When I'm Sixty Four*


“Ti[1], Aung[2] subuhan ke masjid ya, assalamu’alaikum” pamit Aung kepada Uti. Sudah jadi kebiasaan Aung sejak bertahun yang lalu untuk sholat subuh berjamaah di masjid dekat rumah mereka. Dulu sih tidak rutin, sesempatnya Aung saja, tapi semenjak pensiun Aung rutin setiap subuh ke masjid, kecuali ada uzur yang tidak bisa dihindarkan. “wa’alaikum salaam, iya Ung, tiati” sahut Uti yang sedang bersiap-siap juga untuk sholat subuh. Begitulah rutinitas Aung dan Uti di pagi hari. Selepas dari masjid biasanya Aung akan menyempatkan diri jogging 30-40 menit atau sekedar mengajak Uti jalan pagi keliling komplek perumahan mereka. Di usia-nya yang 64 tahun Aung masih terlihat segar dan atletis. Tidak heran, karena semasa muda Aung terkenal rajin berolahraga sepeda dan lari. Sampai sekarang aktivitas tersebut masih tetap dilakukan walaupun dengan intensitas rendah. Uti yang hanya berbeda 4 tahun dari Aung juga masih terlihat segar. Selain jalan pagi bersama, Aung juga sering mengajak Uti bersepeda bersama komunitasnya. Kalau sedang malas, biasanya Uti dibonceng Aung dengan sepeda tandem-nya.

***
Aung dan Uti mempunyai 2 orang anak perempuan yang sudah berkeluarga; Audy dan Hana. Mereka tinggal tidak jauh dari rumah Aung – Uti. Pada saat masih aktif Aung sengaja membelikan mereka rumah yang berdekatan supaya kalau Aung – Uti rindu gak perlu jauh-jauh. Letak rumah mereka yang tidak berjauhan juga menguntungkan buat Audy dan Hana karena mereka bisa menitipkan anak-anaknya ke rumah Aung – Uti. Lebih aman dan lebih tenang dibandingkan harus menitipkan anak-anak ke asisten rumah tangga atau ke day care. Aung – Uti pun dengan senang hati dititipin cucu-cucu yang lucu dan cerewet. Bahkan hampir setiap hari Aung lah yang bertugas mengantar jemput sekolah cucu-cucunya. Rutinitas lain di pagi hari sebelum Aung – Uti sibuk dengan  kedai kopi kecil milik mereka.

***
Memiliki kedai kopi adalah cita-cita Aung sejak lama, namun baru terealisasi beberapa tahun sebelum Aung purna bhakti. Kedai kopi itu sederhana saja. Letaknya masih di sekitar komplek perumahan mereka. Kedai tersebut buka di pagi hari setelah Aung selesai mengantar cucu-cucunya ke sekolah. Aung sendiri yang menjadi barista-nya, sementara Uti yang akan membuatkan menu sarapannya. Menu sarapan yang dibuat Uti juga sesuai dengan keinginan Uti hari itu, sehingga kedai kopi tersebut tidak memiliki menu makanan tetap. “biar tidak bosan” alasan Uti. Seperti hari ini, Uti membuat sandwich telor sebagai menu sarapan, sementara Aung siap dengan americano atau cappucino. Sama sekali tidak ngoyo, karena memang kedai kopi ini hanya untuk mengisi kegiatan Aung – Uti. Kedai kopi biasanya tutup siang hari karena Aung harus menjemput cucu-cucu-nya, dan Uti biasanya istirahat siang atau pergi ke majelis taklim bersama teman-teman pengajiannya. Kedai akan buka kembali menjelang sore sampai menjelang waktu maghrib.

***
Audy, anak tertua mereka, berprofesi sebagai dokter gigi. Sudah memiliki klinik sendiri, yang meskipun tidak terlalu besar tapi cukup ramai. Sementara Hana, keukeuh dengan cita-cita masa kecilnya: menjadi komikus dan penulis. “kan bakatnya turun dari Papa “ begitu selalu kilahnya ketika ditanya mengapa memilih profesi tersebut.

***
“Waduh enak kali tidurmu ya…!?” suara Pak Direktur tiba-tiba menggelegar. Aku tergagap kaget. Tidak sadar headset masih terpasang di telinga:

When I get older losing my hair
Many years from now
Will you still be sending me a Valentine
Birthday greetings bottle of wine
If I'd been out till quarter to three
Would you lock the door
Will you still need me, will you still feed me
When I'm sixty-four
You'll be older too
And if you say the word
I could stay with you
I could be handy, mending a fuse
When your lights have gone
You can knit a sweater by the fireside
Sunday mornings go for a ride
Doing the garden, digging the weeds
Who could ask for more
Will you still need me, will you still feed me
When I'm sixty-four
Every summer we can rent a cottage
In the Isle of Wight, if it's not too dear
We shall scrimp and save…[3]


*Judul lagu The Beatles


[1] Uti atau Eyang Putri, nenek dalam bahasa Jawa
[2] Aung atau Eyang Kakung, kakek dalam bahasa Jawa
[3] When I’m Sixty Four, The Beatles


What hurts you today, makes you stronger tomorrow, nak ...





