Tampilkan postingan dengan label Embun Firdaus. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Embun Firdaus. Tampilkan semua postingan

Angin. Hujan. Salju


Angin. Hujan. Salju.

Itulah tiga hal yang bisa membuat semua orang menghentikan kegiatannya tanpa kehadiran rasa bersalah.

Seperti saat ini ketika Missy melihat seorang ibu berjuang mempertahankan payungnya yang bengkok tertiup angin kencang. Missy sendiri juga sedang berjuang mempertahankan pijakan kakinya yang doyong terombang-ambing hembusan udara dari delapan penjuru. Kedua tangannya penuh menggenggam kantong plastik seberat 3 kilogram berisi telur, beras, susu, dan sayuran. Dipasrahkannya payungnya untuk mengapit di ketiak kirinya ... sementara ia berpikir bila harus melepaskan salah satunya, manakah yang harus terbang lebih dahulu: payung, jaket ... atau sayuran, telur dan susu? Saat inipun ia juga bingung mencari cara untuk merogoh kantong mantelnya yang berisi dompet dan kunci elektronik. Tanpa kunci ia tidak dapat membuka pintu untuk masuk dan menghangatkan badannya di dalam. Kedua tangannya sudah penuh dengan payung dan kantung belanja berisi bahan makanan. Bila dilepaskannya barang-barang itu untuk terbawa angin, ia bisa saja membuka kunci gedung ini .... tapi apa gunanya berada di dalam rumah dengan kebasahan dan kelaparan.

Musim gugur tersohor dengan merah dan jingganya daun maple berguguran, atau ... ranggasan pohon dengan ranting-ranting menjulang bak jari-jemari lentik yang menggapai langit lembayung yang merona. Tidak banyak yang memperingatkan tentang seringnya kejadian hujan mendadak diiringi angin kencang ... atau pemandangan orang-orang dan sepeda tergelincir di jalan berbatuan.

Tentu saja ketika Jake dan Nicholas bertanya apakah ia betul-betul kerasan belajar di tempat ini, Little Missy hanya bisa terheran-heran dengan skeptisisme mereka, "Kok bisa?" Sebab baginya semua terasa indah-indah saja. Sambil berjalan Jake menadahkan tangannya ke tetesan hujan di udara sementara Nicholas berkomentar sarkastik, "Like this weather? Weeeaaather? Wet! See!?" Missy hanya bisa tertawa karena ia tahu di belahan dunia lainnya ada kota dengan 10 juta penduduk yang kenyang dengan banjir tahunan. 

Perlukah ia menceritakan kepada mereka tentang orang berselancar dan mengayun perahu karet di jalanan Jakarta? Atau bagaimana kalau ia bercerita tentang Jaguar yang mogok di "kolam" banjir di Bunderan HI? Ia tahu kalau Ella dan Christine tidak tertarik kisah-kisah semacam ini, karena bagi mereka Jakarta tidak sefamiliar Paris dan London tempat liburan rutin di musim panas. Untuk kedua gadis ini, Little Missy hanyalah satu lagi orang kere dari dunia ketiga yang "beruntung" untuk bisa hadir di tengah ruang kelas mereka. Meski banyak teman-temannya memandangnya dengan kasih-sayang ... sejujurnya ia merasa lebih banyak porsi kasihan daripada sayang.

Tapi Missy tidak menceritakan kepada siapapun tentang kesukaannya pergi ke luar ruangan ketika salju mulai menebal. Ia senang melihat jejak sepatu boots nya terbenam di hamparan “permadani” putih. Kebiasaan konyol yang lahir setelah kejadian di suatu petang ketika ia menyiapkan makan malam di dapur. Tak seperti biasanya, suasana di luar jendela terasa senyap. Padahal biasanya ia mendengar gemerisik pohon-pohon dan hembusan angin menyertai rintik hujan. Kali ini ia tidak mendengar apapun .... dan kesenyapan inilah yang memaksanya untuk beranjak ke jendela. Dan ia nyaris tidak melihat apa-apa. Kecuali warna putih dan abu-abu.  

Dibukanya slot kunci jendela untuk melihat ke jalanan di bawah. Dari ketinggian delapan lantai, hampir semua tertutup warna putih ... kecuali satu atau dua mobil yang melintas perlahan. Sepertinya hanya benda-benda bergerak saja yang tidak tertutupi dengan warna putih. Dan ketika ia memberanikan diri untuk merogohkan tangannya ke luar jendela ... ia melihat butiran-butiran putih berkilauan jatuh di jemarinya lalu menghilang sekejap mata. 

Butir-butir salju hanya menetap di tempat yang dingin dan beku. Di tubuh manusia, seperti telapak tangan Missy ... ia akan berganti wujud menjadi butiran air. Missy melihat telapak tangannya mulai basah karena lelehan salju. Sesaat ia merasa sedih karena menyaksikan keindahan yang hilang begitu saja tanpa bekas. Dirogohnya kembali tangannya ke dalam kantung piyama. Di dalam sini terasa lebih hangat. Dan kering. Namun pikirannya tak bisa lepas dari fananya kristal-kristal salju tadi. 

Untuk mengobati kesedihannya, Missy berfilsafat sendiri, 

"Apakah mungkin ini artinya tidak semua keindahan di dunia ini harus dimiliki? Apakah kita hanya perlu untuk mengetahui saja? 

Apakah usaha kita untuk mempertahankan hal-hal yang dicintai bisa menjadi awal dari kemusnahannya sendiri?"

