lagi.
"Ndak.. ibu Ndak mau ayah merasa ia tidak sempurna di mata ibu.
Ibu banyak mendapat kelebihannya, nduk..kurang sedikit darinya Ndak masalah lagi.."
"Pantes ibu ga pernah berantem sama ayah.."
"Ndak begitu..ya pernah berantem..tapi hanya ribut kecil lalu baikan. Ibu Ndak mau menyimpan amarah lama lama..ibu hembuskan saja ke udara. Ibu lepaskan bersama doa.. Lalu hati ibu plong kembali."
"Hahahaha....kaya kentut Bu.."
"Hush...anak wedok kok ngomong kentut.."
Tanpa sadar tanganku mengambil lemper keempat..

Tak Ingin Kaya (Bagian-1)

Pagi itu jalanan sudah mulai ramai dengan lalu lalang kendaraan. Meskipun lebarnya hanya pas untuk dua mobil simpangan dalam posisi yang sangat mepet, jalanan Kampung Rawa jadi favorit para pengendara yang ingin mencari jalur alternatif menuju jalur utama. Di salah satu pertigaan, terdapat pos ronda yang kini juga terpampang papan kecil bertuliskan "Sedia Ojek Offline". Dulunya jumlah tukang ojek yang mangkal di situ cukup banyak. Jika skuadnya lengkap bisa hingga delapan orang yang nongkrong menunggu penumpang. Namun seiring perkembangan ojek online yang menjamur parah dewasa ini,  jumlahnya berkurang signifikan. Tiap harinya paling banyak hanya tampak tiga pengojek saja yang mangkal. Sebagian besar yang lain sudah beralih menjadi tukang ojek berseragam yang mengandalkan telepon pintar dalam berburu penumpang.

Dari segelintir tukang ojek pangkalan yang tersisa itu, ada sosok pria yang dari rambut putihnya sudah tak bisa membohongi lagi berapa usianya. Namanya Pak Parmin, asli Jawa namun terakhir kali pulang ke kampungnya kira-kira saat Pak SBY terpilih jadi Presiden pada periode pertama. Istrinya sebaya dan menjadi tukang setrika di laundry kiloan tak jauh dari rumahnya. Anak-anaknya ada dua orang yang semuanya tinggal di Jawa bersama mertua.

Jam tangan telah menunjukkan pukul 7.10. Seperti biasanya, aku berjalan menyusuri gang dari kontrakan menuju pertigaan tempat Pak Parmin mangkal. Tampak Pak Parmin sedang menyeruput segelas kecil kopi hitam di pos pangkalan. Rambut putihnya yang sudah menipis tetap terjaga klimis karena jam segini biasanya beliau memang baru mulai beroperasi.

"Assalamualaikuum Pak Parmin, mari berangkat pak" sapaku sambil tersenyum.

Ya, tiap pagi di hari kerja Pak Parmin layaknya supir pribadiku. Aku sudah jadi langganannya untuk berangkat kerja sejak ngontrak di daerah situ. Tanpa aku bilang, Pak Parmin sudah tahu harus mengantarku kemana.

"Waalaikumussalam masbro... siap.. satu seruput dulu ya" jawab Pak Parmin sambil gelas kopi masih menempel di ujung bibirnya.

Setelah satu seruputan kopi, diletakkannya gelas yang masih terisi kira-kira sepertiganya. Bergegas distater motor keluaran awal tahun 2000 kesayangan Pak Parmin dengan mengengkol pakai kaki karena stater tangannya sudah tak lagi berfungsi. Setelah beberapa kali dicoba akhirnya hidup juga mesin motor yang sudah terdengar agak batuk-batuk itu.

"Sudah siap masbro.. naek...! " kata Pak Parmin dengan semangat

Segera aku naek ke jok belakang dan menepuk pundak Pak Parmin, "Berangkaatt.. Pak.. "

Motor yang sudah masuk ketegori tua ini mulai melaju menyusuri jalanan. Asap putih menyembur dari knalpot jika kita melongok ke belakang. Maklum, mungkin sudah lama Pak Parmin tidak mengantar motornya ke bengkel untuk sekedar tes kesehatan. Lajunyapun tak bisa digeber kencang, hanya maksimal 60 km/jam.

