PNS Jujur

Beberapa hari yang lalu diselenggarakan perhelatan besar di lingkungan kantor. Budget Day namanya, melibatkan tiga unit Eselon I di Kemenkeu dan dihadiri oleh Ibu menteri tercinta, Sri Mulyani Indrawati. Saya sendiri tidak hadir karena berada di Yogyakarta menuntut ilmu dalam diklat “Evidence-Base Planning and Budgeting” (ehem, pencitraan dulu) tapi di beberapa group WA kantor bersliweran berita bahwa acara “hampir dapat di katagorikan tidak sukses”. Ribet bukan penjelasan saya? Inginnya nulis singkat “GAGAL” tapi tidak sampai hati kepada teman-teman panitia yang sudah mencurahkan waktu, tenaga, dan pikirannya dalam mensukseskan acara ini. Di BnD sendiri sudah ada tiga tulisan yang terinspirasi dari acara tersebut. Satu membahas tentang sinergi dan yang dua lagi soal “hampir dapat di katagorikan tidak sukses” yang belum saya jelaskan tidak suksesnya di mana.

“Hampir dapat di katagorikan tidak sukses” yang saya maksud lebih fokus kepada para peserta sudah lebih dulu bubar dan meninggalkan tempat acara sebelum acara berakhir. Di sebuah WA group pembahasannya agak panjang serta agak keras, dan pada akhirnya saya berhasil menyinggung salah seorang teman karena kata-kata saya yang menyakitkan. Padahal sebelumnya sudah ada rekan yang mengingatkan “bahwa hal-hal seperti ini sebaiknya didiskusikan dengan tatap muka dari pada di WAG yang bisa menimbulkan salah pengertian”.

Pembelaan saya kali ini adalah “saya berusaha jujur walau kadang jujur menyakitkan hati”. Saya tahu betul bahwa luka di hati bekasnya lebih dalam dari pada luka fisik tetapi kadang ada hal-hal yang tidak bisa kita hindari. Buset panjang benar ya intronya, terlihat jelas gak kalau “penulis” takut jadi orang yang dibenci setelah posting tulisan ini? Hehehe.. “dari tadi muter-muter ga nyampe-nyampe ke judul”.

Kembali ke judul “PNS Jujur”, kenapa PNS? Kenapa gak semua pegawai? Karena saya PNS dan pengalaman saya ya di pemerintahan. Menurut saya semua permasalah di dunia ini ada solusinya karena tidak ada hal baru di kolong langit ini, masalah apakah kita bisa menyelesaikannya lebih terlepas apakah kita mau atau tidak. Pengalaman saya dalam perencanaan anggaran sejak tahun 2007 semua masalah anggaran pun ada penjelasan logisnya apalagi kita dimudahkan dengan peraturan yang sudah jelas hitam putihnya, saya pasti punya solusi untuk semua masalah anggaran (dan saya yakin semua penelaah/ analis anggaran di DJA pun juga). Tapi seperti halnya seorang gadis yang curhat tentang masalah percintaannya kebanyakan orang datang hanya untuk menyampaikan keluh kesahnya dan bukan mencari solusi, mereka mangut-mangut dan bilang “oh, gitu ya pak”, lalu diikuti dengan diam sejenak dan ditutup dengan kalimat “susah ya pak” setelah mendengarkan penjelasan saya yang panjang dan berbusa-busa. Terkait dengan Budget Day, ketika saya memberikan solusi “agar peserta diberikan Surat Tugas (ST) dan diberi hukuman disiplin jika meninggalkan acara” salah satu teman panitia merespon “kaya anak kecil saja”, lah sebelumnya saya bahkan bilang “pintunya dikunci saja”. Ketika saya challenge dengan “harusnya panitia mencari tahu kenapa peserta itu gak betah nunggu sampai akhir acara” dan “IMHO dan setau saya di dunia profesional. Kegagalan sebuah acara/ kegiatan sepenuhnya menjadi tanggung jawab panitia kecuali ada force majeur”. Saya mendapat jawaban yang sama “harusnya peserta mengerti”. Sebenarnya hal ini tidak tertutup pada acara-acara seremonial saja, ketika masuk ke program-program yang melibatkan masyarakat mulai dari jaman pak Harto kasih rumah, ladang, dan sapi ke warga di Papua (waktu itu masih Irian Jaya namanya) dan akhirnya sapinya dipotong dan dimakan, lalu rumahnya ditinggal kosong begitu saja sampai yang terbaru mungkin para penghuni rumah susun “korban” penggusuran normalisasi kali Ciliwung yang masih bermasalah sampai sekarang bahwa setelah pindah mereka semakin tidak sejahtera dan kesulitan membayar sewa yang “sudah” sebegitu murahnya. Para penyusun “kebijakan” ini adalah para PNS dibantu dengan orang-orang pintar yang sedemikian rupanya mencurahkan waktu, pikiran, dan tenaganya untuk memberikan yang terbaik bagi masyarakat tanpa bertanya terlebih dahulu apa yang mereka butuhkan atau apa masalah mereka.

