PNS Jujur

Beberapa hari yang lalu diselenggarakan perhelatan besar di lingkungan kantor. Budget Day namanya, melibatkan tiga unit Eselon I di Kemenkeu dan dihadiri oleh Ibu menteri tercinta, Sri Mulyani Indrawati. Saya sendiri tidak hadir karena berada di Yogyakarta menuntut ilmu dalam diklat “Evidence-Base Planning and Budgeting” (ehem, pencitraan dulu) tapi di beberapa group WA kantor bersliweran berita bahwa acara “hampir dapat di katagorikan tidak sukses”. Ribet bukan penjelasan saya? Inginnya nulis singkat “GAGAL” tapi tidak sampai hati kepada teman-teman panitia yang sudah mencurahkan waktu, tenaga, dan pikirannya dalam mensukseskan acara ini. Di BnD sendiri sudah ada tiga tulisan yang terinspirasi dari acara tersebut. Satu membahas tentang sinergi dan yang dua lagi soal “hampir dapat di katagorikan tidak sukses” yang belum saya jelaskan tidak suksesnya di mana.

“Hampir dapat di katagorikan tidak sukses” yang saya maksud lebih fokus kepada para peserta sudah lebih dulu bubar dan meninggalkan tempat acara sebelum acara berakhir. Di sebuah WA group pembahasannya agak panjang serta agak keras, dan pada akhirnya saya berhasil menyinggung salah seorang teman karena kata-kata saya yang menyakitkan. Padahal sebelumnya sudah ada rekan yang mengingatkan “bahwa hal-hal seperti ini sebaiknya didiskusikan dengan tatap muka dari pada di WAG yang bisa menimbulkan salah pengertian”.

Pembelaan saya kali ini adalah “saya berusaha jujur walau kadang jujur menyakitkan hati”. Saya tahu betul bahwa luka di hati bekasnya lebih dalam dari pada luka fisik tetapi kadang ada hal-hal yang tidak bisa kita hindari. Buset panjang benar ya intronya, terlihat jelas gak kalau “penulis” takut jadi orang yang dibenci setelah posting tulisan ini? Hehehe.. “dari tadi muter-muter ga nyampe-nyampe ke judul”.

Kembali ke judul “PNS Jujur”, kenapa PNS? Kenapa gak semua pegawai? Karena saya PNS dan pengalaman saya ya di pemerintahan. Menurut saya semua permasalah di dunia ini ada solusinya karena tidak ada hal baru di kolong langit ini, masalah apakah kita bisa menyelesaikannya lebih terlepas apakah kita mau atau tidak. Pengalaman saya dalam perencanaan anggaran sejak tahun 2007 semua masalah anggaran pun ada penjelasan logisnya apalagi kita dimudahkan dengan peraturan yang sudah jelas hitam putihnya, saya pasti punya solusi untuk semua masalah anggaran (dan saya yakin semua penelaah/ analis anggaran di DJA pun juga). Tapi seperti halnya seorang gadis yang curhat tentang masalah percintaannya kebanyakan orang datang hanya untuk menyampaikan keluh kesahnya dan bukan mencari solusi, mereka mangut-mangut dan bilang “oh, gitu ya pak”, lalu diikuti dengan diam sejenak dan ditutup dengan kalimat “susah ya pak” setelah mendengarkan penjelasan saya yang panjang dan berbusa-busa. Terkait dengan Budget Day, ketika saya memberikan solusi “agar peserta diberikan Surat Tugas (ST) dan diberi hukuman disiplin jika meninggalkan acara” salah satu teman panitia merespon “kaya anak kecil saja”, lah sebelumnya saya bahkan bilang “pintunya dikunci saja”. Ketika saya challenge dengan “harusnya panitia mencari tahu kenapa peserta itu gak betah nunggu sampai akhir acara” dan “IMHO dan setau saya di dunia profesional. Kegagalan sebuah acara/ kegiatan sepenuhnya menjadi tanggung jawab panitia kecuali ada force majeur”. Saya mendapat jawaban yang sama “harusnya peserta mengerti”. Sebenarnya hal ini tidak tertutup pada acara-acara seremonial saja, ketika masuk ke program-program yang melibatkan masyarakat mulai dari jaman pak Harto kasih rumah, ladang, dan sapi ke warga di Papua (waktu itu masih Irian Jaya namanya) dan akhirnya sapinya dipotong dan dimakan, lalu rumahnya ditinggal kosong begitu saja sampai yang terbaru mungkin para penghuni rumah susun “korban” penggusuran normalisasi kali Ciliwung yang masih bermasalah sampai sekarang bahwa setelah pindah mereka semakin tidak sejahtera dan kesulitan membayar sewa yang “sudah” sebegitu murahnya. Para penyusun “kebijakan” ini adalah para PNS dibantu dengan orang-orang pintar yang sedemikian rupanya mencurahkan waktu, pikiran, dan tenaganya untuk memberikan yang terbaik bagi masyarakat tanpa bertanya terlebih dahulu apa yang mereka butuhkan atau apa masalah mereka.