Setelah capek berfilsafat di dapur, Missy mengalihkan pandangannya dari jalan di bawah ke kompleks gedung di seberang sana. Beberapa jendela juga terbuka seperti jendelanya. Ia melihat satu sosok tinggi yang sedang berdiri di dekat kaca jendela sambil menengadahkan kepala mencari arah muasal turunnya kristal-kristal putih itu. Dan ketika kepala itu tegak kembali ... ia tersentak melihat Missy, lalu beranjak kembali ke dalam.

Kunang-Kunang


"Kamu baik-baik saja?" 

Suara ini memecah keheningan. Aku masih belum sepenuhnya sadar. Ruangan ini gelap. Satu-satunya cahaya berasal dari tirai tipis, terpasang melapisi jendela raksasa di ruangan yang berdiri 30 meter di atas permukaan tanah. Kuraba tiang metal di sebelah tempat tidur untuk menyalakan lampu baca. Aku suka tidur hanya diterangi cahaya bulan ... atau kerlap-kerlip cahaya ratusan kamar di gedung apartemen seberang. Rasanya seperti hidup dikelilingi kunang-kunang.

Orang Skandinavia memang aneh. Semakin tinggi tempat tinggalnya, semakin transparan jendela apartemen mereka. Makan, minum, menulis paper, memasak, mengadakan pesta, menonton film porno, berkebun atau mengobrol ... sepertinya semua orang bisa melihat apa yang dikerjakan tetangga seberang. Di keheningan malam seperti ini, sesekali terdengar suara rusa atau burung hantu dari bukit kecil di antara kompleks bangunan apartemen ini. Kami jauh, tapi terasa dekat. We don't talk, but we know each other.

Jam berapa ini? Layar ponsel menunjukkan angka 00.40. Bukan waktu yang normal untuk menelepon dengan ukuran orang Swedia ... atau Indonesia ... atau siapa saja.

"Ya," hanya jawaban itu yang bisa keluar dari mulutku. Keheningan berlanjut selama 5 detik sebelum akhirnya temanku langsung berbicara panjang tanpa menunggu kalimat lebih banyak dariku.

"Jam berapa jadwal penerbanganmu? 
Apakah kamu sudah punya tiket? 
Kapan rencana pemakamannya? 
Dengan kendaraan apakah kamu akan pergi ke bandara? 

... Aku turut bersedih atas peristiwa yang kamu alami sekarang. Aku tidak bisa tidur. Aku barusan mengobrol dengan pacarku dan meminta izin menggunakan mobilnya untuk mengantar kamu ke bandara, kalau kamu bersedia untuk kuantarkan. Selain itu, bolehkah kita berangkat beberapa jam lebih awal? Aku ingin mengajak kamu makan di luar sebelum kamu terbang selama 22 jam. Ini penting supaya kamu tidak kelaparan, dan aku harap kita punya waktu untuk mengobrol sebentar." Ia terus bicara seperti meluncur di jalan bebas hambatan.

"Oh," tanggapku ... dengan setengah sadar ... dan tiba-tiba ingin menangis. Terlalu banyak emosi yang harus kucerna dari rangkaian kejutan yang terjadi dalam waktu singkat. 

Ayahku meninggal. 

Kabar ini kudapatkan 20 menit setelah aku bergadang mencari tiket pulang. Pupus sudah harapan untuk menemaninya di ruang pemulihan dan ICU pasca operasi. Dan kini ... ketika semua menjadi buram dan gelap ... ada telpon di tengah malam dari seseorang yang mengatakan bahwa ia tidak bisa tidur sebelum menceritakan semua rencananya untuk membantu.

"Maafkan aku menelpon jam segini. Aku merasa kejadian ini berat buat kamu dan mungkin ada hal-hal yang bisa aku lakukan untuk meringankan. I know your father adores you and misses you ... but you could not go home ... as we know for weeks your husband already bought ticket for holiday to Sweden," temanku melanjutkan.

"Yeah," aku bergumam lagi. 

Sejujurnya aku juga bingung untuk merasa bagaimana atau berpikir bagaimana lagi. Di jam satu malam. Should I be sad for losing a father? Should I be happy for my spouse to visit? And why a foreigner cannot sleep for my own personal problem? This is crazy.

"Terimakasih, tapi aku tidak ingin merepotkan. Aku baik-baik saja. This is my problem, not you ... and that was Frank's car not yours. Doesn’t your boyfriend need it? Aku sudah membeli tiket bus ke bandara, dan karena ini mendadak maka aku hanya membawa 1 ransel saja. I am fine, thank you." aku berusaha menghargai usaha temanku.

Tapi dia tidak menyerah. Malah mungkin cenderung ngotot, "But at least I want to say goodbye. I want us to have a chance to talk about what happens to you. Please let me do something. When is the flight?"

Baiklah. Aku merespon, "penerbangan KL1160 boarding di Gothenburg 17.45, transit dan ganti pesawat KL809 di Amsterdam pukul 20.50, dilanjutkan dengan transit di Kuala Lumpur pukul 16.20, tiba dengan pesawat yang sama di Jakarta 17.25 sore."

"Good," katanya, "Kalau begitu bolehkah saya jemput kamu pukul 2 siang dan kita makan di lapangan golf Öjersjö sebelum aku mengantarmu ke bandara?"


“Baiklah,” aku tak berniat mendebatnya lagi.