Nah di sini masuk lucunya, sering kali hampir selalu ketika programnya gagal “mereka” sibuk mencari kambing hitam dan kebanyakan kambing hitamnya adalah masyarakat/ sasaran program mereka. Alasan-alasan seperti “masyarakatnya tidak mengerti, warganya ngeyel, coba mereka sedikit saja mau mengerti” adalah alasan-alasan yang paling sering dilontarkan ketika sebuah acara/ program gagal. Coba kalian kerja di swasta dah dipecat kalau berani jawab begitu ke bos, kira-kira begini percakapannya. Bos: “Kenapa motor kita ga laku?”, sales: “ini bos, konsumen ga mau ngerti kalo motor kita tuh bagus, harusnya kan mereka beli ya”. Nah, kurangnya kemauan bercermin atau saya bilang “Jujur” menjadi salah satu masalah klasik dalam dunia birokrasi. Semua sibuk ingin dimengerti tetapi tidak pernah meluangkan waktu untuk duduk dan mendengarkan sehingga bisa mengerti apa sebenarnya masalahnya. Ketika sebuah saya memberi masukan “agar pintu dikunci saja” dan “diberikan ST dan ancaman hukuman disiplin” yang menurut saya adalah cara paling to the point saya ditertawakan, ketika saya katakan bahwa “mereka harus terlebih dahulu mencari masalahnya” dan “bahkan ketika saya menunjukkan masalahnya dan cara menyelesaikannya”, mereka terdiam lalu berkata pelan “wah, susah ya pak Samuel”. Ketika saya bilang yang salah mereka, mereka tersingung “wah, jangan begitu dong pak”.


“Jadi lo maunya apa sih? Dari tadi curhat ga ada ujungnya, tadi nanya solusi. gw bilang solusinya putus lo bilang gak mau, orang cowok lo kagak bener gitu. Udah ah buang-buang waktu gw aja lo, gw mau maen pe-es nih”, sambil menutup telpon (blom ada HP jaman itu) secuplik percakapan dengan sahabat saya Tika di masa SMA yang bolak-balik curhat tentang cowoknya si Uwi.

Aplikasi Nudge Theory: Usulan bagi yang galau pada saat kendurian kantor


Sebenarnya saya lagi males nulis karena kerjaan masih banyak, tapi begitu baca tulisan seorang tokoh feminist yang saya kagumi di forum ini, saya rasa gak ada salahnya sedikit meluangkan waktu buat ngetik-ngetik. Tokoh tersebut buat puisi (walaupun bentuk tulisan gak kaya puisi) yang bernada curcol tentang kelakuan pegawai di kantor tercinta yang datang ke acara pertemuan tapi begitu melihat bos besar angkat kaki, seakan mendapat komando untuk ‘bubar grak’. Belum lagi kelakuan para pegawai tersebut yang kalau datang ke acara selalu ngaret alias lelet alias gak pernah on time. Tentu saja, puisi tersebut mendatangkan kontroversi terutama bagi para cendikiawan WAG mengenai siapa yang salah dan berujung pada ……