Sebelum mimpi usai, tikam lah dia tepat di jantungnya

Pada tidur siang ku,
Aku bermimpi

Tentang sekelompok  kaum beruntung
Yang nasibnya terlihat buntung
Karena otaknya yang mewah
Terbungkus mental sampah

Hidupnya  yang sejatinya indah,
Ternampak semata  kisah susah,
mulutnya nyinyir tersumbat nanah
Lantunkan kidung sumpah serapah

banyak habis waktunya mengais ilmu,
matanya cekung jelajahi buku.
sekolah terbaik di banyak penjuru
jadi tujuan tempat berguru

Tapi kepalanya sesak  pikiran dungu,
Ijazah dan gelar pikirnya darah biru
Sebuah hak untuk menjadi pendahulu
Segala kemudahan di tujuh penjuru

Berdekat pejabat menjadi lagu
Menjilat bersih tiada jemu
Meminta jabatan tanpa malu
Menginjak pesaing  tiada ragu

Sekali waktu orang lain maju dahulu
Remuk redam dadanya bagai di palu,
Berbisik bisik dia di balik pintu,
Menyebarkan gibah dan isu
"pemimpin-pemimpin telah diintervensi
Mengambil jalan keliru,
Memilih orang yang tak cakap untuk mengampu"

Mungkin wajar
Ijazah dan gelar dari tempat tenar,
membuat kepala sedikit  besar
Maka sehari hari dia belajar
Bagaimana berlaku selayaknya tuan besar,
Kerja nya hanya koar koar,
Tak peduli dan mencoba tahu
Banyak pernik kecil harus di takar
Banyak  kelok jalan harus di sasar,

Pikirnya hal- hal remeh dan tak besar
Adalah tugas klerikal para buruh kasar
lulusan sekolah dan perguruan kelas pasar,
kepala nya hanya untuk  memikirkan hal strategis dan lebih mendasar

Dalam bergaul dia pilih teman,
Harus sepadan atau punya jabatan
Yang lain akan dibaikan
Dagunya terangkat saat berjalan,
Jaga martabat yang dia pikirkan,

Seolah olah lantang berkata
"Jangan sapa aku kaum sudra,
Karena aku  kesatria,
pulang dari candradimuka
Aku hanya mau bicara dengan orang setara ,
atau pejabat level di atas nya
Gelar kusandang luar biasa,
Tak sembarang orang bisa meraihnya
Senyum dan sapa ku bagi terbatas,
Agar citra wibawa tetaplah bernas"

Mungkin suatu ketika nanti,
Kau juga akan bertemu dengannya
pada sebuah mimpi,
Di tidur siang mu


Sebelum mimpi usai,
Tikamlah dia tepat dijantungnya
Agar tak menjelma
Menjadi salah satu teman 
Yang duduk di samping meja kerjamu


(Ujung Harapan, 2 Januari 2020)

Hujan mereda, tapi...

Hujan sudah mulai reda
Rintiknya tak lagi deras
Tapi tidak dengan cinta
Titiknya semakin bernas

Air menggenang,
mulai surut
Genang kenang,
Kian carut marut

Angin semilir bawa tempias
Ruang tamu sedikit basah
Bagai air di daun talas,
Sikapmu plinplan tiada arah

Kisah banjir sisakan berita,
Hulu dan hilir deras mengalir
Entah bagaimana akhir cerita
Seperti apa menemu takdir

Anak anakpun asik tak letih,
Hujannya turun,  asik berkejaran
Susah gembira kita yang pilih,
Bemain pantun buat hiburan




Menjenguk Orang Sakit

Apakah kamu pernah sakit sampai dirawat di rumah sakit? Mudah-mudahan belum, ya. Atau mungkin kamu pernah menjenguk orang sakit di rumah sakit atau juga menunggu orang yang sakit? Nah semua pertanyaan ini, saya pernah mengalami ketiga peristiwa itu.
Saya ingin membahas tentang perilaku orang yang menjenguk orang sakit di rumah sakit. Kalau kita pernah atau sering pasti kita bisa mencatat beberapa perilaku orang menjengukorang sakit (belibet amat ya bahasanya).