“OK, now you should get back to sleep. You will need it,” katanya.

“Thank you,” tutupku.



Review: Cloud Atlas





Seberapa lama umumnya kita betah menonton satu film sampai selesai? Umumnya film dibuat tidak lebih dari 2 jam karena setelah itu kita sudah merasa jenuh ingin beranjak ke hal yang lain. Apabila ada film yang dibuat lebih lama dari waktu tersebut, ada beberapa kemungkinannya: editornya galau tidak tahu harus memotong adegan yang mana, ceritanya sudah padat dan tidak bisa dikurangi lagi, filmnya sangat menarik sampai pembuatnya yakin bahwa orang akan menontonnya sampai selesai meski panjang. Saya rasa kemungkinan yang terakhir inilah yang terjadi dengan film Cloud Atlas yang dibuat oleh Wachowski bersaudara. Panjangnya tidak kurang dari 171 menit atau hampir 3 jam.

Ini adalah film yang berkisah mengenai 6 cerita berbeda yang terjadi pada era yang berbeda di lokasi-lokasi yang berbeda sepanjang kurun waktu 500 tahun, yaitu 1849 (Pacific Island), 1936 (Cambridge, Edinburgh), 1972 (San Francisco), 2012 (London), 2144 (New Seoul), dan Big Isle (2321). Sejujurnya sampai dengan 1 jam setelah film berjalan, saya mulai frustrasi dengan tujuan dari film ini. Saya tidak tahu bahwa semua cerita ini berhubungan. Setiap era diberikan waktu beberapa menit untuk menyampaikan kisahnya secara bergantian satu sama lain ... dan saya mulai stres mencari apa hubungannya perbudakan di kepulauan Pasifik pada abad ke-19 dengan generasi hippies tahun '70-an atau negeri distopia di masa depan Asia atau laboratorium rahasia di antah berantah pada zaman now. Dan lucunyalagi, sampai film selesai pun saya tidak sadar bahwa semua aktor di setiap zaman yang diceritakan itu mempunyai 6 peran secara simultan, dengan kostum dan makeup yang berhasil mengecoh saya bahwa ia diperankan oleh orang yang sama. 

Memang ide utama dari film ini tidak diutarakan secara eksplisit untuk memberikan kebebasan kepada penonton dalam memainkan imajinasi mereka. Namun pada intinya saya bisa melihat bahwa apa yang kita lakukan pada saat ini akan membawa pengaruh ke dalam kehidupan orang lain di masa depan, meskipun kita tidak saling mengenal satu sama lain. Bagaimana sebuah tulisan bisa menginspirasi seseorang untuk menciptakan musik yang indah, sehingga pendengar musik ini pun terinspirasi untuk menghasilkan penemuan yang berguna untuk manusia, dan kisah hidupnya menginspirasi seseorang untuk membuat buku, dimana buku ini menginspirasi orang lain untuk bangkit dari keputusasaannya sendiri, sehingga seseorang akhirnya membuat sebuah film untuk menceritakan kisah hidup tokoh tersebut, yang di masa depan menjadi salah satu film yang terlarang untuk diedarkan di suatu negara diktator yang dikuasai oleh mesin dan teknologi (ingat film The Matrix, karya lain dari Wachowski yang membuat film ini?), namun akhirnya manusia yang menjadi 'budak' teknologi pun kembali bangkit untuk mengendalikan mesin sehingga kehidupan di dunia menjadi manusiawi kembali, dan seterusnya.

Selain ceritanya yang 'bernutrisi' dan menarik, Cloud Atlas juga dibuat secara serius dengan mempertimbangkan berbagai faktor estetika. Tidak kurang dari 11 penghargaan telah diraihnya, mulai dari aspek editing, kostum, musik, desain produksi, makeup, sampai dengan kategori film terbaik. Terlepas dari itu semua, bukankah film yang baik itu memang bisa meninggalkan makna untuk dibawa pulang penontonnya sebagai kenangan? 🙂 dan inilah kira-kira pesannya, 

"My life amounts to no more than one drop in a limitless ocean. Yet what is any ocean, but a multitude of drops? Our lives are not our own. We are bound to others, past and present, and by each crime and every kindness, we birth our future." ― David Mitchell, Cloud Atlas.

Rhesus







Kita semua sama, yaitu sama-sama berbeda.


Pernahkan terpikir mengapa kita mempunyai golongan darah? Siapakah yang pertama membuat golongan darah? Apakah perlunya?


Golongan darah pertama kali diperkenalkan oleh Karl Landsteiner pada tahun 1901. Ia melihat bahwa tidak semua transfusi darah berhasil, dimana beberapa sel darah segera bergumpal setelah dilakukan transfusi, dan ada juga yang tidak bergumpal. Ia segera melakukan penelitian atas beberapa sampel darah, dan menemukan bahwa terdapat protein di semua permukaan sel darah merah, dan protein ini disebut sebagai antigen. Seseorang dengan antigen A akan mempunyai antibodi untuk antigen B pada plasma darahnya. Seseorang dengan antigen B akan mempunyai antibodi untuk melawan antigen A di plasma darahnya. Golongan darah AB mempunyai kedua antigen A dan B, namun tidak mempunyai antibodi A dan B. Sebaliknya, golongan darah O tidak mempunyai antigen A dan B, namun di plasma darahnya terdapat kedua antibodi A dan B. Apakah arti semua ini? Golongan darah AB dapat menerima darah dari semua golongan (universal recipient) sementara golongan darah O dapat menyumbangkan darahnya ke semua tipe. Begitulah asumsinya sampai suatu kejadian di tahun 1939 ketika seorang pasien mengalami komplikasi setelah menerima transfusi darah O. Sejak saat ini mulai dikenal adanya istilah faktor Rh (rhesus) dimana 85% populasi dunia adalah Rh+ sementara sisanya, 15% manusia diperkirakan sebagai Rh- (Rh neg) atau tidak mempunyai faktor rhesus, yang secara spesifik ditujukan untuk antigen-D. 