Anyway, untuk masalah sederhana ini, saya jadi teringat satu teori dalam behavioural economics yang disebut ‘nudge’, kebetulan pakar teori ini baru dapat nobel bulan lalu. Nudge theory pada intinya adalah bagaimana sebuah aturan/system dapat mengubah perilaku seseorang/masyarakat tanpa menyebabkan konflik dalam diri orang/masyarakat tersebut. Sebagai contoh ketika dibuat garis antrian untuk mereka yang ingin masuk busway secara tidak langsung para penumpang telah di biasakan untuk antri tertib untuk masuk busway. Walaupun terus terang antriannya mengular, tapi lebih baik dari pada berkerubun kayak tawon kan. Contoh lain nudge adalah penggunaan nomor antrian di bank, nasabah bisa duduk nyantai sambil kepo in WAG tanpa kawatir antriannya di selak orang lain. Pun dalam hal ini, para nasabah sudah dipaksa tanpa merasa terpaksa untuk mengantri.

Untuk kantor tercinta/tersayang/terkaya (dalam hal angka nominal rupiah tanpa melihat fisiknya), nudge pun telah di praktekkan. Contohnya handkey, sudah menjadi perilaku pegawai untuk mendatangi handkey terlebih dahulu di pagi hari sebelum nongkrong di kantin atau bocipi (bobo cantik pagi hari) di sudut tertentu kantor. Uniknya lagi perilaku yang pada awalnya di paksakan melalui SE Dirjen ini sudah menjadi bagian dari rutinitas setiap pegawai tanpa ada satupun yang protes bahkan saling mengingatkan kalau ada yang kelupaan. Begitupun pada saat pulang, tanpa disuruh para pegawai memiliki inisiatif untuk mengantri di depan handkey dengan antrian yang tertib, jauh lebih tertib dari pada antrian penumpang masuk busway, padahal gak ada yang nyuruh atau ngasi komando.

Contoh lain dari nudge di kantor adalah penggunaan seragam. Cukup dengan modal tandatangan dari bos besar di selembar kertas, para pegawai sudah terprogram dalam pikiran mereka bahwa senin pakai baju putih, selasa & jumat batik, rabu & kamis seragam blue bird. Pada awalnya memang ada yang ndumel, tapi setelah berlangsung sebulan, hal tersebut berubah jadi perilaku pegawai. Entah kenapa kalau ada yang pakai seragam blue bird hari selasa, pasti merasa jadi aneh sendiri serasa saltum (lha emang iya).

Saya rasa alangkah baiknya jika nudge juga di terapkan pada acara-acara resmi di ‘great hall’ lantai dasar. Bagaimana penerapannya? Ya paling gampang pakai SE Dirjen, tapi menjadi masalah kalau sang pemberi tandatangan menganggap hal ini sebagai ‘no problemo’. Tanggung jawab otomatis turun ke tangan kanan beliau (secara structural) yaitu sekretaris (Sekditjen). Sang sekretaris dalam hal ini harus memberi komando utama pada saat acara di ‘great hall’ tentang posisi duduk berdasarkan jabatan masing-masing.

Dalam hal ini pemimpin harus berada di depan karena merekalah role model yang dipimpin, kalau pemimpin memilih berbaur sama krucil ya silakan lakukan di kantin, bukan di acara resmi. Sehingga dalam hal ini eselon 1 ya duduk sebaris sama eselon 2 diikuti eselon 3 dan 4 serta jabfung dan paling akhir krucil. Kalau krucil melihat bangku pimpinan masih kosong ya mau gimana lagi, teladannya hilang. Kecuali pimpinan mau bertukar jabatan dengan krucil ya silakan (tapi mana ada yang mau kehilangan tunjangan ya).

Eselon 4 adalah krucilnya eselon 3, pun eselon 3 merupakan krucilnya eselon 2. Nah kalau eselon 2 ya mau gak mau harus jadi teladan dengan datang ontime.

Gimana kalau ada krucil yang telat? Apabila bangku pimpinan krucil tersebut sudah penuh berarti nudge telah berhasil. Si krucil yang telat akan malu sendiri, di level apapun dia.

Tapi kalau bangku pimpinan masih kosong? Ya jangan harap nudge akan berhasil, lha wong teladannya aja gak ada. Dalam hal ini pimpinan itu ibaratnya garis antrian atau nomer antrian yang membuat orang menjadi berubah perilakunya.