"Ibu gimana Pak, sehat? " aku membuka pembicaraan di atas motor

"Alhamdulillah mas sehat, ya kan tiap hari olah raga. Angkat-angkat setrikaan kan sama kaya angkat barbel mas, jadi uda kaya fitnes" jawabnya dengan bercanda.

Pak Parmin ini memang suka sekali bercanda. Makanya, tiap menumpang ojeknya selalu kusempatkan ngobrol dengannya. Bisa jadi hiburan sebelum stres bekerja.

"Mas Evan sendiri gimana, kapan nikah? tetangga saya yang pengangguran aja uda nikah, masa Mas Evan yang tiap bulan gajian ga laku-laku? " Pak Parmin melancarkan pertanyaan balik yang tiap hari diulang-ulang.

"Hahaha... belum nemu yang cocok Pak, nanti kalau uda jodoh kan nemu-nemu sendiri" jawabku berdiplomasi.

"Alaah, jangan terlalu pilih-pilih mas, nanti keburu tua kaya motor saya" Pak Parmin menimpali.

"Hahaha... siap pak!" jawabku sembari menghibur diri

"Kemarin sore pas saya pulang kerja kok tumben Pak Parmin ga kelihatan di pos?" aku coba mengalihkan fokus pembicaraan.

"Oh iya mas, kemarin abis dzuhur saya pulang mas, maag saya kambuh, perut saya serasa diiris-iris... tapi untung bukan hati saya yang teriris-iris" jawab Pak Parmin tetap dengan sedikit bercanda

"Haha.. Pak Parmin bisa aja, jangan nyindir penyakit saya dong Pak. Terus sekarang udah sembuh Pak?"

"Sudah mas, tinggal kasih obat warung juga reda, uda biasa mas. Cuma sekarang lebih sering kumatnya, telat sarapan sebentar aja uda protes perut saya uda kaya orang zaman sekarang, gampang protes" Pak Parmin terdengar sedikit curhat.

"Wah, makanya Pak jangan telat sarapan, kalau sering kumat gitu kan repot, jadi ga bisa narik"

"Haha.. maunya sih gitu, tapi gimana lagi, pagi-pagi ibu ga sempat bikin sarapan karena sudah harus berangkat ke tempat londri, uang juga sudah habis buat makan kemarin, belum dapat penumpang juga, paling-paling ya cuma sisa buat beli kopi di warung deket pos situ"

"Penumpang pertama saya dan kadang satu-satunya dalam satu hari kan ya Mas Evan ini, jadi ya bisa beli sarapannya setelah nganter mas Evan paling cepet." Pak Parmin melanjutkan ceritanya.

"Oh, yaudah Pak nanti sarapan dulu aja bareng saya di deket-deket kantor, saya juga belum sarapan ini" aku mencoba mengajak Pak Parmin, meskipun aku tahu Pak Parmin akan menolaknya karena bukan pertama kalinya aku menawarkan untuk sarapan bareng dan selalu saja ditolaknya.

"Ah, ga usah repot-repot mas, gampang nanti saya beli indomie di warung deket pos aja sepulang nganter Mas Evan, tenang perut saya masih aman kok, maag saya masih belum bangun, hehee"

"Oh, sip kalau gitu Pak, yang penting perutnya keisi"

"Jadi kemarin rugi dong Pak cuma narik sebentar?" aku coba menanyakan

"Yaah, rugi gak rugi sih mas, kemarin untungnya uda dapet dua penumpang, Mas Evan pas pagi, terus agak siangan Kong Naim minta anter ke rumah cucunya, abis itu pulang deh"

"Biasanya juga sehari cuma tiga sampe empat penumpang mas kalau lagi beruntung kalau lagi sepi ya bisa cuma satu penumpang meski mangkal sampe sore, jadinya kalau dibilang rugi ya ga juga sebenernya" Pak Parmin nampak masih mensyukuri nasibnya kemarin.

"Hah, paling banyak cuma dapet tiga sampe empat penumpang doang Pak sehari? " tanyaku sedikit terkejut.