Sebenarnya ada banyak macam antigen di sel darah kita, namun yang secara signifikan berpengaruh terhadap penerimaan/penolakan transfusi darah selain antigen A dan B adalah antigen D yang kini dikenal sebagai Rh. Dengan demikian, apabila golongan darah O disebut sebagai 'donor universal', maka yang dimaksud sebenarnya adalah golongan darah O negatif, karena selain tidak mempunyai antigen A dan B, ia juga tidak mengandung antigen D (Rh). Selain Rh positif dan Rh negatif, ada juga yang disebut sebagai Rh null (nol/kosong) atau yang sering disebut juga sebagai 'Golden Blood'  dimana ia sama sekali tidak memiliki satupun dari 61 tipe antigen pada darah manusia.


Apabila seseorang dengan Rh negatif menerima transfusi darah dari Rh positif, maka serta merta tubuhnya akan menolak darah tersebut, karena antigen D dianggap sebagai benda asing yang harus diserang oleh sistem kekebalan tubuhnya. Serta merta antibodinya membuat pertahanan, sehingga sedianya sel darah merah yang sangat dibutuhkan oleh tubuhnya malah dirusak seketika. Inilah yang terlihat sebagai penggumpalan sel darah. Persoalan Rh tidak hanya muncul ketika seseorang akan menerima transfusi darah. Apabila seorang ibu dengan Rh negatif mengandung janin dengan Rh positif (yang diturunkan dari pasangannya), maka sistem imunitas ibu ini akan berbenturan dengan darah sang bayi, sehingga ada kalanya kita mendengar kasus kematian bayi sebelum lahir atau tak lama setelah ia dilahirkan. Di zaman kedokteran yang telah maju seperti sekarang, isu ini dengan mudah dapat diatasi dengan injeksi Rhogam kepada sang ibu untuk mengendalikan reaksi autoimunitasnya terhadap darah sang bayi. 


Mengapa ada Rh positif dan negatif? Apakah gunanya? Pertanyaan ini sudah menarik banyak ahli untuk menjelaskan dari sisi medis, antropologis, religius, bahkan mengkaitkannya dengan makhluk asing (alien).  Populasi Rh- (rhesus negatif) terbanyak di dunia berada di suatu tempat terpencil di Pegunungan Pyrennes, perbatasan antara Prancis Selatan dan Utara Spanyol yang kini dikenal sebagai wilayah Basques. Di sana, sekitar 40% penduduknya adalah Rh-. Selain itu, populasi lainnya dengan Rh- terbanyak berada di Maroko, yaitu pada suku nomaden yang lazim disebut Berber, selain juga ditemukan banyak di populasi Irlandia Utara dan Skotlandia. Bila dilihat berdasarkan suku bangsa, maka Rh negatif banyak dijumpai pada ras Eropa (15%), Afrika (7%) dan paling sedikit di Asia (1%). 


Ada yang berpendapat bahwa golongan darah tertua adalah O, yang sudah ada sejak jutaan tahun yang lalu, diikuti oleh golongan darah A yang muncul sejak zaman Neanderthal, selanjutnya sampai ke zaman kemunculan golongan darah B, sampai akhirnya ada golongan darah modern yaitu AB. Cukup menarik saya temukan teori-teori ini karena meski (memang) tidak masuk akal, ada yang nekat menghubungkannya dengan mitologi Yunani di masa para dewa dan dewi hidup di bumi seperti manusia. Bagi penganut teori-teori ini, sejatinya manusia adalah Rh positif, sehingga Rh negatif mesti berasal dari 'luar sana' .. entah itu alien ataupun dewa-dewa. Banyaknya teori yang bertebaran dan masih panjangnya penelitian yang dilakukan mengenai ragam golongan darah manusia hanya menunjukkan bahwa setelah ribuan tahun di bumi ini pun manusia belum sepenuhnya mengetahui tentang dirinya sendiri. 


Omong-omong, saya baru tahu kalau sapi punya 800 tipe golongan darah. 😉


Sumber:


Wikipedia

(https://en.wikipedia.org/wiki/Rh_blood_group_system)

(https://en.wikipedia.org/wiki/ABO_blood_group_system)


Smithsonian Magazine

(https://www.smithsonianmag.com/science-nature/the-mystery-of-human-blood-types-86993838/)


Rh-Negative Blood: An Exotic Bloodline or Random Mutation?

(http://www.ancient-origins.net/human-origins-science/rh-negative-blood-exotic-bloodline-or-random-mutation-008831?nopaging=1)


The Most Precious Blood on Earth

(https://www.theatlantic.com/health/archive/2014/10/the-most-precious-blood-on-earth/381911/)



Sent from my iPad

Tetrachromats


Tulisan ini merupakan bagian dari serangkaian tulisan tematik mengenai keajaiban angka 4. 



