Aplikasi Nudge Theory: Usulan bagi yang galau pada saat kendurian kantor


Sebenarnya saya lagi males nulis karena kerjaan masih banyak, tapi begitu baca tulisan seorang tokoh feminist yang saya kagumi di forum ini, saya rasa gak ada salahnya sedikit meluangkan waktu buat ngetik-ngetik. Tokoh tersebut buat puisi (walaupun bentuk tulisan gak kaya puisi) yang bernada curcol tentang kelakuan pegawai di kantor tercinta yang datang ke acara pertemuan tapi begitu melihat bos besar angkat kaki, seakan mendapat komando untuk ‘bubar grak’. Belum lagi kelakuan para pegawai tersebut yang kalau datang ke acara selalu ngaret alias lelet alias gak pernah on time. Tentu saja, puisi tersebut mendatangkan kontroversi terutama bagi para cendikiawan WAG mengenai siapa yang salah dan berujung pada ……

Anyway, untuk masalah sederhana ini, saya jadi teringat satu teori dalam behavioural economics yang disebut ‘nudge’, kebetulan pakar teori ini baru dapat nobel bulan lalu. Nudge theory pada intinya adalah bagaimana sebuah aturan/system dapat mengubah perilaku seseorang/masyarakat tanpa menyebabkan konflik dalam diri orang/masyarakat tersebut. Sebagai contoh ketika dibuat garis antrian untuk mereka yang ingin masuk busway secara tidak langsung para penumpang telah di biasakan untuk antri tertib untuk masuk busway. Walaupun terus terang antriannya mengular, tapi lebih baik dari pada berkerubun kayak tawon kan. Contoh lain nudge adalah penggunaan nomor antrian di bank, nasabah bisa duduk nyantai sambil kepo in WAG tanpa kawatir antriannya di selak orang lain. Pun dalam hal ini, para nasabah sudah dipaksa tanpa merasa terpaksa untuk mengantri.

Untuk kantor tercinta/tersayang/terkaya (dalam hal angka nominal rupiah tanpa melihat fisiknya), nudge pun telah di praktekkan. Contohnya handkey, sudah menjadi perilaku pegawai untuk mendatangi handkey terlebih dahulu di pagi hari sebelum nongkrong di kantin atau bocipi (bobo cantik pagi hari) di sudut tertentu kantor. Uniknya lagi perilaku yang pada awalnya di paksakan melalui SE Dirjen ini sudah menjadi bagian dari rutinitas setiap pegawai tanpa ada satupun yang protes bahkan saling mengingatkan kalau ada yang kelupaan. Begitupun pada saat pulang, tanpa disuruh para pegawai memiliki inisiatif untuk mengantri di depan handkey dengan antrian yang tertib, jauh lebih tertib dari pada antrian penumpang masuk busway, padahal gak ada yang nyuruh atau ngasi komando.

Contoh lain dari nudge di kantor adalah penggunaan seragam. Cukup dengan modal tandatangan dari bos besar di selembar kertas, para pegawai sudah terprogram dalam pikiran mereka bahwa senin pakai baju putih, selasa & jumat batik, rabu & kamis seragam blue bird. Pada awalnya memang ada yang ndumel, tapi setelah berlangsung sebulan, hal tersebut berubah jadi perilaku pegawai. Entah kenapa kalau ada yang pakai seragam blue bird hari selasa, pasti merasa jadi aneh sendiri serasa saltum (lha emang iya).

Saya rasa alangkah baiknya jika nudge juga di terapkan pada acara-acara resmi di ‘great hall’ lantai dasar. Bagaimana penerapannya? Ya paling gampang pakai SE Dirjen, tapi menjadi masalah kalau sang pemberi tandatangan menganggap hal ini sebagai ‘no problemo’. Tanggung jawab otomatis turun ke tangan kanan beliau (secara structural) yaitu sekretaris (Sekditjen). Sang sekretaris dalam hal ini harus memberi komando utama pada saat acara di ‘great hall’ tentang posisi duduk berdasarkan jabatan masing-masing.

Dalam hal ini pemimpin harus berada di depan karena merekalah role model yang dipimpin, kalau pemimpin memilih berbaur sama krucil ya silakan lakukan di kantin, bukan di acara resmi. Sehingga dalam hal ini eselon 1 ya duduk sebaris sama eselon 2 diikuti eselon 3 dan 4 serta jabfung dan paling akhir krucil. Kalau krucil melihat bangku pimpinan masih kosong ya mau gimana lagi, teladannya hilang. Kecuali pimpinan mau bertukar jabatan dengan krucil ya silakan (tapi mana ada yang mau kehilangan tunjangan ya).

Eselon 4 adalah krucilnya eselon 3, pun eselon 3 merupakan krucilnya eselon 2. Nah kalau eselon 2 ya mau gak mau harus jadi teladan dengan datang ontime.

Gimana kalau ada krucil yang telat? Apabila bangku pimpinan krucil tersebut sudah penuh berarti nudge telah berhasil. Si krucil yang telat akan malu sendiri, di level apapun dia.

Tapi kalau bangku pimpinan masih kosong? Ya jangan harap nudge akan berhasil, lha wong teladannya aja gak ada. Dalam hal ini pimpinan itu ibaratnya garis antrian atau nomer antrian yang membuat orang menjadi berubah perilakunya.

Tapi bagaimana jika krucil masih gak disiplin sementara pimpinan sudah beri contoh? Ya itulah bukti statement saya bahwa tandatangan bos besar lebih sakti untuk mengubah perilaku pegawai daripada cuma puisi dari tokoh feminist kita.
Mau bukti? Silakan dilaksanakan.

3 komentar:

  1. Jadi masalah sebenarnya apa mas? kedisiplinan apa keteladanan?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Udah di tanya di WAG, emang ini masalah? Kalo dibilang disiplin, lah semua begitu, bukankah itu sudah jadi normanya (budayanya). Kalo di bilang keteladanan, lha para juragan tidak menganggap ini masalah bahkan mereka juga biasa saja. Yang anggap ini masalah mungkin cuma segelintir orang yang tidak punya power apapun (atau mungkin tidak ingin menggunakannya karena gak enakan seperti takut di bilang baperan/sok berkuasa/sok bener sendiri dll) untuk mengubah situasi. Sehingga masalah sebenarnya adalah????

      Hapus
  2. Ketidakpedulian? I don't care about it? Like I care? Who the h*ll are you?

    BalasHapus