Tipe pertama, orang datang menjenguk murni untuk memberi semangat dan mendoakan si pasien. Tak ada nasihat yang keluar dari mulutnya, hanya doa dalam hati dan kata-kata yang membesarkan hati pasien dan keluarganya.

Tipe kedua, orang yang sok tahu, hehehe. Banyak banget yang kayak gini. Contoh template kalimatnya adalah, “ Coba deh minum ramuan ini, banyak yang sembuh. Apapun penyakit yang diderita pasti sembuh. Itu Pak Dawet juga sembuh minum ramuan biji A dicampur dengan buah B. 
Mungkin benar, kalau untuk orang yang sehat ramuan itu akan menambah kebugaran, tapi untuk orang yang sedang menjalani perawatan medis, please atuh lah jangan sok tahu. Ketika seorang pasien sampai terbaring di rumah sakit, keluarga kan sudah memutuskan itulah yang terbaik bagi si pasien. Jangan nambah-nambahin atau ngerecokin. Bayangkan kalau saran orang itu diikuti, terus ternyata ramuannya bertentangan dengan obat yang diberikan dokter, gimana coba kalau si pasien bukannya sembuh malah tambah parah sakitnya, mau tanggung jawab?

Tipe ketiga, orang yang heboh sendiri. Contoh dialognya seperti ini.
A: Sakit apa? Kenapa bisa dirawat?
P alias Pasien: Jadi gini …
A: Sama kayak gue, waktu itu gue lagi di jalan tiba-tiba dada gue sakit, trus gue langsung ke rumah sakit. Dokter bilang #***&&&### … bla …bla … bla. 
P: Oh (mulai sadar diri)
A: Gue aja nggak nyangka kalo gue bisa  sakit kayak gitu ####++++&&&--@@@@ … bla … bla … bla
P: kok jadi dia yang cerita soal sakitnya sendiri (dalam hati tentunya).

Tipe keempat, suudzon sama yang sakit atau mengadu domba, contohnya seperti ini:
B: Jangan suka marah-marah makanya. Gue denger juga kemarin lu berantem di kantor sama si Nganu sampe lu kolaps begini.
P: Kata siapa?
B: Kata si Ngene begitu. Dia lihat kejadiannya..

Tipe kelima, suka menasihati. 
C: Sudah jangan terlalu capek kerja, jangan stres. Anggap saja sakitnya ini sebagai penghapus dosa. Yang ikhlas saja, yang sabar.
P: Kurang sabar dan ikhlas gimana ya saya? (hatinya menjerit)

Tipe keenam, yang pertama dilakukannya adalah foto bersama pasien, terus dishare ke WA Grup. Namanya sudah dicatat sebagai penjenguk. Padahal mungkin saja si pasien nggak mau wajahnya diabadikan ketika sedang sakit.

Tipe ketujuh, orang yang sangat dermawan. Selalu membawa oleh-oleh yang banyak. Dari mulai buah, makanan, sampai gado-gado (eh itu kan makanan juga).

Tipe kedelapan, silakan tambahkan sendiri.
Kalau kamu masuk tipe yang mana?

Karet Gelang Sang Adik

“Kara, ayo sini, jangan sampai tertinggal” ajak Kari untuk mengingatkan adiknya untuk segera bergegas dan beranjak dari tempat istirahatnya.
Tak disangka, mereka termasuk anak-anak yang semangat dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
“Kak, memang mau kemana kita hari ini?” tanya balik Kari ke kakaknya dengan semangat tak pernah lelah.
“Sudah jangan banyak tanya dulu, ikut aja dengan kakak ya, Kara yang penting aman dengan kakak dan hari ini kakak sudah memperoleh info dari koran bekas yang kakak ambil dari tempat sampah.

Tak berapa lama mereka sampai di sebuah restoran di sekitar daerah pantai indah kapuk, yang banyak menjual menu sea food dan berbagai menu yang sedang hits juga. Sekitar pantai indah kapuk ini banyak  tempat yang instagrammable dan banyak muda mudi yang berkunjung di sekitarnya. Segala jenis menu masakan yang di jajakan di restoran ini beragam dari sea food, sate dan gulai, junk food dan tradisional.

Beberapa jam setelah mereka menunggu hampir menjelang tengah malam, mereka akhirnya mendapatkan apa yang diharapkan.
“Kak asyik ya kalau kita bisa seperti mereka,” Kara berceloteh dengan berandai-andai menjadi orang kaya.
“Kenapa Kara beranggapan begitu ?” Kari bertanya dengan penasaran.
“Iya kak, mereka gak pusing untuk bepergian dan makan. Jika lapar mereka bisa langsung datang ke restoran yang mereka sukai. Jika makanan yang dipesan tidak habis, mereka bisa langsung membawa pulang makanannya tanpa khawatir menjadi bau”
“Hush Kara, belum tentu mereka juga tenang dengan kondisinya. Kita kan gak tau, bagaimana kondisi mereka saat ini. Makanya Kara, kita tetap harus bersyukur dengan kondisi apapun itu, seperti kondisi kita sekarang. Semoga suatu saat kondisi akan menjadi lebih baik.” Kara berharap dan berdoa dengan air mata menetes di pipi.