Kali ini saya akan beranjak dari sisi psikis ke alam material atau nyata, yaitu membahas salah satu anggota tubuh kita: mata.

Umumnya kita tahu bahwa mata setiap orang tidak sama. Ada yang besar dan kecil, ada yang warnanya hitam, abu-abu, cokelat, hijau, biru, atau kombinasi dari semuanya. Bahkan adakalanya warna mata seseorang berubah karena tergantung kondisi fisiologis tubuhnya, meski biasanya perubahan ini samar atau tidak drastis. Mata tidak hanya berguna untuk pemiliknya melihat dunia sekitar, namun juga berguna untuk orang lain di sekitar kita melihat apa yang tidak kita utarakan melalui kata-kata. Seberapa sering kita mendengar ada yang merasa terganggu dengan cara orang lain memandangnya, atau bagaimana ia merasa ada yang 'mengawasinya' meski kelihatannya sedang sendirian. Tidak bisa dipungkiri bahwa mata adalah jendela jiwa. Mata mengumpulkan informasi dari sekitar kita, namun mata juga memberikan informasi kepada orang lain mengenai siapa kita yang sebenarnya. 

Manusia dengan penglihatan normal disebut dengan 'trikromat' karena mempunyai 3 macam sel kerucut di matanya, dimana sel kerucut ini membantu kita menangkap spektrum warna dari setiap benda yang memantulkan cahaya dengan panjang gelombang yang berbeda-beda. Sel-sel kerucut ini dikenal dengan nama sel S, M, L. Mirip dengan ukuran baju? Memang benar. Namanya menunjukkan 3 kelas dari panjang gelombang cahaya yang diproses oleh sel tersebut. Satu tipe sel kerucut akan mengenal 100 warna yang berbeda, sehingga seorang trikromat akan mampu melihat 1000.000.000 warna (yaitu 100 pangkat 3 atau 100^3). Ada banyak sistem identifikasi warna, dimana yang paling populer sampai saat ini adalah RGB (red, green, blue). 

Hilangnya salahsatu jenis sel kerucut di mata manusia akan menyebabkannya menjadi 'dikromat' atau mempunyai dua jenis sel kerucut atau lazim kita kenal sebagai seorang 'buta warna'. Sebenarnya istilah buta warna ini sendiri juga kurang tepat, karena mereka terap bisa melihat warna meski tidak banyak jenisnya .... sama seperti banyak spesies makhluk hidup yang sehat sentosa sebagai dikromat, contohnya adalah singa, kucing, dan anjing. Percaya atau tidak, ternyata lebih lagi makhluk hidup yang menjadi monokromat, yaitu mempunyai 1 jenis sel kerucut di matanya; dengan kata lain mereka melihat dunia dalam warna hitam dan putih.

Di beberapa bagian di bumi ini, ada juga manusia yang hidup sebagai tetrakromat ... karena mata mereka mempunyai 4 macam sel kerucut yang berfungsi baik. Artinya, mereka bisa melihat spektrum warna sebanyak 100^4 atau 100 juta warna. 😮 Jumlah tetrakromat di dunia ini sangat sedikit. Cukup banyak penelitian yang dikerahkan untuk mencari tetrakromat. Sejauh ini, baru ditemukan pada wanita. Serelah dilakukan penelitian lebih lanjut, ditemukan 1 lagi kesamaan di antara para tetrakromat: mereka semua adalah keturunan dari ayah yang buta warna. Dengan demikian hal ini memunculkan hipotesis bahwa 12% dari seluruh populasi wanita di dunia ini merupakan tetrakromat. Mengapa? Sebab, gen tetrakromat merupakan mutasi yang terjadi pada kromosom X (wanita mempunyai kromosom XX, pria mempunyai kromosom XY). 

mengapa ilmuwan aktif mencari tetrakromat? Diperkirakan bahwa kemampuan mereka melihat warna-warna alamiah yang tidak 'kelihatan' dengan mata normal bisa membantu para ahli untuk mendeteksi penyakit atau zat-zat berbahaya tanpa terlalu banyak menggunakan peralatan atau prosedur yang berisiko.

Sesungguhnya saya penasaran bagaimanakah rasanya menjadi seorang tetrakromat. Namun, seperti halnya banyak kelebihan menjadi sekaligus kekurangan kita, maka tetrakromat juga merasa bahwa mereka kadang merasa lelah melihat terlalu banyak hal yang bagi kita trikromat tidak ada artinya karena tak kasat mata. Bagi para pembaca yang ingin mengetahui seberapa banyak warna yang bisa terlihat oleh matanya, dipersilakan untuk mengikuti beberapa tes berikut ini 🙂
  1. color.method.ac
  2. www.igame.com/eye-test

Referensi:
  1. MacDonald, Fiona. (2016) "Scientists Have Found a Woman Whose Eyes Have a Whole New Type of Colour Receptor" Science Alert (link)
  2. Tsoulis- Reay, Alexa (2015) "What It’s Like To See 100 Million Colors" New York Magazine (link)
  3. Wikipedia (2017) "Tetrachromacy" (link)

Colours

 




Have you ever thought how colours get their names? 


Some colours get their names from flowers (lavender, rose, marigold). Some other get their names from fruits (orange, plum, peach, strawberry). In other times, we get them from drinks (coffee, chocolate, mocha, buttermilk, champagne, cream). Geologists also have their creations (cobalt, gold, silver). Meanwhile, let's not forget soldiers in uniforms (khaki brown, navy blue). Long time ago, royals have their colours too (burgundy, prussian). What about countries? (turqouise, china). And people too (baby pink) 🙂


Empat




 



Seberapa jauh kita mengenal diri sendiri?