Tapi bagaimana jika krucil masih gak disiplin sementara pimpinan sudah beri contoh? Ya itulah bukti statement saya bahwa tandatangan bos besar lebih sakti untuk mengubah perilaku pegawai daripada cuma puisi dari tokoh feminist kita.
Mau bukti? Silakan dilaksanakan.

Entah

Antrian orang yang menantikan pembagian tas dari panitia mengular sangat panjang. Sesekali terlihat beberapa orang yang berfoto ria dengan gembira.

Satu persatu orang-orang itu memasuki ruang pertemuan. Ruangan yang megah dan dihiasi lampu-lampu mewah dengan aksesoris yang memanjakan mata. Kudapan lezat menambah kemewahan yang didapat hari itu.

Doa yang diucapkan sangat indah. Sang pendoa berdoa agar kegiatan hari itu tidaklah menjadi kegiatan yang sia-sia. Suara sang pendoa bergetar menahan tangis yang seakan hendak keluar dari matanya.

Setelah doa yang khusyuk, nyanyian patriotik Bagimu Negeri melengkapi janji kami untuk selalu berbakti untuk negeri ini. Semua orang di ruangan itu bernyanyi dengan penuh semangat dan terselip perasaan haru.

Bergantian pembicara berpidato dengan semangat di depan audiens. Segala capaian dipaparkan. Bersahutan dengan orang-orang yang saling berbisik dan mengunyah kudapan.

Layar di depan sesekali menyoroti orang-orang didalam gedung. Warna biru laut duduk berbaris dan memanjang menyiratkan semangat bahwa hari itu pimpinan akan memberikan arahan bagaimana semua orang bekerja dengan menjunjung integritas dan selalu bersinergi satu sama lain.

Sejam kemudian, layar menampilkan gambar kembali. Warna biru berubah menjadi belang, berseling dengan putih. Tak menunggu sampai selesai akhirnya ruangan hanya menyisakan warna putih yang sepi dan dingin. Suasana yang sangat berbeda dibandingkan ketika antri pembagian souvenir.

Acara hari itu berakhir dengan sejumlah tanya, tak tahankah orang-orang duduk untuk sekedar menghargai orang lain yang sudah bekerja keras menyiapkan acara hari itu. Teringat kembali ucapan sang pendoa.
Entah....

Bogor, 24 November 2017

Jalan Sunyi

Tak banyak pemilih jalan ini
Jalan sunyi, penuh onak dan duri
Banyak kejutan di dalamnya
Hadiah dari Sang Maha Kuasa

Jalan sunyi penuh rintangan
Jalan sunyi penuh perjuangan
Untuk bisa melaluinya
Untuk bisa menapakinya

Perlu ilmu dan mujahadah
Di setiap langkahnya
Kadang melaju, kadang tersendat
Berhenti sesaat untuk mengumpulkan semangat

Berbagi dengan teman seperjalanan
Yang sudah faham makna dan tujuan
Kemana kaki melangkah
Menentukan arah kehidupan

Jalan sunyi, jalan yang sepi
Bagi mereka yang meniti
Mengikuti hati nurani
Tak akan disesali


Jakarta, 23 November 2017

Tak Perlu Silau

Tak perlu silau dengan harta
Tak perlu silau dengan kekuasaan
Tak perlu silau dengan nama besar
Tak perlu silau dengan kebaikan

Kebaikan kadang hanyalah bungkus
Menyembunyikan sesuatu di dalamnya
Suatu saat kan terungkap
Apa isi di dalamnya

Penyandang nama besar kadang lupa
Mengecilkan dirinya di hadapan Tuhan
Terlena dalam pandangan manusia
Lupa seharusnya bagaimana

Pemilik kekuasaan terkadang lupa
Itu hanya dipinjamkan
Suatu saat dikembalikan
Tidak selamanya diberikan

Harta hanyalah ujian
Banyak sedikit bukan jaminan
Untuk lulus menempuh ujian
Sikapi dengan benar, itulah perjuangan