***

Kari dan Kara merupakan kakak beradik yang hidup berdua tanpa orang tua dan saudara yang menemani mereka. Orang tua mereka meninggal ketika terjadi erupsi gunung Merapi saat mereka sedang liburan bersama dengan temannya. Kari dan Kara akhirnya diajak tetangga dan kerabat orang tuanya ke Jakarta untuk merantau. Di Jakarta pun mereka masih menumpang di sebuah tempat tinggal yang sempit namun cukup layak, yang diberikan oleh kerabat tetangganya di sekitar gunung Merapi. Maka mulailah petualangan mereka berdua di Jakarta dan sekitarnya.

***

Keesokan hari, Kara memulai hari dengan karet gelang yang diberikan seorang ibu muda yang berempati kepada mereka berdua. Karet gelang ini memiliki arti yang spesial karena Kara mengingat kenangan bersama ibunya saat pergi berbelanja ke pasar.
Kari sangat menyayangi adiknya, karena hanya mereka berdua yang bisa saling jaga dan mengingatkan apabila salah satunya tidak lagi bersemangat. Kari sering membantu adiknya mengerjakan sesuatu yang sederhana seperti menggantikan pakaian adiknya, memandikan, menyisir rambutnya, dan menidurkannya. Kadang Kari merasa sedih jika teringat orang tuanya. Rasanya ingin marah dan berteriak, tetapi tidak bisa karena adiknya perlu bantuannya.
***

Hari berikutnya, Kara berjalan dengan riang dan lupa bahwa di sekitar lingkungan tempat tinggalnya masih banyak limbah besi dari pabrik di sebelahnya. Kari sudah sering mengingatkan Kara untuk selalu berhati-hati tetapi takdir berkata lain. Adiknya Kara, terkena besi yang sudah berkarat dan melukai kaki mungilnya. Lukanya tidak seberapa besar tetapi infeksi yang dideritanya cukup membuat adiknya merana dan kehilangan banyak darah

Bersambung ... 


Kisah ini dapat dilihat pada laman : 

Kisah Cinta Anak Manusia


Tanpa monyet dan tanpa pisang
Kisah ini selalu menggoda hingga terngiang
Kasmaran dua sejoli rindu terbalut
Tidak ada genggaman dan dekapan dalam kalut

Tapi itulah sejoli yang dirundung cinta
Tanpa harus ada sebab kenapa saling suka
Bel sekolah menjadi tanda pengingat berdua
Tanpa ada Romeo dan Juliet sejoli tetap ada

Tak mudah bermuram durja dan serampah
Tanpa rasa dan gundah yang melimpah
Siapapun tak berani mengundang dengan gegabah
Pantang mundur sebelum merekah

Hati senang dibalut rindu tanpa cela
Berkorban jiwa dan raga tanpa bela
Pasangan sejoli yang memiliki dunia
Berikrar demi sebuah cinta yang fana

Kubikel Jakarta, 31 Desember 2019


Puisi ini dapat dilihat pada laman : 


Senja di akhir tahun

Hiruk pikuk sudut kota melupakan jejakmu
Tak terasa rindu sudah membelenggu
Sikap santai saja tak mampu menghapus pilu
Karena rindu ingin bertemu dengan mu

Ada harapan baru di bekasi
Meski saya bukan orang yang selalu memberi
Hinakah diri ini untuk dapat memelukmu kini
Ada hasrat yang dalam untuk berlari dalam diri

Senja di kota Jakarta ini membuncah rasa
Ingin selalu berdua dengan nya
Tapi suasana yang membentengi asa
Tanpa sadar bahwa diri ini sudah tua

Sekalipun senja tetap indah di akhir tahun
Banyak impian dan senang yang akan berayun
Siapa sangka adik yang kutunggu masih tabayun
Tanpa harus menghilangkan rasa dan diri yang semakin manyun

Senja masih tetap indah di kota tua
Berasa diri dalam kubikel yang tak ternoda
Sayangnya dikau tetap disana
Tanpa harus bersua dan bertatap muka

Doa saya untuk adinda yang aduhai
Meski diri ini tak lagi bohai
Namun semangat untuk bertemu dan berkata “hai”
Pembatas fana tetap menjadi mahligai

  
Kubikel Jakarta, 31 Desember 2019


Puisi ini dapat dilihat di laman :