Beberapa minggu yang lalu saya mengulas mengenai konsep Johari Window, yaitu teori mengenai hubungan interpesonal dimana Joseph Ingham dan Harry Luft berpendapat bahwa akan selalu ada 4 sisi manusia yang diketahui atau tidak diketahui mengenai dirinya atau orang lain selama berinteraksi satu sama lain. Kuadran arena, façade, blindspot dan unknown ... keempatnya tidak terlepas satu sama lain dan akan selalu bergeser, membesar atau mengecil sepanjang hidup kita ... bahkan mungkin setelah kita tiada di bumi ini lagi. Apabila ditengok ke dalam buku sejarah, kita akan melihat betapa suatu peristiwa akan terasa lain bila diceritakan dari sudut pandang orang-orang yang berbeda ... meskipun mereka sama-sama mengalami peristiwa itu secara bersamaan.


Mengapa angka 4 istimewa? Sebab, banyak sistem di dunia ini yang pada dasarnya bekerja dalam 4 kategori. Ada musim panas, musim dingin, musim semi, dan musim gugur. Ada waktu pagi, siang, sore, dan malam. Ada dimensi panjang, lebar, tinggi, dan waktu ... meski kini fisika quantum mengenal ada 11 dimensi. Ada mata angin utara, selatan, timur, dan barat (meski kemudian ditambahkan lagi dengan 4 sub kategori barat laut, timur laut, tenggara, dan barat daya). Alkemi kuno memperkenalkan kita kepada 4 elemen yaitu air, api, tanah, dan udara ... meski kini kita mengenal ada 103 elemen di alam semesta ini (dan jumlahnya mungkin akan bertambah). Omong-omong, angka 1 + 0 + 3 = 4 😋


Melihat kecenderungan ini semua, saya tertarik untuk membuat 4 tulisan dengan 4 tema yaitu manusia, alam, dunia ide (abstrak) dan dunia fisik (konkrit). Supaya tidak terkesan serius, 1 dari tulisan tersebut akan bersifat sebagai hiburan dimana saya akan membuat review film dari 1 yang pernah saya lihat. Namun demikian, pembaca akan melihat bahwa setiap tulisan mempunyai benang merah dengan tulisan yang ada sebelum dan sesudahnya.



Selamat menikmati tulisan di penghujung tahun ini 🙂


Sophistication of Nature






We cannot see light
but without light, we cannot see things

We can only see “evidence of light”
As every surface absorbs, disperses, or bounces light waves …
into colors and shapes we all know

With the help of the speed of light
I can write this message
and broadcast it online in real time

We cannot touch the sun
But without sun, we are all dead

Sun radiates energy to Earth
Spreading through food chains
And converting into many forms of energy … or as they say “calories”

We cannot live without air
But we cannot keep
all of air to ourselves too

Air is most useful when it flows free
It regulates pressures
It helps chemical reactions
It cools temperature
It reduces moist

Some things are dangerous
When they are “alone”
See, hydrogen and oxygen alone are highly flammable as element
But together, they become water
The friendliest molecule for life

Some things are dangerous
When they are “together”
Combine potassium with water
Then you will have explosion

But how come banana is safe?
nutritious and delicious ….
It contains a lot of potassium
and hydrates with water too

Just have a look around
then you will find
how sophisticated and beautiful
the nature is

I hope we can learn.

Catatan:

Dipublikasikan pertama kali dengan judul "Learning from Nature" di suatu forum online pada 12 November 2016.

Dreaming Alive





I sit by the lake, watching
Glimmering sun rays setting
Across the woods
While winds are dancing
Above the sparkling water

Darkness and light collide
And I can feel and taste the rain
Before it falls at dawn
Beneath the sky

It is all slow and calm
It is all quiet and serene
Wishing it would never ends
Dreaming while awake, feeling alive

I sit in my cubicle
Notes are stacking
Keyboards are clicking
Telephones are ringing

People are talking
Figures are moving
Speakers are sounding
Screens are flickering

It is all of the hushes and the rushes
It is all on the dense and tenses
I said to myself, “This is unreal”
Like a bad dream, while I am awake

So what is real? What is unreal?
How could in the mysteries of nights,
I feel more alive?
Have we all been living, afterall?

Johari Window



Tulisan ini saya buat sebagai respons atas tulisan berjudul "PNS Jujur" yang dibuat oleh rekan kami, Samuel Manik (good writing, by the way 😊) ... meskipun sejujurnya respons ini saya kutip dari tulisan lama*). Mudah-mudahan tetap berguna.

Gambar di atas adalah Jendela Johari (Johari Window). Pertama kali aku mengenalnya di kelas Perilaku Organisasi. Konsep ini dicetuskan oleh Joseph Luft dan Harry Ingham pada tahun 1955**), dimana Johari adalah gabungan dari nama kedua orang tersebut.

Jendela Johari adalah perangkat sederhana yang dapat menjelaskan 4 wawasan yang terjadi selama kita berinteraksi dengan orang lain:

  1. Semua wawasan mengenai diri sendiri yang juga diketahui oleh orang lain berada pada kuadran arena.
  2. Semua hal yang tidak diketahui oleh siapapun (termasuk oleh diri kita sendiri) berada pada kuadran unknown.
  3. Semua hal mengenai diri sendiri yang kita sembunyikan dari orang lain terletak pada kuadran facade atau 'tabir'.
  4. Dan terakhir, semua hal mengenai diri kita yang sudah diketahui orang namun kita sendiri tidak menyadarinya terletak pada kuadran blindspot.