Jakarta, 23 November 2017

SANG PENARI

Enam orang penari, dua laki-laki dan empat perempuan, perlahan memasuki panggung utama, seiring musik tradisional yang mengiringi langkah mereka. Yang lelaki tampak gagah dengan seragam tempur masyarakat pedalaman Kalimantan, lengkap dengan tameng dan pedangnya. Seorang penari juga membawa Gong besar yang kemudian diletakkan di tengah panggung. Penari perempuan tak kalah mempesona. Dengan baju manik-manik dan Taah (1), lengkap dengan Lavung (2) serta bulu burung Enggang di kedua tangannya. Menonjolkan kelembutan dan kecantikan seorang perempuan.

Ya, mereka sedang membawakan Tari Gong. Tarian tradisional masyarakat Dayak Kalimantan Timur. Tarian yang mengisahkan tentang seorang perempuan yang diperebutkan oleh dua orang laki-laki Dayak. Gerakan mereka lembut, sederhana, namun sangat harmonis. Dari tingkat kerumitan gerakan, Tari Gong bukanlah jenis tarian yang banyak menggunakan gerakan-gerakan yang sulit. Yang ditonjolkan adalah gerakan-gerakan yang menonjolkan kelembutan.

Saya bukanlah penikmat tarian yang serius, namun melihat penampilan para penari di acara Budget Day hari ini memberikan kenikmatan tersendiri. Membayangkan mereka melatih gerakan-gerakan yang harus harmonis satu sama lain. Berganti posisi, berjalan, berputar menyesuaikan irama lagu dan gerakan penari lainnya adalah sesuatu yang tidak mungkin dilatih dalam waktu satu-dua jam atau hanya sehari semalam. Persis ketika menyaksikan pemain-pemain Manchester United di pertandingan Liga Inggris, dimana mereka bahkan tidak perlu melihat posisi teman untuk mengumpan bola. Mereka sudah berada dalam satu irama yang sama. Satu hal yang hanya bisa didapat dari proses latihan yang panjang dan melelahkan.

...

Ibu Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, dalam sambutannya mengatakan bahwa sinergi yang paling mudah itu ya seperti tarian tadi. Dilakukan oleh orang yang berbeda-beda namun karena memiliki tujuan yang sama, mereka bisa bersinergi menghasilkan suatu tarian yang kompak, indah dan berhasil menyampaikan 'pesan' tarian tersebut.

...

Sinergi yang paling mudah. Istilah yang membuat saya sedikit tersentak. Bagaimana tidak? Untuk menghasilkan 'sinergi yang paling mudah' itu para penari telah mengorbankan waktu mereka entah berapa lama, tenaga yang mungkin belum tergantikan kalori-nya, keringat yang mungkin masih membekas di baju mereka. Tapi, itulah sinergi yang paling mudah.

Ketika 3 Dirjen (Anggaran, Perbendaharaan, Perimbangan Keuangan) mengangkat tema sinergi, melaporkan hasil sinergitas mereka, wajar Ibu Menteri merespon dengan 'ceramah' tentang sinergi. Pesan awalnya: sinergi itu bukanlah hal yang mudah, semudah mengucapkannya. Jika untuk menari selama 15 menit saja, bersinergi selama 15 menit saja, membutuhkan proses yang panjang, bagaimana sinergi besar yang sifatnya nasional dapat tercipta hanya dalam waktu 1-2 bulan, hanya dengan satu aplikasi yang menggabungkan semua layanan?

Sinergi itu satu siklus yang tidak terputus, sebagaimana penari melakukan perpindahan posisi atau gerakan. Sinergi itu membutuhkan pengertian, komando untuk bergerak dalam irama yang sama. Sinergi itu saling menutup celah, persis bagai penari yang melakukan blocking panggung. Tidak ada ruang kosong, utuh sebagai satu kesatuan.

Sinergi seperti itulah yang diinginkan Ibu Menteri. Sinergi yang dihasilkan dari proses saling memahami. Sinergi yang didasari keinginan untuk mencapai tujuan yang sama. Bagai mata rantai yang utuh, saling mengikat dan menguatkan satu sama lain. Butuh waktu panjang, pengorbanan dan kerja keras....persis apa yang dilakukan oleh Sang Penari.