Nah di sini masuk lucunya, sering kali hampir selalu ketika programnya gagal “mereka” sibuk mencari kambing hitam dan kebanyakan kambing hitamnya adalah masyarakat/ sasaran program mereka. Alasan-alasan seperti “masyarakatnya tidak mengerti, warganya ngeyel, coba mereka sedikit saja mau mengerti” adalah alasan-alasan yang paling sering dilontarkan ketika sebuah acara/ program gagal. Coba kalian kerja di swasta dah dipecat kalau berani jawab begitu ke bos, kira-kira begini percakapannya. Bos: “Kenapa motor kita ga laku?”, sales: “ini bos, konsumen ga mau ngerti kalo motor kita tuh bagus, harusnya kan mereka beli ya”. Nah, kurangnya kemauan bercermin atau saya bilang “Jujur” menjadi salah satu masalah klasik dalam dunia birokrasi. Semua sibuk ingin dimengerti tetapi tidak pernah meluangkan waktu untuk duduk dan mendengarkan sehingga bisa mengerti apa sebenarnya masalahnya. Ketika sebuah saya memberi masukan “agar pintu dikunci saja” dan “diberikan ST dan ancaman hukuman disiplin” yang menurut saya adalah cara paling to the point saya ditertawakan, ketika saya katakan bahwa “mereka harus terlebih dahulu mencari masalahnya” dan “bahkan ketika saya menunjukkan masalahnya dan cara menyelesaikannya”, mereka terdiam lalu berkata pelan “wah, susah ya pak Samuel”. Ketika saya bilang yang salah mereka, mereka tersingung “wah, jangan begitu dong pak”.


“Jadi lo maunya apa sih? Dari tadi curhat ga ada ujungnya, tadi nanya solusi. gw bilang solusinya putus lo bilang gak mau, orang cowok lo kagak bener gitu. Udah ah buang-buang waktu gw aja lo, gw mau maen pe-es nih”, sambil menutup telpon (blom ada HP jaman itu) secuplik percakapan dengan sahabat saya Tika di masa SMA yang bolak-balik curhat tentang cowoknya si Uwi.

3 komentar:

  1. Seingat saya, dja pernah raker juga di dhanapala ngundang dorce. Setahu saya, saat itu peserta tetap manis di tempat. Raker selanjutnya, mengundang motivator. Nah, yang ini saya benar2 menyaksikan peserta byk bubar sebelum acara habis. Terakhir, saat bu Menteri bersedia meluangkan waktu mahalnya untuk memberi pengarahan, justru di layar monitor terlihat lbh byk bangku mulai kosong.
    Mungkin waktu dorce, saya duduk terlalu di depan sampai ga ngeh situasi di belakang. Mungkin juga, waktu itu ga ada layar dari kamera yg menyorot situasi kursi2 di belakang. Mungkin, di acara terakhir sebenarnya yang kosong kursi jatah instansi di luar 'kita'? Atau, mungkin dia lebih menarik dari beliau? Entahlah ...

    BalasHapus
  2. Saat sedang menikmati paparan Pak Dirjen yang kedua, Bos gw nge WA gw : "Catlahnya ada masukan dari Bappenas, mohon diperbaiki", gw keluar memperbaiki catlah, dan jadi babblas ngerjain kerjaan2 yang lain, trus makan siang dan gak balik lagi ke danapala. Entah yang lain.

    BalasHapus