Konsep Jendela Johari menarik hatiku, sebab ia mampu menjelaskan keunikan yang terjadi dalam interaksiku sendiri dengan orang lain. Ada kalanya orang ingin mengenalku namun di saat yang sama menyembunyikan dirinya sendiri dariku. Ada kalanya orang kecewa karena merasa tidak kupahami, namun di saat yang sama ia juga menyampaikan keinginannya dengan cara yang kompleks (kalau bukan rumit).

Secara interaksi yang ideal terjadi pada kaudran arena, aku tidak menyalahkan kehadiran facade dan blindspot di dalam interaksi kita sehari-hari. Umumnya yang disembunyikan adalah kekurangan (cela), jadi tabir facade terjadi untuk menjaga image kita di mata orang lain... sementara blindspot mungkin ada karena teman-temannya menjaga perasaan si empunya kekurangan tersebut.

Lebih menarik lagi apabila yang tersembunyi itu adalah suatu kelebihan. Kita bisa saja berasumsi bahwa orang menyembunyikan kelebihannya karena ia rendah hati. Di sisi lain, aku cenderung berpikir negatif tentang orang yang tidak mau memberitahu kelebihan orang lain. Dengan kata lain, ia pelit pujian. Bisa saja ia melakukannya karena takut temannya besar kepala, namun motif paling sederhana (menurutku) adalah rasa cemburu... dan ini menandakan rendahnya rasa percaya kepada kemampuan dirinya sendiri.  

Lalu apa hubungannya Johari Window dengan umpan-balik atau feedback? Sederhana saja, bisa jadi kita melihat sesuatu dengan jelas namun tidak terlihat oleh lawan bicara kita. Di sisi lain, bisa jadi orang lain melihat sesuatu secara jelas mengenai diri kita namun luput dari perhatian kita karena sudah begitu terbiasa. Di sinilah indahnya komunikasi. Dengan memahami bahwa semua orang punya "Johari Window" ... maka kita tahu bahwa ada hal-hal yang kita tidak tahu 😊 (nah bingung khan?)

Catatan:
* Sebagaimana ditulis pada blog pribadi, 12 September 2008
** Informasi lebih lanjut: http://en.wikipedia.org/wiki/Johari_Window



Begitulah





Mungkin aku terlambat ... meja banquet sudah mulai kosong. Tinggal satu pojok dessert berupa 'tiang' dari gelas-gelas puding.

Aku lapar, .... dan lelah. Dan tidak percaya diri. Dan entahlah. Mengapa aku di sini?

Empat orang kedutaan Belanda yang tadi makan di satu meja bersamaku sudah beranjak 5 menit yang lalu. Sejujurnya mereka juga tidak kenal betul satu sama lain. Sekadar menghapus kecanggungan, mengobrol tentang apa saja yang bisa diobrolkan, sambil menghindari topik sensitif seperti politik dan agama. Siapa sangka di saat seperti ini topik yang 'garing' seperti sejarah bisa jadi menarik dan membuat orang tertawa? Aku mulai terlatih untuk melontarkan komentar yang sekiranya sesuai dengan lawan bicara yang ada pada saat yang berbeda. Seperti tadi, ketika di kananku ada saudara setanah air Indonesia, di kiriku ada orang Belanda, sementara kaos polo shirt hitamku bertulisan bahasa Swedia ... otakku mulai berputar mencari bahan percakapan yang mungkin menarik minat tetangga makan siang hari ini. Kukatakan bahwa ini adalah takdir bila kita bisa duduk satu meja ... karena masa lalu telah menghubungkan kita semua di sini. 

Kuceritakan kepada mereka rasa yang timbul sewaktu berjalan menyusuri kanal sepanjang zona barat Skandinavia ... suatu de ja vu bagai berjalan di wilayah Kota Tua, Jakarta. Suatu rasa yang kemudian menemukan jawabannya di suatu museum sejarah, ketika terungkap bahwa arsitek di kota tersebut memang membangunnya sesuai cetak biru Batavia, Jakarta tempo dulu. Dan sang arsitek Belanda ini memang baru saja merampungkan proyek Batavia sewaktu diminta membangun kanal sepanjang Göta Alv ... area yang kini lebih dikenal sebagai tempat lahirnya Volvo, kebanggaan Swedia.

Dan apakah takdir serupa ini pula yang kini membuat seseorang duduk di kursi kosong di mejaku ini. Tadinya, aku kira suasana garing akan berlanjut ketika rombongan Belanda telah beranjak permisi, meninggalkanku dengan 3 gelas puding kosong. Jangan katakan aku kemaruk, karena hanya ini yang tersisa dari semua bakul nasi kosong dan mangkuk-mangkuk sayur serta jejeran wadah stainless steel porsi kondangan ... yang melompong meminta diangkut ke bak cucian.

Kubuka dengan pernyataan dan pertanyaan standar, "Saya dari Indonesia. Anda dari kampus apakah dan di negara manakah?

"Venice."

"Oh. Great! Never knew Venice has a university. So, it means you are an Italian?"

"Canadian, actually."