Jakarta, 22 November 2017



*

Lika-Liku Kehidupan Kuliah S3


Menjadi mahasiswa PhD bukan hanya sibuk ngurusi tesis sendiri saja, tapi juga banyak kesempatan melakukan hal yang lain terkait dunia akademis, salah satunya jadi PTA (postgraduate teaching assistant) atau populer disebut asdos. Di jurusan saya (Geografi) banyak sekali lowongan untuk jadi asdos dan namanya asisten maka tugasnya juga cuma membantu mengajar anak2 undergrad atau S1 dengan berbagai jenis tugas yang bisa kita pilih seperti marking assistant (ngasi nilai ujian), tutorial (bantu dosen mengajar kelas tertentu), workshop supporter (mimpin grup discussion pas workshop), field trip assistant (bantu ngajar pas studi lapangan), help desk support (semacam private tutorial), dll.

Saya sudah pernah jadi marking assistant dan kerjaannya lumayan berat. Di UK memberi nilai ke mahasiswa gak cuma ngasi ponten dalam lingkaran aja. Tapi kerjaannya mahasiswa harus dibaca dengan teliti. Kalau ujiannya cuma PG mah gampang ngasi nilainya dan itu biasanya gak butuh PTA, sedang PTA dibutuhkan untuk ujian esay, nah itu lah yang bikin kerjaannya lumayan berat. Ujian esaay disini harus dibaca setiap kalimat dan paragraph nya, memastikan bahwa yang di tulis masuk akal, sesuai dengan bacaan modul dan yang paling penting menjawab pertanyaan ujian. Kalau ada yang ngawur harus di highlight mana-mana saja bagian yang ngaco, berikan komentar yang konstruktif dan tidak boleh menjatuhkan.

Kalau mahasiswanya cuma 10 orang si gak masalah, tapi mahasiswa 1 angkatan bisa 200-300 orang dan 1 PTA bisa kebagian 70 essay buat dinilai. Permasalahan utama adalah esaay ini ditulis tangan, jadi kalau kebagian mahasiswa yang tulisan tangannya bagus sudah seperti dapet rejeki nomplok, karena mayoritas tulisannya mirip2 dengan ane hehehehe. Seacakadul apapun tulisan, kalau masih pakai Bahasa ibu mah masih gampang bacanya (atau nebaknya?) lha ini pake Bahasa inggris, OMG lah, sampai mata kriyep-kriyep ngerjainnya.

Saya pernah ngasi nilai 78 ke mahasiswa tapi sama dosennya di bilang ngaco karena mahasiswanya cuma bikin tulisan dalam Bahasa inggris doank (kalo untuk level IELTS mungkin skor nya 7.0), tapi dia sama sekali gak menjawab pertanyaan dan argument nya sama sekali bukan berasal dari bacaannya jadi seharusnya dapet 45. Ada juga mahasiswa saya kasi 48 tapi kata dosen argumennya bagus, sesuai bacaan, konsisten, walau gramatikal eror banyak jadi layak dapat 68. Saya butuh 20 esaay buat latihan ngasi nilai sebelum akhirnya opini saya bisa sama dengan dosen dan akhirnya dilepas untuk ngerjain sisa 50 dan bener2 kerjaan yang cukup melelahkan.
Nilai essay disini berkisar 0-100, tapi paling tinggi saya cuma ngasi 70an dan mayoritas di kisaran 50-60an. Standar nilai di kampus ini memang tinggi banged dan semua PTA di kasi panduan standar ngasi nilai. Dan dosen2 pun mengakui kalau PTA lebih kejam dalam hal memberi nilai tapi selama tidak ada yang gagal alias dibawah 40 ya masih OK lah. Dan walau saya banyak ngasi nilai 40an tapi lebih banyak yang dikisaran 50-60an jadi yah masih standar lah (gimana mau kasi lebih kalau emang layaknya dapet segitu, padahal sendirinya kalau bikin esaay juga masih ngono ya hehehehe)