Otakku langsung menghitung, asumsi saya paling mahal tarif yang dikenakan Pak Parmin dua puluh ribu karena memang Pak Parmin ga menerima penumpang yang jaraknya jauh mengingat motornya sudah tak lagi perkasa. Dengan asumsi itu, jika laku keras maka Pak Parmin mendapatkan delapan puluh ribu dalam sehari. Itupun masih bisa kurang, jika order Pak Parmin hanya dekat-dekat saja yang berarti tarifnya lebih murah. Dan tentunya bisa makin berkurang kalau jumlah penumpangnya berkurang. Dari penghasilan segitu masih dipotong uang bensin, uang makan, uang ngopi, dan uang beli obat maag kalau sedang kumat. Untungnya, Pak Parmin udah tobat dari menghisap rokok. Masya Allah, berapa uang yang bisa dibawa Pak Parmin ke rumah. Oh iya, uang pulsa juga belum dihitung, karena Pak Parmin juga punya hp seri jadul yang masih poliphonic untuk sarana komunikasinya.

Setelah itu, entah bagaimana, akhirnya terlontar juga pertanyaan yang sudah sekian lama aku tahan-tahan karena sungkan mau menanyakan.

"Kok ga daftar ojek online aja Pak? kan penghasilannya pasti lebih lumayan, penumpangnya juga pasti lebih banyak pak sehari"

"Hahaha... Mas Evan ini menurut catatan saya adalah orang yang ke seribu yang bertanya tentang ini... selamat Mas, Anda dapat payung cantik... hahaha" Pak Parmin menimpali dengan berkelakar.

"Ah, Bapak bercanda aja nih, saya nanya serius ini Pak, kan sekarang ojek online udah menjamur Pak, semua orang sekarang pake ojek online, pasti duitnya lebih banyak tuh Pak" aku makin penasaran.

"Bapak juga udah sering Mas diajakin gabung ojek online, kawan-kawan pangkalan kan sebagian besar udah gabung ojek online juga tuh. Tapi Bapak masih belum kepikiran Mas, modalnya terlalu besar buat Bapak" Pak Parmin mulai menjelaskan.

"Modal? kan ga perlu modal Pak, daftarnya ga bayar setahu saya"

Baru mulai semangat untuk interogasi, ternyata motor Pak Parmin sudah berhenti tepat di pintu gerbang kantorku.

"Sudah sampai nih Mas" Pak Parmin berkata pendek.

Perlahan aku turun dari motor dan melepaskan helm. Kuserahkan helm hitam yang catnya sudah mulai pudar itu ke Pak Parmin, sambil tetap mencoba bertanya.

"Jadi daftar ojek online itu bayar tho Pak? bayar berapa Pak? nanti saya pinjemin deh Pak buat modal Bapak" aku terus nyerocos bertanya.

Aku menawari Pak Parmin pinjaman uang untuk modal karena aku tahu kalau aku memberinya cuma-cuma, Pak Parmin sudah pasti akan menolak. Beliau orang yang anti banget dikasihani orang.

"Udah mas lanjut besok-besok ceritanya, nanti Mas Evan telat, biasanya juga langsung lari ngejar absen, uda tinggal dua menit lagi nih, hehehe" jawab Pak Parmin sembari melihat jam tangannya.

Sebenarnya aku masih ingin mengorek lebih dalam lagi dari Pak Parmin, tapi tak mungkin juga aku memaksanya bercerita sekarang. Aku juga harus masuk kantor dan Pak Parmin harus kembali ke pangkalannya.

Kuserahkan selembar uang dua puluh ribuan sembari mengucapkan salam ke Pak Parmin.
"Ok deh Pak besok-besok kita lanjutkan, saya masuk dulu ya Pak, Pak Parmin hati-hati, Assalamualaikuum..."

"Siap Mas, waalaikumussalam"

Kami pun berpisah ke arah yang berseberangan. Aku memacu langkahku lebih cepat agar tidak terlambat absen dan Pak Parmin juga memacu motor tua nya perlahan meninggalkan kantorku. Di benakku masih tersisa rasa penasaran karena pembicaraan dengan Pak Parmin yang belum tuntas tadi. Tapi perlahan rasa penasaran itu tenggelam di tengah hiruk pikuk kantor yang sudah mulai menggeliat.