Dan itulah saat tawaku mulai pecah. Agak sulit bagiku untuk tetap bersikap serius mendengar jawabannya yang spontan ini. Rasanya seperti menahan diri supaya tidak tersedak makanan, atau sewaktu-waktu ia akan melompat bebas melalui saluran hidung.

"Excuse me if I am curious ... may I know how come a Canadian got stranded in Venice? I thought it was only a place for couples on honeymoon!"

"Yeah, I don't blame you. And you might not believe this as well. I am a PhD actually."

What!? How!? What the heck does a PhD do in an education fair in a country faraway from one's research and university?

"I am bored. That is why."

Demikianlah tawaku pecah. Sambil berurai air mata karena terlalu geli mendengar pengakuan sang doktor ini. Sekonyong-konyong aku mendengar sahutan suara "Ssshuuushhhss!!" dari sekelompok bapak-bapak di meja sebelah, dan entah kenapa aku merasa wajib menyampaikan peringatan ini kepada teman bicara di mejaku,

"Look. I seriously think I need to move to another table, otherwise I will laugh harder listening to every word you are saying right now. Although they are all true, it is just unbelievable and I am sorry I cannot stand for not laughing."

Tak kusangka ia memprotes, "Are you kidding? We can laugh all the time as much as we want. Here. Right now. Who cares?" 

Benar juga, batinku. Toh, mereka juga bebas untuk tinggal atau pergi bila merasa terganggu dengan percakapan di meja kami. Seperti refleks untuk memastikan kelanjutan interaksi kami, ia pun menjabat tanganku, "I am Christine" dan kujawab dengan namaku sendiri ... sambil meminta maaf karena tanganku sedikit lembab karena keringat. Ia berupaya untuk menghiburku, "No worries. My armpits are also sweating all the time." Aku pun kembali tertawa terbahak-bahak.

Tak percaya rasanya bisa bertemu dengan akademisi tingkat tinggi dalam acara publik semacam ini, hingga aku pun merasa perlu bertanya, "What is you field of research?"

"Italian Renaissance. Actually I was a professor in this."

"Wow. It must a difficult subject of study."

"Yes, actually. Indeed. It is difficult, especially more difficult if you have to encounter so many people who feel they are the smartest in this world .... so they think your paper is worthless."

Hmm ... entah kenapa komentarnya yang terakhir tadi membuat khayalku melayang ke isu-isu di kantor seperti JFAA, grading, pangkat, dan sejenisnya. Indeed, it is true. Banyak sekali yang merasa dirinya lebih kompeten dari orang lain meski tidak banyak mengetahui mengenai prestasi apa saja yang telah dilakukan oleh koleganya tersebut.

Namun entah kenapa aku tak terlalu larut dalam imajinasi problematika di kantor, dan memilih kembali ke realitas percakapan kami di siang itu. Aku berusaha menghibur dan menggodanya,

"Well, of course Italians feel smarter than you. As you have said before, the study is about Italian Renaissance. Now you are conducting your research in Venice. Of course all Italians will feel they are smarter than you in this subject matter ... as you are a foreigner, because you came from Canada. Who do you think others will believe more to explain about Italian Renaissance: a native Italian or an imported docent from Canada?" candaku.

Demikianlah. Gilirannya untuk tertawa, "You are right." 

Ia pun kembali melempar bola percakapannya kepadaku, "What about you?"

Menanggapi ini, aku ceritakan bahwa aku alumni yang ikut meramaikan pameran ini dengan berbagi kisah kepada pengunjung yang rata-rata mahasiswa atau pelajar SMA. Tapi sama seperti dia, pekerjaanku sehari-hari juga tidak ada hubungannya dengan kegiatan kita di hari ini. I might be bored too.

Tapi entah kenapa ia membesarkan hatiku ... dan berkata,

"You know what, for these universities ... a person like you is actually equals to gold."

Maksudnya?

Ia menjelaskan, "Coba tengok di sekitarmu ... adakah kampus-kampus lain di sini masih mengetahui keadaan alumni mereka? Apakah mereka tetap saling berkomunikasi dengan lulusannya? Saya rasa kebanyakan mereka tidak demikian. Padahal alumni lokal akan dapat sangat membantu bilamana kampus-kampus tersebut ingin mengembangkan sayapnya ke belahan dunia yang lain. Mereka bisa menjembatani perbedaan budaya dari kedua negara.

Entahlah, jawabku.

Sejujurnya aku berada di sini karena ingin memperlihatkan banyak jalan menuju Roma. 

Aku ingin generasi setelahku tetap merasa optimis bahwa semua orang bisa mempunyai cita-cita tinggi dan mampu untuk mewujudkannya tanpa perlu terlalu banyak berkorban perasaan ... atau biaya ... atau waktu ... atau harapan mereka. Ah, "Banyak jalan menuju Roma" ... apakah ungkapan tersebut juga pertanda sehingga hari ini aku bertemu professor Italian Renaissance dari Venesia ... tempat yang terkenal dengan deretan kanal-kanalnya?

Ah, kanal ... mengapa aku jadi teringat dengan obrolan pertama tadi? Sewaktu semula kita membahas tentang Gothenburg dan Batavia. Sewaktu aku ceritakan tentang kanal Göta Alv dan sungai di Kota Tua. Adalah takdir yang mempertemukan dan memisahkan kita manusia-manusia dari segala tempat yang bebeda tersebut ... di jam makan siang yang singkat ini. 


Dan aku pun kembali lapar.