Tapi alhamdulilah kerjaan marking ini sudah terlewati. Yang sekarang dikerjakan adalah jadi supporting workshop, dalam hal ini saya berinteraksi langsung sama mahasiswa. Ada 10 workshop yang harus dikerjakan dan sudah selesai 5, dari pengalaman ini saya menarik sebuah kesimpulan bahwa karakteristik mahasiswa dimana-mana sama baik di kampung halaman maupun UK (gak peduli orang Indonesia maupun bule) yaitu kalau di biarin malah asik sendiri ama temen atau gadgetnya, kalau dideketin asdos baru mulai sibuk (atau pura2 sibuk?), kalau ditanya ada kesulitan atau tidak jawabnya 'no problem' tapi kertas kerja kosong, kalau mulai diskusi pada diem semua dan gak berani mulai kalau belum di tanya, ujug2 diskusi berubah jadi sesi tanya jawab.
Rata-rata mahasiswa/i pada malu2 kucing untuk mengekspresikan pendapat mereka. Yah, masih bisa saya maklumi karena mereka adalah mahasiswa/i tahun pertama (jadi inget dulu waktu muda ooops). Dan terlihat disini mahasiswi lebih berani untuk bersuara, mungkin karena populasi mahasiswa yang cukup langka di kelas (bahkan untuk 1 angkatan). Ya cukup terkejut juga saya karena anak geografi tahun pertama ini lebih banyak cewe nya daripada cowonya baik yang sosial maupun eksaknya. Tercermin juga dari PTA nya yang ada 3, cowonya cuma saya aja. Tapi lumayan lah bisa liat yang seger-seger daripada baca jurnal yang bikin mata butek. maklum dari 5 grup yang sudah saya pandu, cowo nya paling banyak cuma 3 dalam 1 grup, malah ada yang gak ada sama sekali. Jadi grogi juga yah di kelilingi bule kinyis-kinyis hehehehe.   
Semoga aja untuk kerjaan berikutnya bisa dapet posisi jadi field trip assistant, karena tahun kemaren field trip untuk jurusan geografi bisa ke Iceland, Germany, Spain dan USA. Tentu saja ongkos dibayari kampus + dapet gaji pula. Tapi ya saat ini masih tahap berharap saja heheheheeh, lha wong dapet kerjaan PTA juga udah alhamdulilah koq.

Membaca Peta

Siang ini teman sebelah saya sedang berdiskusi dengan seorang teman lainnya. Di hadapan mereka terbentang peta yang dibuka dari google map. Lalu mereka berdiskusi mengenai jalan-jalan yang sebaiknya dilalui bila akan menuju suatu tempat. Jelas sekali teman saya tersebut mempertimbangkan setiap masukan yang diberikan oleh temannya, apakah lewat jalan ini merupakan alternatif tercepat, apakah lewat situ macet atau tidak, apa ancer-ancer bila sudah dekat dengan tujuan, apa ada kendaraan alternatif lain bila tidak menggunakan jalan tersebut, misal dengan kereta api dll.

Sebenarnya, kurang lebih seperti itulah gambaran hidup kita ini. Hendak kemana kita, bagaimana kita akan menjalaninya, berdasarkan pengalaman dari orang yang kita percaya, kita bertanya tentang hambatan, rintangan ataupun gangguan yang mungkin kita temui bila kita memilih suatu jalan. Atau bisa juga kita membaca dari buku panduan untuk melengkapi informasi-informasi yang telah kita miliki. Lalu kita mempertimbangkan berbagai informasi tersebut dan kita menentukan sendiri kemana arah tujuan yang hendak kita pilih. Selama perjalanan tentu kita memerlukan cahaya, apakah itu cahaya yang kita miliki ataupun cahaya yang berasal dari orang lain/ benda lain. Tanpa cahaya maka akan sulit menempuh suatu perjalanan dan kemungkinan untuk tersesat akan lebih besar bila menempuh perjalanan dalam kegelapan.

Kegelapan bukan hanya berarti kegelapan malam tanpa lampu, lilin ataupun cahaya bintang dan bulan, namun bisa juga berarti kegelapan batin dari seseorang yang tidak memiliki cahaya yang cukup atau bahkan cahaya di dalam dirinya tersebut sudah padam.


Jakarta, 21 November 2017